Setelah 7 bulan terpisah karena Corona, kami bersepakat untuk mengakhiri kepedihan ini dengan bertemu di negara ketiga, yaitu Turki. Disebut negara ketiga oleh pasangan yang terpisahkan selama pandemi karena tidak dapat bertemu di negara masing-masing.
Hubungan kami yang hanya berlangsung lewat layar, antara Jakarta dan Jerman, sudah tak mampu mengobati hati kami dengan berbagai drama yang terjadi. Kami butuh bertemu segera.
Luky, tunanganku berangkat lebih dulu dan menungguku di Turki. Hal ini karena aku memiliki sebuah komitmen terhadap project voluntaryku. Aku memimpin sebuah hajatan international yang besar yang disebut aksi bersih-bersih se-dunia atau World Cleanup Day yang melibatkan jutaan relawan di Indonesia.
Aksi ini serentak dilaksanakan di 191 negara lainnya. Sebagai country leader, kupegang teguh janjiku untuk tidak meninggalkan timku di belakang, meski kegiatan ini hanyalah kegiatan relawan, namun aku telah meletakkan hati di sini. Di waktu yang bersamaan, aku tahu hatiku juga terpaut pada lelaki yang menungguku di Turki.
Luky mengerti dengan baik tentang hobi kerelawananku ini dan bersedia menunggu, Ketika aku sampaikan bahwa aku akan tiba beberapa hari setelahnya. Setelah eventku selesai, wawancara di salah satu TV yang levelnya nasional kulakukan dalam keadaan kepepet, tepatnya satu hari sebelum keberangkatanku ke Turki. Namun, semua terkendali dengan baik.
Aku berpamitan dengan tim untuk melanjutkan perjuangan cintaku setelah berjuang untuk Indonesia dalam mengkampanyekan lingkungan melalui aksi tahunannya. Aku telah menepati komitmenku.
Keputusan untuk bertemu di Turki adalah keputusan yang besar yang kami ambil dalam hidup, memilih bersama, apapun resiko ke depan yang akan kami hadapi. Kami terbang demi cinta yang kami percayai.
Perutku terasa mulas berkali-kali, hal ini terjadi karena aku sangat nervous mau bertemu dengannya sebentar lagi. Tak ada ketenangan sama sekali semenjak pesawat take off dari Bandara Jakarta, lalu transit di Doha, kemudian menuju bandara Istanbul yang baru.
Begitu tiba di Istanbul, aku tak dapat mengingat hal lainnya. Hatiku hanya dipenuhi satu, pertemuan dengan Luky. Hati berpacu dengan adrenalinku, inilah yang terjadi saat diri dimabuk cinta. Cinta telah memberikan kekuatan untuk melintasi banyak negara demi bersama.
Jelas sekali, kami hanya memutuskan ini karena cinta semata. Tanpa persiapan lainnya yang kami bawa untuk membina rumah tangga. Tak ada tabungan yang cukup, tak ada rencana masa depan tentang kami akan tinggal di mana setelah dari Turki, kalau ternyata Indonesia dan Jerman masih belum membuka bordernya.
Kami hanya percaya, bahwa jika kami bersama, kami akan bisa melalui semuanya. Dengan modal cinta dan percaya, kami berjuang untuk mempersatukan cinta kami di antara Corona, apapun harga yang harus kami bayar nantinya.
Aku melihatnya dari jauh. Tentu dapat kukenali dengan baik postur tubuh lelakiku, meski wajahnya ditutupi masker. Rambutnya yang berwarna blonde dan dipotong pendek. Postur tubuhnya yang hanya 173 cm tegap dan kekar.
Aku berjalan lebih cepat dan setengah berlari menghampirinya, dia melakukan hal yang sama. Jika ada adegan slow motion di film-film itu, inilah saatnya. Serasa kabur pandangan terhadap lainnya, mata hanya tertuju padanya.
