Bau antiseptik menusuk hidung. Samar-samar, sebuah dengung elektronik terdengar di telinga. Itu bukan suara alarm utang yang biasa ia dengar, juga bukan suara klakson mobil yang merenggut kesadarannya. Itu suara alat medis. Perlahan, kesadaran Tanaka kembali, membawa serta rasa sakit yang luar biasa. Punggungnya terasa remuk, dan kepala bagian belakangnya berdenyut nyeri seolah habis dipukuli.
Ia mencoba membuka mata, namun kelopak matanya terasa sangat berat, seperti ada beban tak kasat mata yang menahannya. Setelah berulang kali mencoba, matanya berhasil terbuka, walau pandangannya masih kabur, buram, dan serba putih. Matanya mencoba beradaptasi, dan tak lama kemudian, seberkas cahaya lampu gantung di langit-langit mulai terlihat jelas.
Tanaka mengerjapkan mata. Ruangan serba putih, tirai kain yang membatasi ranjang, dan sebuah selang infus menempel di pergelangan tangannya. Pakaian yang ia kenakan bukanlah kaus polos dan celana training lusuh yang ia pakai saat pergi ke pasar, melainkan sebuah piyama rumah sakit yang terasa aneh dan asing.
“Di… mana aku?” Suaranya serak, parau, dan nyaris tak terdengar.
Sebuah suara merdu menyahut, berasal dari samping ranjangnya. “Di rumah sakit. Kamu tidak sadarkan diri selama satu setengah hari.”
Tanaka menoleh perlahan, rasa sakit di lehernya membuatnya meringis. Di sampingnya, duduk seorang perempuan. Sejenak, ia merasa pandangannya kembali buram. Bukan karena efek kecelakaan, tapi karena ia tak percaya dengan apa yang ia lihat. Perempuan di hadapannya memiliki kecantikan alami yang begitu sempurna. Kulitnya putih bersih, rambut hitam panjangnya tergerai indah seolah baru saja diiklankan di televisi. Usianya mungkin pertengahan 30-an, namun aura elegan yang ia pancarkan membuatnya terlihat jauh lebih berwibawa. Pakaian semi formalnya yang mewah, tas branded di samping kursi, dan arloji yang melingkar di pergelangan tangannya mengisyaratkan satu hal: wanita ini bukan orang biasa.
Ia, Ayunindya Batari Jayantaka, memiliki pesona yang bahkan mampu menggeser mantan kekasihnya, Saras, dari peringkat kedua dalam daftar ‘wanita tercantik yang pernah Tanaka lihat’. Tentu saja, peringkat pertama akan selalu dipegang oleh ibunya yang telah tiada. Saras, yang dulu bagai bintang di hatinya, kini harus puas berada di peringkat ketiga.
Kalau saja Saras masih berstatus kekasihnya, maka posisi kedua akan tetap berada dipegangnya meskipun Tanaka melihat perempuan yang lebih cantik dari Saras yang ada dihadapannya saat ini.
“Siapa… kamu?” tanya Tanaka, napasnya sedikit tertahan.
Perempuan itu menyunggingkan senyum tipis, meneduhkan, namun sulit ditebak. “Aku pemilik mobil yang kamu tabrak.”
Seketika, semua memori tentang kecelakaan itu kembali. Truk di depan, jalan yang kosong di sisi kanan, mobil sedan yang melaju kencang dari arah berlawanan, dan suara klakson yang memekakkan telinga. Ia tidak mati, ia masih hidup. Sebuah rasa syukur yang bercampur dengan kecemasan yang mendalam tiba-tiba merayap di dadanya. Apakah wanita ini, dengan segala kemewahannya, menunggunya sadar hanya untuk menagih ganti rugi? Mobil mahal itu... emblem mereknya yang ia lihat sekilas—hanya kalangan konglomerat yang bisa memilikinya.
"Ya Tuhan, ujian apa lagi ini? Utang pinjaman online, utang bank, dan sekarang utang ganti rugi mobil super mahal? Bagaimana aku harus menyelesaikannya?" Pikir Tanaka.
Kepalanya terasa semakin pusing.
“A-pa… kamu ingin menagih ganti rugi?” tanya Tanaka, suaranya tercekat. Ia mencoba terlihat berani, tapi ketakutan itu terlihat jelas di matanya. “Aku… aku tidak akan lari dari tanggung jawab. Tapi tolong, beri aku waktu. Aku janji akan membayarnya, seberapa pun besar biayanya.”
Ayunindya, yang sedari tadi mengamati ekspresi ketakutan di wajah Tanaka, menggeleng pelan. "Tenang saja. Masalah itu, kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan meminta ganti rugi. Kerusakannya juga tidak terlalu parah."
Tanaka menghela napas lega. Pasak yang seakan baru saja menikam jantungnya seketika mencabut diri. Pikirannya melayang pada bayangan mengerikan harus bekerja seumur hidup hanya untuk melunasi biaya perbaikan mobil.
"Kalau begitu… kenapa kamu ada di sini?" tanya Tanaka, bingung.
Ayunindya tidak menjawab tapi sebagai gantinya untuk respon atas pertanyaan Tanaka, ia bangkit dari kursi lipatnya. Di belakangnya, Tanaka baru menyadari ada dua orang lain yang berdiri, seorang perempuan dan seorang laki-laki berjas rapi. Laki-laki itu terlihat sangat hormat pada Ayunindya.
"Karena kamu sudah sadar, aku harus pergi. Masalah kompensasi atas kerusakan motor kamu, biaya perawatan rumah sakit, dan hal lainnya saya tanggung dan lebih jelasnya akan dibahas oleh tim legal perusahaanku," jelasnya, suaranya tenang.
Mendengar kata-kata itu, Tanaka terkejut.
"Tunggu!" Ia berusaha duduk, namun rasa sakit di punggungnya memaksanya kembali berbaring. Ayunindya dan rekannya berhenti, menatapnya penuh tanya.
"Tidak perlu. Kecelakaan ini bukan salahmu, ini salahku. Aku yang tidak hati-hati," ucap Tanaka, suaranya tegas. Ia tidak ingin mengambil keuntungan dari kebaikan orang lain. Mengambil uang kompensasi ini sama saja dengan mencuri, dan itu melanggar prinsipnya.
"Meskipun kamu mengatakan hal seperti itu, aku tetap akan memberikannya. Terlepas siapa yang salah, dalam hal ini aku tidak mengalami cedera apa pun. Kerusakan mobilku juga tidak terlalu parah. Tapi kamu mengalami cedera parah pada kepala dan motor kamu rusak parah. Jadi, apakah kamu akan menerima atau membuang uangnya, itu terserah kamu," jelas Ayunindya dengan nada final, tak memberikan ruang untuk bantahan.
Tanaka terdiam. Kalimatnya yang singkat, padat, dan menohok itu membuatnya tak bisa berkata-kata. Ayunindya mengangguk tipis ke arah pria berjas, lalu berbalik dan pergi, meninggalkan Tanaka berbaring di antara tirai kain.
Pria berjas itu maju. Wajahnya datar, namun sorot matanya yang menilai membuat Tanaka merasa tak nyaman. Pria itu mengeluarkan beberapa berkas dan sebatang pena.
"Tuan Tanaka, saya adalah perwakilan legal dari Jaya Group. Ini berkas kompensasi yang harus Anda tanda tangani."
Tanaka mengerjap. Ia tahu secara hukum, dalam kondisi seperti ini, ia tidak boleh membuat pernyataan atau menandatangani dokumen apa pun yang bersifat legal. Kondisi fisiknya yang belum sepenuhnya pulih, ditambah syok pasca-kecelakaan, bisa membuat tanda tangannya tidak sah di mata hukum. Namun, ia tidak peduli. Ia hanya ingin tahu apa yang akan diberikan padanya.
"Bacakan saja poin-poinnya, Pak," ucap Tanaka, suaranya lebih tegar.
"Oh, itu bukan masalah," kata si legal, suaranya terdengar profesional, namun senyumnya sedikit meremehkan. "Saya akan bacakan bagian paling pentingnya. Intinya, perusahaan kami akan menanggung seluruh biaya perawatan Anda, biaya perbaikan motor Anda, dan akan memberikan uang kompensasi sebesar lima puluh juta rupiah."
Mendengar nominal itu, mata Tanaka melotot sempurna. Rasa sakit yang ia derita seketika terlupakan. Lima puluh juta? Itu jumlah yang fantastis, bahkan di luar bayangan terliarnya.
"Lima puluh juta? Apa… tidak salah, Pak? Apa itu tidak terlalu besar?" tanya Tanaka, nyaris tak percaya.
"Bagi Anda mungkin besar, Tuan Tanaka," jawab si legal, ia menarik napas, seolah sedang bersiap untuk membanggakan perusahaannya. "Tapi bagi Jaya Group, itu hanyalah uang jajan. Perusahaan kami memiliki aset bersih lima ratus triliun rupiah per tahun. Lima puluh juta rupiah bagi kami ibarat membeli permen lollipop."
Tanaka menahan napas. Pria di hadapannya ini bicara dengan sangat bangga, seolah dia sendiri pemilik kekayaan itu.
"Tampaknya aku memang bertemu dengan Dermawan yang berada di dalam anggota keluarga konglomerat," batin Tanaka.
"Kalau boleh tahu, siapa nama atasan Anda tadi itu?" tanya Tanaka, penasaran.
"Tuan tidak tahu? Tuan tidak pernah menonton TV atau membaca berita?" tanya si legal, tersenyum sinis. "Apa Tuan tinggal di gua?"
Tanaka kesal dengan perkataannya. Memang, ia punya TV, tapi sudah lama tidak ia gunakan, terlebih finansial yang tidak tentu dan harus menjalani kehidupan hemat secara ekstrem, membuat dia harus menjaga token listriknya agar bisa bertahan sebulan kalau bisa lebih dari sebulan.
Kalaupun ia sempat menonton, acara yang ia lihat hanyalah acara hiburan ringan yang tidak memerlukan banyak berpikir. Ia tidak pernah sekali pun menonton berita, apalagi berita ekonomi atau gosip selebriti.
Meskipun dulu ia pernah menjadi wartawan online, ia bergerak di bidang hukum dan kriminal, bukan di bidang ekonomi bisnis. Dunianya dipenuhi oleh para pelaku kriminal, polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan beberapa pejabat hukum yang terlibat skandal korupsi atau pencucian uang.
Ia sama sekali tidak familiar dengan dunia bisnis.
"Nama atasan saya Ayunindya Batari Jayantaka," lanjut si legal tanpa menyadari kekesalan Tanaka. "Putri pertama dari keluarga Jayantaka, salah satu direktur eksekutif Jaya Group. Kekayaan keluarga Jayantaka kalau digabung secara menyeluruh bisa mencapai sekitar tujuh ratus triliun per tahun. Atasan saya adalah pemegang saham terbesar ketiga di perusahaan…"
Bagi Tanaka, semua penjelasan panjang lebar itu tidaklah penting. Ia hanya ingin tahu nama sang dermawan, bukan dengan resume pribadi yang utuh dari wanita itu. Ia merasa bosan, seolah-olah perwakilan legal ini sedang membacakan dongeng yang tidak menarik. Namun, terlepas dari rasa bosan itu, otaknya masih terkejut dengan nominal kekayaan yang disebutkan. Tujuh ratus triliun. Angka itu jauh di luar imajinasinya.
Tanaka membayangkan seandainya ia memiliki kekayaan sebesar itu. Hidupnya pasti akan jauh lebih baik. Ia bisa merenovasi rumah warisannya menjadi lebih bagus, bahkan dibuat selayaknya istana kecil, membayar semua utang-utangnya, dan yang paling penting, Saras, mantan kekasihnya, tidak akan meninggalkannya. Mereka berdua bisa hidup bahagia, membentuk keluarga kecil bersama dengan anak anak, hingga cucu sampai akhir hayat, tanpa perlu mengkhawatirkan masalah finansial.
Pria itu masih mencintai Saras. Bagaimanapun, perempuan itu sudah mengisi hatinya, menemaninya selama enam tahun dan membantunya di saat-saat paling terpuruk. Ia berharap suatu hari mereka bisa "balikan" (CLBK).
"Sebuah keputusan yang sangat bodoh yang aku lakukan saat itu," batin Tanaka. "Seharusnya aku mendengarkan ucapan Saras sehingga semua ini tidak akan terjadi."
Tepat ketika pikiran itu melintas, suara si legal kembali menyadarkannya. Pria itu tampak sangat puas karena telah menjelaskan "dongengnya" dengan begitu rinci, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa Tanaka tidak menyimak.
"Jadi, Tuan Tanaka, bisakah Anda beritahu nomor rekening Anda? Saya harus kembali ke kantor. Ada urusan yang tidak bisa saya tinggalkan."
Tanaka mendengar permintaan itu, dan otaknya langsung bekerja. Ia memiliki ingatan yang bagus. Ia mengingat nomor rekeningnya dengan jelas, bahkan tanpa harus melihat lagi buku tabungannya. Namun, satu pelajaran pahit dari masa lalu seketika terlintas di benaknya.
Tidak. Tidak lagi.
Ia menyunggingkan senyum yang terpaksa. "Maaf, Pak," katanya, nadanya dibuat cemas. "Bisa tidak kompensasinya diberikan secara tunai? Aku tidak ingat nomor rekening aku. Buku rekening ada di rumah dan aku tidak mencatatnya di ponsel pintar aku yang saat ini entah berada di mana sekarang."
Ia terpaksa berbohong. Ia tahu, jika uang kompensasi itu masuk ke rekeningnya, bank akan langsung mengambilnya secara otomatis untuk pembayaran cicilan utang. Ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama seperti saat Saras mentransfer uang lima juta ke rekeningnya. Uang itu raib tanpa ia sadari.
Tanaka harus mengatur keuangannya dengan lebih baik kali ini. Lima puluh juta adalah satu-satunya aset yang ia miliki sekarang. Ini adalah kesempatan kedua yang diberikan Tuhan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
V.Y.Z
Berkah dibalik musibah
2023-03-02
0
🔥 The Choosen One 🔥
Lahh, MC yang nabrak mobil apa mobil yang nabrak MC ini?
2022-08-20
2
ketombee
musibah yg menguntungkan😀😀😀
2022-07-20
1