NovelToon NovelToon

Napas Baru

Chapter 1

Tabir surya perlahan terbuka. Hangat sinarnya perlahan mendeportasi dingin yang sejak semalam memeluk. Sisa embun yang merayapi jendela pun pelan-pelan undur diri. Tirai abu-abu yang sepenuhnya menutupi jendela dibuka pelan oleh seorang perempuan dengan gamis rumahan yang dipadukan jilbab instan warna senada. Membiarkan sinar mentari masuk melalui celah-celah jendela untuk menyentuh tubuh seorang lelaki di atas tempat tidur.

"Hai! Selamat pagi," sapa Nadhira dengan senyum mengembang yang terpatri sangat rapi menghiasi paras ayunya. Jemarinya yang lentik bergerak menyisir surai lelaki yang terbaring dengan mata yang setia terpejam dalam damai. Damai yang justru menyakiti sendiri hati Nadhira. Tangannya bergerak ke bawah membelai wajah yang mulai ditumbuhi thin beard itu. Kemudian, tatapannya yang kerapkali tampak sayu berhenti pada tubuh yang ditempeli berbagai alat medis yang ia sendiri tak tahu namanya. Ia menggigit bibir bagian bawah. Merasa ngilu menatap bekas sayatan di bagian dada lelaki itu. Ia menyentuh bagian tersebut. Hanya sebentar.

"Kapan kamu bangun? Atau bahkan sudah enggan bangun? Apa kamu sudah tidak merindukanku lagi?" Pertanyaan itu terlontar begitu lirih terdengar. Pertanyaan yang lagi-lagi terucap seiring gradasi air yang terbentuk sempurna di kelopak mata indahnya. Selalu dan selalu saja ia merasa tak kuasa menatap tubuh yang terkapar lemah sejak tiga bulan lalu itu. Apalagi suara bising monitor yang terhubung ke tubuh lelaki itu selalu memekakkan telinga dan mencubit ulu hati. Kapan ini semua akan berakhir?

Butiran kristal bening perlahan turun dan membasahi pipi. Butiran yang bukan runtuh dari kelopak mata perempuan berjilbab itu. Namun, dari sepasang kelopak mata yang enggan terbuka.

Nadhira. Perempuan dengan jilbab instan itu menyeka air mata yang membasahi wajah suaminya. Air mata yang tak pernah gagal membuat hatinya tercubit dan terasa nyeri. Membuat dada sesak. Ia tahu bahwa Reyhan pasti mendengar apa yang diucapkan selama ini. Namun, ia tak pernah tahu kenapa lelaki itu masih asyik dengan pejamnya yang damai. Seakan asyik menikmati dunia yang diciptakan sendiri.

"Aku tahu kamu bisa mendengar apapun yang aku ucapkan, Kak. Tapi, kenapa kamu tak mau juga membuka mata?" Nadhira sudah tak mampu lagi menahan genangan di kelopak matanya. Ia biarkan saja air bah dari sepasang netranya itu membentur keras tembok pertahanannya. Seperti takdir yang begitu saja membentur hidupnya. Setetes air mata jatuh tepat di wajah Reyhan. Lantas, dengan cepat ia menghapusnya.

Nadhira tertawa miris dengan punggung tangan yang menghapus sisa-sisa air mata di pipi yang terlihat tirus itu. "Maafkan aku karena tak bisa memenuhi janji untuk tak lagi menangis di hadapanmu. Ini terlalu menyakitkan untukku," bisiknya tepat di telinga Reyhan. Ia memeluk tubuh yang dulu tampak kekar dan bugar itu. Namun, kini hanya tersisa tubuh kurus dengan tulang yang jelas terlihat. Tangan kanannya bergerak pelan dan bermain di antara bekas sayatan pisau operasi di dada bidang yang selalu menjadi tempat menyembunyikan wajahnya saat malu.

“Nadhira.”

Panggilan itu berhasil menyita atensi Nadhira. Ia menghentikan seketika aktivitas yang terasa berat, tetapi sering dilakukannya tanpa rencana. Kepalanya menoleh ke arah sumber suara. Menatap ke arah pintu kamar yang terbuka hanya setengah. Di sana ia dapati Mama berdiri dengan seorang bayi mungil dalam gendongan. Kedua sudut bibir Nadhira terangkat membentuk kurva yang sangat cantik. Garis lengkung yang dalam sekejap membuyarkan kepedihan di wajah perempuan itu. Ia menyeka air mata yang lagi-lagi sempat saja lolos dan entah seberapa banyak. Ia bangkit dan mengayunkan sepasang tungkainya mendekati sang ibu mertua.

"Maaf," ucap Nadhira pertama kali saat ia sudah berdiri di hadapan Mama. Ia menundukkan kepala dalam. Sebelum akhirnya ia mengangkat kembali wajahnya saat ia rasakan puncak kepalanya dielus dengan sangat lembut.

Kerap kali Mama menasihati perempuan itu tatkala air mata terjun bebas di hadapan Reyhan. Namun, apalah daya seorang Nadhira. Hatinya selalu terasa sakit melihat tubuh kurus suaminya yang terkulai lemah dengan alat-alat aneh yang kadang kala menimbulkan bunyi bising yang memekakkan telinga, membuat kaget seisi rumah.

“Sudah waktunya memandikan Radin.”

Nadhira mengambil alih si bayi mungil bernama Radin itu. Ya, Radin adalah sang buah hati yang ia lahirkan tepat setelah Reyhan dinyatakan koma tiga bulan lalu. Dengan perjuangan yang luar biasa tentunya.

“Jangan sampai stress. Ingat pesan dokter padamu.”

Perempuan itu hanya mengangguk pelan dengan senyum manisnya. Ia sangat bersyukur memiliki mertua yang begitu menyayangi seperti anak sendiri. Ya, meskipun sesekali kerikil kecil berbentuk kesalahpahaman tak luput menyapa mereka. Namun, baik Mama maupun Nadhira selalu tahu bagaimana cara menyelesaikannya dengan baik.

“Mama turun dulu. Kalau kamu butuh sesuatu panggil Mama.”

Lagi-lagi perempuan berjilbab itu menganggukkan kepala. Ia menatap punggung Mama yang kian menjauh.

“Ma,” panggil Nadhira tiba-tiba dan sukses membuat langkah Mama terhenti di anak tangga pertama.

“Terima kasih,” ucapnya seraya menyunggingkan senyum pada sang mertua. Ia dapat menangkap garis lengkung menghias wajah tua Mama, hingga keriputan itu semakin tampak jelas di sana.

Nadhira memegang knop pintu dan menutup ruangan yang khusus didesain persis seperti ruang ICU untuk Reyhan. tentu dengan berbagai alat medis untuk menopang kelangsungan hidup lelaki yang masih setia terbaring dengan kelopak mata yang terkatup.

Langkah Nadhira terhenti tepat di depan kamarnya yang sejak lama ia tempati bersama sang suami tatkala suara berat itu melantunkan namanya.

“Kak Nadhira.”

Ia menoleh dan mendapati adik iparnya tengah berdiri tak jauh darinya. Senyum tipisnya terbit melihat Farhan yang tubuhnya pun kini tampak agak kurus dari sebelumnya. Namun, Nadhira tak heran akan hal itu. Beberapa hal yang keluarga Oktara tak ketahui tentang Farhan bukan lagi menjadi rahasia untuknya. Ya, hal penting yang Farhan coba rahasiakan tanpa sengaja ia ketahui beberapa waktu lalu.

“Farhan mau ketemu Kakak. Boleh?” tanya lelaki itu dengan pelan.

“Tentu saja. Lagipula, kamu tak perlu meminta izin padaku jika ingin bertemu kakakmu.”

Kedua sudut bibir pucat Farhan terangkat. Ia segera mendekat ke arah ruangan milik Reyhan. Sebelum tangannya berhasil menyentuh knop pintu. Suara Nadhira lebih dulu menyita perhatiannya.

“Farhan.”

Seketika Farhan menoleh ke arah sumber suara. Alisnya terangkat.

“Kamu tidak lupa, ‘kan?”

“Tentu,” jawab Farhan pasti.

*****

"Berapa lama lagi Farhan menunggu Kakak membuka mata?" Kalimat itu terucap setelah beberapa saat terjebak dalam hening. Hanya suara monitor yang terhubung ke tubuh Reyhan yang terdengar. Bagi Farhan bunyi itu bukanlah alunan yang tepat untuk menemaninya dalam ruangan yang tampak aneh di mata. Harusnya alunan melodi yang mengiringi adalah suara gesekan biola yang mengalun dengan indah dan apik.

Tatap netra yang beberapa bulan terakhir tampak sayu itu menatap lekat wajah pucat Reyhan. Ia bergidik ngeri saat tak sengaja tatapannya jatuh pada bagian mulut sang kakak. Selang yang masih setia terpasang di sana membuat Farhan seketika merasa sesak. Pasti tak nyaman bagi Reyhan dengan posisi itu.

Namun, rasa sesak yang ia alami saat ini tak sebanding dengan rasa sesak tatkala suara Papa menghujamnya dengan keras. Juga pukulan hebat yang bahkan sering menghantam tubuhnya. Menyisakan lebam yang menghias bagian tubuh seperti tato. Tak ayal cairan kental berwarna merah menyala juga turut mengucur dari bekas pukulan sang ayah.