Kami berhamburan satu sama lain, berpelukan erat, melepas masker dan mencium satu sama lain. Mengabaikan berpasang-pasang mata yang memandang. Larut dalam pelukan di antara mata kami sendiri yang berkaca-kaca. Tumpah segala emosi yang telah lama kami pendam bersama.
Terima kasih Turki telah mempertemukan kami. Berbaik hatilah pada kami, bisikku pada semesta. Saat ini aku tahu, semesta memilih tanah ini untuk kisah kami berikutnya. Telah kukejar cintaku ke Turki untuk menjemput kisah-kisah indah lainnya.
Telah kusiapkan diri dengan petualangan yang baru. Akulah Vashla, perempuan yang tahu apa yang aku mau. Perempuan yang meletakkan hati dalam mencintai dan mempercayai mimpi-mimpi dari surat-surat yang kukirimkan pada semesta. Bantu aku merawat cinta kami di Tanah Turki ini, bisikku lagi pada semesta.
"Kita mau jalan pulang sekarang?" Luky bertanya setelah emosi kami sedikit mereda.
"Yuk, pengen istirahat juga dan mandi. Bau banget badanku" kataku sambil mencium aroma ketekku sendiri.
"Coba sini kucium!" Luky mencium ketekku dan juga leherku.
"Nggak bau sama sekali. Kamu wangi dan masih memiliki aroma tubuh yang sama, aroma yang takkan pernah kulupa" katanya sambil tersenyum.
"Ah gombal, kamu begitu, kalau pun aku bau nggak mau bilang" kataku lagi.
Kami berjalan keluar bandara menuju area bus. Luky menggeret koperku dan aku membawa tas punggung biru, tas yang selama ini sudah menemaniku traveling ke mana-mana. Sampai tiba-tiba aku ingat sesuatu.
“Tasku!” aku setengah berteriak.
“Tas yang mana?” tanya Luky yang juga ikut menghentikan langkahnya karena aku juga berhenti.
“Tas selempangku tertinggal di dalam bandara. Aku membawa 3 tas, dan hanya 2 tas yang kuambil saat keluar” jawabku panik.
“Pasti nggak hilang, balik aja lagi, yuk!” Luky tidak panik sama sekali.
Aku memang gampang panik. Tas yang tertinggal adalah satu-satunya tas branded yang kupunya, merupakan hasil tabunganku sendiri saat aku bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta. Tas yang paling kucintai dan kubeli dengan jerih payah.
Jarang beli barang branded, sekalinya beli memang benar-benar barang yang kubutuhkan dan kuinginkan. Tas selempang tersebut harus kumasukkan ke bagasi karena ada peraturan baru terbang selama Corona. Penumpang hanya boleh membawa masuk ke kabin satu tas saja, sementara tas lainnya harus dimasukkan ke bagasi pesawat.
Aku yang biasanya menentang dua tas di kabin pesawat sempat kecewa dengan peraturan ini. Tetapi lebih kecewa dengan diri sendiri kenapa tidak membaca aturan penerbangan lebih teliti sebelum terbang.
Aku harus merelakan tas selempangku masuk bagasi pesawat, meski aku sangat menyayanginya karena laptop dan peralatan elektronikku lainnya tidak akan muat dalam tas itu. Tas punggung yang mampu menampung semuanya yang artinya harus kurelakan tas selempang itu untuk dimasukkan ke bagasi.
Setelah membayar jasa wrapping tas di bandara yang menutupi seluruh tasku dengan plastik berlapis dan hatiku sedikit tenang sambil berdoa semoga tasnya terjaga dari lecet dan sebagainya, aku melihat tasku digerakkan di atas conveyor belt setelah proses check in. Bagaimana bisa aku melupakan tas kesayanganku itu.
Kami berjalan cepat, kembali ke tempat di mana aku keluar bandara tadi dan bertemu petugas bandara di sana. Petugas memberi tahu, hanya aku yang boleh masuk, sementara Luky harus menunggu di luar. Hal ini karena hanya aku yang memegang tiket.
Aku berlari menuju lift dan menuruni lift ke lantai dasar, kemudian mencari pintu yang telah ditunjuk oleh petugas. Lalu mencari meja informasi dan memberitahu mereka kalau aku lupa mengambil tasku pada saat pengambilan bagasi.
Mereka menyuruhku menunggu, seseorang akan mengantarkannya padaku di sini. Menunggu, kata-kata yang sangat tidak kusukai saat ini. Karena aku telah menunggu lama untuk dapat bertemu dengan Luky.
Aku baru saja merasakan hangat pelukannya dan sentuhan tangannya. Aku baru memilikinya beberapa menit yang lalu, dan kini, aku merasa seperti terjebak kembali di dalam bandara yang dihalangi dinding dan pintu kaca untuk dapat bertemu dengan lelakiku yang menungguku di luar sana.
Aku masih menunggu, sampai 30 menit kemudian aku mendapatkan tasku kembali. Tak sedikit pun kubuang waktuku, segera berlari menemui Luky dan berhambur ke pelukannya. Jangan, jangan suruh aku menunggu lebih lama untuk dapat memeluknya dan menyentuhnya. Jangan lagi ada drama menunggu ini, please, bisikku pada diriku sendiri.
Bus bergerak meninggalkan bandara menuju pusat kota Istanbul. Kami duduk di barisan bangku belakang dan saling menggenggam tangan. Aku bersandar di bahu Luky dengan kondisi hati yang berbunga.
Mimpi ini menjadi nyata, dia yang kucinta dapat kumiliki kembali sepenuhnya. Biasanya hanya dapat kuraba lewat layar semata, semenjak kami terpisahkan oleh Corona. Kini, mendekapnya dengan erat dan kucium ia berkali-kali saat bus sedang melaju kencang.
Ia membalas ciumanku dan tak berhenti membelai rambutku, mencium keningku, bibirku dan memainkan tanganku dengan manja. Dekapannya yang erat dan nafasnya yang berat, dapat kudengar saat jantungnya terus berdetak. Aku ingin terus didekapnya seperti ini.
“Terima kasih sudah terbang ke Turki” kata Luky tanpa melepaskanku di dekapannya.
“Terima kasih juga sudah terbang ke Turki” balasku.
“Aku benar-benar berterima kasih, tidak banyak perempuan mau melakukan apa yang kamu lakukan. Terbang separuh benua demi bersama demi lelaki yang kamu cintai. Terima kasih telah mempercayaiku dan memilih hidup bersamaku. I love you Vashla” katanya lagi.
“I love you too” balasku.
Memang, bagi kami berdua mengambil keputusan ini telah membuat kami terharu berkali-kali. Begitu banyak kepercayaan yang kami pertaruhkan dalam hubungan kami. Begitu banyak harapan yang kami genggam bersama dalam pertualangan cinta ini.
Turki, aku akan melukis kisah indah baru dengan Luky. Aku pernah punya kisah cinta sebelumnya di tanah ini. Kisah cinta yang pernah kujalani di sini jauh sebelum aku mengenal Luky.
Masih dapat kuingat, itu adalah malam di musim dingin di Bursa. Kota yang merupakan ibukota pertama pada masa kejayaan Dinasti Ustmaniyyah di sekitar tahun 1335 sampai 1413.
Masih ada sejarah dan tower peninggalan kerajaan di sana serta masjid-mesjid yang dibangun para sulthan. Kota yang juga ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya oleh UNESCO ini, di sanalah aku pernah jatuh cinta pada lelaki Turki dalam sebuah konferensi yang kuikuti, namanya Yisa. Masih kuingat saat ia menyatakan cintanya padaku di area Uladag University, saat kami sedang berjalan-jalan di malam hari.
“Vashla, I like you!” kata Yisa malam itu. Ia setengah berteriak padaku saat kami sedang berada di lapangan dekat kampus, di bawah patung Ataturk dan lampu yang menyoroti seluruh sudut lapangan. Aku berdiri di ujung lapangan yang berbeda.
“I like you too, kita teman, tentu saja menyukai satu sama lain” kataku waktu itu.
“What? bukan itu yang kumaksud. Aku menyukaimu bukan sebagai teman, tapi sebagai seorang perempuan yang ingin kujadikan kekasih".
Aku gagap seketika. Karena aku sedang sangat menikmati pertemanan kami yang baru berusia beberapa hari. Tanpa menunggu jawabanku, ia berjalan ke arahku dan kemudian mencium bibirku dengan mesra.
Aku menikmatinya dan sejak saat itu memberi ruang pada hubungan kami berdua. Meski setelah konferensi selesai, aku yang extend di Turki waktu itu, menggunakan sebagian waktuku untuk bersamanya menjelajah Kota Bursa dan Istanbul.
Ah Yisa, kenapa pula harus kuingat kenangan lama ini. Kita sudah mengakhiri hubungan ini sejak lama. Bagaimana pun, tetap menyimpan rasa penasaran, apa kabar ia sekarang. Vashla, jangan gila, aku berbicara pada diriku sendiri.
Boleh mengingat kenangan-kenangan bersama mantan, tetapi ingat satu hal, cintamu ada di sini, di sebelahmu saat ini. Iya, benar, cinta yang kupilih, cinta yang menjadi mimpiku ada di sini bersamaku.
Ia yang menggenggam tanganku dengan erat, memberikan sandaran bahunya untukku saat ini. Aku memiliki pacar impian dari tanah Eropa seperti yang selama ini selalu kuinginkan. Bukan, bukan lagi pacar, tetapi tunanganku.
“Lapar nggak?” Luky bertanya saat kami sudah separuh perjalanan, langsung membuyarkan kenangan yang sempat hinggap di kepalaku.
“Banget” jawabku manja.
“Oke, setelah kita tarok koper, kita pergi makan ya. Kita tinggal di area Taksim yang banyak café dan restauran di sekitarnya. Kamu mau makan apa?” ia bertanya.
“Duh, nasi bisa nggak? Haha” aku tertawa. Luky tergelak mendengarnya.
“Haha sudah bisa kutebak. Bisalah, kan Turki punya nasi yang enak dan juga masakan-masakannya banyak yang lezat” katanya lagi. Hatiku Bahagia membayangkan makanan.
Kami tiba di apartement yang mungil. Luky benar, ketika ia bilang bahwa apartement kami sangat strategis. Berada di pusat sibuknya area Taksim dan juga dekat dengan transportasi publik ke mana-mana. Bisa memilih dengan mudah untuk transportasi jenis Tram, Ferry, Bus, bahkan taxi online sekalipun, semuanya mudah didapatkan.
Aku tinggal di Jakarta persis seperti ini, penuh keramaian, area mall dan gedung tinggi, dekat dengan stasiun kereta, terminal, akses Trans Jakarta dan transportasi lainnya.
Apartemen kami berada di bangunan tua, di sebelah kiri apartemen dapat kulihat beberapa bagiannya keropos. Beberapa meter dari apartemen kami ada hotel dan juga bar. Di depannya penuh sesak dengan bangunan lainnya.
Bangunan-bangunan tembok tua khas Turki yang terdiri sekitar lima sampai 6 lantai dan dihuni oleh para penduduk di area Taksim ini. Lurus dari jendela kami, Menara masjid yang berwarna hijau menjulang tinggi. Syukurnya kami tinggal di lantai 3, yang membuat kami dapat melihat langit masih dengan bebasnya.
Ada satu kamar tidur, satu kamar mandi, ruang dapur dan ruang tamu tempat bersantai. Sofa mungil berwarna hitam dan TV yang besar. Meski mungil, aku menyukainya. Rapi, bersih dan terlihat semuanya dirawat dengan baik.
Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai area sekitarnya yang terlihat sedikit kotor dan terlalu berisik dengan orang-orang yang berteriak saat berbicara lintas lantai atau di jalan-jalan di depan gang kami. Well, sesungguhnya Jakarta juga sebising ini, hanya karena aku tinggal di lantai 17 tidak terlalu terdengar kebisingannya.
Kami memutuskan untuk segera mencari makan setelah meletakkan barang-barang kami. Ada restoran Turki yang modelnya mirip warung makan Padang. Di mana kita bisa memilih menunya dengan memberitahu penjualnya, lalu pelayan akan datang mengantarkan berbagai makanan pesanan ke meja makan yang sudah dimasukkan ke dalam piring kecil dan piring besar.
Aku memesan nasi, ayam goreng, kacang-kacangan yang dimasak dengan bumbu Turki. Kami menyantap makanan sambil mengobrol dan memperhatikan orang-orang yang lalu Lalang melalui kaca restoran. Makanannya sungguh nikmat, se-nikmat aku memandang wajahnya Luky di depanku saat ini.
Tak lama setelah makan, kami memutuskan berjalan-jalan di Taksim Square. Banyak orang berkumpul di sana, hal ini juga karena pusat makanan, jajanan, souvenir dan berbagai pusat perbelanjaan ada di sekitar sini. Termasuk jalan Istiklal yang ramai dan terkenal.
Kami duduk di anak tangga yang biasanya diduduki oleh banyak pengunjung lainnya. Ada yang bersama pasangannya, keluarga atau bergerombolan bersama groupnya.
Sebagian orang menggunakan masker, sebagian lainnya hanya memakai masker di tangannya buat berjaga-jaga, hanya mengenakan masker ketika melihat polisi atau disuruh oleh polisi. Turki termasuk negara yang abai pada kondisi Corona.
Meskipun ada peraturan wajib memakai masker seperti di Indonesia, tetapi mayoritas masyarakat di area publik tidak mengenakannya. Kondisi sedang Corona, di sini tetap ramai dengan para pedagang dan orang-orang yang berlalu lalang.
Aku bangun pagi dengan linglung karena kelelahan yang tiada tara. Bukan hanya karena perjalanan terbang ke Turki, namun juga kelelahan akibat aktivitasku beberapa hari sebelum terbang ke sini.
Ditambah kondisi hati yang penuh emosi melewati berbagai proses penerbangan dan imigrasi. Saat kubuka jendela, dapat kudengar hiruk pikuk orang-orang berbicara di luar apartemen kami. Aku menjulurkan kepala ke bawah melalui jendela kaca kami, orang-orang sibuk dengan berbagai aktivitas. Luky, tidak di sisiku, oh ke mana dia.
“Good morning my princess” katanya sambil berjalan ke arahku yang masih di tempat tidur.
“Good morning” balasku sambil tersenyum.
Luky menciumi wajahku dan memelukku. Ciuman dan sentuhan yang begitu kurindukan selama kita berpisah. Dapat kurasakan semua kenangan di Estonia itu kini telah kembali pada kami. Ciuman di pagi hari saat aku baru bangun, peluk erat yang selalu ia berikan. Aku penuh dengan cinta darinya dan bahagia menerima semua cinta ini kembali.
“Mau kubuatkan kopi?” ia bertanya sambil tak beranjak dari sisiku.
“Mau” jawabku cepat.
“Oke, kopi susu?” tanyanya lagi dan dibalas anggukanku.
Kami sempat belanja untuk keperluan sehari-hari kemarin. Karena lebih suka memasak makanan kami sendiri, jadi saat ini kulkas kami penuh dengan sayur-sayuran. Tak lupa teh dan kopi yang kami belanjakan dan sudah menjadi kebiasaan kami minum kopi di pagi hari.
