Selama seminggu lebih, Tan dirawat di rumah sakit. Selama itu juga, ia bisa beristirahat dengan tenang, sejenak melupakan semua masalah hidup yang sedang dihadapinya. Tidak ada lagi teror dari para debt collector, karena ponselnya mengalami kerusakan parah akibat kecelakaan. Ia tidak berpikir untuk memperbaikinya, meskipun harga perbaikannya sama dengan membeli ponsel terkini yang paling murah. Ponsel itu sudah menemani di masa-masa sulit, dan kini, sudah saatnya dipensiunkan.
Tan juga tidak perlu memusingkan biaya perawatan di rumah sakit, karena semuanya ditanggung oleh Ayunindya. Begitu juga dengan motornya yang berada di bengkel untuk diperbaiki. Meskipun di dalam hatinya ia ingin motornya diganti dengan yang baru, ia tidak ingin terlalu serakah. Ia sadar, kecelakaan itu sepenuhnya salahnya.
Seharusnya aku yang membayar ganti rugi, bukan sebaliknya. Tapi, di sisi lain, Tuhan memberiku jalan keluar. Aku harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya.
Hari ini, perban di kepalanya dilepas. Punggungnya sudah tidak lagi terasa sesakit di awal. Dokter menyatakan ia sudah boleh pulang, dan itu adalah berita yang membawa kelegaan sekaligus kecemasan baru.
Ia bangkit dari ranjang, perlahan mengumpulkan barang-barangnya. Sebuah tas selempang kecil, berisi dompet dan ponselnya yang sudah tak bernyawa, serta pakaian yang sama dengan saat ia kecelakaan. Kausnya lusuh, dengan noda darah kering yang samar. Tidak ada teman atau keluarga yang menjenguk dan membawakan baju ganti. Ia hidup sendiri.
Sebelum keluar, ia menyempatkan diri berpamitan dengan teman sekamarnya. Seorang pria paruh baya yang kakinya patah akibat pertandingan sepak takraw antar-RT, dan seorang mahasiswa muda yang baru saja menjalani operasi usus buntu.
Selama seminggu, ia lebih banyak mengobrol dengan pria paruh baya itu. Pria itu, seorang pengemudi ojek daring, tidak pernah berhenti bercerita. Dari beban hidup sebagai kepala keluarga hingga keluh kesah soal pekerjaan. Sebagai seorang introvert, Tanaka awalnya enggan berinteraksi, namun rasa bosan dan kebaikan pria itu membuatnya luluh.
"Gimana, Mas Tanaka?" sapa pria paruh baya itu, namanya Pak Dede. Ia melambaikan tangan dengan semangat dari ranjangnya. "Udah boleh pulang, ya?"
Tanaka tersenyum tipis. "Iya, Pak. Dokter bilang udah nggak apa-apa. Pak Dede kapan pulangnya?"
"Ah, saya masih lama ini, Mas. Paling cepat sebulan lagi. Kata dokter, tulangnya harus nyambung sempurna dulu. Maklum, namanya juga tulang orang tua, butuh waktu lebih lama," canda Pak Dede sambil menunjuk gips yang melilit kakinya.
Tanaka terkekeh. Ia menghampiri ranjang Pak Dede. "Sabar, Pak. Cepat atau lambat, Bapak bakal pulang juga."
"Gimana rencana ke depan, Mas? Kata dokter, Mas nggak ada yang jenguk. Sendirian di rumah, ya?" tanya Pak Dede, suaranya terdengar prihatin.
Tanaka terdiam sejenak. Ia mengangguk. "Iya, Pak. Orang tua saya sudah nggak ada. Saya tinggal sendiri."
"Sama kayak saya, Mas. Istri saya juga udah meninggal duluan. Anak saya sudah pada sibuk masing-masing. Hidup ini memang keras, ya," kata Pak Dede sambil menghela napas.
"Tapi kita harus kuat, Mas. Demi diri sendiri. Saya doain, semoga Mas Tan dikasih rezeki yang berlimpah sama Tuhan, biar bisa bangkit lagi."
"Aamiin. Terima kasih banyak, Pak Dede. Doain saya, ya. Kalau ada waktu, mampir ke rumah saya. Nanti saya masakin kopi," balas Tanaka, tulus.
Pak Dede tertawa. "Siap, Mas. Tapi nanti saya juga yang bawain jajanan, ya. Biar nggak ngerepotin. Jaga diri baik-baik, Mas."
"Iya, Pak. Bapak juga, ya. Cepat sembuh," kata Tanaka sambil menepuk bahu Pak Dede.
Setelah itu, ia berpamitan dengan teman sekamarnya yang lain, mahasiswa muda yang pendiam. Ia melangkah keluar, menyusuri koridor rumah sakit.
Saat berjalan di koridor, ia berpapasan dengan Suster Fitri yang sering merawatnya.
"Loh, Pak Tanaka? Mau pulang?" sapa Suster Fitri, ramah.
"Iya, Suster. Dokter bilang sudah boleh pulang," jawab Tanaka, tersenyum.
"Syukurlah. Saya kira Bapak belum ada yang jemput," kata Suster Fitri sambil menatap sekeliling. "Kalau mau pesan taksi atau ojek online, pakai ponsel saya saja, Pak."
"Tidak usah, Suster. Nanti saya cari di depan saja. Lagipula, saya tidak bawa uang tunai banyak," kata Tanaka, sedikit berbohong. Ia tidak ingin orang tahu bahwa ia akan mendapatkan uang kompensasi 50 juta.
"Baiklah. Hati-hati di jalan, ya, Pak. Cepat sembuh, jangan lupa minum obatnya. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan hubungi saya. Ada nomor saya di pergelangan tangan Bapak, kan?" goda Suster Fitri.
Tanaka tertawa.
"Iya, Suster. Terima kasih banyak atas bantuannya selama ini. Suster orangnya ramah sekali."
Suster Fitri tersipu.
"Sama-sama, Pak. Itu sudah tugas saya. Bapak juga orangnya baik, saya suka kalau Bapak cerita."
"Cerita apa, Suster? Saya kan jarang ngomong," balas Tanaka, pura-pura tidak tahu.
"Ah, Bapak pura-pura. Kemarin kan Bapak cerita sedikit soal apa yang sedang bapak hadapi saat ini. Bapak sabar sekali orangnya," kata Suster Fitri.
Tanaka terdiam sejenak.
"Terima kasih, Suster."
"Iya, Pak. Semoga Bapak bisa menjalani hidup yang lebih baik lagi. Doa saya selalu menyertai Bapak," kata Suster Fitri, tulus.
"Aamiin. Terima kasih banyak, Suster. Suster juga, ya. Sukses selalu," balas Tanaka.
Setelah berpamitan, ia melangkah keluar, menyusuri koridor rumah sakit, ia menyapa suster dan dokter yang ia kenali.
Hatinya bertanya-tanya. Di mana perwakilan legal dari Jaya Group yang menjanjikan kompensasi? Ia meminta uang itu secara tunai, bukan transfer, agar terhindar pemotongan dari pihak bank atau cicilan angsuran pinjamanya.
Pria itu menjanjikan uang akan diberikan saat ia pulang dari rumah sakit.
"Apa aku harus langsung ke kantor pusat Jaya Group di kota ini?" gumamnya pada diri sendiri, sambil menekan tombol lift.
Lift berdenting. Pintu terbuka. Tanaka masuk, dan beberapa menit kemudian, ia sudah berada di lobi. Ia melangkah menuju pintu utama, memantapkan niat untuk pergi ke kantor perusahaan itu. Namun, tepat saat ia akan tiba di pintu utama rumah sakit tersebut, sosok yang ia cari tiba-tiba muncul. Pria berjas itu, dengan wajah datar yang sama, masuk dari arah berlawanan.
Mata mereka bertemu. Pria itu menyunggingkan senyum tipis.
"Tuan Tanaka, kebetulan sekali kamu di sini. Saya baru saja akan menuju bangsal Anda," sapa pria itu.
"Ya, saya sudah diizinkan pulang. Perawatannya akan dilanjutkan dengan rawat jalan," jawab Tanaka, merasa lega sekaligus canggung.
Pria itu mengangguk, lalu memberi isyarat agar Tanaka mengikutinya. "Mari, ikut saya ke mobil. Tidak nyaman membicarakan masalah puluhan juta di tempat terbuka seperti ini."
Tanaka mengangguk. Ia mengekor di belakang pria itu, berjalan di area parkir rumah sakit yang luas. Hujan baru saja reda, menyisakan genangan air dan aroma tanah basah.
Mereka berhenti di samping sebuah sedan hitam mengilap. Pria itu membuka pintu, dan mereka berdua masuk. Tanaka duduk di kursi penumpang depan, sementara pria itu duduk di kursi kemudi.
"Sebelumnya, saya ucapkan selamat karena anda sudah boleh pulang," ujar pria itu, suaranya kembali formal. "Kedatangan saya ke sini adalah untuk menyerahkan cek senilai lima puluh juta rupiah, sesuai dengan kompensasi yang telah disepakati."
Pria itu mengambil sebuah amplop coklat dari laci dasbor, mengeluarkan selembar kertas berharga itu, dan menyerahkannya pada Tanaka.
Tanaka memandang cek itu dengan takjub. Nominal Rp 50.000.000,00 tercetak jelas di sana, di bawah nama penerima: Tanaka Syahputra. Ada tanda tangan dari manajer Jaya Group cabang Yogyakarta.
"Kami tidak bisa memberikan uang tunai karena terlalu berisiko bagi anda untuk membawanya. Cek ini bisa dicairkan di seluruh Bank Pusat Asia (BPS) di Indonesia dalam waktu tiga hari, terhitung mulai hari ini," jelas pria itu.
Tanaka mengangguk, hatinya berdebar. Ia memasukkan cek itu ke dalam tas selempangnya, menjaganya dengan erat seolah benda itu adalah nyawanya. Ini bukan hanya selembar kertas, ini adalah tiketnya untuk bebas. Tiketnya untuk memulai babak baru.
Setelah urusan selesai, pria itu menawarkan tumpangan, namun Tanaka menolak. Ia tidak ingin terlalu berutang budi. Begitu mobil pria itu melaju pergi, Tanaka berjalan menuju pintu gerbang rumah sakit. Ia tidak punya ponsel untuk memesan ojek online, jadi ia harus mencari tumpangan secara manual.
Ia melihat penampilannya. Kaus lusuh dengan noda darah kering yang samar. Celana training robek.
"Mungkin lebih baik naik ojek pangkalan daripada naik bus dengan pakaian seperti ini," gumamnya.
Namun, tidak ada pangkalan ojek di sekitar. Ia memutuskan untuk menunggu di pinggir jalan, berharap ada pengemudi ojek online yang lewat tanpa penumpang.
Tak lama kemudian, sebuah motor matic berhenti di hadapannya. Pengemudinya adalah seorang pria paruh baya. Tanaka langsung menyapanya.
"Mas, bisa minta tolong antar saya?"
Pengemudi itu menatap Tanaka dari atas ke bawah. "Mau ke mana, Mas?"
Tanaka menyebutkan alamatnya. Pengemudi itu menyebutkan harga. "Dua puluh lima ribu, Mas. Kalau online, tiga puluh ribu."
Tanaka menelan ludah. "Bisa lima belas ribu, Mas?"
Pengemudi itu mengerutkan dahi. "Loh? Kok murah banget, Mas?"
"Begini, Mas," kata Tanaka, dengan jujur. "Saya baru keluar dari rumah sakit. Saya kecelakaan. Uang saya cuma sisa lima belas ribu."
Pengemudi itu awalnya ragu, namun saat ia melihat lebih dekat, ia menyadari kebenaran ucapan Tanaka. Kausnya yang robek, bekas darah di kerah leher, perban yang menempel di kepala… ia melihat dompet Tanaka yang diperlihatkan oleh orangnya sendiri sebagai bukti kalau dia tidak punya banyak uang, yang isinya hanya dua lembar uang, satu sepuluh ribuan dan satu lima ribuan. Rasa iba menjalar di hatinya.
"Ya sudah, ayo naik. Cuma lima belas ribu nggak apa-apa," katanya.
Tanaka sangat berterima kasih dan dia pun naik ke jok belakang, hati-hati agar tidak merasakan sakit. Pengemudi itu menyodorkan helm yang tanak pasangkan ke kepalanya dengan lembut untuk menghindari rasa sakit.
Selama perjalanan, pengemudi ojek itu banyak bertanya. Ia bertanya tentang kecelakaan yang dialami Tanaka. Tanaka hanya bercerita singkat, tentang betapa beruntungnya ia bertemu orang yang baik hati.
Ia tidak menceritakan soal kompensasi lima puluh juta, karena ia tahu, uang bisa mengubah manusia. Ia tidak ingin berburuk sangka, tetapi ia harus waspada.
Setibanya di depan rumahnya, Tanaka turun. Ia melepaskan helm dan merogoh dompetnya. Namun, pengemudi itu menolak.
"Tidak usah, Mas. Biarkan rezeki ini diganti sama Tuhan. Saya ikhlas," kata pengemudi itu, tulus.
Tanaka terkejut. "Tapi, Mas…"
"Sudah, nggak apa-apa. Saya tahu, Mas baru kena musibah. Semoga cepat sembuh, ya."
Tanaka merasa sangat bersyukur. Ia tidak bisa berkata-kata, selain mengucapkan terima kasih dan mendoakan kebaikan untuk pengemudi ojek tersebut. Pria itu mengaminkan, lalu pergi.
Tanaka berdiri di depan rumahnya, menunggui sampai motor pengemudi ojek itu hilang dari pandangan. Setelah memastikan ia sendirian, ia melangkah masuk ke dalam pagar rumahnya.
Ia membuka kunci pagar, lalu pintu rumah. Ia berharap tidak ada maling yang masuk selama ia dirawat di rumah sakit.
Begitu di dalam, ia langsung menuju kamar, melepas pakaian lamanya, dan mencari pakaian yang layak. Ia tidak akan pergi ke bank dengan pakaian seperti itu.
Ia butuh pakaian yang lebih bersih dan sedikit lebih bagus. Sebuah kemeja lengan pendek dan celana kain yang masih layak ia pakai.
Ia tidak bisa menunggu lagi. Walaupun cek itu bisa dicairkan dalam tiga hari, ia ingin memegang uang tunai itu secepatnya.
Setelah berpakaian, ia mengunci rumahnya dan berjalan menuju halte bus kota. Ia tidak punya ponsel untuk memesan ojek daring. Perjalanan dengan bus memakan waktu lebih dari satu jam. Bus itu berjalan lambat, berhenti di banyak halte, seperti menguji kesabaran. Namun, Tanaka tidak peduli. Pikirannya hanya terfokus pada selembar kertas di tasnya.
Setibanya di Bank Pusat Asia, ia melangkah masuk. Seorang satpam menyambutnya dengan ramah.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Mas?"
"Saya mau mencairkan cek," jawab Tanaka.
"Mohon maaf, Mas, boleh saya tahu berapa nominalnya? Kalau lima puluh juta ke atas, kami sediakan ruangan khusus."
"Pas lima puluh juta," bisik Tanaka, setengah berbisik. Ia tidak ingin ada orang lain yang mendengar nominal itu, takut akan menjadi incaran perampok.
Satpam itu mengangguk, mengerti. Ia memberikan selembar formulir dan nomor antrean.
"Silakan diisi dulu formulirnya, lalu tunggu nomor antreannya dipanggil," kata satpam.
Tanaka mengisi formulir dengan data diri dan keperluannya. Setelah selesai, ia duduk di sofa tunggu yang empuk, menunggu gilirannya.
Sambil menunggu, ia mengalihkan pandangannya ke televisi di depan. Layar itu terbagi dua. Sisi kanan menayangkan acara bincang-bincang bisnis, dan sisi kiri menampilkan indeks saham domestik.
Saat itulah, sesuatu yang aneh terjadi. Tiba-tiba, pandangannya sedikit kabur, seolah ia melihat ilusi optik. Angka-angka di indeks saham itu berubah. Panah hijau menunjuk ke atas, panah merah menunjuk ke bawah. Ia juga melihat jam di sudut layar menunjukkan pukul 14.30. Padahal, ia ingat betul, ia tiba di bank ini pada pukul 13.30.
Seketika, pandangannya kembali normal. Angka-angka di layar kembali ke semula, dan jam menunjukkan pukul 13.45. Ada perbedaan signifikan pada angka saham itu. Ia mengerjapkan matanya, yakin ia baru saja berhalusinasi.
Apa ini? Apa mataku ada kelainan? Aku harus periksa ke dokter mata setelah ini, batinnya.
Fokusnya terhenti saat nomor antreannya dipanggil. Ia berdiri, dan menghampiri teller. Di balik meja kaca, duduk seorang wanita muda, mungkin berusia 24 atau 26 tahun. Ia tidak secantik Ayunindya, tapi ia memiliki kecantikan yang mempesona.
"Selamat siang, dengan saya Nina Maharani. Ada yang bisa saya bantu?" sapa teller itu, ramah.
"Saya ingin mencairkan cek," jawab Tanaka, menyerahkan cek itu.
Nina mengambil cek itu dan memeriksanya. "Baik, saya periksa dulu. Mohon tunggu sebentar."
Nina mengamati keaslian cek, lalu mengecek nama penerima. Setelah yakin, ia mengangkat kepala.
"Cek ini atas nama Bapak Tanaka Syahputra. Bolehkah saya lihat KTP-nya, Pak, untuk verifikasi?"
Tanaka merogoh tasnya lagi, mengeluarkan dompet. Isinya hanya beberapa lembar uang, SIM, STNK, KTP, dan kartu ATM bank lamanya. Ia menyerahkan KTP-nya. Nina membandingkan foto dan nama di KTP dengan yang tertera di cek.
"Baik, Pak Tanaka, nama Anda sudah terverifikasi. Kami akan mencairkan nominal uang yang tertera di cek ini, lima puluh juta rupiah. Apakah Anda memiliki rekening di bank ini, atau ingin kami transfer ke bank lain?" tanya Nina, sambil mengembalikan KTP Tanaka.
"Tidak, saya tidak punya rekening di bank ini. Saya mau dicairkan tunai," jawab Tanaka, tegas.
Nina sedikit terkejut. Ia kembali mengingatkan Tanaka akan risiko membawa uang sebanyak itu secara tunai. Ia juga menyarankan untuk membuka rekening BPS di sana agar uangnya bisa langsung ditabung.
Tanaka menggeleng. Tawaran itu memang masuk akal. Lagipula, bank tempat ia punya utang berbeda dengan BPS, jadi uangnya tidak akan langsung dipotong. Namun, ia ingin memegang uang itu. Ia ingin merasakan bagaimana rasanya memiliki uang sebanyak itu.
"Kapan lagi aku bisa megang uang sebanyak itu? Meskipun berisiko, kalau aku hati-hati, pasti tidak ada kejadian buruk," pikirnya.
"Baik, kalau begitu. Mohon tunggu sebentar. Saya akan segera mencairkan cek ini," ucap Nina, lalu pergi ke sebuah ruangan di belakang meja teller.
Sambil menunggu, Tanaka kembali menatap televisi. Ia melihat jam menunjukkan pukul 14.40. Ia tertegun. Angka-angka saham di layar menunjukkan perubahan yang signifikan. Angka-angka itu sama persis dengan yang ia lihat dalam "halusinasi" anehnya tadi. Simbol panah hijau dan merah juga sama. Tanaka membelalakkan mata. Ini bukan halusinasi. Ini nyata.
"Apa yang terjadi pada mataku?" bisiknya pada diri sendiri. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam tentang hal itu nanti.
Beberapa menit kemudian, Nina kembali dengan sebuah troli berisi keranjang. Di dalamnya, ada lima tumpukan uang seratus ribuan.
"Pak Tanaka, mohon perhatikan mesin penghitung uang, ya. Saya akan menghitungnya," kata Nina.
Ia mulai memasukkan tumpukan uang itu ke mesin. Mesin itu berbunyi cepat.
"Total lima ratus lembar, Pak. Nominal seratus ribuan. Totalnya lima puluh juta rupiah. Sudah sesuai, Pak?" tanya Nina, setelah selesai menghitung.
Tanaka mengangguk.
"Apa Anda membawa tas atau wadah untuk uang ini? Jika tidak, kami bisa sediakan amplop coklat, gratis," tawar Nina. "Tapi sekali lagi, saya sarankan untuk transfer atau buka rekening di sini, Pak, demi keamanan."
Tanaka kembali berpikir. Benar juga. Membawa uang sebanyak itu di jalanan akan sangat berbahaya. Ia akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran Nina.
"Baiklah. Saya akan buka rekening di sini."
Mendengar itu, Nani pun langsung menganggukkan kepalanya, dia langsung menyelesaikan tugasnya untuk pencairan cek senilai 50 juta itu.
Dalam hitungan menit, Nani meletak dua tumpukan uang yang rapi, terbagi menjadi dua kantong amplop coklat.
“Ini nota penerimaannya, Pak Tanaka,” ucap Nani, seraya menyerahkan lembaran kertas untuk ditandatangani. “Satu lembar untuk Bapak sebagai arsip, satunya lagi untuk dokumentasi kami.”
Tanaka mengangguk, jemarinya terasa kaku memegang pena. Ia membubuhkan tanda tangannya di atas kertas itu, seolah sedang menandatangani babak baru dalam hidupnya.
Setelah semuanya selesai, Nani membawanya ke bagian customer service untuk proses pembukaan rekening.
“Silakan tunggu di sini sebentar, Pak Tanaka,” ujar Nani. “Saya akan memberitahukan kepada petugas customer service tentang hal ini.”
Tanaka menganggukkan kepalanya, lalu kembali duduk di sofa empuk yang ditinggalkannya tadi.
Matanya mengikuti Nani yang berjalan menuju meja petugas customer service di seberang, yang saat itu masih melayani seorang nasabah.
Nani berbicara sebentar dengan petugas itu, lalu petugas itu menganggukkan kepalanya, memberi isyarat mengerti.
Nani kembali menghampiri Tanaka dengan senyum. “Saya sudah memberitahukan pada petugas costumer service dan pak Tanaka bisa langsung memproses pembukaan rekening sekarang, saat petugas costumer service sudah selesai dengan nasabahnya saat ini.”
Tanaka mengangguk lagi,Nani kemudian pergi meninggalkannya, kembali ke tempat tugasnya di meja teller.
Setelah beberapa saat, nasabah itu sudah selesai dengan urusannya dan langsung bangkit dari tempat duduknya di costumer service tersebut.
“Silahkan pak,” ujar petugas costumer service itu pada Tanaka.
Tanaka, bangkit dengan membawa dua kantong amplop berisi uang 50 jutanya berjalan menuju meja costumer service tersebut.
Ia disambut oleh petugas customer service yang ramah.
Proses pembukaan rekeningnya di Bank Pusat Asia pun dimulai dan itu tidak sampai memakan waktu lebih dari satu jam.
Setelah rekening barunya selesai dengan saldo awal 40 juta, 10 juta sisanya ia masukkan ke dalam dompet.
Dompetnya yang biasanya tipis, kini terasa tebal dan penuh. Ia tersenyum, seperti dompetnya bisa merasakan kebahagiaan karena melihat dompetnya seperti merasa sangat kenyang karena diberikan tumpukan uang sepuluh juta.
Tanaka merasa tidak ada urusan lagi di tempat itu, langsung pergi meninggalkan tempat tersebut, kembali ke rumahnya dengan perasaan senang dan lega, tidak ada perasaan cemas seperti bila di harus membawa uang sebanyak lima puluh juta dalam perjalanan pulang ke rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Halim Hrfin
ciri2 mau hiatus ya thor?
2023-01-19
1
ketombee
👍☕
2022-07-20
1