Ucapan ketiga wanita itu, membuat kepala Winda pening. Bahkan, ia sampai tidak bisa melakukan pekerjaan apa pun, karena kepalanya terasa berdenyut saat digunakan di depan cahaya terang. Apa lagi, pekerjaannya di tuntut untuk selalu menghadap komputer.
Meski kondisi tubuh sedang tidak baik, Winda menolak saat Detta menawarkan untuk mengantarnya pulang. Ia tak ingin lagi mendengar suara-suara yang menjelekkan dirinya. Karena melihatnya bersama Detta.
Sudah cukup selama ini Winda membiarkan orang-orang mencemooh dirinya dengan status jandanya. Namun kali ini, ia tak lagi ingin mendengar namanya menjadi topik pembicaraan di kantor.
Jika saja bisa, Winda ingin sekali membungkam mulut-mulut lebar yang mengatai dirinya sebagai perebut suami orang. Namun, semua itu hanya sekedar angan Winda. Sebab pada kenyataannya, ia memang menantang dirinya sendiri dengan cara menikah dengan suami orang.
Winda tetap bertahan meski gunjingan dan tatapan tak suka kerap menyapanya. Semua itu ia lakukan demi janin yang di dapat di bulan ketiga pernikahannya dengan Detta.
"Sudah, pulang saja kalau masih pusing." Kata Detta melalui telepon, saat istirahat jam makan siang. Bahkan Winda juga menolak makanan yang dikirimkan oleh Detta. Hal itu lantas membuatnya Detta khawatir.
"Aku nggak pa-pa, istirahat sebentar juga baikan." Winda memijat pelipisnya. Matanya terpejam, sebab terasa sangat perih dan berat.
"Jangan memaksa. Kamu lagi hamil, harus banyak istirahat." Kata Detta masih dalam sambungan telepon. "Aku akan suruh sopir menjemputmu. Tunggu di rumah, aku akan segera pulang." Perintahnya tak terbantahkan lagi.
Winda menghela napas, saat Detta sudah mematikan sambungan teleponnya. Detta memang sangat keras kepala, tetapi perhatiannya selalu berhasil membuat Winda melayang. Dan merasa sangat di hargai sebagai seorang wanita.
Tiga puluh menit kemudian, telepon di meja ruangan Winda berdering. Seorang scurity mengatakan pada Winda, ada seseorang yang menunggu di parkiran.
Winda segera membereskan barangnya dan bersiap pulang. Dalam perjalanan menuju parkiran, cemoohan dan kalimat menyudutkan Winda sempat mampir di telinganya. Namun ia tak lagi mempedulikan. Sekeras apa pun ia mengelak, hasilnya tetap akan sama. Mereka tak akan berhenti untuk menyudutkannya dan malah akan semakin menertawakan dirinya jika ia menanggapinya.
"Langsung, ke rumah ya, Pak." Winda langsung masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah di bukakan oleh pak sopir.
Pak sopir mengangguk. "Baik Bu," lalu masuk kedalam mobil.
Sesampainya di rumah, Winda semakin di buat pusing, saat melihat meja ruang tamu penuh dengan buku dan sobekan kertas berserakan di mana-mana.
"Maaf Bu, belum saya bereskan." Seorang Asisten rumah tangga bernama Mira, berlari tergopoh-gopoh menghampiri Winda. "Baru bereskan, pecah gelas di kamar Mba Zara." Wajah Mira berubah sedih.
"Zara kenapa?" Mata Winda membelalak. Wajahnya mengisyaratkan kekhawatiran pada Zara.
"Kurang tahu Bu, pulang dari sekolah langsung ngamuk. Tasnya di lempar dan bukunya dilempar ke mana-mana juga disobek." Terang Mira, kepalanya menunduk takut.
"Sekarang, Zara di mana?"
"Di kamar Bu, lagi nangis." Mira menunjuk arah letak kamar Zara.
Winda berlari menuju kamar Zara, memastikan bahwa tidak terjadi apa-apa pada putrinya. Helaan napas panjang keluar dari mulut Winda saat melihat Zara, tengkurap di atas kasur. Tubuh Zara, bergunjang menandakan bahwa saat itu dia sedang menangis.
Winda masuk ke dalam kamar lalu duduk di sisi kasur yang paling dekat dengan Zara. Tangan Winda mengusap lembut rambut Zara. Winda tidak berkata apa pun, ia hanya ingin memberikan rasa nyaman pada Zara. Sebelum nanti meminta Zara, menceritakan apa yang terjadi padanya.
Waktu menunjukkan pukul empat sore, namun tidak ada tanda-tanda Zara keluar dari kamarnya. Winda kembali melihat Zara, di dalam kamar. Posisi Zara masih tengkurap, persis seperti saat Winda masuk tadi siang. Tapi, tubuh lebih tenang dan napasnya teratur.
Winda tersenyum, saat melihat Zara, tengah tertidur. Bisa di pastikan, Zara terus menangis hingga tertidur.
Sementara itu, Detta yang baru saja masuk ke dalam rumah, langsung mencari Winda di dalam kamar sebeb rumah sepi seperti di tinggalkan penghuninya.
Di dalam kamar,Detta juga tidak menemukan Winda. Kemudian, ia kembali keluar lalu berteriak memanggil Winda.
Merasa ada yang memanggil, Winda bangkit dan keluar dari kamar Zara. Winda langsung tersenyum, saat melihat Detta berada di depan kamarnya. "Sudah pulang?"
Detta berjalan mendekat pada Winda, lalu mengecup keningnya. "Dari mana saja? aku cari dari tadi."
Mata Winda, terpejam menikmati kecupan hangat dari Detta. "Dari kamar, Zara." Lalu tersenyum pada Detta.
"Kamu baik-baik saja kan?" Detta menatap Winda, lalu beralih menatap perut Winda. Wajahnya berkerut seperti orang yang sedang khawatir. "Aku dengar dari OB, kamu muntah-muntah."
Winda mengangguk. "Iya, tadi sempat muntah. Tapi sekarang sudah baikan kok." lalu tersenyum agar Detta tidak khawatir lagi.
"Ada hal penting yang mau aku bicarakan." Wajah Winda berubah seratus.
"Katakan."
"Sepertinya orang-orang kantor, sudah mengetahui hubungan kita," Winda menundukkan kepala. "Cepat atau lambat, kabar ini akan segera sampai pada Mesya," lalu menatap Detta. Matanya menggambarkan ke khawatiran. Winda takut jika kabar itu akan berpengaruh pada hubungannya dengan Detta. Ia tidak akan bisa berbuat apa-apa jika Mesya (istri Detta) tahu tentang hubungannya dengan Detta.
"Jadi?" Dahi Detta berkerut.
"Jika Mesya tahu hubungi kita, apa yang akan kamu lakukan." Wajah Winda berubah pias. Pandangan matanya kosong, seolah semua akan hancur saat Mesya mengetahuinya.
"Mesya tidak akan tahu. Kamu tidak usah khawatir. Kalau pun Mesya tahu, semua tetap akan sama. Aku akan tetap memperlakukanmu dan anak kita seperti yang aku lakukan pada Mesya." Ucap Detta menerangkan.
Sejenak, Winda merasakan ketenangan karena ucapan Detta. Tetapi ia tetap khawatir jika kabar itu sampai pada telinga Mesya. Bukan hanya dirinya, tetapi juga anak yang ada dalam kandungannya juga akan terkena imbas.
***
"Zara, sudah siang sayang. Ayo bangun, kamu nggak sekolah? Sudah dua hari kamu bolos sekolah." Winda mengusap lembut pipi putrinya, yang masih bergelung di bawah selimut. Ia sedikit khawatir sebab Zara, tertidur hingga pagi.
Zara, bergumam, sambil menarik selimut hingga menutup sempurna kepalanya. "Aku nggak mau sekolah!"
Winda menghela napas panjang. Lalu menurunkan selimut yang menutupi kepala Zara. "Ada apa sayang? Hampir ujian akhir lho. Kalau keseringan bolos, nilai kamu bisa jelek."
"Biarin, aku nggak peduli!" Zara menarik kembali selimut untuk menutupi kepalanya. Lalu berbalik membelakangi ibunya.
Pagi itu, setelah Winda tidak berhasil membujuk Zara untuk bangun, Winda memilih menyiapkan sarapan untuk Detta.
Semalam Detta sudah berpamitan untuk pulang ke rumahnya. Namun, urung sebab tiba-tiba Winda kembali muntah-muntah. Akhirnya, Detta memutuskan bermalam di rumah Winda dan beralasan pada Mesya pergi keluar kota.
"Zara, mana Win?" Meski hubungan Detta dan Zara tidak terlalu baik, Detta selalu tetap memberi perhatian pada Zara, seperti pada putrinya sendiri.
Hal itu bukan karena Detta, tetapi lebih pada sifat keras kepala Zara, yang belum bisa menerima Detta sebagai ayah sambungnya.
"Masih, tidur." Winda mengulurkan piring yang berisi nasi pada Detta.
"Tumben, memang nggak sekolah." Detta menyuapkan satu sendok penuh nasi berserta lauknya kedalam mulut.
"Aku juga nggak tahu, dia nggak mau sekolah." Winda menghela napas panjang lalu duduk menemani Detta di meja makan.
"Sakit?"
Winda menggeleng. "Enggak kok. Dia baik-baik saja. Aku juga nggak tahu, kenapa tiba-tiba begitu,"
"Itu karena Mama, bohong sama aku!" Zara berteriak dengan mata menatap marah pada Winda.
Saat itu, Zara tengah berdiri di ambang pintu dapur. Ia terbangun karena tenggorokannya terasa kering. Sedangkan, gelas air di kamarnya tidak ada karena telah ia pecahkan.
"Zara, kamu sudah bangun Nak?" Seketika Winda berdiri dan mendekat pada Zara. Tangan Winda terulur untuk mengusap pipi Zara, namun langsung di hempasan oleh Zara.
"Kenapa mama bohongi Zara?!" Zara berteriak dengan nada penuh emosional.
"Mama bohong apa sama Kamu?" Winda menatap Zara bingung.
"Kenapa mama nggak pernah bilang, kalau Mama cuma jadi istri simpanan!"
Tidak hanya Winda yang terkejut, tetapi Detta pun juga terkejut. Dan langsung berjalan mendekat ke arah Zara dan Winda.
"Mama tahu nggak? Semua teman-teman di sekolah pada ngomongin Mama. Mereka bilang, mama itu janda gantel." Wajah Zara, berubah merah padam. "Mereka juga bilang, mama itu pelakor!" Matanya pun berkaca-kaca. "Aku malu mah! Setiap hari jadi bahan olokan." Kemudian berlari masuk ke dalam kamar dengan air mata berderai.
...----------------...
baca juga cerita keren ini yuk 👇
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments