Bab 2 Kenangan Tentang Turki

Bus bergerak meninggalkan bandara menuju pusat kota Istanbul. Kami duduk di barisan bangku belakang dan saling menggenggam tangan. Aku bersandar di bahu Luky dengan kondisi hati yang berbunga.

Mimpi ini menjadi nyata, dia yang kucinta dapat kumiliki kembali sepenuhnya. Biasanya hanya dapat kuraba lewat layar semata, semenjak kami terpisahkan oleh Corona. Kini, mendekapnya dengan erat dan kucium ia berkali-kali saat bus sedang melaju kencang.

Ia membalas ciumanku dan tak berhenti membelai rambutku, mencium keningku, bibirku dan memainkan tanganku dengan manja. Dekapannya yang erat dan nafasnya yang berat, dapat kudengar saat jantungnya terus berdetak. Aku ingin terus didekapnya seperti ini.

“Terima kasih sudah terbang ke Turki” kata Luky tanpa melepaskanku di dekapannya.

“Terima kasih juga sudah terbang ke Turki” balasku.

“Aku benar-benar berterima kasih, tidak banyak perempuan mau melakukan apa yang kamu lakukan. Terbang separuh benua demi bersama demi lelaki yang kamu cintai. Terima kasih telah mempercayaiku dan memilih hidup bersamaku. I love you Vashla” katanya lagi.

“I love you too” balasku.

Memang, bagi kami berdua mengambil keputusan ini telah membuat kami terharu berkali-kali. Begitu banyak kepercayaan yang kami pertaruhkan dalam hubungan kami. Begitu banyak harapan yang kami genggam bersama dalam pertualangan cinta ini.

Turki, aku akan melukis kisah indah baru dengan Luky. Aku pernah punya kisah cinta sebelumnya di tanah ini. Kisah cinta yang pernah kujalani di sini jauh sebelum aku mengenal Luky.

Masih dapat kuingat, itu adalah malam di musim dingin di Bursa. Kota yang merupakan ibukota pertama pada masa kejayaan Dinasti Ustmaniyyah di sekitar tahun 1335 sampai 1413.

Masih ada sejarah dan tower peninggalan kerajaan di sana serta masjid-mesjid yang dibangun para sulthan. Kota yang juga ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya oleh UNESCO ini, di sanalah aku pernah jatuh cinta pada lelaki Turki dalam sebuah konferensi yang kuikuti, namanya Yisa. Masih kuingat saat ia menyatakan cintanya padaku di area Uladag University, saat kami sedang berjalan-jalan di malam hari.

“Vashla, I like you!” kata Yisa malam itu. Ia setengah berteriak padaku saat kami sedang berada di lapangan dekat kampus, di bawah patung Ataturk dan lampu yang menyoroti seluruh sudut lapangan. Aku berdiri di ujung lapangan yang berbeda.

“I like you too, kita teman, tentu saja menyukai satu sama lain” kataku waktu itu.

“What? bukan itu yang kumaksud. Aku menyukaimu bukan sebagai teman, tapi sebagai seorang perempuan yang ingin kujadikan kekasih".

Aku gagap seketika. Karena aku sedang sangat menikmati pertemanan kami yang baru berusia beberapa hari. Tanpa menunggu jawabanku, ia berjalan ke arahku dan kemudian mencium bibirku dengan mesra.

Aku menikmatinya dan sejak saat itu memberi ruang pada hubungan kami berdua. Meski setelah konferensi selesai, aku yang extend di Turki waktu itu, menggunakan sebagian waktuku untuk bersamanya menjelajah Kota Bursa dan Istanbul.

Ah Yisa, kenapa pula harus kuingat kenangan lama ini. Kita sudah mengakhiri hubungan ini sejak lama. Bagaimana pun, tetap menyimpan rasa penasaran, apa kabar ia sekarang. Vashla, jangan gila, aku berbicara pada diriku sendiri.

Boleh mengingat kenangan-kenangan bersama mantan, tetapi ingat satu hal, cintamu ada di sini, di sebelahmu saat ini. Iya, benar, cinta yang kupilih, cinta yang menjadi mimpiku ada di sini bersamaku.

Ia yang menggenggam tanganku dengan erat, memberikan sandaran bahunya untukku saat ini. Aku memiliki pacar impian dari tanah Eropa seperti yang selama ini selalu kuinginkan. Bukan, bukan lagi pacar, tetapi tunanganku.

“Lapar nggak?” Luky bertanya saat kami sudah separuh perjalanan, langsung membuyarkan kenangan yang sempat hinggap di kepalaku.

“Banget” jawabku manja.

“Oke, setelah kita tarok koper, kita pergi makan ya. Kita tinggal di area Taksim yang banyak café dan restauran di sekitarnya. Kamu mau makan apa?” ia bertanya.

“Duh, nasi bisa nggak? Haha” aku tertawa. Luky tergelak mendengarnya.

“Haha sudah bisa kutebak. Bisalah, kan Turki punya nasi yang enak dan juga masakan-masakannya banyak yang lezat” katanya lagi. Hatiku Bahagia membayangkan makanan.

Kami tiba di apartement yang mungil. Luky benar, ketika ia bilang bahwa apartement kami sangat strategis. Berada di pusat sibuknya area Taksim dan juga dekat dengan transportasi publik ke mana-mana. Bisa memilih dengan mudah untuk transportasi jenis Tram, Ferry, Bus, bahkan taxi online sekalipun, semuanya mudah didapatkan.

Aku tinggal di Jakarta persis seperti ini, penuh keramaian, area mall dan gedung tinggi, dekat dengan stasiun kereta, terminal, akses Trans Jakarta dan transportasi lainnya.

Apartemen kami berada di bangunan tua, di sebelah kiri apartemen dapat kulihat beberapa bagiannya keropos. Beberapa meter dari apartemen kami ada hotel dan juga bar. Di depannya penuh sesak dengan bangunan lainnya.

Bangunan-bangunan tembok tua khas Turki yang terdiri sekitar lima sampai 6 lantai dan dihuni oleh para penduduk di area Taksim ini. Lurus dari jendela kami, Menara masjid yang berwarna hijau menjulang tinggi. Syukurnya kami tinggal di lantai 3, yang membuat kami dapat melihat langit masih dengan bebasnya.

Ada satu kamar tidur, satu kamar mandi, ruang dapur dan ruang tamu tempat bersantai. Sofa mungil berwarna hitam dan TV yang besar. Meski mungil, aku menyukainya. Rapi, bersih dan terlihat semuanya dirawat dengan baik.

Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai area sekitarnya yang terlihat sedikit kotor dan terlalu berisik dengan orang-orang yang berteriak saat berbicara lintas lantai atau di jalan-jalan di depan gang kami. Well, sesungguhnya Jakarta juga sebising ini, hanya karena aku tinggal di lantai 17 tidak terlalu terdengar kebisingannya.

Kami memutuskan untuk segera mencari makan setelah meletakkan barang-barang kami. Ada restoran Turki yang modelnya mirip warung makan Padang. Di mana kita bisa memilih menunya dengan memberitahu penjualnya, lalu pelayan akan datang mengantarkan berbagai makanan pesanan ke meja makan yang sudah dimasukkan ke dalam piring kecil dan piring besar.

Aku memesan nasi, ayam goreng, kacang-kacangan yang dimasak dengan bumbu Turki. Kami menyantap makanan sambil mengobrol dan memperhatikan orang-orang yang lalu Lalang melalui kaca restoran. Makanannya sungguh nikmat, se-nikmat aku memandang wajahnya Luky di depanku saat ini.

Tak lama setelah makan, kami memutuskan berjalan-jalan di Taksim Square. Banyak orang berkumpul di sana, hal ini juga karena pusat makanan, jajanan, souvenir dan berbagai pusat perbelanjaan ada di sekitar sini. Termasuk jalan Istiklal yang ramai dan terkenal.

Kami duduk di anak tangga yang biasanya diduduki oleh banyak pengunjung lainnya. Ada yang bersama pasangannya, keluarga atau bergerombolan bersama groupnya.

Sebagian orang menggunakan masker, sebagian lainnya hanya memakai masker di tangannya buat berjaga-jaga, hanya mengenakan masker ketika melihat polisi atau disuruh oleh polisi. Turki termasuk negara yang abai pada kondisi Corona.

Meskipun ada peraturan wajib memakai masker seperti di Indonesia, tetapi mayoritas masyarakat di area publik tidak mengenakannya. Kondisi sedang Corona, di sini tetap ramai dengan para pedagang dan orang-orang yang berlalu lalang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!