Vashla, pergilah berpetualang dengan lelaki yang akan kau nikahi. Sampai kalian berada di titik kritis perjalanan. Pada saat itu, kau akan melihat kebenaran-kebenaran dari lelaki yang kau pilih untuk hidup bersamamu nanti.
Aku kembali mengenang kata-kata mentorku ini. Kebenaran? Kebenaran seperti apa yang dimaksud olehnya, aku merasa sudah melihat kebenaran itu pada saat kami tinggal bersama. Aku sudah melihat hal-hal baik dan hal-hal yang tidak baik darinya, dan aku masih di sini, memilihnya dengan hatiku. Lalu kebenaran seperti apa yang dimaksudkannya?
“Lagi mikirin apa sih? Serius banget kayaknya!” Luky memelukku dari belakang saat aku sedang mengaduk kopi sambil melamun.
“Lagi mikirin kata-kata mentorku. Kenapa sih dia menyuruh kita berpetualang bersama?” aku tahu tentu saja Luky tidak memiliki jawabannya. Bagaimana pun, aku masih saja bertanya.
“Sebenarnya yang kita lakukan ini adalah sebuah pertualangan. Bayangkan, kita berdua terbang ke Turki, ke sebuah negara asing yang bukan negara kita sendiri untuk memulai hidup yang baru. Kita berdua yang mempertaruhkan segalanya demi orang yang kita cintai, bukankah itu pertualangan juga?” tanya Luky.
“Iya, kamu benar. Semua yang kita lakukan ini adalah pertualangan, semua ini adalah hal baru untuk kita. Kemarin kita juga baru saja menjelajah tempat ini bersama-sama. Oke, mungkin aku berpikir terlalu banyak tentang ini”.
“Eh tapi, seru juga loh kalau kita ada adventure dulu sebelum nikah. Gimana kalau kita pergi ke salah satu pulau di sini?” Luky memberi saran.
“Pulau? Pulau mana?” Ini sesuatu yang baru untukku, akan berpetualang di salah satu pulau di Turki.
“Ada beberapa, nanti kita pilih saja mau yang mana. Aku mau ke toilet dulu” Luky berlalu memenuhi panggilan alamnya.
Aku membawa kopi kami ke ruang tamu yang ada meja makannya. Di sana, di tempat kami duduk saat pagi sebelumnya sambil memandang Taksim area yang sibuk. Aku teringat sesuatu yang baru terjadi di Turki akhir-akhir ini. Pembunuhan seorang wanita yang dilakukan oleh mantan kekasihnya, lalu kemudian wanita tersebut dimasukkan ke area tempat sampah dan disemen di bagian atasnya. Kejadian itu menyebar ke seluruh Turki setelah polisi membongkar kasus tersebut dengan ditemukannya mayat wanita itu.
Aku stress dan sedih membayangkannya, Turki, negara favoritku ini termasuk tinggi angka pembunuhan pada kaum perempuan. Di tahun ini saja tahun pandemic 2020, 300 kasus pembunuhan terhadap perempuan dilaporkan organisasi hak-hak Wanita. Femisida, demikian mereka menyebutnya, yaitu rasa benci terhadap perempuan yang kemudian menjadi alasan pembunuhan terhadap perempuan.
Menurut WHO, Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang disengaja karena rasa tidak sukanya pada perempuan. Kebanyakan hal ini dilakukan oleh orang terdekat seperti teman dekat atau pasangannya. Aku bergidik membayangkannya. Aku jadi berpikir, bagaimana aku begitu berani membuat keputusan untuk hidup dengan seorang lelaki yang mungkin belum sepenuhnya kukenal, terlebih di negara asing seperti ini. Bagaimana pun, karena aku mengikuti beberapa perkembangan kasus ini, aku juga merasa takut. Tetapi, dalam hidup, bukankah kita harus mempertaruhkan resiko-resikonya?
Mentorku pernah berkata, bahwa sejarah dicatat oleh mereka yang mengambil resiko bukan oleh mereka yang menghindari resiko. Bukankah pepatah mengatakan hidup yang tak pernah dipertaruhkan tak akan pernah dimenangkan? Ah terkadang aku berpikir terlalu banyak. Pada saat aku sudah di sini sekarang, memilih lelaki yang kucintai dan mempercayai cinta kami. Namun, bukankah juga banyak orang yang dibutakan oleh cinta dan kemudian harus celaka atau mati dalam memperjuangkannya? Bagaimana jika aku mati saat sedang memperjuangkan cintaku ini?
Cup cup cup, Luky kembali mendaratkan ciumannya dari belakang, menyusuri pipi dan leherku. Membuyarkan isi pikiranku yang sedang berseliweran tentang pembunuhan dan tentang keputusan yang baru saja kubuat untuk memilih hidup dengan seorang lelaki yang kucintai ini. Isi kepala yang sedang bertarung satu sama lainnya.
“Aku dapat melihat kamu stress dan tertekan, mau sharing nggak?” tanya Luky sambil menggenggam tanganku dan kemudian duduk di kursi sebelahku.
“Mau, minum kopi dulu sebelum aku cerita” pintaku.
Ia menyeruput kopinya, begitu pun denganku. Kami juga menikmati biscuit yang sempat dibelikan Luky dua hari sebelumnya. Dia tahu, kalau aku punya kebiasaan makan biscuit saat sedang minum kopi. Aku mulai menceritakan kekhawatiranku mengenai berita-berita yang sedang kubaca tentang pembunuhan di Turki. Ketakutan dan kekhawatiranku tinggal di daerah ini, yang tiba-tiba datang ketika pikiranku disergap oleh berbagai informasi ini. Luky mendengarkanku dengan baik.
“You are safe! Aku akan menjagamu dengan baik. Aku memilihmu untuk menjadi istriku dan aku akan berjuang yang terbaik untuk kita. Aku tahu, tidak mudah untukmu. Kamu lahir dan besar di sebuah tempat konflik, kamu melihat pembunuhan dan mengalami berbagai kisah yang menyakitkan di masa lalu. Itu pasti tidak mudah dan akan butuh banyak waktu untuk menyembuhkan luka-luka itu. Beri aku kesempatan untuk menjadi bagian dari orang yang berjuang untuk menyembuhkan lukamu” kata-kata Luky membuatku trenyuh.
Air mata haruku mengalir. Luky mengingat dengan baik, semua hal yang pernah kualami dalam hidupku dan pernah kuceritakan padanya dari semenjak kami berteman dulu. Ia menerima kekhawatiran, rasa takut dan traumaku pada berbagai kejadian dalam hidup. Dia benar, aku harus memberikannya kesempatan dan juga memberi diriku sendiri kesempatan untuk memperjuangkan hidup yang bahagia, meninggalkan luka-luka yang lama.
“Gimana kalau hari ini kita main ke Hagia Sophia? Tuh Erdogan bikin peraturan baru, kalau Hagia Sophia diubah jadi masjid lagi. Udah dengar beritanya belum?” Luky bertanya sambil membelai rambutku.
“Iya udah dengar. Eh kita berangkat ke sana lebih cepat aja yuk. Aku juga kangen sama Hagia Sophia. Setiap ke Turki, aku selalu ke situ berulang-ulang” aku tak sabar ingin segera ke sana.
“Oke, tapi kita nikmati dulu kopi pagi kita ini ya?”.
Kami kembali menyeruput kopi. Kini, hatiku rindu pada Hagia Sophia. Aku juga pernah ke sana dengan Vavan, teman baikku. Sayangnya aku belum pernah ke sana bareng genk Gepukku yang lain. Livi dan Mauli, ah aku juga rindu mereka. Apa aku video call dengan mereka nanti pada saat aku di sana.
Sekilas pikiranku juga terbang ke Jakarta, apa kabar genk gepukku dan apartemen kami di Jakarta Selatan. Aku sudah tidak membayar sewa apartemen karena kini hanya Livi dan Mauli yang tinggal di sana. Aku rindu juga hari-hari kami di sana, berkumpul dan makan Ayam Gepuk Bersama. Rindu pada Ayam Gepuk, pada genk gepukku dan rindu pada Hagia Sophia yang sebentar lagi akan kembali kusapa. Sungguh hati yang bercampur aduk saat ini, di tengah petualangan cinta yang sedang kulakukan bersama Luky.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments