Chapter 3

Suara tangis anak kecil berumur tiga bulan itu menggema mengisi ruangan. Entah kenapa pagi ini si kecil begitu rewel. Nadhira sedikit merasa kewalahan melihat bayinya. Ia membelai lembut punggung si kecil yang kini berada dalam gendongan. Menyalurkan kenyamanan yang ia miliki agar Radin bisa tenang.

"Ada apa, Ra?"

Kepala perempuan berjilbab itu menoleh ke arah sumber suara. Ia menatap Mama yang berjalan mendekat dengan raut wajah khawatir. Lantas ia jawab hanya dengan gelengan pelan. "Nggak tau, Ma. Radin tiba-tiba saja rewel kayak gini. Nggak kayak biasanya. Padahal, baru beberapa menit lalu Nadhira kasih ASI."

Mama mengambil alih Radin dari gendongan Nadhira. Ia melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan Nadhira pada bayi kecil itu. Melantunkan shalawat hingga si kecil menghentikan tangisnya yang pecah.

Senyum Nadhira terbit. Ia merasa lega. "Terima kasih, ya, Ma."

Dering ponsel yang tergeletak sembarangan di atas tempat tidur itu menggema menggantikan suara tangis Radin. Sang empunya melirik benda tersebut. Tak ayal Mama juga melakukan hal yang sama.

Nadhira bergerak cepat dan meraih ponselnya, men-scroll layar sebuah ikon telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan yang masuk. Sebentar ia tertegun mendengar penuturan si penelepon sebelum air matanya jatuh berhamburan membasahi pipi. Ia menggigit bibir bagian bawah seiring denyut menyakitkan itu timbul dalam hati. Bagaimana bisa kenyataan itu begitu senang membuatnya menangis?

"Ada apa, Ra?" tanya Mama khawatir. Perempuan paruh baya itu menyentuh pundak sang menantu yang tengah bergetar hebat.

Tatapan sendu dengan linangan air mata itu beralih menembus netra Mama. Kelu lidah hanya untuk sekedar mengucap kata. Sesak dada terasa mendengar kenyataan yang begitu kejam dan buas menghantamnya. Ia tertunduk, tersedu dalam diam.

Sebelah tangan keriput Mama menangkup wajah Nadhira dengan lembut. Ia mengangkat wajah itu hingga tatapan keduanya bertabrakan kembali. "Kenapa, Nak?"

Suara lembut itu menelusup ke ceruk telinga gadis berjilbab itu. Air mata yang sempat terjeda kini meluruh dan terjun menghantam pipi mulusnya. "Radit kritis," jawabnya pelan di sela isak kuat.

Sontak Mama terkejut mendengar penuturan menantunya. Ia mendekap tubuh Nadhira yang bergetar. "Pergilah ke rumah sakit sekarang, Nak. Lihat kondisi Radit. Biar Radin di sini sama Mama. Nggak mungkin juga kamu bawa Radin ke rumah sakit."

Perempuan itu mengangguk cepat. Ia segera merapikan diri dan berpamitan pada Mama.

"Titip Radin, ya, Ma."

Mama tersenyum menjawab ucapan Nadhira. Jauh di lubuk hati paruh baya itu meronta-ronta penuh kekhawatiran. Bagaimana tidak? Cucu lelakinya yang tak lain adalah kembaran Radin kini tergeletak lemah tak berdaya di rumah sakit dalam keadaan koma. Persis seperti keadaan sang ayah, Reyhan.

Perempuan berjilbab dengan wajah kacau segera berlalu dengan langkah lebar dari kamar. Hingga di pertengahan tangga ia teringat. Ia belum meminta izin pada seseorang. Langkah itu kembali menaiki anak tangga. Ia berhenti tepat di depan pintu sebuah ruangan. Sebelum tangan lembutnya menyentuh knop pintu, yang pertama ia lakukan adalah meneguhkan hati dan juga mentalnya.

"Bismillah," bisiknya dan membuka pintu berwarna coklat itu. Seperti sebelumnya, hati gadis itu terasa ngilu saat menatap tubuh tanpa pakaian atasan itu. Dengan kabel-kabel serta alat-alat yang terlihat aneh menempel pada tubuh kurusnya.

Nadhira melangkah perlahan, tetapi pasti. Ia berusaha mati-matian menahan gejolak dalam hati. Pun air mata yang siap terjun. Ia tak ingin lagi menahan di hadapan lelaki yang terbujur di atas tempat itu.

"Hei!" sapanya setelah berhasil mendaratkan tubuh di bibir ranjang.

"Aku izin pergi, ya," lirih suara itu terucap dari bibir tipis Nadhira. Ia menyentuh dagu sang suami yang terasa kasar, karena bulu-bulu halus sudah mulai tumbuh. Kemudian, ia mendaratkan kecupan hangat pada kedua pipi yang sangat terasa jelas tonjolan rahang tegas Reyhan.

Selepas izin pada manusia yang tak akan menjawabnya itu. Nadhira segera berlalu. Rasanya ingin dengan cepat tiba pada gedung putih yang sudah mulai terbiasa ia kunjungi itu. Bahkan, waktu Nadhira hampir setengahnya habis di tempat yang tak pernah terbayangkan akan sering ia pijaki.

*****

"Assalamu'alaikum, Bunda."

Bunda menoleh ke arah sumber suara. Wanita yang tak lagi muda itu menatap wajah sang anak yang tampak kacau. Lantas, ia meraih tubuh anaknya dan merengkuhnya hangat.

"Radit sudah bisa melewati masa kritisnya. Kamu tenang saja, ya, Nak."

Sedikit ada rasa lega dalam hati gadis berjilbab biru muda itu. Namun, tetap saja hatinya merasa teriris melihat kondisi anaknya yang tak jauh lebih baik dari kondisi Reyhan. Beginikah cara Tuhan menguji kesabaran Nadhira?

Gadis itu berjalan mendekati Radit yang masih damai dalam pejamnya. Menatap wajah bayi tiga bulan itu dengan perasaan hancur. Di wajah Radit ia bisa melihat pahatan wajah Reyhan. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis.

"Belum bosan tidur, ya, Nak?" Pertanyaan itu terdengar lirih dan pilu. Sebisa mungkin Nadhira menahan air mata agar tak tumpah. Perempuan itu benar-benar rapuh. Bagaimana bisa suami dan anaknya berada dalam keadaan yang sama dalam waktu yang bersamaan juga?

Nadhira memainkan ibu jarinya di tangan mungil si bayi. Rindu rasanya mendengar tangisan Radit yang menggema di kamarnya. Sejak seminggu lalu bayi lelaki itu lebih senang terpejam. Barangkali ia hanya ingin menemani sang ayah yang belum juga ingin membuka mata.

Tetesan liquid membasahi pipi tirus perempuan berjilbab itu. Sebagai manusia perasa, ia jelas tak kuasa menahan perih melihat kondisi dua lelaki yang sangat berperan untuk kelangsungan hidupnya. Satu sebagai penopang keluarga, satunya lagi terlahir sebagai generasi penerusnya.

Ia mengangkat wajah tatkala sebuah sentuhan lembut mendarat pada pundak sebelah kiri. Tatapannya masih susah diartikan. Namun, segaris lengkungan itu terbit menjejak cantik pada paras ayunya.

"Kamu harus kuat, Nak," lirih Bunda menguatkan sang anak gadis kesayangan. Ia menghadiahi puncak kepala Nadhira sebuah kecupan hangat. Berharap hal itu bisa memberi stimulus positif dan menjadikan Nadhira merasa lebih kuat menerima kenyataan yang Tuhan takdirkan untuknya.

Tiba-tiba air mata gadis itu luruh mendengar ucapan Bunda. Bukan ia tak kuat. Namun, ia terharu dan sangat bersyukur memiliki orang tua yang begitu baik dan menyayanginya, yang selalu berusaha menjadi penguat tatkala rapuh menyapa.

Namun, nyatanya Bunda pun yang berusaha menjadi penguat ikut meneteskan liquid dan membasahi pipi keriput yang sudah termakan waktu. Tak jauh berbeda dengan si anak gadis, Bunda juga seorang perempuan perasa yang hebat. Tangan tuanya bergerak lincah mengelus lembut puncak kepala Nadhira yang kini sudah menenggelamkan wajah di bagian perutnya. Wanita yang memasuki usia senja itu paham betul bagaimana perasaan sang anak. Ya, Bunda jauh lebih dulu menikmati predikat ibu. Dan kesakitan yang menyakitkan bagi seorang ibu adalah tatkala ia melihat sang anak lemah tak berdaya.

Nadhira melingkarkan tangannya di bagian perut Bunda. Ia mendongak menatap netra yang masih menyisakan benda cair itu. "Terima kasih sudah menjadi penguat untuk Adek, Bunda."

Garis lengkung terbit menghias wajah Bunda. Garis yang berhasil menambah jumlah keriputan di wajah tuanya. Ia menangkup wajah sang anak. Membelai lembut dengan ibu jari kulit putih mulus itu. "Nggak perlu berterima kasih, Nak. Itu sudah menjadi tugas Bunda."

Nadhira kembali memposisikan diri menghadap Radit. Wajah tenang bayi mungil itu mampu menghipnotis Nadhira untuk tersenyum manis. Ya, meski dalam hati gadis masih terasa tak tenang.

"Di mana Radin?" tanya Bunda setelah beberapa saat ikut larut dalam senyap.

"Adek titip sama Mama, Bunda. Mama juga nggak ngizinin bawa Radin ke sini," balas Nadhira pelan dengan tatapan yang enggan beralih dari wajah Radit.

"Sekarang kamu pulang saja. Biar Bunda yang menemani Radit di sini."

Nadhira menoleh. "Aku baru saja datang, Bunda. Aku masih ingin menemani anakku," lirihnya dengan wajah memelas.

Bunda yang paham kondisi sang anak hanya mampu mengangguk pasrah. Lagipula, ibu mana yang tega melihat anaknya terkapar lemah di atas brankar rumah sakit.

Perempuan berjilbab yang sebulan lagi berusia dua puluh satu tahun itu masih setia menatap wajah damai Radit. Dalam hati ia tak berhenti merapal do'a agar anak lelakinya segera membuka mata. Tak lupa munajat dilangitkan untuk sang suami yang keadaannya bahkan tak jauh lebih baik dari keadaan Radit.

Mengingat dua lelaki yang begitu penting dalam hidup berada dalam kondisi mengenaskan membuat Nadhira kadang berpikir, bahwa Tuhan begitu tak adil menempatkan takdir-Nya. Atau memang Tuhan memang tak ingin melihatnya bahagia? Lalu, siapa Radin? Bukankah Radin selalu membuat Nadhira bahagia sejauh ini? Bukankah kehadiran Radin bisa membuatnya merasa kuat?

Kepala perempuan itu menggeleng hingga jilbab panjangnya ikut bergerak mengikuti gravitasi. Menepis segala pemikiran yang tak seharusnya singgah dalam benak, meragukan keadilan Tuhan dalam menetapkan takdir hidup. Ia tersadar kini, bahwa hidup memang berimbang. Hidup memang tentang sebuah penerimaan.

Ujung bibir gadis itu terangkat. Ia yakin tiada kejadian yang terlahir tanpa hikmah setelahnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!