Aku bangun pagi dengan linglung karena kelelahan yang tiada tara. Bukan hanya karena perjalanan terbang ke Turki, namun juga kelelahan akibat aktivitasku beberapa hari sebelum terbang ke sini.
Ditambah kondisi hati yang penuh emosi melewati berbagai proses penerbangan dan imigrasi. Saat kubuka jendela, dapat kudengar hiruk pikuk orang-orang berbicara di luar apartemen kami. Aku menjulurkan kepala ke bawah melalui jendela kaca kami, orang-orang sibuk dengan berbagai aktivitas. Luky, tidak di sisiku, oh ke mana dia.
“Good morning my princess” katanya sambil berjalan ke arahku yang masih di tempat tidur.
“Good morning” balasku sambil tersenyum.
Luky menciumi wajahku dan memelukku. Ciuman dan sentuhan yang begitu kurindukan selama kita berpisah. Dapat kurasakan semua kenangan di Estonia itu kini telah kembali pada kami. Ciuman di pagi hari saat aku baru bangun, peluk erat yang selalu ia berikan. Aku penuh dengan cinta darinya dan bahagia menerima semua cinta ini kembali.
“Mau kubuatkan kopi?” ia bertanya sambil tak beranjak dari sisiku.
“Mau” jawabku cepat.
“Oke, kopi susu?” tanyanya lagi dan dibalas anggukanku.
Kami sempat belanja untuk keperluan sehari-hari kemarin. Karena lebih suka memasak makanan kami sendiri, jadi saat ini kulkas kami penuh dengan sayur-sayuran. Tak lupa teh dan kopi yang kami belanjakan dan sudah menjadi kebiasaan kami minum kopi di pagi hari.
Aku jadi ingat sesuatu, karena Luky sering membuatkanku kopi. Ia tak jarang juga memasak, mencuci baju dan membersihkan rumah. Di tempat aku berasal, ini semua adalah pekerjaan perempuan yang dimulai dari mengurus rumah dan melayani lelaki.
Membuatkan kopi atau teh dan menyuguhkannya pada sang suami atau lelaki dalam keluarga, jarang lelaki memperlakukan perempuan dengan cara yang sama. Itu juga menjadi salah satu alasan kenapa memilih Luky, karena ia melihat peran kami yang equal dalam memperlakukan satu sama lain.
Kami menikmati kopi dengan mengamati pemandangan dari jendela living room kami. Tak banyak yang bisa dilihat, perumahan, jalanan yang berkelok dan menara masjid yang menjulang. Kami saling menggenggam tangan dan masih belum percaya rasanya setelah berpisah selama 7 bulan, akhirnya ada kesempatan bertemu.
“Mentorku bilang, sebelum menikah untuk mengajakmu berpetualang. Mungkin kita bisa traveling ke tempat-tempat di dekat sini dan kemudian melakukan sesuatu yang seru selama beberapa hari” aku mengusulkan ide ini ke Luky.
“Mentormu Bg Zeyn?” tanyanya.
“Iya”.
“Gimana katanya?”
“Pergilah berpetualang dengan lelaki yang akan kau nikahi, sampai kalian berada di titik kritis perjalanan. Pada saat itu, kau akan melihat kebenaran-kebenaran dari lelaki yang kau pilih untuk hidup bersamamu nanti” itu yang dikatakannya.
“Ide yang bagus, aku suka” dia menyambut ide ini dengan gembira. Mataku berbinar bahagia.
“Tapi mungkin beberapa hari ini, kita jalan-jalan dekat sini aja dulu. Minggu depan aja kali ya berpetualangnya?” Ide Luky kusambut dengan baik. Karena aku juga masih ingin adaptasi dengan kehidupan baru kami ini di Istanbul, pun badanku yang masih lelah.
Meskipun kami sudah pernah tinggal di Estonia bersama sebelumnya, namun rasanya sekarang berbeda. Pada saat itu kami tinggal bersama sebagai sahabat yang kemudian jatuh cinta dan memutuskan membina hubungan sebagai sepasang kekasih. Kalau sekarang, kami tinggal bersama sebagai tunangan yang akan mempersiapkan pernikahan dan memulai hidup baru sebagai suami istri.
Kami menyepakati hari ini akan mengeksplore area Taksim yang sibuk ini. Area yang dibangun oleh Sultan Mehmet I ini juga disebut Taksim Meydani dalam Bahasa Turki yang berarti Square dalam Bahasa Inggrisnya.
Kami menembus ramainya jalanan Isktiklal yang sangat terkenal di Istanbul. Jalanan yang dilalui sekitar 3 juta orang setiap harinya sebelum pandemi. Jalanan ini langsung menjadi jalanan favoritku. Menariknya, meski pun ini bukan kali pertama aku datang ke Turki, namun ini merupakan pengalaman pertamaku menyusuri jalanan Istiklal di dekat Taksim Square.
