Napas Baru
Tabir surya perlahan terbuka. Hangat sinarnya perlahan mendeportasi dingin yang sejak semalam memeluk. Sisa embun yang merayapi jendela pun pelan-pelan undur diri. Tirai abu-abu yang sepenuhnya menutupi jendela dibuka pelan oleh seorang perempuan dengan gamis rumahan yang dipadukan jilbab instan warna senada. Membiarkan sinar mentari masuk melalui celah-celah jendela untuk menyentuh tubuh seorang lelaki di atas tempat tidur.
"Hai! Selamat pagi," sapa Nadhira dengan senyum mengembang yang terpatri sangat rapi menghiasi paras ayunya. Jemarinya yang lentik bergerak menyisir surai lelaki yang terbaring dengan mata yang setia terpejam dalam damai. Damai yang justru menyakiti sendiri hati Nadhira. Tangannya bergerak ke bawah membelai wajah yang mulai ditumbuhi thin beard itu. Kemudian, tatapannya yang kerapkali tampak sayu berhenti pada tubuh yang ditempeli berbagai alat medis yang ia sendiri tak tahu namanya. Ia menggigit bibir bagian bawah. Merasa ngilu menatap bekas sayatan di bagian dada lelaki itu. Ia menyentuh bagian tersebut. Hanya sebentar.
"Kapan kamu bangun? Atau bahkan sudah enggan bangun? Apa kamu sudah tidak merindukanku lagi?" Pertanyaan itu terlontar begitu lirih terdengar. Pertanyaan yang lagi-lagi terucap seiring gradasi air yang terbentuk sempurna di kelopak mata indahnya. Selalu dan selalu saja ia merasa tak kuasa menatap tubuh yang terkapar lemah sejak tiga bulan lalu itu. Apalagi suara bising monitor yang terhubung ke tubuh lelaki itu selalu memekakkan telinga dan mencubit ulu hati. Kapan ini semua akan berakhir?
Butiran kristal bening perlahan turun dan membasahi pipi. Butiran yang bukan runtuh dari kelopak mata perempuan berjilbab itu. Namun, dari sepasang kelopak mata yang enggan terbuka.
Nadhira. Perempuan dengan jilbab instan itu menyeka air mata yang membasahi wajah suaminya. Air mata yang tak pernah gagal membuat hatinya tercubit dan terasa nyeri. Membuat dada sesak. Ia tahu bahwa Reyhan pasti mendengar apa yang diucapkan selama ini. Namun, ia tak pernah tahu kenapa lelaki itu masih asyik dengan pejamnya yang damai. Seakan asyik menikmati dunia yang diciptakan sendiri.
"Aku tahu kamu bisa mendengar apapun yang aku ucapkan, Kak. Tapi, kenapa kamu tak mau juga membuka mata?" Nadhira sudah tak mampu lagi menahan genangan di kelopak matanya. Ia biarkan saja air bah dari sepasang netranya itu membentur keras tembok pertahanannya. Seperti takdir yang begitu saja membentur hidupnya. Setetes air mata jatuh tepat di wajah Reyhan. Lantas, dengan cepat ia menghapusnya.
Nadhira tertawa miris dengan punggung tangan yang menghapus sisa-sisa air mata di pipi yang terlihat tirus itu. "Maafkan aku karena tak bisa memenuhi janji untuk tak lagi menangis di hadapanmu. Ini terlalu menyakitkan untukku," bisiknya tepat di telinga Reyhan. Ia memeluk tubuh yang dulu tampak kekar dan bugar itu. Namun, kini hanya tersisa tubuh kurus dengan tulang yang jelas terlihat. Tangan kanannya bergerak pelan dan bermain di antara bekas sayatan pisau operasi di dada bidang yang selalu menjadi tempat menyembunyikan wajahnya saat malu.
“Nadhira.”
Panggilan itu berhasil menyita atensi Nadhira. Ia menghentikan seketika aktivitas yang terasa berat, tetapi sering dilakukannya tanpa rencana. Kepalanya menoleh ke arah sumber suara. Menatap ke arah pintu kamar yang terbuka hanya setengah. Di sana ia dapati Mama berdiri dengan seorang bayi mungil dalam gendongan. Kedua sudut bibir Nadhira terangkat membentuk kurva yang sangat cantik. Garis lengkung yang dalam sekejap membuyarkan kepedihan di wajah perempuan itu. Ia menyeka air mata yang lagi-lagi sempat saja lolos dan entah seberapa banyak. Ia bangkit dan mengayunkan sepasang tungkainya mendekati sang ibu mertua.
"Maaf," ucap Nadhira pertama kali saat ia sudah berdiri di hadapan Mama. Ia menundukkan kepala dalam. Sebelum akhirnya ia mengangkat kembali wajahnya saat ia rasakan puncak kepalanya dielus dengan sangat lembut.
Kerap kali Mama menasihati perempuan itu tatkala air mata terjun bebas di hadapan Reyhan. Namun, apalah daya seorang Nadhira. Hatinya selalu terasa sakit melihat tubuh kurus suaminya yang terkulai lemah dengan alat-alat aneh yang kadang kala menimbulkan bunyi bising yang memekakkan telinga, membuat kaget seisi rumah.
“Sudah waktunya memandikan Radin.”
Nadhira mengambil alih si bayi mungil bernama Radin itu. Ya, Radin adalah sang buah hati yang ia lahirkan tepat setelah Reyhan dinyatakan koma tiga bulan lalu. Dengan perjuangan yang luar biasa tentunya.
“Jangan sampai stress. Ingat pesan dokter padamu.”
Perempuan itu hanya mengangguk pelan dengan senyum manisnya. Ia sangat bersyukur memiliki mertua yang begitu menyayangi seperti anak sendiri. Ya, meskipun sesekali kerikil kecil berbentuk kesalahpahaman tak luput menyapa mereka. Namun, baik Mama maupun Nadhira selalu tahu bagaimana cara menyelesaikannya dengan baik.
“Mama turun dulu. Kalau kamu butuh sesuatu panggil Mama.”
Lagi-lagi perempuan berjilbab itu menganggukkan kepala. Ia menatap punggung Mama yang kian menjauh.
“Ma,” panggil Nadhira tiba-tiba dan sukses membuat langkah Mama terhenti di anak tangga pertama.
“Terima kasih,” ucapnya seraya menyunggingkan senyum pada sang mertua. Ia dapat menangkap garis lengkung menghias wajah tua Mama, hingga keriputan itu semakin tampak jelas di sana.
Nadhira memegang knop pintu dan menutup ruangan yang khusus didesain persis seperti ruang ICU untuk Reyhan. tentu dengan berbagai alat medis untuk menopang kelangsungan hidup lelaki yang masih setia terbaring dengan kelopak mata yang terkatup.
Langkah Nadhira terhenti tepat di depan kamarnya yang sejak lama ia tempati bersama sang suami tatkala suara berat itu melantunkan namanya.
“Kak Nadhira.”
Ia menoleh dan mendapati adik iparnya tengah berdiri tak jauh darinya. Senyum tipisnya terbit melihat Farhan yang tubuhnya pun kini tampak agak kurus dari sebelumnya. Namun, Nadhira tak heran akan hal itu. Beberapa hal yang keluarga Oktara tak ketahui tentang Farhan bukan lagi menjadi rahasia untuknya. Ya, hal penting yang Farhan coba rahasiakan tanpa sengaja ia ketahui beberapa waktu lalu.
“Farhan mau ketemu Kakak. Boleh?” tanya lelaki itu dengan pelan.
“Tentu saja. Lagipula, kamu tak perlu meminta izin padaku jika ingin bertemu kakakmu.”
Kedua sudut bibir pucat Farhan terangkat. Ia segera mendekat ke arah ruangan milik Reyhan. Sebelum tangannya berhasil menyentuh knop pintu. Suara Nadhira lebih dulu menyita perhatiannya.
“Farhan.”
Seketika Farhan menoleh ke arah sumber suara. Alisnya terangkat.
“Kamu tidak lupa, ‘kan?”
“Tentu,” jawab Farhan pasti.
*****
"Berapa lama lagi Farhan menunggu Kakak membuka mata?" Kalimat itu terucap setelah beberapa saat terjebak dalam hening. Hanya suara monitor yang terhubung ke tubuh Reyhan yang terdengar. Bagi Farhan bunyi itu bukanlah alunan yang tepat untuk menemaninya dalam ruangan yang tampak aneh di mata. Harusnya alunan melodi yang mengiringi adalah suara gesekan biola yang mengalun dengan indah dan apik.
Tatap netra yang beberapa bulan terakhir tampak sayu itu menatap lekat wajah pucat Reyhan. Ia bergidik ngeri saat tak sengaja tatapannya jatuh pada bagian mulut sang kakak. Selang yang masih setia terpasang di sana membuat Farhan seketika merasa sesak. Pasti tak nyaman bagi Reyhan dengan posisi itu.
Namun, rasa sesak yang ia alami saat ini tak sebanding dengan rasa sesak tatkala suara Papa menghujamnya dengan keras. Juga pukulan hebat yang bahkan sering menghantam tubuhnya. Menyisakan lebam yang menghias bagian tubuh seperti tato. Tak ayal cairan kental berwarna merah menyala juga turut mengucur dari bekas pukulan sang ayah.
Farhan menghela napas panjang. Kepingan kejadian menyakitkan itu berputar hebat. Ingin rasanya ia berbagi. Namun, selalu diurungkan. Ia tak ingin membuat Papa tampak berperan antagonis dalam kisahnya. Ya, meskipun itu ada benarnya.
Satu-satunya yang bisa ia lakukan saat ini adalah mengadu dalam hati di hadapan tubuh yang masih senang terbaring itu. Kerap kali air mata tiba-tiba menetes. Persis seperti sekarang. Bukan karena rasa sakit yang menghujam bagian perutnya, karena semalam berhasil mencicipi tendangan kaki beralaskan pantopel seharga puluhan juta itu. Namun, karena kini tak ada manusia yang tahu posisinya. Reyhan adalah manusia satu-satunya yang mengerti tanpa ia bercerita panjang lebar.
Kini sosok itu hanyalah sekujur tubuh yang tengah menanti keajaiban. Entah itu keajaiban untuk kembali membuka mata, menikmati realita yang terus berjalan melewati kejamnya arus dunia. Atau keajaiban untuk mengakhiri sakitnya dengan kembali pada Sang Maha Segalanya.
Farhan meletakkan kepalanya pada dada bidang Reyhan yang tak tertutup sehelai benang. Ia menikmati ritme detak jantung yang terdengar berbeda. Seperti detak jarum jam yang akan terdengar jelas tatkala pekat malam bersama hening dan juga udara dingin mulai menyapa. Ia menyentuh bekas sayatan yang sudah sepenuhnya mengering. Farhan terpejam. Ia membayangkan bagaimana sakit yang dirasakan sang kakak. Barangkali sejuta kali lebih menyakitkan dari rasa sakit yang akhir-akhir ini sering ia rasakan.
"Bangun. Banyak hal yang ingin Farhan ceritakan sama Kakak."
Tiba-tiba air mata Farhan menetes. Membasahi dada Reyhan. Lelaki itu sesenggukan. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isak agar tak terdengar oleh siapapun. Namun, terlambat. Derap kaki yang terdengar semakin mendekat tertangkap jelas oleh indera. Ia segera menyeka sisa-sisa air mata dan menoleh ke belakang. Mendapati sesosok paruh baya dengan setelan jas mewah.
"Papa," lirihnya pelan hampir tak terdengar.
"Kamu tidak lihat sekarang sudah menunjukkan pukul berapa?"
Suara berat itu terdengar mencekam di ceruk telinga Farhan. Ketakutan itu tiba-tiba menghimpit jiwanya. Bukan takut akan pukulan yang akan mendarat di tubuhnya yang masih terasa sakit. Namun, ia takut kejadian mencekam yang kerap kali muncul menjadi putaran film di otaknya kembali tampak. Hingga sakit yang sering merenggut paksa kesadarannya itu datang pada saat dan di tempat yang tak tepat.
"Bagaimana bisa kamu menjadi seorang pemimpin jika ke kantor saja datang terlambat."
Itu bukan lagi sindiran. Namun, kalimat pahit yang sering ditelan sendiri oleh Farhan. Lelaki itu menunduk. Ia merasa begitu iba pada dirinya sendiri.
"Farhan pamit," ucap Farhan. Ia melenggang begitu saja tanpa menatap wajah datar sang ayah. Ia tak ingin berlama-lama mendengar kalimat yang akan mengoyakkan hati tanpa belas kasihan. Ya, bukan itu saja. Farhan pun takut tersulut amarah hingga terjadi perdebatan yang melahirkan adu fisik.
"Papa harap kamu tak lupa dengan perjanjian kita."
Langkah kaki Farhan tercekat tepat di ambang pintu. Sebentar ia menoleh, kemudian tersenyum kecut. Ia menutup pintu ruangan Reyhan perlahan.
Sepeninggal Farhan. Papa duduk di samping tempat tidur sang anak. Hatinya teriris menatap wajah pucat dan tubuh yang dipasangkan berbagai alat aneh itu. Lelaki paruh baya itu tak pernah membayangkan Reyhan akan berada di titik ini.
"Bangun, Nak. Banyak yang menunggumu di sini," suara lirih itu menyisakan sesak. Tak sadar liquid dari sepasang bola matanya tumpah tanpa ampun membasahi pipi tua itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments