Chapter 4

Tatapan sendu lelaki dengan setelan jas berwarna abu tua itu masih terpaku pada sebuah nama yang terpajang dari sebuah benda terbuat dari kaca di atas meja. Harusnya sang empunya namalah yang duduk manis dan bersandar ria di kursi kebanggaan yang orang-orang sering perebutkan. Sehingga, ia bisa dengan bebas tanpa tekanan melakukan apa saja yang ia inginkan. Mencari bahagia dengan caranya sendiri.

Senyum miring tercetak jelas membingkai wajah dengan rahang tegas si lelaki. Wajah yang kini seringkali tampak tanpa rona. Dalam ruang ber-AC, dalam diam ia menikmati jalan pikir yang entah seperti apa. Tercipta begitu saja tanpa arah yang jelas.

Farhan. Ya, lelaki dengan setelan jas abu tua itu adalah Farhan. Ia menatap bingkai dengan potret sepasang insan mengenakan pakaian pengantin. Senyum manis dan semburat kebahagiaan terpatri jelas pada wajah keduanya. Tanpa sadar Farhan menyunggingkan senyum tipis.

"Farhan berharap Kakak segera membuka mata," lirih Farhan. Ia benar-benar merasa sudah enggan menjebak diri pada dunia yang tak seharusnya ia geluti. Lantas, salah siapa? Bukankah ia sendiri yang menyetujui untuk membantu Papa?

Dering benda pipih berwarna hitam yang tergeletak di atas meja bersama beberapa map lainnya mengalihkan pandangan Farhan. Kedua sudut bibir tanpa rona milik lelaki itu terangkat melihat nama yang ditampilkan layar ponselnya. Farhan meraih benda itu dan menjawab panggilan yang masuk.

"Baiklah. Selepas itu temani aku menjenguk jagoan kecilku di rumah sakit. Bagaimana?" ucap Farhan. Setelah mendapatkan balasan, ia memutus sambungan telepon. Merapikan semua berkas-berkas yang masih berserakan di atas meja. Sebenarnya, bisa saja Farhan membiarkan apa saja dalam keadaan berantakan. Namun, ia tak ingin merepotkan Tio. Sudah terlalu banyak pekerjaan yang Tio kerjakan.

Merasa semuanya sudah beres. Farhan segera melangkahkan kaki keluar ruangan. Tampak rona bahagia pada wajah dengan pahatan rahang tegas itu. Ya, meskipun wajahnya kini lebih sering terlihat pucat. Juga dengan tubuh yang semakin kurus.

"Farhan!"

Suara tegas itu berhasil membuat langkah Farhan tergantung. Lelaki dua puluh tahun itu lantas menoleh ke arah sumber suara. Seperti biasa, ia menangkap raut wajah tanpa ekspresi. Raut yang selalu berhasil membuat Farhan bergidik ngeri dan ketakutan. Bahkan, hanya sekedar untuk menelan saliva saja ia begitu kesusahan.

"Mau ke mana?"

Dingin suara itu masih tertangkap indera. Farhan memutar tubuh dan memberanikan diri mendekati sang pemilik suara. "Farhan mau ke luar makan siang dan ke rumah sakit."

"Ikut Papa ke ruanganmu!"

Sebuah ultimatum yang tentu saja tak bisa ditentang siapapun. Bahkan Farhan yang notabenenya sebagai anak kandung sekalipun.

Farhan mengembuskan napas berat seraya menatap tubuh lelaki paruh baya itu menjauh ke arah ruangannya. Ruangan Reyhan lebih tepatnya. Ia segera berlari kecil menyusul sebelum sang ayah murka. Ya, meskipun Farhan tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Seperti biasa.

"Ada ap..."

Belum sempat Farhan menyelesaikan kalimatnya. Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi kanannya. Ada rasa panas yang menjalar di bagian tubuhnya yang satu itu. Perlahan tangan Farhan terangkat dan menyentuh pipi. Ia tersenyum getir. Tepat sesuai perkiraan.

"Berapa kali lagi kamu akan menggiring perusahaan menuju pintu kebangkrutan, hah?!" Wajah Papa merah padam. Tersirat jelas amarah di wajah tuanya.

"Maaf," lirih Farhan. Ya, tiada kata yang bisa dilontarkan lelaki bersurai hitam itu selain kata maaf. Lantas, seperti biasa kata yang ia ucapkan akan melahirkan amarah baru pada sang ayah.

Telinga Farhan berdengung tatkala tangan Papa mendarat untuk kedua kalinya di pipi. Pandangan lelaki itu memburam. Suara umpatan dan cacian Papa terdengar gamang. Ia menggelengkan kepala perlahan. "Jangan sekarang!" teriak Farhan dalam hati.

Tubuh Farhan terjungkal ke belakang saat tangan kekar Papa mendorongnya. Kepala lelaki itu membentur sudut meja. Ia meringis. Rasa nyeri itu kembali menyerang tanpa ampun.

Papa berjongkok. Ia menatap tajam ke arah Farhan. Tangannya mencengkram kerah kemeja sang anak. "Seribu kata maafmu tak akan mampu mengembalikan kerugian perusahaan yang disebabkan oleh kecerobohanmu."

Mata lelaki itu terpejam. Bukan sebab tatapan penuh amarah itu. Namun, sebab rasa sakit yang menyapa lagi, membuat suara Papa tak benar-benar tertangkap jelas oleh indera pendengaran.

Farhan menjambak rambutnya dengan brutal saat lelaki yang dipanggil Papa itu sudah menghilang di balik pintu cokelat ruang kerja. Ia mengerang tertahan. Tentu ia tak ingin ada seorangpun yang tahu keadaannya.

Lelaki dengan pakaian yang sudah berantakan itu merasakan ada sesuatu yang mengalir dari hidungnya. Tangan yang sejak tadi menjambak surai hitamnya berpindah tempat untuk menyeka benda cair itu. Senyum sumbang tercetak di bibir tanpa rona miliknya saat mata menangkap sesuatu yang mengalir dari hidung runcing dengan warna merah menyala. Darah. Lagi-lagi benda cair berbau anyir itu keluar tanpa permisi.

Benda pipih berbentuk segi empat yang tergeletak tak jauh dari posisi Farhan meringkuk kesakitan itu kembali berdering. Dering yang sengaja ia pasang khusus untuk seorang gadis yang bertahta di hatinya. Seorang gadis yang tanpa sengaja ia temui dan membuatnya jatuh hati dalam sekejap.

Rupanya rasa sakit yang masih mendominasi di kepala menyita hampir seluruh tenaga Farhan. Hingga hanya sekedar bergeser pun ia sudah tak mampu. Ia masih mengerang tertahan. Menyeka keringat juga darah yang setia keluar dari hidung runcingnya.

Ponsel milik Farhan tak henti-hentinya berdering. Ia hanya mampu menatap nanar benda dengan sedikit retakan yang tergeletak sembarangan di lantai.

"Maaf, Za," lirihnya. Ada genangan yang tercetak di kelopak mata sayu itu.

Pandangan Farhan beralih ke arah pintu yang berdecit dan terbuka, menampilkan seseorang yang menjadi partnernya di kantor.

"Mas Tio," lirih Farhan lagi dengan suara hampir tak terdengar hingga tubuhnya ambruk menyentuh lantai yang tercecer noda merah menyala.

"Astaga, Pak Farhan!" Tio histeris melihat bos barunya itu. Ia berlari dan meraih tubuh Farhan.

"Jangan bilang ke Papa," bisik Farhan dengan mata yang setengah terpejam.

Tio tertegun sebentar. "Kita ke rumah sakit."

Farhan hanya menggeleng. "Jika Mas membawa saya ke rumah sakit. Karyawan lainnya akan melihat kejadian ini. Dan tentu itu akan terdengar hingga ke telinga Papa."

"Lalu, apa yang harus saya lakukan, Pak?"

"Obat saya di laci meja."

Tanpa berpikir panjang lagi Tio bergegas. Mengambil sebuah tabung kaca berisi butiran-butiran kecil yang begitu asing baginya.

"Ini, Pak," ucap Tio seraya memberikan benda yang diminta tuannya.

Dengan seksama Tio memperhatikan lelaki yang kini menggantikan posisi Reyhan itu. Dilihatnya wajah pucat Farhan, persis seperti wajah Reyhan yang dulu pernah anfal di hadapannya.

"Terima kasih, Mas Tio."

Tio mengangguk. "Sebaiknya Pak Farhan istirahat dulu. Saya akan membersihkan ruangan Bapak."

Tanpa kata Tio memapah tubuh Farhan yang masih lemas. Meskipun rasa sakit itu sudah berangsur menghilang.

Farhan mencekal tangan Tio saat lelaki itu hendak beranjak. "Tolong rahasiakan kejadian ini dari siapapun, Mas," pinta Farhan.

Hanya senyum tipis yang terpatri di wajah Tio sebelum ia benar-benar beranjak dari ruangan atasannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!