Aku jadi ingat sesuatu, karena Luky sering membuatkanku kopi. Ia tak jarang juga memasak, mencuci baju dan membersihkan rumah. Di tempat aku berasal, ini semua adalah pekerjaan perempuan yang dimulai dari mengurus rumah dan melayani lelaki.
Membuatkan kopi atau teh dan menyuguhkannya pada sang suami atau lelaki dalam keluarga, jarang lelaki memperlakukan perempuan dengan cara yang sama. Itu juga menjadi salah satu alasan kenapa memilih Luky, karena ia melihat peran kami yang equal dalam memperlakukan satu sama lain.
Kami menikmati kopi dengan mengamati pemandangan dari jendela living room kami. Tak banyak yang bisa dilihat, perumahan, jalanan yang berkelok dan menara masjid yang menjulang. Kami saling menggenggam tangan dan masih belum percaya rasanya setelah berpisah selama 7 bulan, akhirnya ada kesempatan bertemu.
“Mentorku bilang, sebelum menikah untuk mengajakmu berpetualang. Mungkin kita bisa traveling ke tempat-tempat di dekat sini dan kemudian melakukan sesuatu yang seru selama beberapa hari” aku mengusulkan ide ini ke Luky.
“Mentormu Bg Zeyn?” tanyanya.
“Iya”.
“Gimana katanya?”
“Pergilah berpetualang dengan lelaki yang akan kau nikahi, sampai kalian berada di titik kritis perjalanan. Pada saat itu, kau akan melihat kebenaran-kebenaran dari lelaki yang kau pilih untuk hidup bersamamu nanti” itu yang dikatakannya.
“Ide yang bagus, aku suka” dia menyambut ide ini dengan gembira. Mataku berbinar bahagia.
“Tapi mungkin beberapa hari ini, kita jalan-jalan dekat sini aja dulu. Minggu depan aja kali ya berpetualangnya?” Ide Luky kusambut dengan baik. Karena aku juga masih ingin adaptasi dengan kehidupan baru kami ini di Istanbul, pun badanku yang masih lelah.
Meskipun kami sudah pernah tinggal di Estonia bersama sebelumnya, namun rasanya sekarang berbeda. Pada saat itu kami tinggal bersama sebagai sahabat yang kemudian jatuh cinta dan memutuskan membina hubungan sebagai sepasang kekasih. Kalau sekarang, kami tinggal bersama sebagai tunangan yang akan mempersiapkan pernikahan dan memulai hidup baru sebagai suami istri.
Kami menyepakati hari ini akan mengeksplore area Taksim yang sibuk ini. Area yang dibangun oleh Sultan Mehmet I ini juga disebut Taksim Meydani dalam Bahasa Turki yang berarti Square dalam Bahasa Inggrisnya.
Kami menembus ramainya jalanan Isktiklal yang sangat terkenal di Istanbul. Jalanan yang dilalui sekitar 3 juta orang setiap harinya sebelum pandemi. Jalanan ini langsung menjadi jalanan favoritku. Menariknya, meski pun ini bukan kali pertama aku datang ke Turki, namun ini merupakan pengalaman pertamaku menyusuri jalanan Istiklal di dekat Taksim Square.
Jalanan yang benar-benar sibuk. Kami tiba di Turki di musim Autum, jadi masih merasakan suasana panasnya kota ini meski akan segera memasuki musim dingin. Aku jatuh cinta pada jalanan Istiklal karena aku suka keramaian. Apalagi berkeliling melihat berbagai souvenir khas Turki yang dijajakan di sepanjang jalanan ini. Aku membeli beberapa hiasan kecil, gelang-gelang, anting, dan cincin. Luky memilihkanku sebuah gelang yang berwarna emas bercampur batu-batu hijau. Aku bahagia menerimanya.
“Thank you” aku mencium pipi Luky saat ia memasangkan gelang itu di tanganku.
“My pleasure, my Vashla” ia mencium tanganku usai memasangkan gelangnya.
Kami lanjut menyusuri jalanan Istiklal. Hari masih panjang, lalu memutuskan untuk berjalan menuju Galata Bridge yang juga terkenal di Turki. Kami setuju untuk tidak mengambil transportasi, tetapi memang ingin berjalan kaki sambil menikmati indahnya kota Istanbul ini.
Di perjalanan, kami kembali berhenti karena ingin menikmati roti Turki. Borek, salah satu roti tertua di Turki yang begitu lembut dan menggugah selera. Roti ini berisi daging dan keju yang gurih, ada juga yang berisi sayuran.
Roti Borek ini juga dikenal dengan sebutan roti dari malaikat Jibril. Hal ini dikarenakan rasanya yang lezat yang dianggap jarang ada yang bisa menyainginya. Roti yang paling banyak dijumpai atau dijual di toko-toko di Turki. Roti yang juga merupakan makanan special saat berbuka puasa di Bulan Ramadhan.
Sebagai salah satu roti warisan dari Kerajaan Ottoman, Borek ini memang memiliki keistimewaan, salah satunya bentuknya yang dibikin berlapis-lapis dan begitu lembut saat menyentuh lidah kita.
Aku dan Luky memilih beberapa rasa, keju, daging dan bayam. Kami berdua duduk di depan toko, menikmati Borek sambal meminum Cai atau Teh Turki. Usai menikmati Borek dan Cai, kami melanjutkan petualangan kami di kota ini. Tujuannya adalah Galata Bridge dan Galata Tower.
“Kamu tau nggak kalau jembatan Galata ini dibangun oleh orang Jerman?” tanya Luky saat kami mendekati jembatan.
“Oh ya? Aku nggak tau loh” jawabku.
“Iya, jembatan ini dibangun oleh arsitek dari Jerman, Namanya Fritz Leonhardt, dia adalah arsitek yang ditunjuk oleh Sultan waktu itu” Jelas Luky.
“Oh begitu. Nanti aku baca lagi deh”.
Kami melihat banyak pasangan berfoto-foto di jembatan ini dan di sekitarnya. Kami hanya singgah sebentar dan kemudian melanjutkan perjalanan kami ke Galata Tower.
Aku mengeluh karena Lelah berjalan dan memakai sepatu yang tidak terlalu nyaman untuk berjalan jauh. Hal ini karena aku memakai sepatu yang salah, padahal punya sepatu lainnya yang biasa kupakai berolahraga. Luky menyemangatiku, dan dengan Langkah yang pelan-pelan akhirnya kami tiba di Galata Tower.
Banyak turis mengelilingi Tower ini. Orang- orang berdesak-desakan ingin berfoto di sini. Meski ini suasana pandemi, namun ternyata memang tidak menyurutkan semangat orang-orang untuk tetap berkumpul dan mengambil foto di sini. Mungkin karena ini Turki, jarang orang pakai masker dan aktivitas berlangsung seperti biasanya di tengah kondisi Corona.
Pada saat penakhlukkan Bizantium dulu, Galata Tower difungsikan untuk penjara oleh Kerajaan Usmani. Namun setelah kerajaan Usmani runtuh, tower ini dijadikan area wisata yang dapat dikunjungi oleh publik. Sayangnya, pada saat kami datang, ada peraturan yang diberlakukan untuk tak dapat masuk ke dalam dan naik ke atas tower. Peraturan ini berlaku selama Covid 19 menghantam berbagai negara di dunia.
Sebagaimana kebanyakan turis lainnya, kami hanya menikmatinya dari luar dan meminta 2 orang gadis yang sedang berfoto untuk mengambil foto kami. Mereka dengan senang hati melakukannya.
Kami menutup sore hari dengan menikmati Es Krim Turki, sambil duduk di area terbuka dan memandang sunset, lalu kembali ke Taksim area yang sibuk untuk makan malam. Hari yang indah untuk memulai kehidupan kami yang baru di Turki.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!