Jari lentiknya bermain di wajah Reyhan dengan mata yang masih setia terpejam. Ia merasakan thin beard sudah mulai tumbuh di wajah. Sang pemilik jemari tersenyum tipis melihat wajah tenang di hadapannya. Ia tak tahan untuk tidak menghadiahi ciuman singkat di kedua pipi itu.
"Lekas bangun. Banyak rindu yang harus kamu bayar padaku," bisiknya di telinga lelaki yang terbaring di ranjang besar itu.
Tatapannya beralih pada bayi mungil nan menggemaskan yang terbaring di stroller tengah menatapnya dengan sepasang manik hitam jernih, persis seperti milik Reyhan. "Juga membayar rindu pada si kembar," lanjut Nadhira dengan lirih.
Otaknya kembali tertuju pada bayinya, Radit yang masih terbaring di ranjang rumah sakit dengan keadaan yang masih belum juga menunjukkan perkembangan. Hal itu jelas saja membuat batin perempuan berhijab itu merasa teriris. Dua lelaki yang begitu disayanginya harus menikmati waktu di atas pembaringan kesakitan dengan berbagai alat yang menempel di tubuh.
"Bangun, Sayang. Biar ada yang menemaniku menjaga si kecil," lirih suara Nadhira lagi-lagi terdengar. Kali ini diiringi tetesan bening dari kelopak mata indahnya.
Perempuan itu segera menggeleng dan menyeka air matanya yang tumpah. Ia tak boleh menangis, tak boleh menjadi lemah. Ia harus menjadi yang terkuat untuk anak kembar dan suaminya. Juga untuk sang adik ipar yang juga tengah berjuang melawan kesakitan. Sebab, biar bagaimanapun ia adalah satu-satunya orang yang tahu dan belajar memahami posisi adik iparnya, Farhan.
Nadhira menyisir rambut Reyhan yang sudah sedikit memanjang dengan tangan kosong. "Nanti aku akan menemanimu untuk mencukur rambut. Dan tentu saja tak hanya aku. Radit dan Radin juga akan ikut menemani," ucap Nadhira bermonolog. Senyumnya mengembang membayangkan jika Reyhan dan Karan ikut berkumpul.
Gerakan tangan Nadhira terhenti saat terdengar getaran ponsel yang ia letakkan di atas nakas. Ia meraih benda pipih tersebut dan melihat sebuah pesan masuk yang ditampilkan di layar. Bersamaan dengan matanya yang melihat isi pesan itu, senyum Nadhira mengembang dengan mata berkaca-kaca.
"Alhamdulillah, ya Allah. Terima kasih sudah mendengar do'a-do'aku," ucap Nadhira penuh rasa syukur. Ia menatap wajah damai suaminya yang masih setia dalam pejam. "Semoga Allah segera menjawab do'a yang kuhadiahkan untukmu, ya," lanjutnya sebelum beranjak dari kamar yang ditempati Reyhan.
*****
Di gedung besar dengan warna cat dominan putih itu Nadhira menyusuri lorong. Sesekali ia menyapa beberapa perawat yang seringkali bertemu dengannya saat berkunjung. Kali ini rasanya berbeda dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya. Hatinya merasa bahagia tak terkira.
Nadhira menyentuh knop pintu kamar dengan nomor 202 itu dan membukanya. Di dalam sana ia menemukan Bunda dan sang kakak ipar yang tak lain adalah sahabatnya, Mikayla. Ia tersenyum lebar melihat senyum kedua perempuan yang sangat disayanginya itu. Senyum kebahagiaan yang sama seperti yang dirasakan.
"Sini! Biar Radin aku saja yang gendong," ucap Mikayla seraya meraih tubuh kecil Radin dari gendongan sahabatnya itu.
Setelah menyerahkan Radin. Nadhira duduk di kursi samping pembaringan anak lelakinya. "Terima kasih sudah membuka mata, ya, Sayang," ujar Nadhira dengan tatapan berkaca-kaca seraya tangannya bermain di tangan mungil Radit.
Seperti paham dengan ucapan sang ibu. Radit menggenggam jemari Nadhira dengan erat. Bayi itu tertawa lebar seakan tak pernah mengalami kesakitan sebelumnya. Hal itu tak urung membuat Nadhira gemas dan mencium berulang kali sang anak.
"Kalau keadaan Radit tetap stabil seperti ini. Besok Radit akan diizinkan pulang," jelas Bunda mengulang penjelasan dokter yang menangani cucu lelakinya. Tangannya yang sudah mulai keriput setia bertengger di pundak sang puteri, mengelusnya lembut untuk memberi semangat sekaligus ketenangan.
"Iya, Bun. Semoga kondisi Radit semakin membaik."
Seisi ruangan tenggelam dalam hening. Sedangkan Nadhira masih asyik bermain dengan Radit. Ia ingin menikmati setiap detik yang berlalu dengan anak lelakinya yang baru saja kembali dan membuka mata. Rasanya ia tak ingin menyia-nyiakan waktu.
"Bunda pulang saja dulu. Bunda butuh istirahat," ucap Nadhira seraya melirik Bunda yang tengah bersandar di sofa. Ia bisa menangkap wajah lelah perempuan yang sudah melahirkannya itu. Bagaimana tidak? Selama Radit terbaring dalam komanya, Bundalah yang selalu setia menjaga. Karena, Nadhira harus menjaga Radin di rumah.
"Iya, Bunda. Apa yang dikatakan Nadhira itu benar. Biar Kayla yang akan menemani Nadhira di sini," sambung Mikayla membenarkan ucapan adik iparnya.
Perempuan yang tak lagi muda bergelar bunda itu menimbang-nimbang ucapan Nadhira dan Mikayla. Jelas saja sebenarnya ia memang merasa kelelahan. Namun, melihat mata sang cucu lelaki terbuka dan senyum anak gadisnya, lelah itu seakan menguap bersama udara. Bahagia rasanya.
"Adek yakin?" tanya Bunda.
Nadhira mengangguk pasti. "Pulanglah, Bun. Bunda butuh istirahat."
Bunda mengiyakan permintaan sang anak. Ia beranjak meninggalkan puteri dan menantunya di ruangan bernuansa putih itu.
"Sehat-sehat, ya, Nak. Biar Adek cepat kembali ke rumah dan berkumpul dengan keluarga," bisik Nadhira seraya mengelus lembut pipi Radit yang tak segemuk pipi Radin. Ia menatap wajah damai sang anak yang kini mulai terlelap. Di sana ia seperti melihat pantulan wajah Reyhan. Ya, Radin dan Radit memang lebih mirip ayahnya.
"Ra," panggil Mikayla yang tengah duduk di sofa dengan Radin di pangkuannya.
Sebentar Nadhira menoleh sebelum kembali fokus pada Radit.
"Bagaimana dengan Kak Reyhan? Maaf aku hanya menjenguknya baru sekali." Mikayla berucap penuh rasa bersalah.
Perempuan dua anak itu mengembuskan napas kasar. "Masih seperti yang terakhir kali kamu lihat, Kay," jawabnya pelan. Terdengar nada kesedihan dari setiap kata yang keluar dari bibir ranumnya.
Hening kembali memeluk. Baik Nadhira maupun Mikayla tidak ada yang membuka suara. Keduanya sibuk dengan pikiran dan kegiatan masing-masing.
Hembusan napas Nadhira terdengar gusar. Hal itu mampu menyita perhatian Mikayla yang sejak tadi memperhatikannya dari sofa seraya menjaga Radin.
"Kenapa, Ra? Cerita saja jika ada yang membuatmu terbeban. Aku masih Kayla yang dulu jika kamu lupa. Kayla yang selalu bisa kamu andalkan menjadi pendengar yang baik." Mikayla menyelipkan sedikit candaan agar tak terjebak dengan suasana yang terlalu serius. Ia tahu sahabat sekaligus adik iparnya itu sedang berada dalam keadaan sulit. Namun, ia percaya bahwa Nadhira memang ditakdirkan menjadi perempuan kuat.
Mendengar ucapan Mikayla, Nadhira sedikit terkekeh. Memang sahabatnya itu selalu bisa mencairkan suasana.
"Kamu mau mendengar curhatku?" tanya Nadhira dengan serius yang dibalas anggukan pasti oleh sang lawan bicara.
"Aku ingin memanggilmu dengan sebutan Mbak, boleh?" Nadhira memainkan alisnya menggoda.
Mikayla melayangkan tatapan tajam ke arah Nadhira. "No!" balasnya tegas.
Tawa Nadhira pecah seketika. Ia sangat senang membuat Mikayla kesal.
"Tapi, aku yakin bukan hal itu yang mengganjal pikiranmu."
Suara Mikayla berhasil menghentikan tawa Nadhira. Ia menatap Mikayla dengan tatapan yang kembali sendu. Tatapan yang menyiratkan kepiluan tanpa mampu ia suarakan.
Sebelum bangkit dan beranjak dari kursi di samping brankar. Nadhira menyempatkan diri mencium kening sang putera yang tengah terlelap. Ia melangkah pasti mendekati Mikayla. Diraihnya tubuh mungil Radin dan dipeluknya erat.
Nadhira menghela napas panjang. Seakan helaannya bisa membuat hal-hal yang menjadi beban pikiran bisa menguap dan melahirkan kelegaan.
"Kay," panggilnya kemudian dengan kepala yang ia sandarkan di sandaran sofa. Tatapannya masih lurus menatap langit-langit ruangan putih bersih itu.
Tiada jawaban dari sang pemilik nama. Namun, Nadhira tahu Mikayla tengah memperhatikannya. "Apa yang akan kamu lakukan jika mengetahui rahasia besar dan tak seorangpun tahu selain dirimu? Lalu, kamu tidak bisa menceritakannya pada siapapun, bahkan orang tuamu sekalipun."
Hening.
Mikayla menangkup dagu dengan kedua tangan yang ia tumpukan di lutut. Pandangannya sudah beralih dari Nadhira. Ia kini menatap sepasang kakinya yang tertutup kaos kaki.
"Kamu bingung, ya, Kay?" Nadhira tertawa hambar.
"Aku juga bingung harus melakukan apa," lanjutnya dan tertunduk masih dengan memeluk Radin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments