NovelToon NovelToon

Istri Simpanan Presiden

Bab.1 Selingkuh

Rembulan kian meninggi, mengindahkan malam berteman dengan bintang. Tak lupa konstelasi turut serta agar suasana suram hilang dari pandangan. Cahaya kebiruan rembes memasuki celah ruangan dipenuhi gemerlap lampu putih-kekuningan.

Rasa penat dan lelah setelah seharian berkutat dengan pekerjaan membuat kepala Edward mulai pening. Dia mulai membuka pintu utama, berharap kali ini sang istri tercinta berada di rumah dan menyambutnya dengan seulas senyuman.

Suara lirih langkah kaki menuruni setiap anak tangga, sebelum akhirnya terhenti untuk sementara. Bola mata terus saja berkeliling ke segala arah, seolah tengah mencari sosok yang dicinta. Namun, ada yang aneh pada warna matanya. Mata anak manusia yang seharusnya hitam dengan binar, hanya dihiasi kesedihan.

Ketika ekspektasi tak sejalan dengan realita, seketika itu pula seorang insan berhenti berharap ... berharap kepada manusia bahkan Tuhannya.

Entah dari mana asalnya, silir angin sedikit mengurai ribuan benang pendek kehitaman di ujung kepala. Hidup mancung sedikit besar dan mata tajam serta alis tebal semakin menciptakan kesan rupawan. Sebuah kesempurnaan dan suka menjadi sampul guna menutup rapat sebuah duka.

Matanya melirik pada seorang pelayan sedikit tua. Sebuah kacamata dengan pengikat di ujung telinga dan rambut putih abu-abu semakin membuatnya terlihat memesona. Dia mendekati pelayan itu dan lekas bertanya tentang keberadaan istrinya.

“Tuan Lee, apa Anda melihat Soraya?”

“Maaf, Tuan. Nyonya tengah ke luar bersama teman-teman,” lirihnya dengan salah satu yang melipat di depan dada.

“Keluar? Ke mana?”

“Saya tidak tahu pastinya, tapi katanya dia datang ke pesta yang diadakan sebagai perayaan kepulangan Nyonya.” Masih dengan suara lembut dan sopan, dia terus membalas semua yang ditanyakan Edward.

“Hmm ... terima kasih, Anda bisa kembali melanjutkan pekerjaanmu.” Dia lekas membaringkan setengah badan pada sofa yang tak terlalu jauh darinya. Netranya menatap nanar pada langit-langit rumahnya, menciptakan ilusi sementara. Pikirannya melayang mencari arah dan tujuan, mencari sebuah jawaban agar bisa mengubah kesedihan menjadi kebahagiaan.

Hendak kelopak mata menutupi kekejaman dunia, suara terikat seorang gadis membuatnya kembali tersadar.

“Ayah … .Kau sudah kembali?” pekik seorang anak gadis kecil yang duduk di atas kursi roda.

“Ayah!” Anak kecil yang terduduk di kursi roda, berupaya mengapai ayahnya. Di saat yang bersamaan, labium kembali mengukir senyum kepalsuan agar anak semata wayangnya tidak merintih.

Edward menatap anaknya dan tersenyum lebar, menyembunyikan keresahan hati. Menyayangkan sikap istri yang kurang perhatian pada sang anak.

Soraya, dia kurang sabar untuk menemani anaknya dalam menjalani pengobatan yang menghabiskan banyak waktunya. Dia lebih suka keluar dengan sahabat-sahabatnya dan berpesta.

Zahra, gadis kecil berusia 8 tahun yang harus menjalani sisa hidupnya di atas kursi roda karena sebuah tragedi yang menimpa dirinya dua tahun silam. Kurangnya kasih sayang dan perhatian membuatnya enggan kembali berusaha, sekalipun itu untuk hidup dan masa depannya. Sosok bidadari dunia yang seharusnya memberikan kasih, malah menelantarkan anaknya dan memilih untuk berfoya-foya.

“My princess, kau belum tidur?” tanya Edward pada Zahra.

“Entah mengapa aku merindukan Ayah dan ingin tidur di pelukanmu,” jawab Zahra memeluk erat ayahnya.

“Kau sangat manja.” Edward menggendong Zahra dan membawanya ke kamar dengan memakai lift.

“Zahra sama sekali tidak manja Ayah. Aku hanya sangat merindukanmu. Semenjak kita kembali dari Dubai, Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan dan tidak mengacuhkanku.” Manik hitamnya kian berkaca, menahan isak karena rindu yang begitu menggebu.

“Maaf Sayang, jika pekerjaan Ayah membuatmu kesepian. Ayah berjanji akan meluangkan lebih banyak waktu untukmu,” ucap Edward. Dia meletakkan Zahra di kasurnya yang berukuran besar.

“Janji?” Sepasang jari kelingking kian bertautan, menciptakan janji seraya menghidupkan dunia bagi keluarga kecil. Diambilnya sebuah buku cerita kesukaan anaknya, berharap agar mata sayu si buah hati bisa kembali menjadi ayu dipenuhi kirana.

“Sekarang tidurlah! Ayah akan membacakanmu sebuah buku cerita.” Edward lalu berbaring dengan bertumpu dengan satu tangannya dan mulai membacakan Zahra sebuah cerita dongeng. Di tengah-tengah cerita tiba-tiba Zahra menghentikannya dengan memegang tangan Edward.

“Ayah mengapa ibu tidak seperti ibu lain yang meluangkan waktu untuk menemani anaknya,” tanya Zahra polos. Ada kepedihan dalam matanya. Mungkin anak ini sangat merindukan sosok ibu yang hangat. Batin Edward.

Dengan satu tangan bertumpu di atas ranjang, Edward membacakan kisah dongeng dengan suara selembut sutra. Namun, ceritanya terhenti sangkala sebuah tanya diajukan oleh si kecil, Zahra.

“Ayah. Apakah ibu membenci Zahra?” tanya Zahra lagi.

Terdapat duka di antara manik hitamnya, dan terdapat asa agar bisa diberikan cinta oleh kedua orang tua. Edward tersentak mendengarnya, tetapi sebuah senyum masih tersampul. “Tidak, ibu sangat menyayangi Zahra Kecil,” balas Edward.

“Tapi ... tapi kenapa ibu tidak pernah lagi mau bermain denganku?” Sekali lagi tanya hampir menghancurkan hati seorang ayah. Berdalih sibuk bekerja, Edward mencoba untuk memenangkan hati anaknya.

“Ibumu adalah seorang wanita yang sibuk, Nak,” terang Edward.

“Tapi, apakah ibu tidak bisa meluangkan waktunya untuk bersama Zahra walau hanya 5 menit saja?”

Edward menarik nafas panjang menarik paksa dua sudut bibirnya agar bisa tersenyum.

“Ibumu itu sangat mencintaimu. Hanya saja, dia punya kegiatan yang tidak bisa dia tinggalkan,” kilah Edward. Walau dia juga jengah dengan perangai Soraya namun dia tetap membelanya di depan Zahra, putri mereka satu-satunya. Dia tidak ingin membuat anaknya sedih.

Sejenak Zahra membisu, menundukkan kepala dengan netra yang hampir menjatuhkan air mata. “Zahra rindu ibu yang dulu. Ibu yang selalu menjaga dan mengajakku bertamasya. Tapi ... Ayah, apa ibu malu karena Zahra sekarang lumpuh? Dan karena itu ibu tidak mau lagi bermain denganku,” ungkap Zahra seraya memeluk ayahnya.

Edward hanya bisa terdiam membisu. Hatinya terasa sakit mendengar keluh kesah anak semata wayangnya yang rindu kasih sayang seorang ibu. Dia tidak tahu alasan apalagi yang harus dibuatnya agar Zahra tidak larut dalam kesedihan. Dia sendiri sudah lelah menghadapi tingkah Soraya yang sudah teramat keterlaluan. Dia selalu sibuk dengan acara yang tidak penting dan mengabaikan anak mereka.

“Seperti yang Ayah pernah ayah katakan sebelumnya. Ibu sangat mencintaimu. Hanya saja dia punya kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.”

“Hentikan tangisanmu itu, kau terlihat jelek jika menangis. Matamu akan membengkak dan menghitam seperti mata panda,” kata Edward dengan suara yang melucu dan menirukan gerak dalam film kartun.

Zahra tersenyum kembali sembari memeluk ayahnya kecil.

“Jika kau berhenti menangis Ayah akan mengajakmu jalan-jalan di mall. Kau bisa memilih apapun yang kau inginkan,” tawar Edward membuat mata Zahra berkilat.

“Betul Yah.” Edward menganggukkan kepalanya.

Zahra kembali memeluk ayahnya dengan erat. “Aku sayang sekali pada Ayah.”

“Ayah juga sangat menyayangimu,” ungkap Edward tulus.

“Ayo sekarang tidur, ini sudah larut malam,” bujuk Edward agar Zahra mau tidur.

“Boleh tapi ayah harus meneruskan cerita dongeng tentang Putri tidur,” pinta Zahra. Edward menganggukkan kepalanya.

Edward lalu mulai meneruskan membaca cerita itu hingga Zahra tertidur pulas. Dia lalu meletakkan buku itu dan membenarkan selimut Zahra. Edward keluar dari kamarnya lalu seorang pelayan datang untuk menemani anaknya tidur.

Edward berjalan menuju kamarnya. Dia mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Dia lalu berjalan ke bawah melalui tangga dan melihat istrinya pulang dalam keadaan mabuk. Tubuh wanita itu berjalan dengan sempoyongan.

“Akhirnya kau pulang juga ke rumah,” ucap Edward pada istrinya.

‘’Oh Suamiku rupanya sudah pulang. Teman-teman mengajakku untuk berpesta tadi dan aku tidak mungkin menolak ajakan mereka bukan?” terang Soraya.

“Ini sudah malam Soraya dan kau membiarkan anakmu di rumah sendiri,” jawab Edward ketus.

“Kau menyalahkanku karena aku bepergian pada malam hari. Sedangkan siang tadi aku di rumah menemaninya,” jawab Soraya tidak mau kalah.

“Aku pergi mencari uang sedangkan kau pergi untuk belanja dan berpesta pora!” seru Edward.

Soraya berdiri berpegang pada kursi di sebelahnya. Menyilangkan kedua kaki.

“Aku ingin bekerja kau tapi kau melarangnya dan kini aku menghabiskan sedikit uangmu dan bersenang-senang, kau malah tidak suka. Sebenarnya apa maumu?” geram Soraya lirih penuh penekanan

“Aku tidak mempermasalahkan tentang uang yang kau habiskan. Tapi aku sedang mengingatkanmu akan tanggung jawab sebagai seorang ibu dan istri!” seru Edward.

“Aku sudah mengurus Zahra anak kita lalu aku hanya bersenang-senang sedikit apakah itu salah? Jika tidak, kenapa kau malah marah-marah," jawab Soraya enteng dengan nada yang mengejek.

“Tapi tidak membuat anak kita kesepian Soraya!” Nada bicara Edward semakin tinggi hingga memenuhi seluruh ruangan itu.

“Aku sendiri kesepian namun kau tidak pernah mau melihatku lagi. Kau selalu sibuk dengan pekerjaanmu dan mengabaikan diriku, kau bahkan tidak pernah punya waktu untukku. Sekali punya waktu, hanya Zahra saja yang kau perhatikan. Aku selalu kau salahkan setelah peristiwa naas yang dialami Zahra dan aku mencari pelarian untuk rasa kesepian yang kualami ini. Salahkah itu?

“Lalu kau mulai larut dan terbuai dalam pelukan pria lain?” ungkap Edward membuat wajah Soraya pucat pasi.

Bab. 2 Perpisahan

"Kau jangan mencari-cari kesalahanku!" kilah Soraya gugup.

"Jangan membodohiku lagi Soraya, aku sudah cukup bersabar dengan segala tingkahmu itu. Kembalilah menjadi istri dan ibu yang baik bagi Zahra dan aku akan memaafkanmu karena Zahra sangat membutuhkanmu!" pinta Edward menekan egonya kuat demi kebahagiaan semua orang.

"Semua untuk Zahra dan semua juga salahanku. Pernahkah terpikir jika semua permasalahan ini timbul karenamu!" tunjuk Soraya pada Edward membuat wajah pria itu merah padam, tangannya mengepal kuat tetapi dia masih menahan diri.

"Katakan dimana salahku?" kata Edward tegas namun tetap tenang sambil maju beberapa langkah. Nafasnya mulai terdengar memburu.

"Kau selalu bepergian lama meninggalkanku, sekalinya kau pulang itu juga larut malam. Esok harinya kau sudah harus pergi lagi. Ketika kau libur bukannya hari itu menjadi waktu kita berdua kau malah berselingkuh dengan map-map yang ada di ruang kerjamu. Kau tidak memikirkan aku, kau hanya mementingkan urusanmu sendiri. Menyalurkan hasratmu setelah selesai lalu tidur tanpa mengindahkan perasaanku, seolah aku hanya bonekamu saja," ungkap Soraya. Mata Edward memerah seketika, rahangnya terlihat mengetat dan jakun di lehernya bergerak naik turun. Tangannya sudah terbuka ingin melayang sebuah tamparan untuk istrinya tapi jika itu dia lakukan semua masalah ini tidak akan pernah usai.

"Aku seorang wanita yang butuh di perhatikan, jika yang lain memberikanku kebutuhan itu maka jangan salahkan aku jika berpaling darimu."

Edward tertawa sinis lalu melihat ke arah Soraya dengan tatapan tajam, dingin dan terluka.

"Lalu apa yang kau inginkan?" tanya Edward

"Aku hanya ingin berpisah darimu!" jawab Soraya. Mata Edward melebar seketika. Dia tidak mengira kalimat perpisahan akan keluar dari bibir Soraya dengan begitu mudahnya. Dia menelan Salivanya yang tercekat mengusap wajah lalu menarik nafas dalam, mengatur emosinya. Membalikkan tubuh.

"Akh!" emangnya murka.

"Setelah sepuluh tahun pernikahan kita, kau mengucapkan kalimat perpisahan dengan begitu enteng. Apakah kau pernah memikirkan hatiku dan Zahra?" tunjuk Edward dengan suara rendah namun penuh penekanan.

''Hanya karena Zahra aku masih bertahan hingga detik ini, aku lelah dengan rutinitas pertengkaran kita. Aku ingin menyelesaikannya." Soraya berjalan hendak keluar dari rumah, namun tangannya di cekal oleh Edward.

"Soraya aku belum selesai bicara!" seru Edward menggelegar.

"Sudahlah Edward, kita berdua butuh waktu untuk sendiri. Sekarang aku ingin keluar dari rumah ini dan memikirkan semuanya lagi." Soraya menepis cekalan tangan Edward dan melangkah pergi tanpa sekalipun menoleh ke belakang.

Edward hanya bisa memandangi kepergian wanita yang sangat dicintainya dengan hati yang hancur.

Tubuhnya melemas seketika. Dia mendudukkan diri di kursi lalu menumpu siku pada lututnya. Dua ibu jarinya memijat kepalanya yang pening. Perpisahan apakah itu akan baik untuk Zahra? Sedangkan anak itu sekarang sudah mulai tertutup dan tertekan. Dia butuh seseorang untuk menghibur anaknya yang pasti itu bukan Soraya karena wanita itu hanya mencintai dunianya.

Edward tidak sadar jika pertengkarannya dengan soraya diperhatikan oleh Zahra dari lantai atas. Anak itu hanya bisa mengatupkan dua bibirnya rapat-rapat. Ingin berlari memeluk ayahnya namun tidak bisa. Kakinya masih sangat sakit untuk digerakkan, dia hanya bisa memandangi kesedihan ayahnya dari jauh.

"Ayah … ." gumam Zahra lirih yang ikut sakit melihat pertengkaran itu. Dan dia merasa bersalah karena dia yang menyebabkan mereka berpisah.

"Mbak kita masuk saja kembali ke kamar," pinta Zahra pada pengasuhnya, lirih dengan suara yang serak.

***

Pagi harinya, di sebuah rumah sederhana Deya bangun dengan wajah segar penuh semangat. Dia menatap sang mentari dari jendela yang sudah dibuka oleh ibunya. Semilir angin yang masih berhawa sejuk menerpanya.

"Pagi dunia, apakah hidupku pada hari ini akan secerah dirimu?" Deya tersenyum dan merogoh bawah bantalnya mencari handphone 3G yang selalu menemaninya pergi. Walau itu handphone jadul, setidaknya itu bisa menjadi satu-satunya alat komunikasi yang dia miliki untuk berhubungan dengan orang luar.

Dia melihat beberapa pesan dari Lia. Gambar makan malam yang dilakukan Lia bersama suami kontraknya dan gambar makanan yang dia makan. Juga beberapa pesan penting untuknya.

Lia menulis beberapa pesan untuknya. "De ke rumahku siang nanti sebelum jam makan siang, Okey!"

"Asiiap," tulis Deya pada pesannya.

Hati Deya berdegup kencang dengan pesan yang Lia sampaikan. Apakah Lia sudah mendapatkan calon suami kontrak untuknya?

Rasa gugup kembali menyerangnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Deya melihat jam di dinding. Sudah pukul tujuh lebih empat puluh menit.

Dari rumahnya ke apartemen Lia membutuhkan waktu dua jam jika langsung mendapatkan angkutan kota. Jika tidak macet dan tidak ada masalah lainnya yang menghalangi perjalanannya.

Deya langsung mengambil handuknya dan berlari pergi ke kamar mandi. Dia sempat berpapasan dengan ibu yang sedang membawakan ayah segelas teh hangat.

Dia memelankan langkahnya dan berjalan menunduk lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Ratmi, ibu Deya, teriris hatinya ketika melihat Deya. Rasa gagal untuk membawa anaknya hidup lebih baik membuatnya terpuruk. Wajahnya tertunduk ketika duduk di hadapan suaminya. Buliran bening itu kembali turun tanpa bisa dicegahnya.

"Sabar Bu, aku pun sama merasakannya. Semua ini terasa berat untuk kita berdua. Kita hanya bisa berdoa, semoga Deya bisa mendapatkan jalan yang baik dan kehidupan yang baik pula setelah ini. Kita tidak bisa mencegahnya namun jangan menghakiminya karena dia butuh support penuh dari kita," ucap Seto. Ratmi memandang wajah suaminya.

"Jangan berpikir aku setuju dengan langkahnya. Bagiku lebih baik kehilangan rumah ini dari pada melihat Deya hancur. Namun kita tidak bisa mencegah keinginan anak itu. Aku takut dia malah pergi dan memberontak pada kita."

Ratmi menjatuhkan diri dalam dada suaminya dan mencurahkan kesedihan lewat isak tangisnya. Seto memeluk istrinya dan mengusap lembut punggung Ratmi. Dia merasa gagal menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga sehingga menyebabkan keluarganya menjadi menderita seperti ini.

Setelah mandi dan merapikan dirinya Deya membawa tas keluar dari kamar. Dia berjalan melewati keluarganya dengan menundukkan kepalanya.

"Deya, makan dulu, Nak," panggil lembut ibunya. Deya menengadahkan wajahnya melihat ke arah ibu, ayah dan dua adik yang sedang menatap ke arahnya. Rasa perih kembali menghampiri dirinya.

Sebuah senyum terbit dari bibir Deya membuat wajah muramnya kembali cerah. Deya duduk di kursi samping adiknya yang paling kecil.

"Kakak punya cokelat untuk kalian," bisik Deya lalu mengambil dua batang coklat dari tasnya.

Mata adiknya terbelalak senang. Mereka langsung berebut mengambil coklat itu.

"Terima kasih, Kak," kata keduanya.

"Hanya itu?" tanya Deya. Dua-duanya langsung mendekati Deya dan mencium pipi kakaknya.

Deya tersenyum senang.

"Maaf Ibu, aku bangun kesiangan jadi tidak bisa membantu ibu membuat kue," ucap Deya.

"Hari ini, Ibu libur membuat kue," jawab Ratmi dengan dada yang sesak. Ingin rasanya dia memeluk Deya dan mengucapkan kekhawatirannya akan pekerjaan terlarang yang ingin dilakukan anaknya. Namun dia menahan dirinya.

"Oh, wah! Telur mata sapi dengan sambal kecap. Ini makanan kesukaanku, Bu." Deya menyendokkan nasi ke piringnya dan mengambil satu telur mata sapi lalu di siram sambal kecap di atasnya. Deya makan dengan lahap pagi ini. Walau sederhana namun makanan ini terasa lezat untuk mereka.

Seto memandangi anaknya dengan senyum tipis yang hampir tidak terlihat. Anaknya telah dewasa sekarang sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak. Dia percaya Deya tidak akan berbuat hal-hal yang akan menodai nilai-nilai agama yang dianutnya.

Setelah selesai dengan makannya, Deya melihat ke arah jam tangan. Sudah pukul sembilan. Dia langsung berdiri dan berpamitan.

Deya berlari melewati gang sempit yang hanya selebar lima puluh centi saja. Sepanjang jalan orang-orang terlihat menyapanya. Akhirnya dia bisa keluar dari gang sempit itu dan berjalan menuju jalan raya.

"Deya, semangat," gumamnya pada diri sendiri.

Dia hendak menyeberang jalan ketika sebuah mobil hampir saja menabrak dan membuat dia jatuh di aspal yang panas.

"Awww ... ," pekik Deya kesakitan.

Dia memegang sikunya yang berdarah.

"Dek, kau tak apa-apa?" tanya seorang pria dengan tubuh menjulang tinggi ke atas yang berada di sampingnya. Silaunya sinar matahari membuat wajah pria tidak terlihat jelas.

Pria itu lalu membantu Deya berdiri.

"Kalau mengendarai mobil yang hati-hati dong, Om. Om lihat! Sikuku berdarah karena jatuh tadi. Jika tadi aku tidak segera menghindar, aku pasti sudah mati," geram Deya.

"Tapi kau masih bisa berdiri tegak 'kan," jawab pria itu sembari menyunggingkan senyum jahil.

Bab. 3 Pria Recehan

Untuk sejenak Deya terpana pada senyuman hangat yang datang dari pria itu. Matanya terlihat terang dengan lautan ketenangan di dalamnya. Wajahnya walau terlihat sudah matang atau berumur namun masih terlihat tampan.

"Ehm … Namun, kau tetap harus bertanggung jawab!" balas Deya tidak mau kalah.

"Bilang saja kau ingin uangku, baiklah anggap saja ini sedekah di pagi hari untukmu," ucap Edward mengambil uang dalam dompetnya. Lalu menyerahkannya pada Deya.

Deya merasa terhina dengan kata 'sedekah'. Dia mengambil uang itu dengan seulas senyum iblis yang nyaris tidak terlihat.

Deya menghitung lembar demi lembar uang dalam genggamannya.

"Mba banyak tuh," ucap orang-orang yang melihat pertengkaran mereka.

Deya lalu memperlihatkan banyak uang itu pada orang-orang.

"Lima ratus ribu untuk lecetnya tubuhku," seru Deya keras.

"Orang miskin sama saja mereka hanya memikirkan keuntungan belaka dengan cara menjebak orang-orang kaya," batin Edward dengan seulas senyum tipis sinis yang nyaris tidak terlihat.

Edward lalu masuk kembali ke dalam mobilnya dan memakai kacamata hitamnya. Kaca mobil mulai di tutup.

Pyak!

Salah satu lampu depan mobilnya pecah setelah ditendang keras oleh Deya dengan sepatu ketsnya.

Edward kembali keluar dengan wajah memerah dan mata yang garang.

"Kau gila! Apa yang kau lakukan!" Edward menyugar rambutnya ke belakang dengan kasar.

Pria itu mengepalkan tangannya ingin memukul Deya namun ditahan. Dia gadis muda yang terlalu berani untuk berbuat macam-macam padanya. Malamnya sudah buruk ditambah dengan kejadian ini suasana hatinya menjadi semakin kacau.

Deya menutup wajahnya ketika tahu akan dipukul namun setelah menunggu hingga hitungan ketiga dia membuka matanya dan memandang wajah pria itu telah berubah.

Kehangatan yang tadi dilihatnya beralih menjadi garang. Dia bagai harimau yang siap menerkam lawannya dan dia hanyalah kelinci kecil yang siap menjadi santapannya.

"Sorry sir, mobilmu jadi lecet eh maaf rusak. Tapi itu hanya kerusakan sedikit. Jika mobilmu rusak bisa kau ganti dengan mudah dan kau tidak merasakan sakitnya. Jika manusia yang terluka akan sakit bahkan lumpuh atau tidak normal bila mendapat kecelakaan, bahkan bisa mati. Beruntung kali ini aku hanya lecet saja. Jika kakiku sampai kenapa-kenapa, apa kau bisa menjamin hidupku akan sempurna setelahnya?" Deya menatap Edward berani. Edward merasa tertampar oleh perkataan Deya dan teringat akan nasib anaknya yang duduk di kursi roda hingga saat ini karena mengalami kecelakaan mobil.

"Mobilmu hanya lecet sedikit, aku tidak terlalu kaya untuk membayar semuanya tapi aku akan menggantinya dengan uang yang ku miliki dan sayangnya aku hanya punya uang ini.'' Deya menyerahkan uang lima ratus ribu itu pada Edward dan mengambil segenggam uang recehan dalam tasnya sebagai tambahan.

Setelah itu, Deya pergi menyeberangi jalan raya dan menyetop angkutan kota yang baru saja lewat. Sorak-sorai orang-orang mengiringi kepergiannya. Mereka menyukai cara Deya membalas perlakuan pria itu.

Edward yang merasa kesal ditinggal sendiri dan dipermalukan membuang uang itu ke jalan raya. Uang itu seketika menjadi rebutan orang-orang di sekitarnya.

''Jika kita bertemu lagi aku akan membalas penghinaan itu gadis kecil," gumam Edward meninggalkan tempat itu.

***

Deya datang ke unit apartemen milik Lia. Dia memencet bel. Tidak lama kemudian Lia keluar dengan memakai pakaian yang sudah rapi.

Lia langsung menarik tangan Deya masuk ke dalam. Mereka kini duduk di sofa mewah yang nyaman berwarna coklat.

"Suamiku memberikan sebuah penawaran padamu," ucap Lia dengan wajah berseri-seri. Deya tertarik dengan nikah kontrak yang akan dia lakukan untuk mendapatkan uang banyak.

"Apa itu?" tanya Deya dengan jantung berdegup kencang.

"Kau sedang butuh uang banyak 'kan?" tanya Lia. Deya menganggukkan kepalanya.

"Kau masih virgin?" Deya menganggukkan lagi dengan wajah yang terlihat gugup.

"Aku akan mencarikan pria yang mapan dan kaya raya. Kau akan menjalani kontrak nikah siri dengannya selama dia menginginkanmu." Xena menggigit bawah bibirnya dengan cemas menunggu jawaban Deya.

"Bagaimana jika dia pria berumur atau pria botak dengan perut yang buncit. Oh, Lia aku takut untuk membayangkannya," ujar Deya jujur. Deya itu anak baik dan dia bahkan tidak pernah berpacaran sama sekali.

"Aku akan menemui kenangan buruk jika pria itu adalah pria yang ... akh…  kau tahu maksudku," imbuh Deya.

"Kita akan lihat pria itu dulu, kau bisa menolaknya jika tidak sesuai keinginanmu, tetapi sepertinya suami kontrakku akan memilihkanmu pria mapan dan tampan sepertinya." Lia menaikkan kedua alisnya ke atas.  Dia adalah istri simpanan dari pria matang beristri.

"Apakah kau yakin akan melakukan ini?" tanya Lia lagi. Deya menganggukkan kepalanya pelan. Nafasnya mulai tersengal mengingat kejadian tempo hari.

"Ibuku di tagih utang sebesar 115 juta semalam oleh para rentenir sialan itu," ucap Deya dengan mata yang menyiratkan kesedihan,  keputusasaan dan kemarahan yang terpendam.

"Poor Deya, kita akan melalui ini bersama-sama." Lia memeluk Deya dan mengusap punggungnya dengan lembut  untuk memberi kekuatan padanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!