Edward mengajak Zahra berkeliling mall. Berkali-kali dia menawarkan Zahra untuk membeli sesuatu namun anak itu menolaknya. Anak itu nampak tidak nyaman karena tatapan mata dan bisik-bisik orang-orang melihatnya duduk di atas kursi roda.
Bagi Zahra dia merasa orang-orang itu memandangnya sebagai gadis cilik yang menyedihkan. Rasa malu dan tidak percaya diri mulai hinggap di hati Zahra. Mungkin sebab ini pula yang membuat ibunya tidak pernah mau mengajak keluar dari rumah. Bahkan sekedar berjalan-jalan di sekitar kompleks.
"Kasihan banget yah, masih kecil, cantik pula, kok lumpuh," celetuk salah satu sales lirih yang masih sempat terdengar oleh telinga Zahra.
"Ibunya di mana kok jalan ma ayahnya saja?" tanya salah seorang wanita ganjen mendekat.
"Bilang aja kalau mau deketin Ayah," ujar Zahra sewot. Mereka melanjutkan jalan tanpa mengindahkan sapaan para wanita.
"Daddy-nya tampan banget, boleh dong kenalan," rayu seorang wanita seksi sembari menyentuh ayahnya.
Zahra benar-benar merasa tidak merasa senang pada sesi jalan-jalan kali ini. Mereka hanya berniat menggoda papanya. Memuakkan, apa semua wanita bersikap murahan seperti itu.
Zahra memandangi sebuah stand khusus es krim. Dia bukan ingin es krim itu namun tatapannya tertuju ke arah anak yang sedang rewel dan menangis. Sang ibu membujuknya dengan penuh kasih sayang.
"Bu apakah kau tidak merindukanku seperti aku yang merindukanmu," batin Zahra.
"Ada apa, Zahra?" Edward menghentikan langkahnya dan menuju ke arah pandang anak itu.
"Kau ingin es krim?" tunjuk Edward.
"Aku ingin ibu ada di sini Ayah bukan es krim itu," jawab Zahra dalam hati. Namun, kepalanya mengangguk.
"Kalau begitu tunggu di sini. Ingat, jangan kemana-mana!" perintah Edward menarik kursi roda itu berjajar dengan barisan kursi khusus pengunjung.
Edward lalu menuju stand ice cream yang ada di depan mereka. Netra Zahra mulai mengamati sekitar. Dia menoleh ke belakang. Nampak di belakangnya ada pagar pembatas dari kaca. Di bawahnya ada enam lantai lagi yang jelas terlihat dari tempat Zahra duduk.
Tiba-tiba ada beberapa anak kecil berlarian, salah satunya tanpa sengaja menyenggol kursi Zahra sehingga bergerak dan berputar sendiri dengan cepat. Kursi roda itu mendekat ke arah pembatas kaca. Seluruh orang yang melihat berteriak ngeri. Sedangkan mata Zahra terbelalak ketika melihat pemandangan lantai bawah ketika kursinya berjalan menabrak pembatas itu.
"Ayah...!"
Nafasnya terhenti dan matanya telah menutup, tangannya memegang dinding kaca. Menunggu kapan tubuhnya melayang dan jatuh lalu mengenai lantai dan remuk seketika.
"Hei, kau baik-baik saja?" tanya sebuah suara merdu, dia merasa seseorang menepuk tangannya.
"Apakah aku sudah ada di nirwana?" gumam Zahra, mulai membuka mata dan melihat ada wanita muda sedang berdiri di dekatnya.
"Nyaris, untungnya kita masih selamat," ujar gadis cantik itu menunjuk pemandangan di bawah sana dengan matanya.
Zahra mengikuti arah tatapnya dan bergidik ngeri. Jika dia tidak segera ditolong maka tubuhnya pasti remuk. Namun, jika itu terjadi maka baguslah. Ayahnya tidak akan hidup menderita lagi karena terbebani olehnya. Ibunya tidak akan malu mempunyai anak yang cacat dan lumpuh.
Deya membalikkan tubuhnya dan menjalankan kursi roda Zahra menjauh dari tempat itu.
"Apakah kalian baik-baik saja?" tanya Lia yang baru saja datang mendekat.
"Kau lihat kami baik-baik saja," jawab Deya.
"Zahra," panggil seorang pria mendorong tubuh Deya. Wajahnya pucat pasi lalu memeriksa keadaan Zahra dengan sangat khawatir dan cemas.
"Kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja Ayah! Kakak ini yang menolongku tadi," balas Zahra. Edward membalikkan. Manik mata keduanya saling bertemu. Deya membuka mulutnya lebar.
"Dari semua pria kenapa aku harus bertemu dengan Tuan Recehan lagi? Padahal dunia itu tidak selebar daun kelor?" batin Deya mendengus kesal.
"Kau!" tunjuk mereka bersamaan, Deya membuang muka dengan kesal.
"Kau mengenalnya," bisik Lia.
Deya menyipitkan dan menajamkan matanya, lalu menggelengkan kepala. "Mana pernah aku berkenalan dengan Om-om," bisik lirih Deya tapi masih terdengar oleh Edward.
Edward menarik nafas panjang mendengar ucapan Deya. Wanita itu mengatakan dia adalah Om. Tidak sopan. Namun, tidak sopan jika harus bertengkar dengan orang yang telah menyelamatkan putrinya.
"Terima kasih karena telah menolong putriku Nona…?" ucap Edward.
"Deya Almaira!" jawabnya dengan ketus. Hatinya masih dongkol karena teringat kejadian tadi pagi sebelum dia ke rumah Lia.
"Nama yang bagus, secantik orangnya," timpal Edward tersenyum lebar seperti model iklan pasta gigi.
"Semua wanita cantik," ujar Deya.
"Tapi apa yang Ayah katakan memang benar, Kakak itu cantik," sela Zahra.
"Oh ya kenalkan namaku Edward dan ini putriku, Zahra," Edward mengulurkan tangannya.
Lia malah yang membalas uluran tangan itu dengan cepat.
"Namaku Lia Angraini, panggil saja Lia. Kalau temanku yang satu ini memang rada pemalu jika harus berkenalan dengan pria."
Deya yang mendengar memutar bola mata malas. Deya ikut bersalaman dengan Zahra tetapi tidak Edward, lalu mengajak Lia untuk pergi dari tempat itu.
"Zahra, ehm kami harus pergi sekarang. Maaf," kata Deya.
"Tunggu! Sebagai rasa terima kasihku bagaimana jika aku mengajak kalian berdua untuk makan," tawar Edward.
"Boleh, Om Genteng," ucap Lia yang mendapat injakan kaki dari Zahra.
Deya menarik tubuh Lia menjauh dan berbisik, "Ingat ma papi gula mu."
"Kan nggak ada di sini, aman."
"Kalau dia lihat bagaimana?" lanjut Deya.
"Mampus gue, dia prosesif banget orangnya."
"Makanya sekarang kita pergi dari sini," ucap Deya.
Mereka berdua lalu mendekat pada Ayah dan anak itu lagi. Tersenyum kaku pada mereka.
"Maaf Om, kami ada pekerjaan penting, jadi tidak bisa ikut."
"Oh, sayang sekali. Padahal aku ingin makan ditemani kalian," ungkap Zahra.
"Mungkin lain waktu," ucap Deya. Mereka lalu berpisah di tempat itu.
*
"Bagaimana Tuan Edward? Apakah Anda tertarik dengan kerja sama yang saya tawarkan tadi. Saya jamin investasi yang Anda berikan pada perusahaan tambang milik saya akan memiliki keuntungan besar dan berkali lipat," kata Arya di sebuah klub malam dalam ruangan khusus. Arya adalah pemilik klub malam ini.
"Aku akan membaca proposal milikmu terlebih dahulu, tapi dari penjelasan dan uraianmu, aku sepertinya tertarik," timpal Edward.
"Kau tidak akan menyesal Tuan Edward," imbuh Arya.
"Apa kau suka wanita? Aku punya seorang wanita yang masih bagus dan tersegel sebagai hadiah khusus." Arya lalu memberi tanda pada asistennya untuk membawa masuk Deya. Belum juga Edward menolak karena bukan kebiasaannya berhubungan dengan wanita sembarangan, dia melihat seorang wanita masuk dengan menundukkan wajahnya.
Dia menyipitkan mata dan menajamkan penglihatan. Berpikir apakah yang dia lihat itu benar malaikat yang menolong putri kecilnya? Mengapa dia masuk ke dalam neraka ini?
Edward menegakkan punggung dan merapikan jas sembari tersenyum pada Arya.
"Bagaimana cantik kan?" tanya Arya. Edward menatap Deya lagi. Lalu mengangguk.
"Deya beri salam pada Tuan Edward," perintah Arya.
Edward melihat Deya mulai mengangkat wajahnya. Matanya yang cantik dan bening membesar seketika. Wajahnya yang dilapisi make up tebal menjadi pucat pasi.
"Tuan Recehan...." gumam Deya lemas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
NetizeN MahaBapeR
udh jodoh Lo y ketemu teruslahhh😄
2022-09-09
1
Nila Nila
huuahahahahaha...ketemu lagii.....🤣🤣🤣🤣
2022-07-30
2
Puja Kesuma
uah jodoh mu kali deya selalu bertemu dgn tuan recehan😃😃😃
2022-07-09
1