Farhan menghela napas panjang. Kepingan kejadian menyakitkan itu berputar hebat. Ingin rasanya ia berbagi. Namun, selalu diurungkan. Ia tak ingin membuat Papa tampak berperan antagonis dalam kisahnya. Ya, meskipun itu ada benarnya.

Satu-satunya yang bisa ia lakukan saat ini adalah mengadu dalam hati di hadapan tubuh yang masih senang terbaring itu. Kerap kali air mata tiba-tiba menetes. Persis seperti sekarang. Bukan karena rasa sakit yang menghujam bagian perutnya, karena semalam berhasil mencicipi tendangan kaki beralaskan pantopel seharga puluhan juta itu. Namun, karena kini tak ada manusia yang tahu posisinya. Reyhan adalah manusia satu-satunya yang mengerti tanpa ia bercerita panjang lebar.

Kini sosok itu hanyalah sekujur tubuh yang tengah menanti keajaiban. Entah itu keajaiban untuk kembali membuka mata, menikmati realita yang terus berjalan melewati kejamnya arus dunia. Atau keajaiban untuk mengakhiri sakitnya dengan kembali pada Sang Maha Segalanya.

Farhan meletakkan kepalanya pada dada bidang Reyhan yang tak tertutup sehelai benang. Ia menikmati ritme detak jantung yang terdengar berbeda. Seperti detak jarum jam yang akan terdengar jelas tatkala pekat malam bersama hening dan juga udara dingin mulai menyapa. Ia menyentuh bekas sayatan yang sudah sepenuhnya mengering. Farhan terpejam. Ia membayangkan bagaimana sakit yang dirasakan sang kakak. Barangkali sejuta kali lebih menyakitkan dari rasa sakit yang akhir-akhir ini sering ia rasakan.

"Bangun. Banyak hal yang ingin Farhan ceritakan sama Kakak."

Tiba-tiba air mata Farhan menetes. Membasahi dada Reyhan. Lelaki itu sesenggukan. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isak agar tak terdengar oleh siapapun. Namun, terlambat. Derap kaki yang terdengar semakin mendekat tertangkap jelas oleh indera. Ia segera menyeka sisa-sisa air mata dan menoleh ke belakang. Mendapati sesosok paruh baya dengan setelan jas mewah.

"Papa," lirihnya pelan hampir tak terdengar.

"Kamu tidak lihat sekarang sudah menunjukkan pukul berapa?"

Suara berat itu terdengar mencekam di ceruk telinga Farhan. Ketakutan itu tiba-tiba menghimpit jiwanya. Bukan takut akan pukulan yang akan mendarat di tubuhnya yang masih terasa sakit. Namun, ia takut kejadian mencekam yang kerap kali muncul menjadi putaran film di otaknya kembali tampak. Hingga sakit yang sering merenggut paksa kesadarannya itu datang pada saat dan di tempat yang tak tepat.

"Bagaimana bisa kamu menjadi seorang pemimpin jika ke kantor saja datang terlambat."

Itu bukan lagi sindiran. Namun, kalimat pahit yang sering ditelan sendiri oleh Farhan. Lelaki itu menunduk. Ia merasa begitu iba pada dirinya sendiri.

"Farhan pamit," ucap Farhan. Ia melenggang begitu saja tanpa menatap wajah datar sang ayah. Ia tak ingin berlama-lama mendengar kalimat yang akan mengoyakkan hati tanpa belas kasihan. Ya, bukan itu saja. Farhan pun takut tersulut amarah hingga terjadi perdebatan yang melahirkan adu fisik.

"Papa harap kamu tak lupa dengan perjanjian kita."

Langkah kaki Farhan tercekat tepat di ambang pintu. Sebentar ia menoleh, kemudian tersenyum kecut. Ia menutup pintu ruangan Reyhan perlahan.

Sepeninggal Farhan. Papa duduk di samping tempat tidur sang anak. Hatinya teriris menatap wajah pucat dan tubuh yang dipasangkan berbagai alat aneh itu. Lelaki paruh baya itu tak pernah membayangkan Reyhan akan berada di titik ini.

"Bangun, Nak. Banyak yang menunggumu di sini," suara lirih itu menyisakan sesak. Tak sadar liquid dari sepasang bola matanya tumpah tanpa ampun membasahi pipi tua itu.

Chapter 2

Lampu dua ruang operasi yang bersisian menyala. Pertanda dua manusia di dalamnya sedang bertarung mempertaruhkan nyawa. Sedangkan manusia-manusia lain di luar ruangan menatap tegang pintu kaca yang tertutup rapat. Gendrang bertabuh kencang dalam diri mereka. Menanti para eksekutor keluar dari ruang operasi dan membawa kabar baik. Semoga saja baik.

Mama dalam dekapan Papa memanjat do'a dalam hati agar operasi si sulung berjalan sesuai ekspektasi. Ia menggenggam erat tangan Papa saat ketakutan menghantuinya. Bagaimana tidak? Ini adalah kali pertama Reyhan melakukan transplantasi jantung. Dengan kondisi terakhir Reyhan yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja menjadikan alasan bahwa bisa saja nyawa anak pertamanya itu berakhir di meja operasi. "Pa, apa operasinya bakal berjalan lancar?" tanya Mama di antara isak yang berusaha disembunyikan.

Pria berusia lebih dari setengah abad itu mengangguk pasti. "Tentu saja, Ma. Anak kita kuat," jawabnya meyakinkan. Kendati ketakutan apa yang dirasakan sang istri juga tak luput menyapanya. Sekuat apapun ia berpura-pura tangguh di hadapan orang lain. Papa tetaplah sosok manusia biasa yang tentu tak ayal dari sebuah ketakutan akan kehilangan sosok anak. Hanya saja, jelas ia harus berusaha menjadi kuat untuk menjadi penguat istrinya. Seperti kalimat yang pernah ia ucapkan dulu pada Reyhan, "Untuk menjadi penguat. Kita harus berkali-kali lebih kuat."

Mengajak Mama berusaha positive thinking rupanya tak mudah. Setelah apa yang diucapkan Papa untuk meyakinkannya tak mampu membuat wanita yang tak lagi muda itu merasa tenang. Barangkali, sebagai seorang ibu yang melahirkan Reyhan ia lebih perasa dibanding Papa. "Kalau operasinya gagal bagaimana, Pa? Apa kita akan kehilangan Kakak?"

Seorang lelaki muda berjalan mendekat. Ia berjongkok di hadapan Mama dan Papa. Kendati saat tatapan Papa tertuju padanya. Kali ini ia tak merasa takut sama sekali. Tidak mungkin 'kan dalam kondisi seperti ini Papa akan berbuat hal tak wajar? Lagipula, siapa yang tahu bagaimana perlakuan buruk Papa terhadapnya selama ini selain seseorang yang sekarang mempertaruhkan nyawa itu? Tidak ada. Bahkan, Mama sekalipun.

"Papa benar, Ma. Kakak itu kuat. Mama lupa bagaimana perjuangan Kakak sejauh ini?" Farhan berusaha menenangkan. Kendati dalam hatinya juga ia merasa harap-harap cemas. "Mama lupa saat dokter memvonis umur Kakak nggak lebih dari tujuh belas tahun? Tapi, Mama bisa lihat sendiri. Kakak bisa sampai saat ini."

Farhan dengan segala kelembutannya menyentuh punggung tangan Mama. "Kakak butuh do'a kita, Ma. Mama juga jangan lupa. Di sebelah ruang operasi Kakak, ada seseorang yang tengah berjuang juga untuk melahirkan cucu Mama. Ayo, Ma. Berdo'a untuk Kakak, Kak Nadhira dan cucu Mama."

Nyatanya kalimat Farhan lebih manjur ketimbang kalimat Papa. Buktinya wanita itu seketika sadar. Apa yang dilakukannya itu bukanlah hal yang tepat dan berguna. Sedih memang tak bisa terelakkan. Namun, perkataan Farhan sangat benar. Ada empat nyawa yang butuh do'a. Ada empat nyawa yang tengah bertarung.

"Ma, lihat Bunda deh. Perasaan Mama dan Bunda pasti nggak jauh beda, 'kan? Tapi, sejak tadi Farhan lihat Bunda begitu tenang. Farhan yakin Bunda tengah berdo'a untuk mereka."

Mama menatap ke arah besannya yang duduk tak jauh darinya. Benar yang dikatakan Farhan. Bunda tampak begitu tenang duduk bersama Ayah dan Bara.

Satu ruang operasi pintunya perlahan terbuka. Menampilkan seorang perempuan masih dengan baju operasi yang membungkus tubuh. Seluruh keluarga Oktara dan keluarga Prayudha bangkat mendekat.

"Bagaimana operasi anak saya, Dokter?" tanya Bunda tak sabar.

"Alhamdulillah, Ibu. Operasinya berjalan lancar. Ibu dan bayinya selamat. Dan saya ada kabar gembira untuk keluarga." Wanita yang biasa dipanggil Dokter Hanin itu tersenyum lebar. "Anaknya kembar laki-laki."

Ucapan hamdalah menggema. Raut wajah sedih hengkang begitu saja. Seakan berita yang baru saja kedua keluarga itu dengar adalah senjata ampuh pengusir duka.

"Tapi, apa saya bisa bicara dengan suami Bu Nadhira? Ada hal penting yang harus saya sampaikan tentang kondisi bayinya."

Kedua keluarga tersebut lantas terdiam. Tak satupun di antara mereka yang angkat bicara. Hanya saling melempar tatap satu sama lain yang membuat Dokter Hanin menatap mereka bingung. Hingga suara Bara menggema memberikan jawaban dengan tenang.

"Maaf, Dok. Apa saya bisa wakilkan? Suami Nadhira masih di ruang operasi sebelah," jawab Bara seraya menatap ruang operasi dengan lampu yang masih menyala diikuti oleh Dokter Hanin.

"Kalau begitu nggak apa-apa. Bapak bisa ikut ke ruangan saya," ucap Dokter Hanin yang dibalas anggukan oleh Bara.

...•••••...

Nadhira menatap satu-satu manusia yang ada di ruangannya. Sejak ia membuka mata empat jam lalu. Tak ada satupun perbincangan yang terjadi. Ia hanya menatap wajah datar orang-orang itu. Kecuali, Bunda yang selalu berusaha tersenyum di hadapannya. Bukankah seharusnya mereka senang atas kelahiran anak kembarnya? Bukankah harusnya mereka senang karena operasi yang dijalani Reyhan yang memakan waktu empat jam lebih itu berhasil? Lantas, kenapa mereka malah seperti tak ada ekspresi? Apakah terjadi sesuatu yang serius?

"Ada apa sebenarnya?" tanya Nadhira mengusir sunyi. Namun, tak ada suara yang merespons pertanyaan. Ia kesal bukan main. Jika sebelumnya ia dibuat kesal karena belum diperbolehkan bertemu dengan bayinya. Sekarang ia dibuat kesal karena tak ada satupun di antara mereka yang angkat bicara.

Hingga Bara berjalan mendekati ranjang pasien yang ditempati Nadhira. Lelaki itu menggantikan posisi Bunda yang tadi duduk di kursi di samping ranjang. Lantas, ia menoleh menatap semua orang di sana. "Bara mau bicara empat mata dengan Nadhira. Apa yang lain boleh keluar sebentar?"

Kedua keluarga itu mengangguk. Mereka tahu apa yang akan menjadi topik pembicaraan Bara nantinya dengan Nadhira.

Setelah hening mendekap dalam beberapa saat. Bara akhirnya angkat bicara dengan tenang seperti biasanya. "Everything's will be okay, Dek," ucapnya sambil menggenggam tangan adiknya. Ia memainkan ibu jarinya di punggung tangan Nadhira.

"Maksud Abang apa? Bicara yang jelas," tuntut Nadhira tak sabar.

"Abang akan bicara sama Adek. Tapi, Adek harus janji dulu untuk tetap tenang."

Nadhira hanya menganggukkan kepala. Kendati ia tak tahu apakah bisa tenang setengah mendengar cerita kakaknya.

"Abang punya tiga berita untuk Adek. Pertama, Adek sudah melahirkan dua keponakan ganteng untuk Abang. Abang bangga sama Adek karena sudah kuat." Bara tersenyum hangat yang berhasil membuat Nadhira sedikit tenang. Namun, senyum itu luntur seketika sebelum embusan napas kasar terdengar. "Kedua, operasi Reyhan berjalan lancar. Tapi, dia dinyatakan koma."

Refleks Nadhira menarik tangannya dari genggaman Bara. Ia membekap mulutnya sendiri.

"Ketiga, salah satu dari si kembar mengalami masalah pada jantungnya."

Kali ini Nadhira tidak bisa untuk tidak menangis. Ia terisak kuat. Kenapa rasanya takdir begitu hebat mempermainkannya? Apakah ini sebuah hukuman?

Bara meraih tubuh adiknya dan membawanya ke dalam pelukan. Ia tak melarang Nadhira menangis. Justru ia memberikan ruang untuk adiknya menumpahkan lara. Sebagai seorang kakak, ia harus bisa menjadi penopang untuk adik semata wayangnya saat rapuh. Apalagi saat ini, tak ada Reyhan yang akan memainkan ibu jari di wajah Nadhira untuk menghapus jejak-jejak air mata perempuan itu. Tak ada pundak Reyhan untuk bersandar. Tak ada telinga Reyhan untuk mendengar kesahnya. Tak ada sepasang lengan kekar yang akan merengkuh.

"Adek salah apa sih, Bang? Kenapa Allah ngehukum Adek kayak gini?" lirihnya masih dalam pelukan Bara. Ia benar-benar tidak mengerti. Kesalahan apa yang sudah ia perbuat di hari kemarin?

"Nggak. Adek nggak salah apa-apa. Allah tau kok kalau Adek kuat," ucap Bara menenangkan. Ia mengusap punggung adiknya tanpa henti. "Adek ingat Ayah pernah nasehatin kita dulu. Ayah bilang, Allah hanya memberikan cobaan untuk hamba-hamba pilihan. Nah, berarti Adek salah satunya. Adek adalah orang istimewa."

Tak ada tanggapan apapun dari perempuan itu. Ia masih sibuk dengan tangisnya. Meratapi takdir yang kembali membentur hidupnya dengan keras.

"Adek," panggil Bara seraya mengurai pelukannya. Ia menangkup wajah kacau dan basah milik Nadhira. Tatapannya yang teduh dan tenang tenggelam dalam tatapan sayu sarat luka itu. "Jangan kayak gini. Ada tiga orang yang harus Adek kuatkan."

"Apa Adek bisa?" tanya Nadhira dengan nada yang menyedihkan.

Bara membalas dengan senyum dan anggukan pasti. "Adek pasti bisa. I trust you."

Perempuan itu memaksakan senyumnya terbit. Meski hatinya tengah hancur berkeping. Namun, benar apa yang diucapkan Bara. Ia harus kuat untuk suami dan anak kembarnya.

"Adek mau kasih nama siapa si kembar?"

"Raditya dan Radinka," balas Nadhira setelah lama terdiam. Ia tersenyum hangat. "Raditya Abiandra Oktara dan Radinka Abhimata Oktara."

"Wah itu namanya keren, Dek. Jadi, panggilan untuk kakaknya Radit dan Radin untuk adiknya."

Kepingan peristiwa itu kembali bermain di kepala Nadhira. Ia tersenyum tipis bersamaan dengan air mata yang jatuh setetes demi setetes. Ia tak pernah menyangka bisa sampai di titik ini. Mengurus si kembar sendiri. "Kita kuat, ya, Dek," ucap Nadhira pada bayi kecilnya yang berada dalam gendongan.

Tatapannya beralih pada seorang lelaki yang masih terpejm itu. Lantas, melepar senyum hangatnya ke sana. "Cepat bangun. Nggak mau apa cepat-cepat gendong anaknya," kata Nadhira seakan suaminya tengah duduk manis mendengar.

"Adek bantu Ibu berdo'a untuk Ayah sama Kakak, ya. Biar kita bisa kumpul."

Seakan paham atas apa yang baru saja diucapkan ibunya. Bayi kecil yang dipanggil Radin itu menunjukkan senyum lebarnya dan berhasil membuat Nadhira tertawa. "Adek paham banget apa maksud Ibu, ya, Nak? Adek bantu Ibu, ya, Sayang."

Chapter 3

Suara tangis anak kecil berumur tiga bulan itu menggema mengisi ruangan. Entah kenapa pagi ini si kecil begitu rewel. Nadhira sedikit merasa kewalahan melihat bayinya. Ia membelai lembut punggung si kecil yang kini berada dalam gendongan. Menyalurkan kenyamanan yang ia miliki agar Radin bisa tenang.

"Ada apa, Ra?"

Kepala perempuan berjilbab itu menoleh ke arah sumber suara. Ia menatap Mama yang berjalan mendekat dengan raut wajah khawatir. Lantas ia jawab hanya dengan gelengan pelan. "Nggak tau, Ma. Radin tiba-tiba saja rewel kayak gini. Nggak kayak biasanya. Padahal, baru beberapa menit lalu Nadhira kasih ASI."

Mama mengambil alih Radin dari gendongan Nadhira. Ia melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan Nadhira pada bayi kecil itu. Melantunkan shalawat hingga si kecil menghentikan tangisnya yang pecah.

Senyum Nadhira terbit. Ia merasa lega. "Terima kasih, ya, Ma."

Dering ponsel yang tergeletak sembarangan di atas tempat tidur itu menggema menggantikan suara tangis Radin. Sang empunya melirik benda tersebut. Tak ayal Mama juga melakukan hal yang sama.

Nadhira bergerak cepat dan meraih ponselnya, men-scroll layar sebuah ikon telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan yang masuk. Sebentar ia tertegun mendengar penuturan si penelepon sebelum air matanya jatuh berhamburan membasahi pipi. Ia menggigit bibir bagian bawah seiring denyut menyakitkan itu timbul dalam hati. Bagaimana bisa kenyataan itu begitu senang membuatnya menangis?

"Ada apa, Ra?" tanya Mama khawatir. Perempuan paruh baya itu menyentuh pundak sang menantu yang tengah bergetar hebat.

Tatapan sendu dengan linangan air mata itu beralih menembus netra Mama. Kelu lidah hanya untuk sekedar mengucap kata. Sesak dada terasa mendengar kenyataan yang begitu kejam dan buas menghantamnya. Ia tertunduk, tersedu dalam diam.

Sebelah tangan keriput Mama menangkup wajah Nadhira dengan lembut. Ia mengangkat wajah itu hingga tatapan keduanya bertabrakan kembali. "Kenapa, Nak?"

Suara lembut itu menelusup ke ceruk telinga gadis berjilbab itu. Air mata yang sempat terjeda kini meluruh dan terjun menghantam pipi mulusnya. "Radit kritis," jawabnya pelan di sela isak kuat.

Sontak Mama terkejut mendengar penuturan menantunya. Ia mendekap tubuh Nadhira yang bergetar. "Pergilah ke rumah sakit sekarang, Nak. Lihat kondisi Radit. Biar Radin di sini sama Mama. Nggak mungkin juga kamu bawa Radin ke rumah sakit."

Perempuan itu mengangguk cepat. Ia segera merapikan diri dan berpamitan pada Mama.

"Titip Radin, ya, Ma."

Mama tersenyum menjawab ucapan Nadhira. Jauh di lubuk hati paruh baya itu meronta-ronta penuh kekhawatiran. Bagaimana tidak? Cucu lelakinya yang tak lain adalah kembaran Radin kini tergeletak lemah tak berdaya di rumah sakit dalam keadaan koma. Persis seperti keadaan sang ayah, Reyhan.

Perempuan berjilbab dengan wajah kacau segera berlalu dengan langkah lebar dari kamar. Hingga di pertengahan tangga ia teringat. Ia belum meminta izin pada seseorang. Langkah itu kembali menaiki anak tangga. Ia berhenti tepat di depan pintu sebuah ruangan. Sebelum tangan lembutnya menyentuh knop pintu, yang pertama ia lakukan adalah meneguhkan hati dan juga mentalnya.

"Bismillah," bisiknya dan membuka pintu berwarna coklat itu. Seperti sebelumnya, hati gadis itu terasa ngilu saat menatap tubuh tanpa pakaian atasan itu. Dengan kabel-kabel serta alat-alat yang terlihat aneh menempel pada tubuh kurusnya.

Nadhira melangkah perlahan, tetapi pasti. Ia berusaha mati-matian menahan gejolak dalam hati. Pun air mata yang siap terjun. Ia tak ingin lagi menahan di hadapan lelaki yang terbujur di atas tempat itu.

"Hei!" sapanya setelah berhasil mendaratkan tubuh di bibir ranjang.

"Aku izin pergi, ya," lirih suara itu terucap dari bibir tipis Nadhira. Ia menyentuh dagu sang suami yang terasa kasar, karena bulu-bulu halus sudah mulai tumbuh. Kemudian, ia mendaratkan kecupan hangat pada kedua pipi yang sangat terasa jelas tonjolan rahang tegas Reyhan.

Selepas izin pada manusia yang tak akan menjawabnya itu. Nadhira segera berlalu. Rasanya ingin dengan cepat tiba pada gedung putih yang sudah mulai terbiasa ia kunjungi itu. Bahkan, waktu Nadhira hampir setengahnya habis di tempat yang tak pernah terbayangkan akan sering ia pijaki.

*****

"Assalamu'alaikum, Bunda."

Bunda menoleh ke arah sumber suara. Wanita yang tak lagi muda itu menatap wajah sang anak yang tampak kacau. Lantas, ia meraih tubuh anaknya dan merengkuhnya hangat.

"Radit sudah bisa melewati masa kritisnya. Kamu tenang saja, ya, Nak."

Sedikit ada rasa lega dalam hati gadis berjilbab biru muda itu. Namun, tetap saja hatinya merasa teriris melihat kondisi anaknya yang tak jauh lebih baik dari kondisi Reyhan. Beginikah cara Tuhan menguji kesabaran Nadhira?

Gadis itu berjalan mendekati Radit yang masih damai dalam pejamnya. Menatap wajah bayi tiga bulan itu dengan perasaan hancur. Di wajah Radit ia bisa melihat pahatan wajah Reyhan. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis.

"Belum bosan tidur, ya, Nak?" Pertanyaan itu terdengar lirih dan pilu. Sebisa mungkin Nadhira menahan air mata agar tak tumpah. Perempuan itu benar-benar rapuh. Bagaimana bisa suami dan anaknya berada dalam keadaan yang sama dalam waktu yang bersamaan juga?

Nadhira memainkan ibu jarinya di tangan mungil si bayi. Rindu rasanya mendengar tangisan Radit yang menggema di kamarnya. Sejak seminggu lalu bayi lelaki itu lebih senang terpejam. Barangkali ia hanya ingin menemani sang ayah yang belum juga ingin membuka mata.

Tetesan liquid membasahi pipi tirus perempuan berjilbab itu. Sebagai manusia perasa, ia jelas tak kuasa menahan perih melihat kondisi dua lelaki yang sangat berperan untuk kelangsungan hidupnya. Satu sebagai penopang keluarga, satunya lagi terlahir sebagai generasi penerusnya.

Ia mengangkat wajah tatkala sebuah sentuhan lembut mendarat pada pundak sebelah kiri. Tatapannya masih susah diartikan. Namun, segaris lengkungan itu terbit menjejak cantik pada paras ayunya.

"Kamu harus kuat, Nak," lirih Bunda menguatkan sang anak gadis kesayangan. Ia menghadiahi puncak kepala Nadhira sebuah kecupan hangat. Berharap hal itu bisa memberi stimulus positif dan menjadikan Nadhira merasa lebih kuat menerima kenyataan yang Tuhan takdirkan untuknya.

Tiba-tiba air mata gadis itu luruh mendengar ucapan Bunda. Bukan ia tak kuat. Namun, ia terharu dan sangat bersyukur memiliki orang tua yang begitu baik dan menyayanginya, yang selalu berusaha menjadi penguat tatkala rapuh menyapa.

Namun, nyatanya Bunda pun yang berusaha menjadi penguat ikut meneteskan liquid dan membasahi pipi keriput yang sudah termakan waktu. Tak jauh berbeda dengan si anak gadis, Bunda juga seorang perempuan perasa yang hebat. Tangan tuanya bergerak lincah mengelus lembut puncak kepala Nadhira yang kini sudah menenggelamkan wajah di bagian perutnya. Wanita yang memasuki usia senja itu paham betul bagaimana perasaan sang anak. Ya, Bunda jauh lebih dulu menikmati predikat ibu. Dan kesakitan yang menyakitkan bagi seorang ibu adalah tatkala ia melihat sang anak lemah tak berdaya.

Nadhira melingkarkan tangannya di bagian perut Bunda. Ia mendongak menatap netra yang masih menyisakan benda cair itu. "Terima kasih sudah menjadi penguat untuk Adek, Bunda."

Garis lengkung terbit menghias wajah Bunda. Garis yang berhasil menambah jumlah keriputan di wajah tuanya. Ia menangkup wajah sang anak. Membelai lembut dengan ibu jari kulit putih mulus itu. "Nggak perlu berterima kasih, Nak. Itu sudah menjadi tugas Bunda."

Nadhira kembali memposisikan diri menghadap Radit. Wajah tenang bayi mungil itu mampu menghipnotis Nadhira untuk tersenyum manis. Ya, meski dalam hati gadis masih terasa tak tenang.

"Di mana Radin?" tanya Bunda setelah beberapa saat ikut larut dalam senyap.

"Adek titip sama Mama, Bunda. Mama juga nggak ngizinin bawa Radin ke sini," balas Nadhira pelan dengan tatapan yang enggan beralih dari wajah Radit.

"Sekarang kamu pulang saja. Biar Bunda yang menemani Radit di sini."

Nadhira menoleh. "Aku baru saja datang, Bunda. Aku masih ingin menemani anakku," lirihnya dengan wajah memelas.

Bunda yang paham kondisi sang anak hanya mampu mengangguk pasrah. Lagipula, ibu mana yang tega melihat anaknya terkapar lemah di atas brankar rumah sakit.

Perempuan berjilbab yang sebulan lagi berusia dua puluh satu tahun itu masih setia menatap wajah damai Radit. Dalam hati ia tak berhenti merapal do'a agar anak lelakinya segera membuka mata. Tak lupa munajat dilangitkan untuk sang suami yang keadaannya bahkan tak jauh lebih baik dari keadaan Radit.

Mengingat dua lelaki yang begitu penting dalam hidup berada dalam kondisi mengenaskan membuat Nadhira kadang berpikir, bahwa Tuhan begitu tak adil menempatkan takdir-Nya. Atau memang Tuhan memang tak ingin melihatnya bahagia? Lalu, siapa Radin? Bukankah Radin selalu membuat Nadhira bahagia sejauh ini? Bukankah kehadiran Radin bisa membuatnya merasa kuat?

Kepala perempuan itu menggeleng hingga jilbab panjangnya ikut bergerak mengikuti gravitasi. Menepis segala pemikiran yang tak seharusnya singgah dalam benak, meragukan keadilan Tuhan dalam menetapkan takdir hidup. Ia tersadar kini, bahwa hidup memang berimbang. Hidup memang tentang sebuah penerimaan.

Ujung bibir gadis itu terangkat. Ia yakin tiada kejadian yang terlahir tanpa hikmah setelahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!