"Namanya Deya masih sangat muda dan segar. Juga masih murni, semoga Anda mau menerima hadiahku yang akan membuat anda senang malam ini," kata Arya lagi.
"Deya beri salam pada tamu kita dan layani dia dengan baik," perintah Arya.
Deya menelan ludahnya sendiri yang tercekat di tenggorokan, dia menatap lagi pada Edward. Matanya menjadi panas karena malu. Namun, dia harus tegar untuk bisa melakukan semuanya.
"Kalau begitu ayo maju," lanjut Arya kurang sabar. "Maaf Tuan Edward, kalau anak baru memang seperti ini.
Kaki Deya seperti tidak menapak ketika melangkahkan kaki ke depan. Kakinya mulai oleng dan hampir jatuh, untung saja ada pria yang yang berdiri memegang tangannya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Edward. Deya tersenyum menganggukkan kepalanya. Deya lalu mencoba berdiri tegap walau di rasa itu tidak mungkin karena kakinya seperti jelly tidak bertulang. Setelah membantu Deya berdiri, Edward kembali lagi duduk di tempatnya.
"Selamat malam, Tuan," sapa Deya. Dia memaksakan diri mengeluarkan senyuman terbaiknya sedangkan jantungnya terasa seperti mau keluar.
"Apa kau suka?" tanya Arya pada Edward.
Edward menoleh menatap Deya lalu menganggukkan kepala.
Arya lalu memberi isyarat pada Deya untuk duduk di sebelah Edward. Deya menarik nafas panjang, sepertinya oksigen dalam ruangan ini hampir habis sehingga dia merasa sesak. Dia duduk di samping Edward dengan canggung dan kaku. Tangannya memegang ujung kain baju dan menariknya.
"Ish, sepertinya ada yang salah dengan otakmu, biasanya kau selalu menolak setiap wanita yang disajikan di hadapanmu,'' celetuk Mario bawahan sekaligus teman Edward.
Edward tak menjawabnya, hanya menatap Mario tajam. Mario lalu menggerakkan tangan seperti sedang menutup resleting di mulutnya.
"Sorry, aku akan menutup mulutku." Dia lalu melihat ke arah pintu masuk. "Kau tidak membawakan wanita untukku, Arya?" tanya Mario terus terang.
"Khusus untukmu, kau boleh membawa wanita manapun yang ada di klub malam ini," jawab Arya sembari menepuk pundak Mario. Mario menganggukkan kepala mengerti dan tertawa keras.
"Yang seperti dia ada?" tanya Mario menatap Deya.
"Mungkin setelah Tuan Edward selesai kau boleh memilikinya, dengan catatan setelah Tuan Edward tidak menginginkannya lagi," bisik Arya yang bisa didengar oleh semua orang yang ada di sana.
Mendengar hal itu wajah Deya memerah karena malu. Dia merasa bagaikan sebuah barang yang bisa dipakai siapa saja. Harga dirinya hilang seketika. Membayangkan saja membuat perutnya melilit sakit. Namun dia bertanya lagi pada diri sendiri, apakah setelah statusnya sebagai wanita bayaran akan tetap mempunyai harga diri? Yang benar harga dirinya bisa dibeli dengan segepok uang. Hina sekali tetapi ini untuk kebaikan keluarganya.
Edward sendiri terlihat dingin dan cenderung mengabaikan semua orang. Dia dengan tenang menyesap minuman sodanya. Lalu, menatap ke arah lain. Bukan pada Deya. Sepertinya, dia memang tidak tertarik padanya.
Para pria lalu kembali lagi membicarakan tentang pekerjaan. Arya merasa senang karena akan ditandatangani tiga hari lagi. Rasanya kedatangan Deya membuat keberuntungan. Dia tidak salah memilih Deya sebagai hadiah untuk klien utamanya.
Setelah semua pembicaraan yang membosankan menurut Deya selesai, Edward keluar tanpa mengatakan sepatah katapun. Berjalan meninggalkan Deya yang mengikuti di belakangnya. Langkah kaki Edward yang panjang membuat Deya harus setengah berlari agar bisa mengimbanginya.
"Bisakah, kau lebih pelan sedikit," pinta Deya. Edward mengabaikan ucapan wanita itu.
Beberapa pria melihat Deya seperti binatang kelaparan. Itu bukan tanpa sebab. Penampilan wanita itu yang berani dalam berpakaian membuat lekuk tubuhnya yang montok dan berisi di tempat yang tepat terekspos sempurna, juga parasnya yang cantik membuat mata yang memandang akan langsung jatuh hati.
"Hai, Cantik kau sendiri?" tanya seorang pria memegang bahu Deya.
"Lepaskan!" ucap Deya marah menarik tangan pria itu.
Edward menghentikan langkah. Lalu membalikkan tubuh menarik cepat tangan Deya dan memeluk pinggang kecilnya.
"Dia milikku, kau jangan berani menyentuhnya!" peringat Edward. Tatapan matanya tajam seperti elang memburu mangsanya. Rahangnya mengetat dan bergerak-gerak, membuat pria di depannya mundur seketika.
"Ops, santai Boss. Aku kira dia sendiri," ujar pria itu tahu siapa lawannya.
Edward lalu memeluk erat pinggang Deya keluar dari tempat itu dan masuk ke dalam lift.
"Pria ini sangat harum dan tampan," batin Deya melirik ke arah Edward. Pelukannya juga terasa hangat dan pas. Dia beruntung pria yang akan mengambil malam pertamanya bukan pria botak atau pria kasar berwajah seram. Setidaknya, dia berharap pria ini tidak akan membuat trauma yang mendalam padanya.
Edward melepas pelukannya setelah pintu lift tertutup. Membuat Deya terkejut. Dia menatap pria itu lewat pantulan dinding lift dengan takut.
Sekilas Deya mengingat pertemuan mereka pertama. Dia jadi tersenyum geli mengingat momen dimana dia memberikan uang receh pada Edward. Deya menahan tawanya dengan mengigit bibir bawah, hal itu sempat tertangkap penglihatan Edward. Untuk sesaat pria itu menyatukan kedua alisnya namun detik berikutnya dia kembali bersikap cuek dan angkuh.
Gedung ini terdiri atas tempat hiburan di lantai bawah. Ada restoran, klub malam dan tempat gym. Di atasnya adalah sebuah hotel dan atasnya lagi menjadi apartemen elit untuk para pengusaha dan crazy rich negeri ini.
Lift mulai terbuka Edward kembali setelah sampai di lantai yang dituju, berjalan hingga mereka berhenti di sebuah pintu apartemen.
Edward lalu masuk ke dalam, dia berjalan santai sembari melepaskan suit dan meletakkan di gantungan besi.
Pria itu melepaskan dua kancing atas bajunya dan juga kancing lengan. Duduk di sebuah sofa dengan tangan yang dibentangkan di atas sandaran sofa. Kakinya ditumpuk di atas kakinya yang lain. Menatap Deya lekat, memandangnya seperti sedang menilai dari atas ke bawah.
Udara dingin menerpanya begitu memasuki ruangan, membuat tubuhnya merinding. Kaki gemetar tetapi Deya berusaha untuk tetap terlihat tenang walau pikiran dan hatinya kacau. Dia tidak ingin membuat semuanya berantakan. Baju yang dia kenakan rasanya bertambah ketat dan membuat sesak. Sepertinya dia butuh oksigen tambahan kali ini.
"Apa yang akan kau tawarkan padaku. Tubuhmu saja belum berkembang secara sempurna dan kau sepertinya tidak punya keahlian untuk membangkitkan hasratku," ejek Edward dingin, memecah kesunyian.
"Aku masih Virgin," jawab Deya dengan percaya diri.
"Apakah virgin mu bisa menjamin kepuasanku?" tanya Edward dengan menaikkan kedua alisnya ke atas. Nada bicaranya seperti sedang merendahkan membuat ciut nyali Deya. Deya menghela nafasnya lagi kali ini.
"Aku tidak tahu jika kau belum mencobanya!" jawab Deya santai dengan kepala terangkat. Dia sendiri bingung bagaimana bisa memberikan jawaban segila itu.
Edward tertawa kecil mendengarnya. Mencoba mengorek pikiran gadis yang menurutnya sama sekali belum dewasa.
"Kau masih kecil tapi begitu yakin dengan dirimu sendiri. Anak seusiamu itu seharusnya masih di rumah, menunggu uang jajan dari orang tua tetapi kau malah melakukan hal gila ini. Kenapa kau melakukannya? Apakah hanya demi tuntutan gaya hidup?"
"Ini ranah pribadi saya. Tidak ada keharusan pada diri saya untuk menjawabnya." Deya tidak akan menjual simpati pada orang asing.
"Berarti kau tahu apa yang sedang kau perbuat?" tanya Edward. Deya mengangguk.
"Kalau begitu, lakukan yang terbaik dan puaskan aku!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
NetizeN MahaBapeR
waduhhh🏃🏃🏃🏃🏃
2022-09-09
1
Nila Nila
masih Ori dia Edward.....belum pernah di unboxing...jadi ya kamu yg ngeduluin lah....bisa bjsa ketagihan kamu Ward ..🤣🤣🤣
2022-07-30
2
Puja Kesuma
ducj deya jgn terlalu percaya diri..hrsnya mohon jgn di sentuh...
2022-07-09
2