Jalanan yang benar-benar sibuk. Kami tiba di Turki di musim Autum, jadi masih merasakan suasana panasnya kota ini meski akan segera memasuki musim dingin. Aku jatuh cinta pada jalanan Istiklal karena aku suka keramaian. Apalagi berkeliling melihat berbagai souvenir khas Turki yang dijajakan di sepanjang jalanan ini. Aku membeli beberapa hiasan kecil, gelang-gelang, anting, dan cincin. Luky memilihkanku sebuah gelang yang berwarna emas bercampur batu-batu hijau. Aku bahagia menerimanya.
“Thank you” aku mencium pipi Luky saat ia memasangkan gelang itu di tanganku.
“My pleasure, my Vashla” ia mencium tanganku usai memasangkan gelangnya.
Kami lanjut menyusuri jalanan Istiklal. Hari masih panjang, lalu memutuskan untuk berjalan menuju Galata Bridge yang juga terkenal di Turki. Kami setuju untuk tidak mengambil transportasi, tetapi memang ingin berjalan kaki sambil menikmati indahnya kota Istanbul ini.
Di perjalanan, kami kembali berhenti karena ingin menikmati roti Turki. Borek, salah satu roti tertua di Turki yang begitu lembut dan menggugah selera. Roti ini berisi daging dan keju yang gurih, ada juga yang berisi sayuran.
Roti Borek ini juga dikenal dengan sebutan roti dari malaikat Jibril. Hal ini dikarenakan rasanya yang lezat yang dianggap jarang ada yang bisa menyainginya. Roti yang paling banyak dijumpai atau dijual di toko-toko di Turki. Roti yang juga merupakan makanan special saat berbuka puasa di Bulan Ramadhan.
Sebagai salah satu roti warisan dari Kerajaan Ottoman, Borek ini memang memiliki keistimewaan, salah satunya bentuknya yang dibikin berlapis-lapis dan begitu lembut saat menyentuh lidah kita.
Aku dan Luky memilih beberapa rasa, keju, daging dan bayam. Kami berdua duduk di depan toko, menikmati Borek sambal meminum Cai atau Teh Turki. Usai menikmati Borek dan Cai, kami melanjutkan petualangan kami di kota ini. Tujuannya adalah Galata Bridge dan Galata Tower.
“Kamu tau nggak kalau jembatan Galata ini dibangun oleh orang Jerman?” tanya Luky saat kami mendekati jembatan.
“Oh ya? Aku nggak tau loh” jawabku.
“Iya, jembatan ini dibangun oleh arsitek dari Jerman, Namanya Fritz Leonhardt, dia adalah arsitek yang ditunjuk oleh Sultan waktu itu” Jelas Luky.
“Oh begitu. Nanti aku baca lagi deh”.
Kami melihat banyak pasangan berfoto-foto di jembatan ini dan di sekitarnya. Kami hanya singgah sebentar dan kemudian melanjutkan perjalanan kami ke Galata Tower.
Aku mengeluh karena Lelah berjalan dan memakai sepatu yang tidak terlalu nyaman untuk berjalan jauh. Hal ini karena aku memakai sepatu yang salah, padahal punya sepatu lainnya yang biasa kupakai berolahraga. Luky menyemangatiku, dan dengan Langkah yang pelan-pelan akhirnya kami tiba di Galata Tower.
Banyak turis mengelilingi Tower ini. Orang- orang berdesak-desakan ingin berfoto di sini. Meski ini suasana pandemi, namun ternyata memang tidak menyurutkan semangat orang-orang untuk tetap berkumpul dan mengambil foto di sini. Mungkin karena ini Turki, jarang orang pakai masker dan aktivitas berlangsung seperti biasanya di tengah kondisi Corona.
Pada saat penakhlukkan Bizantium dulu, Galata Tower difungsikan untuk penjara oleh Kerajaan Usmani. Namun setelah kerajaan Usmani runtuh, tower ini dijadikan area wisata yang dapat dikunjungi oleh publik. Sayangnya, pada saat kami datang, ada peraturan yang diberlakukan untuk tak dapat masuk ke dalam dan naik ke atas tower. Peraturan ini berlaku selama Covid 19 menghantam berbagai negara di dunia.
Sebagaimana kebanyakan turis lainnya, kami hanya menikmatinya dari luar dan meminta 2 orang gadis yang sedang berfoto untuk mengambil foto kami. Mereka dengan senang hati melakukannya.
Kami menutup sore hari dengan menikmati Es Krim Turki, sambil duduk di area terbuka dan memandang sunset, lalu kembali ke Taksim area yang sibuk untuk makan malam. Hari yang indah untuk memulai kehidupan kami yang baru di Turki.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments