MIRACLE: SUPER RICH!!!
Di teras lantai dua, di mana ubin keramik terasa dingin menembus kaus kaki, Tanaka Syahputra duduk di kursi aluminium yang sudah usang. Udara subuh masih pekat dan menusuk, memaksa pria 34 tahun itu memeluk dirinya sendiri.
Malam telah habis dihabiskan dalam kebisuan, ditemani gumpalan awan gelap yang kini perlahan terurai, memberi tempat bagi semburat jingga di ufuk timur—pemandangan yang ironisnya terhalang oleh gedung-gedung tinggi yang menjulang.
“Brrr… dingin sekali,” bisiknya pada diri sendiri.
Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena hawa dingin yang menusuk, tetapi juga karena cemas yang membelenggu. Selama dua tahun terakhir, sejak ia kehilangan kedua orang tuanya, hidupnya bagai kapal tanpa kemudi. Ia lulus dengan gelar sarjana hukum dari universitas ternama, namun sifatnya yang introvert akut bagai rantai yang mengikat.
Dulu, ia mencoba bekerja sebagai pegawai restoran, namun hanya bertahan tiga bulan. Panggilan menjadi wartawan online dari seorang teman pun hanya sanggup ia lakoni selama dua tahun. Kini, setelah gagal dalam bisnis pakaian online, ia kembali terdampar di rumah peninggalan orang tuanya, sebatang kara dan terlilit utang.
Ponsel keluaran 2018-nya yang layarnya retak berkedip. Pukul setengah enam pagi lewat sepuluh menit.
“Astaghfirullah, aku melewatkan salat Subuh,” gumamnya, penuh penyesalan.
Ia melihat bar notifikasi panggilan telepon dan pesan WhatsApp menumpuk—30 panggilan tak terjawab, 50 pesan belum terbaca. Semua berasal dari sumber yang sama: para rentenir pinjaman online. Teror dari debt collector sudah menjadi santapan sehari-hari sejak ia mulai menunggak angsuran bulan lalu.
Hutang-hutang ini, yang seharusnya menjadi modal usaha, justru kini menjadi momok yang tak pernah berhenti mengejarnya.
"Keputusan salah, atau memang ini takdirnya?" Tanaka bertanya-tanya.
“Kenapa dulu aku memilih jurusan hukum, haa…,” keluhnya, suaranya parau.
Andai saja ia memilih jurusan IT atau sastra, mungkin hidupnya tak akan sekacau ini. Ia bisa bekerja dari rumah, jauh dari keramaian dan interaksi sosial yang selalu membuatnya canggung. Sifat introvert yang sudah mencapai ‘stadium empat’ ini, seperti yang sering ia deskripsikan pada dirinya sendiri, membuatnya enggan berhadapan dengan orang lebih dari satu. Keramaian, percakapan langsung, tatapan mata—semua itu adalah racun baginya. Ia lebih memilih kesendirian, ditemani buku, film, atau game di komputernya.
Pikirannya melayang pada percakapan semalam, percakapan yang merobek hatinya hingga hancur berkeping-keping.
“Kita cukup akhiri sampai di sini saja hubungan kita, Tan,” suara Saras, pacarnya selama enam tahun, terdengar begitu tegas.
Tanaka terhenjak, jantungnya serasa berhenti berdetak. “Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan?”
Saras membuang pandang, tak sanggup menatap mata pria yang selama ini sangat mencintainya. “Aku tahu kamu sudah berusaha kumpulkan uang untuk pernikahan kita… tapi aku enggak bisa nunggu lebih lama lagi. Kamu juga sudah mulai terlilit utang.”
“Aku melakukan ini semua untuk masa depan kita, Sayang. Tolong beri aku kesempatan lagi,” mohon Tanaka, suaranya bergetar.
“Tapi hasilnya apa? Usaha online-mu gagal. Belum menghasilkan apa-apa kecuali utang yang terus bertambah karena bunganya. Rumah peninggalan orang tuamu bahkan sudah kamu jadikan jaminan di bank,” Saras mulai terisak. “Aku rasa kita harus mengakhiri ini. Aku enggak lihat ada masa depan yang baik buat kita. Aku juga enggak mau anak-anakku nantinya hidup dikejar-kejar rentenir.”
Tanaka terdiam, tak mampu membantah. Apa yang dikatakan Saras benar adanya. Ia bahkan tak tahu harus tinggal di mana jika rumah warisan itu benar-benar disita bank.
“Aku transfer uang lima juta ke rekeningmu. Anggap saja ini uang perpisahan. Semoga bisa meringankan beban utangmu,” kata Saras seraya bangkit.
Kenangan itu bagai pukulan telak. Ia menatap langit yang kini telah sepenuhnya terang, namun hatinya terasa semakin beku. Udara hangat pagi tak mampu menembus dingin yang dirasakannya.
“Kenapa hidupku makin kacau sejak Papa sama Mama pergi?” bisiknya.
Dengan napas berat, Tanaka bangkit dari kursinya. Ia masuk ke dalam, turun ke lantai satu, menuju kamar mandi untuk berwudu. Ia melihat plafon di lantai dua sudah banyak yang rusak dan berlubang karena serangan rayap. Jendela dan pintu juga memiliki bekas-bekas sarang rayap. Sejak ia tak punya uang, rumah itu dibiarkan tanpa renovasi, begitu saja.
Setelah menunaikan salat subuh yang terlambat, ia berdzikir dan memanjatkan doa, memohon bantuan dan pertolongan dari Tuhan.
Dahinya menempel di sajadah yang telah usang. Ia terisak lirih. “Ya Allah... Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui... aku malu dengan-Mu, ya Allah. Aku tahu hamba-Mu ini sering lalai, sering melupakan-Mu. Tapi kini, tak ada lagi yang bisa hamba-Mu ini andalkan, kecuali Engkau.”
Napasnya terasa berat. "Ya Allah, aku mohon, berikanlah hamba-Mu ini jalan keluar. Ringankanlah beban yang ada di pundak hamba. Engkau Maha Pemberi Rezeki. Bukakanlah pintu rezeki dari segala arah, ya Allah. Berikanlah hamba-Mu ini kekuatan untuk bangkit, untuk melunasi semua utang hamba... untuk mengubah nasib ini. Hamba mohon... tolonglah hamba, ya Allah."
Selesai berdoa, ia melanjutkan rutinitasnya dengan mandi, mengenakan kaus polos dan celana training kesukaannya, lalu beranjak ke dapur.
Membuka Kulkasnya, ia melihat isinya hanya menyisakan beberapa olahan bumbu yang sudah menipis, toples selai srikaya, sayuran yang sudah agak kering, dan telur yang hanya tersisa lima butir.
Melihat itu, Ia merasa harus ke pasar.
Tanaka mengambil dompetnya. Isinya hanya kartu identitas, SIM, STNK motornya, satu kartu ATM, dan beberapa lembar uang kertas. Total enam puluh ribu rupiah.
Ia menghela napas. “Bagaimana bisa aku bertahan dengan uang segini? Tiga hari juga kayaknya enggak bakal cukup.”
Teringat janji Saras, ia mengambil ponselnya. Mengecek saldo rekening melalui mobile banking. Sebuah pesan singkat muncul: saldo nol. Uang lima juta dari Saras telah habis dipotong bank untuk membayar cicilan hutang.
“Sialan! Seharusnya aku minta uang tunai saja!” umpatnya, menyesal.
Awalnya ia ingin menolak uang dari Saras karena harga diri, namun ia sadar, di saat seperti ini, harga diri tak ada artinya. Sayangnya, uang yang ia harapkan bisa memberinya napas selama dua bulan, raib dalam sekejap.
Dengan sisa uang enam puluh ribu rupiah, Tanaka memutuskan tetap pergi ke pasar. Ia tidak mungkin hanya makan nasi dengan garam atau telur saja.
Ia mengeluarkan motor matic 2015-nya. Kendaraan itu adalah satu-satunya aset yang tersisa dan satu-satunya alat transportasi. Jika usahanya benar-benar gagal total, ia akan menjual motor ini sebagai modal cadangan hidupnya. Dulu ia punya mobil, tetapi ia jual setelah ayahnya meninggal karena biaya perawatan dan pajaknya terlalu mahal.
Di teras, ia melihat tumpukan kertas. Tagihan air dan pinjaman bank. Tanpa membacanya, ia menaruhnya di atas meja. Tagihan air selalu datang setiap bulan, meskipun ia menggunakan air sumur. Alasannya, itu adalah “biaya perawatan”. Tentu saja ia kesal, namun tak punya uang untuk membayar biaya pencabutan pipa. Listriknya menggunakan token, dan ia hidup dalam mode penghematan ekstrem—sebagian besar lampu mati, hanya mengandalkan senter ponsel atau senter pengisi daya.
Dengan perasaan lesu, Tanaka menaiki motornya. Ia bersyukur bensinnya masih penuh, cukup untuk sebulan karena ia jarang keluar rumah. Ia memakai helm, menyalakan mesin motornya, dan mengendarai motornya menuju pasar terdekat.
Di pasar, ia bertransformasi menjadi ibu-ibu mode hemat. Tangan Tanaka terulur, menunjuk tumpukan bawang merah. “Bang, bawang sama cabenya berapa?” tanyanya pada seorang pedagang yang duduk di atas bangku kecil.
“Bawang Rp10 ribu, cabe Rp25 ribu sekilo,” jawab si pedagang, suaranya terdengar malas.
Tanaka menggeleng pelan. “Rp10 ribu sama Rp25 ribu? Aduh, enggak bisa kurang, Bang? Saya ini baru bangun tidur, dompet udah tipis. Bawang Rp8 ribu, cabenya Rp20 ribu aja ya?”
Pedagang itu langsung menaikkan alis, menatap Tanaka dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Wah, ini Bapak kok nawarnya kayak ibu-ibu mau ke pasar, Pak? Nawar sadis amat. Itu aja udah murah, modalnya aja Rp8 ribu, Pak, mana bisa saya jual segitu. Lagian, saya enggak kenal Bapak, ini baru pertama kali ke sini, kan?”
Tanaka menyunggingkan senyum memelas, ia mengusap wajahnya, lalu menunjukkan uang di tangannya yang hanya sisa selembar dua puluh ribuan dan beberapa receh. “Ya ampun, Bang. Udah lama banget enggak ke pasar. Ini saya udah modal nekat, Bang. Ini aja uang sisa dari tadi, Bang. Tolonglah, saya mau makan apa nanti kalau habis buat belanja?”
“Alah, Bapak bohong aja,” sahut pedagang itu, tidak percaya.
“Bohong apa, Bang? Saya sumpah, Bang. Kalau Bapak enggak percaya, sini Bang, saya tunjukin isi dompet saya,” ucap Tanaka, ia mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan hanya ada uang pas-pasan. “Tuh, Bang. Cuma segini, Bang. Hutang saya banyak banget, Bang. Kalau Bapak kasih harga Rp22 ribu, saya enggak bisa makan besok, Bang. Tolong lah Bang, saya mau makan, Bang, saya lapar, Bang,” bisik Tanaka, matanya berkaca-kaca, terlihat sangat putus asa.
Pedagang itu terdiam. Merasa iba melihat wajah memelas dan tatapan putus asa dari Tanaka. Ia menghela napas panjang. “Ya ampun, Pak. Bapak ini beneran atau bohong, sih? Saya jadi enggak enak. Yaudah, deh. Khusus buat Bapak. Rp20 ribu aja, ya. Tapi ini cuma buat cabenya aja, bawangnya tetap Rp10 ribu.”
“Lah, Bang. Kok cuma cabenya aja? Bawangnya juga dong, Bang. Jadi Rp8 ribu, Bang,” pinta Tanaka.
“Udah, Pak! Jangan nawar lagi! Nanti saya rugi, Pak!” keluh pedagang itu kesal.
Tanaka kembali menatap pedagang itu dengan tatapan memelas. “Saya janji, Bang. Kalau ada rezeki lagi, saya bakal borong dagangan Abang. Gimana, Bang? Tolonglah. Saya butuh bawang, Bang. Bawang ini teman setia di saat saya tidak ada lauk, Bang.”
Pedagang itu menggelengkan kepala, akhirnya menyerah. Ia tertawa kecil. “Ya, ampun. Ada aja orang kayak Bapak. Yaudah, Rp8 ribu. Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya. Nanti saya dimarahin teman-teman pedagang yang lain,” ujar pedagang itu.
“Sip, Bang. Makasih banyak, Bang. Semoga rezekinya lancar,” balas Tanaka, wajahnya langsung sumringah. Ia segera membayar, dan uang di dompetnya kini hanya tersisa Rp15.200. Ia menghela napas panjang.
Pusing. Rasa tidak nyaman yang selalu ia rasakan di tempat ramai mulai memuncak. Ia buru-buru meninggalkan pasar, menuju tempat parkir. Dua ribu rupiah untuk biaya parkir. Uangnya kembali berkurang.
Motornya melaju di jalanan, tetapi pikirannya berkecamuk. “Gimana bisa bertahan dengan uang segini? Tiga hari aja enggak mungkin.”
Lajunya melambat, ia terhanyut dalam lamunan. Di depannya ada truk. Ia mencoba menyalip tanpa melihat kondisi jalan dari arah berlawanan.
TIINNNNNNN!
Suara klakson yang memekakkan telinga menyadarkannya. Sebuah mobil sedan berwarna hitam melaju kencang dari arah depan. Tanaka terkejut, mencoba mengerem, namun semuanya sudah terlambat.
BRAKKK!
Motornya menabrak bagian depan mobil sedan itu. Tubuhnya terpental, melakukan salto yang tak sempurna di udara, sebelum jatuh menimpa kap mesin mobil. Ia merasakan sakit luar biasa di punggung dan belakang kepalanya. Pandangannya kabur, kesadaran mulai meninggalkannya.
“Haaa… apa ajalku sudah tiba?” batinnya, pasrah. “Mungkin ini lebih baik daripada hidup seperti ini.”
“Papa... Mama... aku akan menyusul kalian di sana,” bisiknya, suaranya menghilang digantikan keheningan.
Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya, ada satu permohonan yang terucap. “Tuhan, aku mohon padamu, jangan anggap apa yang sedang terjadi ini sebagai aku sedang melakukan bunuh diri ya?”
Ia memejamkan mata, membiarkan sakit menjalar di seluruh tubuhnya. Detik-detik terakhir yang terasa abadi itu, ia berusaha keras mengumpulkan sisa tenaganya, napasnya tersengal. Bibirnya bergetar, mencoba mengucapkan kata-kata yang telah ia hafal sejak kecil.
“Asyhadu an laa ilaaha illallaah...” ucapnya terbata-bata, namun lantang di tengah kebisingan yang tiba-tiba sirna dari pendengarannya. “...wa asyhadu anna muhammadar rasuulullaah…” Kalimat itu terucap sempurna.
Sebuah air mata mengalir dari sudut matanya, bercampur dengan darah yang menetes dari kepalanya, sebelum akhirnya semua menjadi gelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Hadi P
saran jangan bawa agama,, Thor,,, 🙏🙏
2023-03-24
2
Vincent Da Vinci
mmg Padan pun kena putus, mana Ada cewek tahan dengan boyfriend penganguran 4 tahun.
2022-10-20
0
《KANG SESAD》
sip
2022-09-12
0