Pagi itu, Winda mengintip dari balik gorden jendela rumahnya, bagaimana Ibu-ibu kompleks sedang membicarakan dirinya. Winda menghela napas panjang kala mendengar salah satu dari empat ibu-ibu, yang sedang berbelanja di tukang sayur menyebutnya sebagai wanita simpanannya.
"Heran deh, sama Si Winda, mau-maunya dia jadi istri simpanan."
Winda mengusap perut buncitnya, saat mendengar suara cemoohan yang menyalahkan dirinya.
"Iya Jeng, bener banget. Kaya nggak ada laki-laki lain aja!" Timpal ibu lainnya membenarkan. Dan langsung, mendapat anggukan kepala bersamaan oleh yang lain.
"Jangan su'udzon dulu, Ibu-ibu." Kata Abang penjual sayur tidak sependapat.
"Halah! Mana mungkin! Kalau benar suaminya, kenapa coba, datang tengah malam, pulang subuh? Udah kaya maling aja!" Sahut salah satu ibu yang memakai daster dengan dua gulang roll di rambut bagian depan.
"Siapa tahu, suami mbak Winda memang orang sibuk." Imbuh penjual sayur membela Winda.
Ibu yang paling muda mengangguk. "Bener juga sih Bu, mungkin suami Winda Bos besar."
"Kamu percaya?" Mata ibu ber roll rambut melotot. Membuat ibu, yang paling muda di antara mereka berempat tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepala takut.
"Sesibuk-sibuknya orang, nggak mungkin kan pulang kerumah sendiri tiap tengah malam? Terus pagi-pagi pergi lagi." Alis ibu ber roll rambut, bertaut. "Apa coba namanya kalau bukan maling?" Kata ibu ber roll rambut, meminta jawaban dari teman-temannya.
Sementara yang lainnya hanya mengangguk-angguk lemah mencerna ucapan ibu ber roll rambut.
"Mama, tetap akan diam saja melihat semua itu?" Seloroh Zara yang saat itu berdiri di belakang Winda. Ikut menyaksikan bagaimana Ibu-ibu kompleks membicarakan ibunya.
Winda menutup kembali gorden jendela, lalu berbalik menghadap Zara, dengan seulas senyum di bibirnya. Berusaha menutupi kesedihan di wajahnya, meski Zara tetap bisa melihat kesedihan di wajah ibunya.
"Biarkan saja, suatu saat mereka juga akan lelah dan berhenti sendiri."
"Sampai kapan? Aku malu Ma!" Zara melipat kedua tangannya di depan dada, yang sudah bergerak naik turun menahan emosi.
"Maaf kan Mama, sayang. Saat ini Mama tidak bisa Berbuat apa-apa." Winda mengusap pipi Zara, lembut. Sementara matanya berubah pias penuh keputus asaan.
"Kenapa sih, Mama nggak datengin mereka aja, terus labrak. Biar mereka diam!" ucap Zara dengan nada penuh emosional.
"Sudah, biarkan saja. Mama nggak mau ribut." Winda menenangkan putrinya agar tidak semakin terpancing emosi.
"Heran aja, mau-maunya Mama nikah sama Om Detta. Jadi yang kedua pula." Zara melirik sinis pada ibunya. Menunjukkan ketidak sukaan pada keputusan sang ibu.
Sementara Winda, hanya tersenyum menanggapi gerutuan Zara yang memusatkan semua kesalahan padanya. Sebab ia paham dengan resiko dari keputusannya menikah dengan Detta.
Terkadang Winda merasa lelah dan ingin menyerah. Tetapi cinta dan kasih sayang Detta membuat Winda mengurungkan niatnya. Sejenak melupakan semua cemoohan yang menyudutkannya.
***
Pernikahan itu, telah di jalani Winda selama sepuluh bulan lamanya. Kandungannya pun kini telah menginjak usia tujuh bulan. Kadang Winda merasa bosan berdiam diri di rumah. apalagi jika setiap pagi harus mendengarkan suara ibu-ibu kompleks yang membicarakan dirinya.
Sejak usia kandungannya memasuki bulan kelima, Detta meminta Winda berhenti bekerja di kantor. Detta meminta Winda beristirahat di rumah dan menjaga baik-baik kandungannya.
Di sisi lain, keadaan di lingkungan kantor sudah tidak nyaman lagi bagi Winda. Jika Winda tetap memaksa bekerja, Detta khawatir akan berpengaruh pada kesehatan Winda dan bayi yang sedang di kandungannya.
Selama itu pula Winda, harus berbesar hati Mendengarkan kata-kata kasar dan makian yang menyalahkan dirinya.
Namun, Winda membiarkan itu semua. Baginya selama mereka tidak mengganggu ketenangan keluarganya itu sudah cukup. Terlepas dari cemoohan tentang dirinya ia bisa berpura-pura abai dan tidak mendengar.
Malam itu, Detta menghubungi Winda,. Mengatakan, jika tidak akan pulang ke rumah Winda, dalam beberapa hari. Winda, sangat kecewa, namun tidak ada yang bisa dilakukan lagi selain hanya mengiyakan dan menunggu, entah kapan Detta akan pulang kembali.
Apalagi, dalam kondisi Winda saat ini, yang sangat membutuhkan Detta, sebagai kekuatan dalam mengahadapi semua kenyataan.
Tak lama, setelah Winda mengakhiri obrolannya bersama Detta melalui telepon, pintu rumah Winda di ketuk. Susah payah Winda bangkit dari duduknya, untuk membuka pintu. Sebab parut yang sudah membesar membuat ruang geraknya terbatas.
"Selamat malam, maaf saya mengganggu waktu istirahatnya." Kata seorang laki-laki paruh baya yang berdiri di depan pintu rumah Winda.
"Selamat malam, Pak, ada yang bisa saya bantu?" Winda balas menjawab dengan sopan pada laki-laki yang di ketahui seorang ketua RT, di kompleks nya.
"Iya, Mba, ada yang mau saya bicarakan," kata laki-laki itu lagi. Wajah terlihat ragu-ragu untuk mengatakannya.
"Mari, silahkan duduk," Winda mengarahkan laki-laki itu untuk duduk di kursi teras agar lebih nyaman untuk berbicara.
"Begini, saya ingin meluruskan ke salah paham warga."
Winda mengerutkan dahi, ia bingung dengan maksud ucapan ketua RT. "Salah paham yang bagaimana ya?"
"Tentang, laki-laki yang sering datang ke sini," kata ketua RT pelan. Ia sungkan dan merasa tidak enak hati. "Karena banyak yang mengatakan hal-hal tidak baik tentang Mba Winda. Jadi saya sebagai ketua RT, mewakili warga untuk meluruskan masalah ini." lanjut ketua RT, wajahnya mulai serius meski masih jelas terlihat keraguan.
"Lalu, apa masalahnya, Pak?" Winda bertanya agar ketua RT, mengatakan lebih detail dan tidak berbelit-belit.
"Terlepas benar atau tidak, saya ingin bertanya hubungan Mba Winda dengan beliau,"
"Laki-laki yang sering bapak lihat datang ke sini, itu memang benar suami saya." Winda tersenyum. "Dan malam ini, hingga beberapa malam kebelakang dia tidak akan pulang sebab ada urusan di luar kota." Lanjut Winda menjelaskan.
Sementara ketua RT itu, terlihat mengangguk-anggukan kepalanya mendengarkan.
"Hanya saja, banyak warga yang mengatakan bahwa Mba Winda sebagai wanita simpanan." Ketua RT berkata sangat pelan, takut jika Winda akan merasa tersinggung. "Menurut saya, kecurigaan warga wajar Mba, karena suami mbak Winda selalu datang di tengah malam." lanjut ketua RT masih dengan suara pelan.
Winda menghela napas panjang, yang ia khawatirkan benar terjadi. Namun, ia harus mencari alasan untuk menjelaskan pada ketua RT. "Mungkin, bagi bapak dan warga terlihat aneh, tapi suami saya benar orang sibuk pak,"
"Saya mengerti Mba, saya hanya ingin meluruskan saja. Sebelumnya mohon, boleh kah saya melihat dokumen pernikahan anda?"
Saat itu, Winda bagai sedang di hakimi. Sementara dokumen pernikahan ia sama sekali tidak memiliki. Keseriusan Detta sedang di pertanyakn di sana. terlepas dari akan di bawa kemana hubungan mereka, hanya Detta yang tahu jawabannya.
Kita tunggu papa Detta pulang dulu ya 🤗
...----------------...
Sambil menunggu papa Detta pulang, baca ini dulu yauk👇
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments