Bab 3. Bibit pelakor

Jatuh cinta yang kedua? Kedengarannya aneh, tapi itulah kenyataannya. Meski tahu itu milik orang lain, tapi keinginan untuk memiliki terlanjur menggebu. Tak peduli dengan perasaan seseorang yang telah lebih dulu memiliki. Terdengar egois memang, tapi ketahuilah setiap wanita hanya ingin mencintai dan di cintai. Kemudian menjadikan cinta itu satu-satu miliknya.

"Menikahlah denganku."

Winda terkejut saat Detta mengatakan itu. Tubuhnya mematung dengan mata membulat sempurna menatap Detta yang saat itu juga tengah menatapnya penuh arti.

"Apa yang bapak pikirkan?" tanya Winda, berpura-pura bodoh. Sangat tidak mungkin, wanita dewasa seperti dirinya tidak paham dengan arti dari dua kalimat Detta.

"Aku ingin kamu, menikah denganku."

Winda tersenyum miring. Lalu memalingkan wajah kesamping. Bagaimana mungkin, pria beristri mengatakan pernikahan dengan wanita single seperti dirinya.

"Aku serius," Detta menatap lekat mata Winda. Seolah meminta Winda mencari celah kebohongan di sana.

Winda menggeleng lemah. "Bagaimana dengan istri bapak? Apa dia akan diam saja dengan rencana bapak?"

"Iya." Winda menajamkan mata, seraya mengernyitkan dahi. "Selama dia tidak mengetahuinya." Lalu tertawa sumbang. Hingga ia harus menutup mulutnya menggunakan sebelah tangan. Sebab mulutnya terbuka lebar.

"Maksudnya, semacam pernikahan tersembunyi?" Masih dengan suara tawa Winda.

Detta mengangguk, ia berjanji memberikan perlindungan dan kehangatan untuk Winda. Sama seperti yang ia berikan pada istri dan anak-anaknya.

Namun, Winda tidak setuju begitu saja. Ia masih memastikan sejauh mana hubungan yang akan terjalin dengan Detta. Dengan cara memberikan sederet pertanyaan mengintimidasi yang langsung dijawab oleh Detta tanpa ragu.

"Aku akan membawa pernikahan kita ke meja hukum. Saat semua sudah terlihat baik-baik saja." kata Detta yakin.

Sebagai wanita yang sangat membutuhkan perlindungan, Winda tidak lagi bisa untuk mengatakan tidak. Entahlah, yang dia lakukan saat itu benar atau salah. Yang pasti ia hanya memposisikan diri sebagai wanita yang tidak berdaya. Kenapa harus menolak jika seseorang itu datang sendiri tan diminta.

***

Di sebuah mosholla, Winda dan Detta duduk berdampingan. Menghadap seorang ustadz yang siap menikahkan mereka mereka. Sementara di sisi kanan dan kiri ustadz, duduk dua orang laki-laki yang berperan sebagai saksi dari pernikahan.

Detta menjabat tangan sang ustadz. Mulutnya mulai terbuka mengatakan sederet kalimat keramat yang di ucapkan setiap kali pernikahan berlangsung.

Satu kalimat Sah. Mentuntun kedua tangan menengadah keatas. Meng amini setiap doa yang panjatkan untuk kebahagiaan pernikahan.ke duanya.

Selanjutnya Winda mencium punggung tangan Detta. Matanya sempat terpejam untuk memanjakan doa di dalam hati.

Sebelum pulang ke rumah, Detta sempat mengabadikan foto pernikahan mereka bersama dengan ustadz dan dua orang saksi. Lalu menjabat tangan sebagai ucapan terimakasih sebelum meninggal musholla.

"Apa kamu menyesal?" mata Detta merilik Winda sebentar lalu kembali fokus menatap jalanan. Saat itu mereka sudah berada di dalam mobil yang melaju membawa mereka pulang ke rumah.

"Bapak, belum berkenalan dengan putri saya." Winda tak menanggapi pertanyaan Detta. Justeru memberi Detta sebuah pernyataan. Yang mengharuskan Detta lebih mengenal siapa dirinya.

Detta mengangguk-anggukan kepala, bibir tersenyum tipis. "Aku yakin, dia pasti sekuat dirimu."

Mobil sudah berbelok dan masuk ke halaman rumah Winda. Siang itu, rumah masih tampak sepi. Bisa di pastikan Zara (nama anak Winda dari pernikahan sebelumnya), belum pulang dari sekolah.

"Apa tidak sebaiknya, kita kembali ke kantor saja," tawar Winda menginginkan. Sebab Detta memutuskan untuk menikah di saat jam bekerja.

Namun, Detta menggeleng. Bersama dengan pintu rumah yang terbuka. Mata Winda terbelalak ketika Zara, remaja usia tiga belas tahun itu, menatap marah padanya dari ambang pintu.

Mereka bertiga (Winda, Detta dan Zara), telah berada di dalam rumah. Duduk memutari meja dengan background Zara, yang melipat kedua tangan di depan dada. Sorot matanya mengisyaratkan ketidak sukaan pada orang baru yang datang bersama ibunya.

"Zara, perkenalkan ini Om Detta." Kata Winda hati-hati. "Mama baru nikah sama Om Detta. Jadi sekarang kamu boleh panggil papa sama Om Detta." Lalu menatap Zara. Takut jika Zara semakin murka.

Bibir Zara semakin, terkatup rapat. Napasnya terdengar semakin memburu. Persis seperti orang yang menahan marah.

"Zara, tahu kan, selama ini mama sendiri?" Winda berkata lembut. Berusaha memberi pengertian.

"Tahu!" Zara menyahut ketus, dan semakin memperlihatkan ketidak sukaan pada Detta. Dengan menatap benci pada Detta. "Selama ini, mama juga baik-baik saja kan?! Kenapa sekarang harus nikah lagi!" Wajah Zara berubah memerah. Sementara matanya sudah penuh dengan cairan air mata yang siap membanjir kedua pipi.

"Apa aku, nggak bisa jadi teman baik mama?" air mata Zara kini telah benar-benar jatuh. "Zara, nggak mau lihat Mama menangis lagi. Zara cuma ingin lihat Mama senyum." Zara menghapus air matanya kasar. "Tapi kenapa mama, nikah lagi kalau akhirnya mam akan menangis." Lalu masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu.

Winda menghela napas pasrah. Sulit menyembunyikan sesuatu dari Zara. Apa lagi usia Zara, sudah bisa memahami masalah orang dewasa. Sebagai seorang ibu, adalah tugasnya memberi penjelasan pada Zara.

Sementara Detta hanya diam menyaksikan. Bukannya ia tak mau tahu, tetap ia lebih ingin memberi ruang bagi Winda dan Zara.

***

Perjalanan hidup terus berlanjut. Walaupun Zara belum bisa menerima sepenuhnya kehadiran Detta, tetapi ia sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Detta di rumahnya.

Pagi sekali, tepatnya sebelum subuh. Detta berpamitan untuk pulang kerumah (Rumahnya bersama istri pertama) setelah dua hari bermalam di rumah Winda. Setelah dinyatakan hamil, Winda sering mengeluhkan pusing dan mual.

Detta tidak memberikan jadwal yang pasti, kapan ia akan tinggal dan kapan ia akan pergi. Yang pasti jatah bermalam di tempat Winda berjalan lancar hingga saat ini.

Winda bersandar di bingkai pintu, mengantar kepergian Detta. Setelah sempat sebelumnya, mencium kening Winda, Detta melajukan mobil meninggalkan halaman rumah Winda.

Perubahan setelah Winda menikah dengan Detta perlahan mulai dirasakan. Secara menteri, Winda sangat kecupan. Sebab Detta benar-benar bertanggung dalam pembiayaan hidup Winda bersama putri, dan janin yang sedang dikandungnya. Tidak hanya itu, Detta juga mendatangkan seorang ART dan scurity yang siap berjaga selama dua puluh empat jam di rumahnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 07.30 wib setelah kepulangan Detta. Winda bersiap untuk pergi ke kantor dengan diantar oleh seorang sopir yang ditugaskan Detta mengantar jemput Winda dan Zara kemanapun.

Sejak masuk di lobby kantor, kedatangan Winda sudah menjadi pusat perhatian. Namun, Winda tidak peduli dengan tatapan mengintimidasi dari rekan-rekannya.

Tatapan itu sudah menjadi teman akrab bagi Winda. Namun, kali ini Winda merasakan perbedaan dari tatapan yang ditujukan padanya. Tatapan itu, seolah mengatakan ketidak sukaan dan meremehkan dirinya.

Langkah Winda, perlahan melambat saat suara kasak-kusuk mulai terdengar. Winda menajamkan telinga demi mendengar sederet kalimat mencemooh untuk dirinya.

Dadanya pun mulai bergerak naik turun, menahan sesak. Mukanya perlahan memerah dan mata pun sudah mulai memanas. Namun ia masih setia berdiri di balik tiga wanita yang yang membicarakan dirinya.

"Gila, Si Winda. Setelah menggoda kepala dealer, sekarang Direktur juga di goda." kata salah satu wanita yang berdiri ditengah. Sementara dia wanita yang berasa di sisinya mengangguk setuju.

"Itu janda gantel, selaranya bukan main...." Wanita di sisi kanan menimpali.

"Dengar-dengar mereka juga sudah menikah." Wanita di tengah kembali menerangkan. Sementara wanita di sisi kiri hanya mengangguk-anggukan kepai menyimak.

"Pakai pelet apa tuh si Winda bisa langsung dinikahi sama direktur?" Wanita di sisi kanan kembali bertanya. "Istrinya direktur tahu nggak ya?"

"Jelas nggak lah! Kalau istri direktur sampai tahu, bisa habis tuh Winda." tangan wanita yang berada di tengah, terarah ke leher seperti sebuah pisau yang di sayatkan.

"Wah, wah nekat benar Winda. Mau cari mati dia." Kiini wanita di sebelah kiri ikut bersuara.

"Bibit pelakor sejati." ketiganya terkikik. Tak menyadari keberadaan Winda yang berdiri di belakangnya.

Perlahan namun pasti, kaki Winda melangkah mundur dan berlari masuk ke dalam ruangannya. Ia menangkup wajah yang telah basah oleh air mata menggunakan kedua tangan.

Apa kah dia sehina itu hingga semua orang menyapanya buruk?

Tunggu kelanjutannya ya...

...----------------...

Sambil menunggu yuk intip cerita keren ini👇

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!