"Kau jangan mencari-cari kesalahanku!" kilah Soraya gugup.
"Jangan membodohiku lagi Soraya, aku sudah cukup bersabar dengan segala tingkahmu itu. Kembalilah menjadi istri dan ibu yang baik bagi Zahra dan aku akan memaafkanmu karena Zahra sangat membutuhkanmu!" pinta Edward menekan egonya kuat demi kebahagiaan semua orang.
"Semua untuk Zahra dan semua juga salahanku. Pernahkah terpikir jika semua permasalahan ini timbul karenamu!" tunjuk Soraya pada Edward membuat wajah pria itu merah padam, tangannya mengepal kuat tetapi dia masih menahan diri.
"Katakan dimana salahku?" kata Edward tegas namun tetap tenang sambil maju beberapa langkah. Nafasnya mulai terdengar memburu.
"Kau selalu bepergian lama meninggalkanku, sekalinya kau pulang itu juga larut malam. Esok harinya kau sudah harus pergi lagi. Ketika kau libur bukannya hari itu menjadi waktu kita berdua kau malah berselingkuh dengan map-map yang ada di ruang kerjamu. Kau tidak memikirkan aku, kau hanya mementingkan urusanmu sendiri. Menyalurkan hasratmu setelah selesai lalu tidur tanpa mengindahkan perasaanku, seolah aku hanya bonekamu saja," ungkap Soraya. Mata Edward memerah seketika, rahangnya terlihat mengetat dan jakun di lehernya bergerak naik turun. Tangannya sudah terbuka ingin melayang sebuah tamparan untuk istrinya tapi jika itu dia lakukan semua masalah ini tidak akan pernah usai.
"Aku seorang wanita yang butuh di perhatikan, jika yang lain memberikanku kebutuhan itu maka jangan salahkan aku jika berpaling darimu."
Edward tertawa sinis lalu melihat ke arah Soraya dengan tatapan tajam, dingin dan terluka.
"Lalu apa yang kau inginkan?" tanya Edward
"Aku hanya ingin berpisah darimu!" jawab Soraya. Mata Edward melebar seketika. Dia tidak mengira kalimat perpisahan akan keluar dari bibir Soraya dengan begitu mudahnya. Dia menelan Salivanya yang tercekat mengusap wajah lalu menarik nafas dalam, mengatur emosinya. Membalikkan tubuh.
"Akh!" emangnya murka.
"Setelah sepuluh tahun pernikahan kita, kau mengucapkan kalimat perpisahan dengan begitu enteng. Apakah kau pernah memikirkan hatiku dan Zahra?" tunjuk Edward dengan suara rendah namun penuh penekanan.
''Hanya karena Zahra aku masih bertahan hingga detik ini, aku lelah dengan rutinitas pertengkaran kita. Aku ingin menyelesaikannya." Soraya berjalan hendak keluar dari rumah, namun tangannya di cekal oleh Edward.
"Soraya aku belum selesai bicara!" seru Edward menggelegar.
"Sudahlah Edward, kita berdua butuh waktu untuk sendiri. Sekarang aku ingin keluar dari rumah ini dan memikirkan semuanya lagi." Soraya menepis cekalan tangan Edward dan melangkah pergi tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
Edward hanya bisa memandangi kepergian wanita yang sangat dicintainya dengan hati yang hancur.
Tubuhnya melemas seketika. Dia mendudukkan diri di kursi lalu menumpu siku pada lututnya. Dua ibu jarinya memijat kepalanya yang pening. Perpisahan apakah itu akan baik untuk Zahra? Sedangkan anak itu sekarang sudah mulai tertutup dan tertekan. Dia butuh seseorang untuk menghibur anaknya yang pasti itu bukan Soraya karena wanita itu hanya mencintai dunianya.
Edward tidak sadar jika pertengkarannya dengan soraya diperhatikan oleh Zahra dari lantai atas. Anak itu hanya bisa mengatupkan dua bibirnya rapat-rapat. Ingin berlari memeluk ayahnya namun tidak bisa. Kakinya masih sangat sakit untuk digerakkan, dia hanya bisa memandangi kesedihan ayahnya dari jauh.
"Ayah … ." gumam Zahra lirih yang ikut sakit melihat pertengkaran itu. Dan dia merasa bersalah karena dia yang menyebabkan mereka berpisah.
"Mbak kita masuk saja kembali ke kamar," pinta Zahra pada pengasuhnya, lirih dengan suara yang serak.
***
Pagi harinya, di sebuah rumah sederhana Deya bangun dengan wajah segar penuh semangat. Dia menatap sang mentari dari jendela yang sudah dibuka oleh ibunya. Semilir angin yang masih berhawa sejuk menerpanya.
"Pagi dunia, apakah hidupku pada hari ini akan secerah dirimu?" Deya tersenyum dan merogoh bawah bantalnya mencari handphone 3G yang selalu menemaninya pergi. Walau itu handphone jadul, setidaknya itu bisa menjadi satu-satunya alat komunikasi yang dia miliki untuk berhubungan dengan orang luar.
Dia melihat beberapa pesan dari Lia. Gambar makan malam yang dilakukan Lia bersama suami kontraknya dan gambar makanan yang dia makan. Juga beberapa pesan penting untuknya.
Lia menulis beberapa pesan untuknya. "De ke rumahku siang nanti sebelum jam makan siang, Okey!"
"Asiiap," tulis Deya pada pesannya.
Hati Deya berdegup kencang dengan pesan yang Lia sampaikan. Apakah Lia sudah mendapatkan calon suami kontrak untuknya?
Rasa gugup kembali menyerangnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Deya melihat jam di dinding. Sudah pukul tujuh lebih empat puluh menit.
Dari rumahnya ke apartemen Lia membutuhkan waktu dua jam jika langsung mendapatkan angkutan kota. Jika tidak macet dan tidak ada masalah lainnya yang menghalangi perjalanannya.
Deya langsung mengambil handuknya dan berlari pergi ke kamar mandi. Dia sempat berpapasan dengan ibu yang sedang membawakan ayah segelas teh hangat.
Dia memelankan langkahnya dan berjalan menunduk lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Ratmi, ibu Deya, teriris hatinya ketika melihat Deya. Rasa gagal untuk membawa anaknya hidup lebih baik membuatnya terpuruk. Wajahnya tertunduk ketika duduk di hadapan suaminya. Buliran bening itu kembali turun tanpa bisa dicegahnya.
"Sabar Bu, aku pun sama merasakannya. Semua ini terasa berat untuk kita berdua. Kita hanya bisa berdoa, semoga Deya bisa mendapatkan jalan yang baik dan kehidupan yang baik pula setelah ini. Kita tidak bisa mencegahnya namun jangan menghakiminya karena dia butuh support penuh dari kita," ucap Seto. Ratmi memandang wajah suaminya.
"Jangan berpikir aku setuju dengan langkahnya. Bagiku lebih baik kehilangan rumah ini dari pada melihat Deya hancur. Namun kita tidak bisa mencegah keinginan anak itu. Aku takut dia malah pergi dan memberontak pada kita."
Ratmi menjatuhkan diri dalam dada suaminya dan mencurahkan kesedihan lewat isak tangisnya. Seto memeluk istrinya dan mengusap lembut punggung Ratmi. Dia merasa gagal menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga sehingga menyebabkan keluarganya menjadi menderita seperti ini.
Setelah mandi dan merapikan dirinya Deya membawa tas keluar dari kamar. Dia berjalan melewati keluarganya dengan menundukkan kepalanya.
"Deya, makan dulu, Nak," panggil lembut ibunya. Deya menengadahkan wajahnya melihat ke arah ibu, ayah dan dua adik yang sedang menatap ke arahnya. Rasa perih kembali menghampiri dirinya.
Sebuah senyum terbit dari bibir Deya membuat wajah muramnya kembali cerah. Deya duduk di kursi samping adiknya yang paling kecil.
"Kakak punya cokelat untuk kalian," bisik Deya lalu mengambil dua batang coklat dari tasnya.
Mata adiknya terbelalak senang. Mereka langsung berebut mengambil coklat itu.
"Terima kasih, Kak," kata keduanya.
"Hanya itu?" tanya Deya. Dua-duanya langsung mendekati Deya dan mencium pipi kakaknya.
Deya tersenyum senang.
"Maaf Ibu, aku bangun kesiangan jadi tidak bisa membantu ibu membuat kue," ucap Deya.
"Hari ini, Ibu libur membuat kue," jawab Ratmi dengan dada yang sesak. Ingin rasanya dia memeluk Deya dan mengucapkan kekhawatirannya akan pekerjaan terlarang yang ingin dilakukan anaknya. Namun dia menahan dirinya.
"Oh, wah! Telur mata sapi dengan sambal kecap. Ini makanan kesukaanku, Bu." Deya menyendokkan nasi ke piringnya dan mengambil satu telur mata sapi lalu di siram sambal kecap di atasnya. Deya makan dengan lahap pagi ini. Walau sederhana namun makanan ini terasa lezat untuk mereka.
Seto memandangi anaknya dengan senyum tipis yang hampir tidak terlihat. Anaknya telah dewasa sekarang sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak. Dia percaya Deya tidak akan berbuat hal-hal yang akan menodai nilai-nilai agama yang dianutnya.
Setelah selesai dengan makannya, Deya melihat ke arah jam tangan. Sudah pukul sembilan. Dia langsung berdiri dan berpamitan.
Deya berlari melewati gang sempit yang hanya selebar lima puluh centi saja. Sepanjang jalan orang-orang terlihat menyapanya. Akhirnya dia bisa keluar dari gang sempit itu dan berjalan menuju jalan raya.
"Deya, semangat," gumamnya pada diri sendiri.
Dia hendak menyeberang jalan ketika sebuah mobil hampir saja menabrak dan membuat dia jatuh di aspal yang panas.
"Awww ... ," pekik Deya kesakitan.
Dia memegang sikunya yang berdarah.
"Dek, kau tak apa-apa?" tanya seorang pria dengan tubuh menjulang tinggi ke atas yang berada di sampingnya. Silaunya sinar matahari membuat wajah pria tidak terlihat jelas.
Pria itu lalu membantu Deya berdiri.
"Kalau mengendarai mobil yang hati-hati dong, Om. Om lihat! Sikuku berdarah karena jatuh tadi. Jika tadi aku tidak segera menghindar, aku pasti sudah mati," geram Deya.
"Tapi kau masih bisa berdiri tegak 'kan," jawab pria itu sembari menyunggingkan senyum jahil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
lalalicious
Hi thor salam kenal ya👋 "My Favorite Wife" sudah mampir nih, jangan lupa mampir baca juga ya thor🤗
2023-05-30
0
NetizeN MahaBapeR
aku hadir thor
2022-09-09
1
Nila Nila
aku masih disini nyimak ya
2022-07-30
2