Istri Simpanan Presiden
Rembulan kian meninggi, mengindahkan malam berteman dengan bintang. Tak lupa konstelasi turut serta agar suasana suram hilang dari pandangan. Cahaya kebiruan rembes memasuki celah ruangan dipenuhi gemerlap lampu putih-kekuningan.
Rasa penat dan lelah setelah seharian berkutat dengan pekerjaan membuat kepala Edward mulai pening. Dia mulai membuka pintu utama, berharap kali ini sang istri tercinta berada di rumah dan menyambutnya dengan seulas senyuman.
Suara lirih langkah kaki menuruni setiap anak tangga, sebelum akhirnya terhenti untuk sementara. Bola mata terus saja berkeliling ke segala arah, seolah tengah mencari sosok yang dicinta. Namun, ada yang aneh pada warna matanya. Mata anak manusia yang seharusnya hitam dengan binar, hanya dihiasi kesedihan.
Ketika ekspektasi tak sejalan dengan realita, seketika itu pula seorang insan berhenti berharap ... berharap kepada manusia bahkan Tuhannya.
Entah dari mana asalnya, silir angin sedikit mengurai ribuan benang pendek kehitaman di ujung kepala. Hidup mancung sedikit besar dan mata tajam serta alis tebal semakin menciptakan kesan rupawan. Sebuah kesempurnaan dan suka menjadi sampul guna menutup rapat sebuah duka.
Matanya melirik pada seorang pelayan sedikit tua. Sebuah kacamata dengan pengikat di ujung telinga dan rambut putih abu-abu semakin membuatnya terlihat memesona. Dia mendekati pelayan itu dan lekas bertanya tentang keberadaan istrinya.
“Tuan Lee, apa Anda melihat Soraya?”
“Maaf, Tuan. Nyonya tengah ke luar bersama teman-teman,” lirihnya dengan salah satu yang melipat di depan dada.
“Keluar? Ke mana?”
“Saya tidak tahu pastinya, tapi katanya dia datang ke pesta yang diadakan sebagai perayaan kepulangan Nyonya.” Masih dengan suara lembut dan sopan, dia terus membalas semua yang ditanyakan Edward.
“Hmm ... terima kasih, Anda bisa kembali melanjutkan pekerjaanmu.” Dia lekas membaringkan setengah badan pada sofa yang tak terlalu jauh darinya. Netranya menatap nanar pada langit-langit rumahnya, menciptakan ilusi sementara. Pikirannya melayang mencari arah dan tujuan, mencari sebuah jawaban agar bisa mengubah kesedihan menjadi kebahagiaan.
Hendak kelopak mata menutupi kekejaman dunia, suara terikat seorang gadis membuatnya kembali tersadar.
“Ayah … .Kau sudah kembali?” pekik seorang anak gadis kecil yang duduk di atas kursi roda.
“Ayah!” Anak kecil yang terduduk di kursi roda, berupaya mengapai ayahnya. Di saat yang bersamaan, labium kembali mengukir senyum kepalsuan agar anak semata wayangnya tidak merintih.
Edward menatap anaknya dan tersenyum lebar, menyembunyikan keresahan hati. Menyayangkan sikap istri yang kurang perhatian pada sang anak.
Soraya, dia kurang sabar untuk menemani anaknya dalam menjalani pengobatan yang menghabiskan banyak waktunya. Dia lebih suka keluar dengan sahabat-sahabatnya dan berpesta.
Zahra, gadis kecil berusia 8 tahun yang harus menjalani sisa hidupnya di atas kursi roda karena sebuah tragedi yang menimpa dirinya dua tahun silam. Kurangnya kasih sayang dan perhatian membuatnya enggan kembali berusaha, sekalipun itu untuk hidup dan masa depannya. Sosok bidadari dunia yang seharusnya memberikan kasih, malah menelantarkan anaknya dan memilih untuk berfoya-foya.
“My princess, kau belum tidur?” tanya Edward pada Zahra.
“Entah mengapa aku merindukan Ayah dan ingin tidur di pelukanmu,” jawab Zahra memeluk erat ayahnya.
“Kau sangat manja.” Edward menggendong Zahra dan membawanya ke kamar dengan memakai lift.
“Zahra sama sekali tidak manja Ayah. Aku hanya sangat merindukanmu. Semenjak kita kembali dari Dubai, Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan dan tidak mengacuhkanku.” Manik hitamnya kian berkaca, menahan isak karena rindu yang begitu menggebu.
“Maaf Sayang, jika pekerjaan Ayah membuatmu kesepian. Ayah berjanji akan meluangkan lebih banyak waktu untukmu,” ucap Edward. Dia meletakkan Zahra di kasurnya yang berukuran besar.
“Janji?” Sepasang jari kelingking kian bertautan, menciptakan janji seraya menghidupkan dunia bagi keluarga kecil. Diambilnya sebuah buku cerita kesukaan anaknya, berharap agar mata sayu si buah hati bisa kembali menjadi ayu dipenuhi kirana.
“Sekarang tidurlah! Ayah akan membacakanmu sebuah buku cerita.” Edward lalu berbaring dengan bertumpu dengan satu tangannya dan mulai membacakan Zahra sebuah cerita dongeng. Di tengah-tengah cerita tiba-tiba Zahra menghentikannya dengan memegang tangan Edward.
“Ayah mengapa ibu tidak seperti ibu lain yang meluangkan waktu untuk menemani anaknya,” tanya Zahra polos. Ada kepedihan dalam matanya. Mungkin anak ini sangat merindukan sosok ibu yang hangat. Batin Edward.
Dengan satu tangan bertumpu di atas ranjang, Edward membacakan kisah dongeng dengan suara selembut sutra. Namun, ceritanya terhenti sangkala sebuah tanya diajukan oleh si kecil, Zahra.
“Ayah. Apakah ibu membenci Zahra?” tanya Zahra lagi.
Terdapat duka di antara manik hitamnya, dan terdapat asa agar bisa diberikan cinta oleh kedua orang tua. Edward tersentak mendengarnya, tetapi sebuah senyum masih tersampul. “Tidak, ibu sangat menyayangi Zahra Kecil,” balas Edward.
“Tapi ... tapi kenapa ibu tidak pernah lagi mau bermain denganku?” Sekali lagi tanya hampir menghancurkan hati seorang ayah. Berdalih sibuk bekerja, Edward mencoba untuk memenangkan hati anaknya.
“Ibumu adalah seorang wanita yang sibuk, Nak,” terang Edward.
“Tapi, apakah ibu tidak bisa meluangkan waktunya untuk bersama Zahra walau hanya 5 menit saja?”
Edward menarik nafas panjang menarik paksa dua sudut bibirnya agar bisa tersenyum.
“Ibumu itu sangat mencintaimu. Hanya saja, dia punya kegiatan yang tidak bisa dia tinggalkan,” kilah Edward. Walau dia juga jengah dengan perangai Soraya namun dia tetap membelanya di depan Zahra, putri mereka satu-satunya. Dia tidak ingin membuat anaknya sedih.
Sejenak Zahra membisu, menundukkan kepala dengan netra yang hampir menjatuhkan air mata. “Zahra rindu ibu yang dulu. Ibu yang selalu menjaga dan mengajakku bertamasya. Tapi ... Ayah, apa ibu malu karena Zahra sekarang lumpuh? Dan karena itu ibu tidak mau lagi bermain denganku,” ungkap Zahra seraya memeluk ayahnya.
Edward hanya bisa terdiam membisu. Hatinya terasa sakit mendengar keluh kesah anak semata wayangnya yang rindu kasih sayang seorang ibu. Dia tidak tahu alasan apalagi yang harus dibuatnya agar Zahra tidak larut dalam kesedihan. Dia sendiri sudah lelah menghadapi tingkah Soraya yang sudah teramat keterlaluan. Dia selalu sibuk dengan acara yang tidak penting dan mengabaikan anak mereka.
“Seperti yang Ayah pernah ayah katakan sebelumnya. Ibu sangat mencintaimu. Hanya saja dia punya kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.”
“Hentikan tangisanmu itu, kau terlihat jelek jika menangis. Matamu akan membengkak dan menghitam seperti mata panda,” kata Edward dengan suara yang melucu dan menirukan gerak dalam film kartun.
Zahra tersenyum kembali sembari memeluk ayahnya kecil.
“Jika kau berhenti menangis Ayah akan mengajakmu jalan-jalan di mall. Kau bisa memilih apapun yang kau inginkan,” tawar Edward membuat mata Zahra berkilat.
“Betul Yah.” Edward menganggukkan kepalanya.
Zahra kembali memeluk ayahnya dengan erat. “Aku sayang sekali pada Ayah.”
“Ayah juga sangat menyayangimu,” ungkap Edward tulus.
“Ayo sekarang tidur, ini sudah larut malam,” bujuk Edward agar Zahra mau tidur.
“Boleh tapi ayah harus meneruskan cerita dongeng tentang Putri tidur,” pinta Zahra. Edward menganggukkan kepalanya.
Edward lalu mulai meneruskan membaca cerita itu hingga Zahra tertidur pulas. Dia lalu meletakkan buku itu dan membenarkan selimut Zahra. Edward keluar dari kamarnya lalu seorang pelayan datang untuk menemani anaknya tidur.
Edward berjalan menuju kamarnya. Dia mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Dia lalu berjalan ke bawah melalui tangga dan melihat istrinya pulang dalam keadaan mabuk. Tubuh wanita itu berjalan dengan sempoyongan.
“Akhirnya kau pulang juga ke rumah,” ucap Edward pada istrinya.
‘’Oh Suamiku rupanya sudah pulang. Teman-teman mengajakku untuk berpesta tadi dan aku tidak mungkin menolak ajakan mereka bukan?” terang Soraya.
“Ini sudah malam Soraya dan kau membiarkan anakmu di rumah sendiri,” jawab Edward ketus.
“Kau menyalahkanku karena aku bepergian pada malam hari. Sedangkan siang tadi aku di rumah menemaninya,” jawab Soraya tidak mau kalah.
“Aku pergi mencari uang sedangkan kau pergi untuk belanja dan berpesta pora!” seru Edward.
Soraya berdiri berpegang pada kursi di sebelahnya. Menyilangkan kedua kaki.
“Aku ingin bekerja kau tapi kau melarangnya dan kini aku menghabiskan sedikit uangmu dan bersenang-senang, kau malah tidak suka. Sebenarnya apa maumu?” geram Soraya lirih penuh penekanan
“Aku tidak mempermasalahkan tentang uang yang kau habiskan. Tapi aku sedang mengingatkanmu akan tanggung jawab sebagai seorang ibu dan istri!” seru Edward.
“Aku sudah mengurus Zahra anak kita lalu aku hanya bersenang-senang sedikit apakah itu salah? Jika tidak, kenapa kau malah marah-marah," jawab Soraya enteng dengan nada yang mengejek.
“Tapi tidak membuat anak kita kesepian Soraya!” Nada bicara Edward semakin tinggi hingga memenuhi seluruh ruangan itu.
“Aku sendiri kesepian namun kau tidak pernah mau melihatku lagi. Kau selalu sibuk dengan pekerjaanmu dan mengabaikan diriku, kau bahkan tidak pernah punya waktu untukku. Sekali punya waktu, hanya Zahra saja yang kau perhatikan. Aku selalu kau salahkan setelah peristiwa naas yang dialami Zahra dan aku mencari pelarian untuk rasa kesepian yang kualami ini. Salahkah itu?
“Lalu kau mulai larut dan terbuai dalam pelukan pria lain?” ungkap Edward membuat wajah Soraya pucat pasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
Enung Samsiah
haaappp smpai di sini dah ngerti komplik rt mrka,,,,, nnti di isi istri simpanan ok lah
2023-03-25
0
Alexa
terlalu puitis. berbelit2...terlalu sastra
2022-09-17
2
Cassie
Aku mampir mak nana😍😍😘😘
2022-08-08
3