Lampu dua ruang operasi yang bersisian menyala. Pertanda dua manusia di dalamnya sedang bertarung mempertaruhkan nyawa. Sedangkan manusia-manusia lain di luar ruangan menatap tegang pintu kaca yang tertutup rapat. Gendrang bertabuh kencang dalam diri mereka. Menanti para eksekutor keluar dari ruang operasi dan membawa kabar baik. Semoga saja baik.
Mama dalam dekapan Papa memanjat do'a dalam hati agar operasi si sulung berjalan sesuai ekspektasi. Ia menggenggam erat tangan Papa saat ketakutan menghantuinya. Bagaimana tidak? Ini adalah kali pertama Reyhan melakukan transplantasi jantung. Dengan kondisi terakhir Reyhan yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja menjadikan alasan bahwa bisa saja nyawa anak pertamanya itu berakhir di meja operasi. "Pa, apa operasinya bakal berjalan lancar?" tanya Mama di antara isak yang berusaha disembunyikan.
Pria berusia lebih dari setengah abad itu mengangguk pasti. "Tentu saja, Ma. Anak kita kuat," jawabnya meyakinkan. Kendati ketakutan apa yang dirasakan sang istri juga tak luput menyapanya. Sekuat apapun ia berpura-pura tangguh di hadapan orang lain. Papa tetaplah sosok manusia biasa yang tentu tak ayal dari sebuah ketakutan akan kehilangan sosok anak. Hanya saja, jelas ia harus berusaha menjadi kuat untuk menjadi penguat istrinya. Seperti kalimat yang pernah ia ucapkan dulu pada Reyhan, "Untuk menjadi penguat. Kita harus berkali-kali lebih kuat."
Mengajak Mama berusaha positive thinking rupanya tak mudah. Setelah apa yang diucapkan Papa untuk meyakinkannya tak mampu membuat wanita yang tak lagi muda itu merasa tenang. Barangkali, sebagai seorang ibu yang melahirkan Reyhan ia lebih perasa dibanding Papa. "Kalau operasinya gagal bagaimana, Pa? Apa kita akan kehilangan Kakak?"
Seorang lelaki muda berjalan mendekat. Ia berjongkok di hadapan Mama dan Papa. Kendati saat tatapan Papa tertuju padanya. Kali ini ia tak merasa takut sama sekali. Tidak mungkin 'kan dalam kondisi seperti ini Papa akan berbuat hal tak wajar? Lagipula, siapa yang tahu bagaimana perlakuan buruk Papa terhadapnya selama ini selain seseorang yang sekarang mempertaruhkan nyawa itu? Tidak ada. Bahkan, Mama sekalipun.
"Papa benar, Ma. Kakak itu kuat. Mama lupa bagaimana perjuangan Kakak sejauh ini?" Farhan berusaha menenangkan. Kendati dalam hatinya juga ia merasa harap-harap cemas. "Mama lupa saat dokter memvonis umur Kakak nggak lebih dari tujuh belas tahun? Tapi, Mama bisa lihat sendiri. Kakak bisa sampai saat ini."
Farhan dengan segala kelembutannya menyentuh punggung tangan Mama. "Kakak butuh do'a kita, Ma. Mama juga jangan lupa. Di sebelah ruang operasi Kakak, ada seseorang yang tengah berjuang juga untuk melahirkan cucu Mama. Ayo, Ma. Berdo'a untuk Kakak, Kak Nadhira dan cucu Mama."
Nyatanya kalimat Farhan lebih manjur ketimbang kalimat Papa. Buktinya wanita itu seketika sadar. Apa yang dilakukannya itu bukanlah hal yang tepat dan berguna. Sedih memang tak bisa terelakkan. Namun, perkataan Farhan sangat benar. Ada empat nyawa yang butuh do'a. Ada empat nyawa yang tengah bertarung.
"Ma, lihat Bunda deh. Perasaan Mama dan Bunda pasti nggak jauh beda, 'kan? Tapi, sejak tadi Farhan lihat Bunda begitu tenang. Farhan yakin Bunda tengah berdo'a untuk mereka."
Mama menatap ke arah besannya yang duduk tak jauh darinya. Benar yang dikatakan Farhan. Bunda tampak begitu tenang duduk bersama Ayah dan Bara.
Satu ruang operasi pintunya perlahan terbuka. Menampilkan seorang perempuan masih dengan baju operasi yang membungkus tubuh. Seluruh keluarga Oktara dan keluarga Prayudha bangkat mendekat.
"Bagaimana operasi anak saya, Dokter?" tanya Bunda tak sabar.
"Alhamdulillah, Ibu. Operasinya berjalan lancar. Ibu dan bayinya selamat. Dan saya ada kabar gembira untuk keluarga." Wanita yang biasa dipanggil Dokter Hanin itu tersenyum lebar. "Anaknya kembar laki-laki."
Ucapan hamdalah menggema. Raut wajah sedih hengkang begitu saja. Seakan berita yang baru saja kedua keluarga itu dengar adalah senjata ampuh pengusir duka.
"Tapi, apa saya bisa bicara dengan suami Bu Nadhira? Ada hal penting yang harus saya sampaikan tentang kondisi bayinya."
Kedua keluarga tersebut lantas terdiam. Tak satupun di antara mereka yang angkat bicara. Hanya saling melempar tatap satu sama lain yang membuat Dokter Hanin menatap mereka bingung. Hingga suara Bara menggema memberikan jawaban dengan tenang.
"Maaf, Dok. Apa saya bisa wakilkan? Suami Nadhira masih di ruang operasi sebelah," jawab Bara seraya menatap ruang operasi dengan lampu yang masih menyala diikuti oleh Dokter Hanin.
"Kalau begitu nggak apa-apa. Bapak bisa ikut ke ruangan saya," ucap Dokter Hanin yang dibalas anggukan oleh Bara.
...•••••...
Nadhira menatap satu-satu manusia yang ada di ruangannya. Sejak ia membuka mata empat jam lalu. Tak ada satupun perbincangan yang terjadi. Ia hanya menatap wajah datar orang-orang itu. Kecuali, Bunda yang selalu berusaha tersenyum di hadapannya. Bukankah seharusnya mereka senang atas kelahiran anak kembarnya? Bukankah harusnya mereka senang karena operasi yang dijalani Reyhan yang memakan waktu empat jam lebih itu berhasil? Lantas, kenapa mereka malah seperti tak ada ekspresi? Apakah terjadi sesuatu yang serius?
"Ada apa sebenarnya?" tanya Nadhira mengusir sunyi. Namun, tak ada suara yang merespons pertanyaan. Ia kesal bukan main. Jika sebelumnya ia dibuat kesal karena belum diperbolehkan bertemu dengan bayinya. Sekarang ia dibuat kesal karena tak ada satupun di antara mereka yang angkat bicara.
Hingga Bara berjalan mendekati ranjang pasien yang ditempati Nadhira. Lelaki itu menggantikan posisi Bunda yang tadi duduk di kursi di samping ranjang. Lantas, ia menoleh menatap semua orang di sana. "Bara mau bicara empat mata dengan Nadhira. Apa yang lain boleh keluar sebentar?"
Kedua keluarga itu mengangguk. Mereka tahu apa yang akan menjadi topik pembicaraan Bara nantinya dengan Nadhira.
Setelah hening mendekap dalam beberapa saat. Bara akhirnya angkat bicara dengan tenang seperti biasanya. "Everything's will be okay, Dek," ucapnya sambil menggenggam tangan adiknya. Ia memainkan ibu jarinya di punggung tangan Nadhira.
"Maksud Abang apa? Bicara yang jelas," tuntut Nadhira tak sabar.
"Abang akan bicara sama Adek. Tapi, Adek harus janji dulu untuk tetap tenang."
Nadhira hanya menganggukkan kepala. Kendati ia tak tahu apakah bisa tenang setengah mendengar cerita kakaknya.
"Abang punya tiga berita untuk Adek. Pertama, Adek sudah melahirkan dua keponakan ganteng untuk Abang. Abang bangga sama Adek karena sudah kuat." Bara tersenyum hangat yang berhasil membuat Nadhira sedikit tenang. Namun, senyum itu luntur seketika sebelum embusan napas kasar terdengar. "Kedua, operasi Reyhan berjalan lancar. Tapi, dia dinyatakan koma."
Refleks Nadhira menarik tangannya dari genggaman Bara. Ia membekap mulutnya sendiri.
"Ketiga, salah satu dari si kembar mengalami masalah pada jantungnya."
Kali ini Nadhira tidak bisa untuk tidak menangis. Ia terisak kuat. Kenapa rasanya takdir begitu hebat mempermainkannya? Apakah ini sebuah hukuman?
Bara meraih tubuh adiknya dan membawanya ke dalam pelukan. Ia tak melarang Nadhira menangis. Justru ia memberikan ruang untuk adiknya menumpahkan lara. Sebagai seorang kakak, ia harus bisa menjadi penopang untuk adik semata wayangnya saat rapuh. Apalagi saat ini, tak ada Reyhan yang akan memainkan ibu jari di wajah Nadhira untuk menghapus jejak-jejak air mata perempuan itu. Tak ada pundak Reyhan untuk bersandar. Tak ada telinga Reyhan untuk mendengar kesahnya. Tak ada sepasang lengan kekar yang akan merengkuh.
"Adek salah apa sih, Bang? Kenapa Allah ngehukum Adek kayak gini?" lirihnya masih dalam pelukan Bara. Ia benar-benar tidak mengerti. Kesalahan apa yang sudah ia perbuat di hari kemarin?
"Nggak. Adek nggak salah apa-apa. Allah tau kok kalau Adek kuat," ucap Bara menenangkan. Ia mengusap punggung adiknya tanpa henti. "Adek ingat Ayah pernah nasehatin kita dulu. Ayah bilang, Allah hanya memberikan cobaan untuk hamba-hamba pilihan. Nah, berarti Adek salah satunya. Adek adalah orang istimewa."
Tak ada tanggapan apapun dari perempuan itu. Ia masih sibuk dengan tangisnya. Meratapi takdir yang kembali membentur hidupnya dengan keras.
"Adek," panggil Bara seraya mengurai pelukannya. Ia menangkup wajah kacau dan basah milik Nadhira. Tatapannya yang teduh dan tenang tenggelam dalam tatapan sayu sarat luka itu. "Jangan kayak gini. Ada tiga orang yang harus Adek kuatkan."
"Apa Adek bisa?" tanya Nadhira dengan nada yang menyedihkan.
Bara membalas dengan senyum dan anggukan pasti. "Adek pasti bisa. I trust you."
Perempuan itu memaksakan senyumnya terbit. Meski hatinya tengah hancur berkeping. Namun, benar apa yang diucapkan Bara. Ia harus kuat untuk suami dan anak kembarnya.
"Adek mau kasih nama siapa si kembar?"
"Raditya dan Radinka," balas Nadhira setelah lama terdiam. Ia tersenyum hangat. "Raditya Abiandra Oktara dan Radinka Abhimata Oktara."
"Wah itu namanya keren, Dek. Jadi, panggilan untuk kakaknya Radit dan Radin untuk adiknya."
Kepingan peristiwa itu kembali bermain di kepala Nadhira. Ia tersenyum tipis bersamaan dengan air mata yang jatuh setetes demi setetes. Ia tak pernah menyangka bisa sampai di titik ini. Mengurus si kembar sendiri. "Kita kuat, ya, Dek," ucap Nadhira pada bayi kecilnya yang berada dalam gendongan.
Tatapannya beralih pada seorang lelaki yang masih terpejm itu. Lantas, melepar senyum hangatnya ke sana. "Cepat bangun. Nggak mau apa cepat-cepat gendong anaknya," kata Nadhira seakan suaminya tengah duduk manis mendengar.
"Adek bantu Ibu berdo'a untuk Ayah sama Kakak, ya. Biar kita bisa kumpul."
Seakan paham atas apa yang baru saja diucapkan ibunya. Bayi kecil yang dipanggil Radin itu menunjukkan senyum lebarnya dan berhasil membuat Nadhira tertawa. "Adek paham banget apa maksud Ibu, ya, Nak? Adek bantu Ibu, ya, Sayang."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments