Di teras lantai dua, di mana ubin keramik terasa dingin menembus kaus kaki, Tanaka Syahputra duduk di kursi aluminium yang sudah usang. Udara subuh masih pekat dan menusuk, memaksa pria 34 tahun itu memeluk dirinya sendiri.
Malam telah habis dihabiskan dalam kebisuan, ditemani gumpalan awan gelap yang kini perlahan terurai, memberi tempat bagi semburat jingga di ufuk timur—pemandangan yang ironisnya terhalang oleh gedung-gedung tinggi yang menjulang.
“Brrr… dingin sekali,” bisiknya pada diri sendiri.
Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena hawa dingin yang menusuk, tetapi juga karena cemas yang membelenggu. Selama dua tahun terakhir, sejak ia kehilangan kedua orang tuanya, hidupnya bagai kapal tanpa kemudi. Ia lulus dengan gelar sarjana hukum dari universitas ternama, namun sifatnya yang introvert akut bagai rantai yang mengikat.
Dulu, ia mencoba bekerja sebagai pegawai restoran, namun hanya bertahan tiga bulan. Panggilan menjadi wartawan online dari seorang teman pun hanya sanggup ia lakoni selama dua tahun. Kini, setelah gagal dalam bisnis pakaian online, ia kembali terdampar di rumah peninggalan orang tuanya, sebatang kara dan terlilit utang.
Ponsel keluaran 2018-nya yang layarnya retak berkedip. Pukul setengah enam pagi lewat sepuluh menit.
“Astaghfirullah, aku melewatkan salat Subuh,” gumamnya, penuh penyesalan.
Ia melihat bar notifikasi panggilan telepon dan pesan WhatsApp menumpuk—30 panggilan tak terjawab, 50 pesan belum terbaca. Semua berasal dari sumber yang sama: para rentenir pinjaman online. Teror dari debt collector sudah menjadi santapan sehari-hari sejak ia mulai menunggak angsuran bulan lalu.
Hutang-hutang ini, yang seharusnya menjadi modal usaha, justru kini menjadi momok yang tak pernah berhenti mengejarnya.
"Keputusan salah, atau memang ini takdirnya?" Tanaka bertanya-tanya.
“Kenapa dulu aku memilih jurusan hukum, haa…,” keluhnya, suaranya parau.
Andai saja ia memilih jurusan IT atau sastra, mungkin hidupnya tak akan sekacau ini. Ia bisa bekerja dari rumah, jauh dari keramaian dan interaksi sosial yang selalu membuatnya canggung. Sifat introvert yang sudah mencapai ‘stadium empat’ ini, seperti yang sering ia deskripsikan pada dirinya sendiri, membuatnya enggan berhadapan dengan orang lebih dari satu. Keramaian, percakapan langsung, tatapan mata—semua itu adalah racun baginya. Ia lebih memilih kesendirian, ditemani buku, film, atau game di komputernya.
Pikirannya melayang pada percakapan semalam, percakapan yang merobek hatinya hingga hancur berkeping-keping.
“Kita cukup akhiri sampai di sini saja hubungan kita, Tan,” suara Saras, pacarnya selama enam tahun, terdengar begitu tegas.
Tanaka terhenjak, jantungnya serasa berhenti berdetak. “Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan?”
Saras membuang pandang, tak sanggup menatap mata pria yang selama ini sangat mencintainya. “Aku tahu kamu sudah berusaha kumpulkan uang untuk pernikahan kita… tapi aku enggak bisa nunggu lebih lama lagi. Kamu juga sudah mulai terlilit utang.”
“Aku melakukan ini semua untuk masa depan kita, Sayang. Tolong beri aku kesempatan lagi,” mohon Tanaka, suaranya bergetar.
“Tapi hasilnya apa? Usaha online-mu gagal. Belum menghasilkan apa-apa kecuali utang yang terus bertambah karena bunganya. Rumah peninggalan orang tuamu bahkan sudah kamu jadikan jaminan di bank,” Saras mulai terisak. “Aku rasa kita harus mengakhiri ini. Aku enggak lihat ada masa depan yang baik buat kita. Aku juga enggak mau anak-anakku nantinya hidup dikejar-kejar rentenir.”
Tanaka terdiam, tak mampu membantah. Apa yang dikatakan Saras benar adanya. Ia bahkan tak tahu harus tinggal di mana jika rumah warisan itu benar-benar disita bank.
“Aku transfer uang lima juta ke rekeningmu. Anggap saja ini uang perpisahan. Semoga bisa meringankan beban utangmu,” kata Saras seraya bangkit.
Kenangan itu bagai pukulan telak. Ia menatap langit yang kini telah sepenuhnya terang, namun hatinya terasa semakin beku. Udara hangat pagi tak mampu menembus dingin yang dirasakannya.
“Kenapa hidupku makin kacau sejak Papa sama Mama pergi?” bisiknya.
Dengan napas berat, Tanaka bangkit dari kursinya. Ia masuk ke dalam, turun ke lantai satu, menuju kamar mandi untuk berwudu. Ia melihat plafon di lantai dua sudah banyak yang rusak dan berlubang karena serangan rayap. Jendela dan pintu juga memiliki bekas-bekas sarang rayap. Sejak ia tak punya uang, rumah itu dibiarkan tanpa renovasi, begitu saja.
Setelah menunaikan salat subuh yang terlambat, ia berdzikir dan memanjatkan doa, memohon bantuan dan pertolongan dari Tuhan.
Dahinya menempel di sajadah yang telah usang. Ia terisak lirih. “Ya Allah... Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui... aku malu dengan-Mu, ya Allah. Aku tahu hamba-Mu ini sering lalai, sering melupakan-Mu. Tapi kini, tak ada lagi yang bisa hamba-Mu ini andalkan, kecuali Engkau.”
Napasnya terasa berat. "Ya Allah, aku mohon, berikanlah hamba-Mu ini jalan keluar. Ringankanlah beban yang ada di pundak hamba. Engkau Maha Pemberi Rezeki. Bukakanlah pintu rezeki dari segala arah, ya Allah. Berikanlah hamba-Mu ini kekuatan untuk bangkit, untuk melunasi semua utang hamba... untuk mengubah nasib ini. Hamba mohon... tolonglah hamba, ya Allah."
Selesai berdoa, ia melanjutkan rutinitasnya dengan mandi, mengenakan kaus polos dan celana training kesukaannya, lalu beranjak ke dapur.
Membuka Kulkasnya, ia melihat isinya hanya menyisakan beberapa olahan bumbu yang sudah menipis, toples selai srikaya, sayuran yang sudah agak kering, dan telur yang hanya tersisa lima butir.
Melihat itu, Ia merasa harus ke pasar.
Tanaka mengambil dompetnya. Isinya hanya kartu identitas, SIM, STNK motornya, satu kartu ATM, dan beberapa lembar uang kertas. Total enam puluh ribu rupiah.
Ia menghela napas. “Bagaimana bisa aku bertahan dengan uang segini? Tiga hari juga kayaknya enggak bakal cukup.”
Teringat janji Saras, ia mengambil ponselnya. Mengecek saldo rekening melalui mobile banking. Sebuah pesan singkat muncul: saldo nol. Uang lima juta dari Saras telah habis dipotong bank untuk membayar cicilan hutang.
“Sialan! Seharusnya aku minta uang tunai saja!” umpatnya, menyesal.
Awalnya ia ingin menolak uang dari Saras karena harga diri, namun ia sadar, di saat seperti ini, harga diri tak ada artinya. Sayangnya, uang yang ia harapkan bisa memberinya napas selama dua bulan, raib dalam sekejap.
Dengan sisa uang enam puluh ribu rupiah, Tanaka memutuskan tetap pergi ke pasar. Ia tidak mungkin hanya makan nasi dengan garam atau telur saja.
Ia mengeluarkan motor matic 2015-nya. Kendaraan itu adalah satu-satunya aset yang tersisa dan satu-satunya alat transportasi. Jika usahanya benar-benar gagal total, ia akan menjual motor ini sebagai modal cadangan hidupnya. Dulu ia punya mobil, tetapi ia jual setelah ayahnya meninggal karena biaya perawatan dan pajaknya terlalu mahal.
Di teras, ia melihat tumpukan kertas. Tagihan air dan pinjaman bank. Tanpa membacanya, ia menaruhnya di atas meja. Tagihan air selalu datang setiap bulan, meskipun ia menggunakan air sumur. Alasannya, itu adalah “biaya perawatan”. Tentu saja ia kesal, namun tak punya uang untuk membayar biaya pencabutan pipa. Listriknya menggunakan token, dan ia hidup dalam mode penghematan ekstrem—sebagian besar lampu mati, hanya mengandalkan senter ponsel atau senter pengisi daya.
Dengan perasaan lesu, Tanaka menaiki motornya. Ia bersyukur bensinnya masih penuh, cukup untuk sebulan karena ia jarang keluar rumah. Ia memakai helm, menyalakan mesin motornya, dan mengendarai motornya menuju pasar terdekat.
Di pasar, ia bertransformasi menjadi ibu-ibu mode hemat. Tangan Tanaka terulur, menunjuk tumpukan bawang merah. “Bang, bawang sama cabenya berapa?” tanyanya pada seorang pedagang yang duduk di atas bangku kecil.
“Bawang Rp10 ribu, cabe Rp25 ribu sekilo,” jawab si pedagang, suaranya terdengar malas.
Tanaka menggeleng pelan. “Rp10 ribu sama Rp25 ribu? Aduh, enggak bisa kurang, Bang? Saya ini baru bangun tidur, dompet udah tipis. Bawang Rp8 ribu, cabenya Rp20 ribu aja ya?”
Pedagang itu langsung menaikkan alis, menatap Tanaka dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Wah, ini Bapak kok nawarnya kayak ibu-ibu mau ke pasar, Pak? Nawar sadis amat. Itu aja udah murah, modalnya aja Rp8 ribu, Pak, mana bisa saya jual segitu. Lagian, saya enggak kenal Bapak, ini baru pertama kali ke sini, kan?”
Tanaka menyunggingkan senyum memelas, ia mengusap wajahnya, lalu menunjukkan uang di tangannya yang hanya sisa selembar dua puluh ribuan dan beberapa receh. “Ya ampun, Bang. Udah lama banget enggak ke pasar. Ini saya udah modal nekat, Bang. Ini aja uang sisa dari tadi, Bang. Tolonglah, saya mau makan apa nanti kalau habis buat belanja?”
“Alah, Bapak bohong aja,” sahut pedagang itu, tidak percaya.
“Bohong apa, Bang? Saya sumpah, Bang. Kalau Bapak enggak percaya, sini Bang, saya tunjukin isi dompet saya,” ucap Tanaka, ia mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan hanya ada uang pas-pasan. “Tuh, Bang. Cuma segini, Bang. Hutang saya banyak banget, Bang. Kalau Bapak kasih harga Rp22 ribu, saya enggak bisa makan besok, Bang. Tolong lah Bang, saya mau makan, Bang, saya lapar, Bang,” bisik Tanaka, matanya berkaca-kaca, terlihat sangat putus asa.
Pedagang itu terdiam. Merasa iba melihat wajah memelas dan tatapan putus asa dari Tanaka. Ia menghela napas panjang. “Ya ampun, Pak. Bapak ini beneran atau bohong, sih? Saya jadi enggak enak. Yaudah, deh. Khusus buat Bapak. Rp20 ribu aja, ya. Tapi ini cuma buat cabenya aja, bawangnya tetap Rp10 ribu.”
“Lah, Bang. Kok cuma cabenya aja? Bawangnya juga dong, Bang. Jadi Rp8 ribu, Bang,” pinta Tanaka.
“Udah, Pak! Jangan nawar lagi! Nanti saya rugi, Pak!” keluh pedagang itu kesal.
Tanaka kembali menatap pedagang itu dengan tatapan memelas. “Saya janji, Bang. Kalau ada rezeki lagi, saya bakal borong dagangan Abang. Gimana, Bang? Tolonglah. Saya butuh bawang, Bang. Bawang ini teman setia di saat saya tidak ada lauk, Bang.”
Pedagang itu menggelengkan kepala, akhirnya menyerah. Ia tertawa kecil. “Ya, ampun. Ada aja orang kayak Bapak. Yaudah, Rp8 ribu. Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya. Nanti saya dimarahin teman-teman pedagang yang lain,” ujar pedagang itu.
“Sip, Bang. Makasih banyak, Bang. Semoga rezekinya lancar,” balas Tanaka, wajahnya langsung sumringah. Ia segera membayar, dan uang di dompetnya kini hanya tersisa Rp15.200. Ia menghela napas panjang.
Pusing. Rasa tidak nyaman yang selalu ia rasakan di tempat ramai mulai memuncak. Ia buru-buru meninggalkan pasar, menuju tempat parkir. Dua ribu rupiah untuk biaya parkir. Uangnya kembali berkurang.
Motornya melaju di jalanan, tetapi pikirannya berkecamuk. “Gimana bisa bertahan dengan uang segini? Tiga hari aja enggak mungkin.”
Lajunya melambat, ia terhanyut dalam lamunan. Di depannya ada truk. Ia mencoba menyalip tanpa melihat kondisi jalan dari arah berlawanan.
TIINNNNNNN!
Suara klakson yang memekakkan telinga menyadarkannya. Sebuah mobil sedan berwarna hitam melaju kencang dari arah depan. Tanaka terkejut, mencoba mengerem, namun semuanya sudah terlambat.
BRAKKK!
Motornya menabrak bagian depan mobil sedan itu. Tubuhnya terpental, melakukan salto yang tak sempurna di udara, sebelum jatuh menimpa kap mesin mobil. Ia merasakan sakit luar biasa di punggung dan belakang kepalanya. Pandangannya kabur, kesadaran mulai meninggalkannya.
“Haaa… apa ajalku sudah tiba?” batinnya, pasrah. “Mungkin ini lebih baik daripada hidup seperti ini.”
“Papa... Mama... aku akan menyusul kalian di sana,” bisiknya, suaranya menghilang digantikan keheningan.
Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya, ada satu permohonan yang terucap. “Tuhan, aku mohon padamu, jangan anggap apa yang sedang terjadi ini sebagai aku sedang melakukan bunuh diri ya?”
Ia memejamkan mata, membiarkan sakit menjalar di seluruh tubuhnya. Detik-detik terakhir yang terasa abadi itu, ia berusaha keras mengumpulkan sisa tenaganya, napasnya tersengal. Bibirnya bergetar, mencoba mengucapkan kata-kata yang telah ia hafal sejak kecil.
“Asyhadu an laa ilaaha illallaah...” ucapnya terbata-bata, namun lantang di tengah kebisingan yang tiba-tiba sirna dari pendengarannya. “...wa asyhadu anna muhammadar rasuulullaah…” Kalimat itu terucap sempurna.
Sebuah air mata mengalir dari sudut matanya, bercampur dengan darah yang menetes dari kepalanya, sebelum akhirnya semua menjadi gelap.
Bau antiseptik menusuk hidung. Samar-samar, sebuah dengung elektronik terdengar di telinga. Itu bukan suara alarm utang yang biasa ia dengar, juga bukan suara klakson mobil yang merenggut kesadarannya. Itu suara alat medis. Perlahan, kesadaran Tanaka kembali, membawa serta rasa sakit yang luar biasa. Punggungnya terasa remuk, dan kepala bagian belakangnya berdenyut nyeri seolah habis dipukuli.
Ia mencoba membuka mata, namun kelopak matanya terasa sangat berat, seperti ada beban tak kasat mata yang menahannya. Setelah berulang kali mencoba, matanya berhasil terbuka, walau pandangannya masih kabur, buram, dan serba putih. Matanya mencoba beradaptasi, dan tak lama kemudian, seberkas cahaya lampu gantung di langit-langit mulai terlihat jelas.
Tanaka mengerjapkan mata. Ruangan serba putih, tirai kain yang membatasi ranjang, dan sebuah selang infus menempel di pergelangan tangannya. Pakaian yang ia kenakan bukanlah kaus polos dan celana training lusuh yang ia pakai saat pergi ke pasar, melainkan sebuah piyama rumah sakit yang terasa aneh dan asing.
“Di… mana aku?” Suaranya serak, parau, dan nyaris tak terdengar.
Sebuah suara merdu menyahut, berasal dari samping ranjangnya. “Di rumah sakit. Kamu tidak sadarkan diri selama satu setengah hari.”
Tanaka menoleh perlahan, rasa sakit di lehernya membuatnya meringis. Di sampingnya, duduk seorang perempuan. Sejenak, ia merasa pandangannya kembali buram. Bukan karena efek kecelakaan, tapi karena ia tak percaya dengan apa yang ia lihat. Perempuan di hadapannya memiliki kecantikan alami yang begitu sempurna. Kulitnya putih bersih, rambut hitam panjangnya tergerai indah seolah baru saja diiklankan di televisi. Usianya mungkin pertengahan 30-an, namun aura elegan yang ia pancarkan membuatnya terlihat jauh lebih berwibawa. Pakaian semi formalnya yang mewah, tas branded di samping kursi, dan arloji yang melingkar di pergelangan tangannya mengisyaratkan satu hal: wanita ini bukan orang biasa.
Ia, Ayunindya Batari Jayantaka, memiliki pesona yang bahkan mampu menggeser mantan kekasihnya, Saras, dari peringkat kedua dalam daftar ‘wanita tercantik yang pernah Tanaka lihat’. Tentu saja, peringkat pertama akan selalu dipegang oleh ibunya yang telah tiada. Saras, yang dulu bagai bintang di hatinya, kini harus puas berada di peringkat ketiga.
Kalau saja Saras masih berstatus kekasihnya, maka posisi kedua akan tetap berada dipegangnya meskipun Tanaka melihat perempuan yang lebih cantik dari Saras yang ada dihadapannya saat ini.
“Siapa… kamu?” tanya Tanaka, napasnya sedikit tertahan.
Perempuan itu menyunggingkan senyum tipis, meneduhkan, namun sulit ditebak. “Aku pemilik mobil yang kamu tabrak.”
Seketika, semua memori tentang kecelakaan itu kembali. Truk di depan, jalan yang kosong di sisi kanan, mobil sedan yang melaju kencang dari arah berlawanan, dan suara klakson yang memekakkan telinga. Ia tidak mati, ia masih hidup. Sebuah rasa syukur yang bercampur dengan kecemasan yang mendalam tiba-tiba merayap di dadanya. Apakah wanita ini, dengan segala kemewahannya, menunggunya sadar hanya untuk menagih ganti rugi? Mobil mahal itu... emblem mereknya yang ia lihat sekilas—hanya kalangan konglomerat yang bisa memilikinya.
"Ya Tuhan, ujian apa lagi ini? Utang pinjaman online, utang bank, dan sekarang utang ganti rugi mobil super mahal? Bagaimana aku harus menyelesaikannya?" Pikir Tanaka.
Kepalanya terasa semakin pusing.
“A-pa… kamu ingin menagih ganti rugi?” tanya Tanaka, suaranya tercekat. Ia mencoba terlihat berani, tapi ketakutan itu terlihat jelas di matanya. “Aku… aku tidak akan lari dari tanggung jawab. Tapi tolong, beri aku waktu. Aku janji akan membayarnya, seberapa pun besar biayanya.”
Ayunindya, yang sedari tadi mengamati ekspresi ketakutan di wajah Tanaka, menggeleng pelan. "Tenang saja. Masalah itu, kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan meminta ganti rugi. Kerusakannya juga tidak terlalu parah."
Tanaka menghela napas lega. Pasak yang seakan baru saja menikam jantungnya seketika mencabut diri. Pikirannya melayang pada bayangan mengerikan harus bekerja seumur hidup hanya untuk melunasi biaya perbaikan mobil.
"Kalau begitu… kenapa kamu ada di sini?" tanya Tanaka, bingung.
Ayunindya tidak menjawab tapi sebagai gantinya untuk respon atas pertanyaan Tanaka, ia bangkit dari kursi lipatnya. Di belakangnya, Tanaka baru menyadari ada dua orang lain yang berdiri, seorang perempuan dan seorang laki-laki berjas rapi. Laki-laki itu terlihat sangat hormat pada Ayunindya.
"Karena kamu sudah sadar, aku harus pergi. Masalah kompensasi atas kerusakan motor kamu, biaya perawatan rumah sakit, dan hal lainnya saya tanggung dan lebih jelasnya akan dibahas oleh tim legal perusahaanku," jelasnya, suaranya tenang.
Mendengar kata-kata itu, Tanaka terkejut.
"Tunggu!" Ia berusaha duduk, namun rasa sakit di punggungnya memaksanya kembali berbaring. Ayunindya dan rekannya berhenti, menatapnya penuh tanya.
"Tidak perlu. Kecelakaan ini bukan salahmu, ini salahku. Aku yang tidak hati-hati," ucap Tanaka, suaranya tegas. Ia tidak ingin mengambil keuntungan dari kebaikan orang lain. Mengambil uang kompensasi ini sama saja dengan mencuri, dan itu melanggar prinsipnya.
"Meskipun kamu mengatakan hal seperti itu, aku tetap akan memberikannya. Terlepas siapa yang salah, dalam hal ini aku tidak mengalami cedera apa pun. Kerusakan mobilku juga tidak terlalu parah. Tapi kamu mengalami cedera parah pada kepala dan motor kamu rusak parah. Jadi, apakah kamu akan menerima atau membuang uangnya, itu terserah kamu," jelas Ayunindya dengan nada final, tak memberikan ruang untuk bantahan.
Tanaka terdiam. Kalimatnya yang singkat, padat, dan menohok itu membuatnya tak bisa berkata-kata. Ayunindya mengangguk tipis ke arah pria berjas, lalu berbalik dan pergi, meninggalkan Tanaka berbaring di antara tirai kain.
Pria berjas itu maju. Wajahnya datar, namun sorot matanya yang menilai membuat Tanaka merasa tak nyaman. Pria itu mengeluarkan beberapa berkas dan sebatang pena.
"Tuan Tanaka, saya adalah perwakilan legal dari Jaya Group. Ini berkas kompensasi yang harus Anda tanda tangani."
Tanaka mengerjap. Ia tahu secara hukum, dalam kondisi seperti ini, ia tidak boleh membuat pernyataan atau menandatangani dokumen apa pun yang bersifat legal. Kondisi fisiknya yang belum sepenuhnya pulih, ditambah syok pasca-kecelakaan, bisa membuat tanda tangannya tidak sah di mata hukum. Namun, ia tidak peduli. Ia hanya ingin tahu apa yang akan diberikan padanya.
"Bacakan saja poin-poinnya, Pak," ucap Tanaka, suaranya lebih tegar.
"Oh, itu bukan masalah," kata si legal, suaranya terdengar profesional, namun senyumnya sedikit meremehkan. "Saya akan bacakan bagian paling pentingnya. Intinya, perusahaan kami akan menanggung seluruh biaya perawatan Anda, biaya perbaikan motor Anda, dan akan memberikan uang kompensasi sebesar lima puluh juta rupiah."
Mendengar nominal itu, mata Tanaka melotot sempurna. Rasa sakit yang ia derita seketika terlupakan. Lima puluh juta? Itu jumlah yang fantastis, bahkan di luar bayangan terliarnya.
"Lima puluh juta? Apa… tidak salah, Pak? Apa itu tidak terlalu besar?" tanya Tanaka, nyaris tak percaya.
"Bagi Anda mungkin besar, Tuan Tanaka," jawab si legal, ia menarik napas, seolah sedang bersiap untuk membanggakan perusahaannya. "Tapi bagi Jaya Group, itu hanyalah uang jajan. Perusahaan kami memiliki aset bersih lima ratus triliun rupiah per tahun. Lima puluh juta rupiah bagi kami ibarat membeli permen lollipop."
Tanaka menahan napas. Pria di hadapannya ini bicara dengan sangat bangga, seolah dia sendiri pemilik kekayaan itu.
"Tampaknya aku memang bertemu dengan Dermawan yang berada di dalam anggota keluarga konglomerat," batin Tanaka.
"Kalau boleh tahu, siapa nama atasan Anda tadi itu?" tanya Tanaka, penasaran.
"Tuan tidak tahu? Tuan tidak pernah menonton TV atau membaca berita?" tanya si legal, tersenyum sinis. "Apa Tuan tinggal di gua?"
Tanaka kesal dengan perkataannya. Memang, ia punya TV, tapi sudah lama tidak ia gunakan, terlebih finansial yang tidak tentu dan harus menjalani kehidupan hemat secara ekstrem, membuat dia harus menjaga token listriknya agar bisa bertahan sebulan kalau bisa lebih dari sebulan.
Kalaupun ia sempat menonton, acara yang ia lihat hanyalah acara hiburan ringan yang tidak memerlukan banyak berpikir. Ia tidak pernah sekali pun menonton berita, apalagi berita ekonomi atau gosip selebriti.
Meskipun dulu ia pernah menjadi wartawan online, ia bergerak di bidang hukum dan kriminal, bukan di bidang ekonomi bisnis. Dunianya dipenuhi oleh para pelaku kriminal, polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan beberapa pejabat hukum yang terlibat skandal korupsi atau pencucian uang.
Ia sama sekali tidak familiar dengan dunia bisnis.
"Nama atasan saya Ayunindya Batari Jayantaka," lanjut si legal tanpa menyadari kekesalan Tanaka. "Putri pertama dari keluarga Jayantaka, salah satu direktur eksekutif Jaya Group. Kekayaan keluarga Jayantaka kalau digabung secara menyeluruh bisa mencapai sekitar tujuh ratus triliun per tahun. Atasan saya adalah pemegang saham terbesar ketiga di perusahaan…"
Bagi Tanaka, semua penjelasan panjang lebar itu tidaklah penting. Ia hanya ingin tahu nama sang dermawan, bukan dengan resume pribadi yang utuh dari wanita itu. Ia merasa bosan, seolah-olah perwakilan legal ini sedang membacakan dongeng yang tidak menarik. Namun, terlepas dari rasa bosan itu, otaknya masih terkejut dengan nominal kekayaan yang disebutkan. Tujuh ratus triliun. Angka itu jauh di luar imajinasinya.
Tanaka membayangkan seandainya ia memiliki kekayaan sebesar itu. Hidupnya pasti akan jauh lebih baik. Ia bisa merenovasi rumah warisannya menjadi lebih bagus, bahkan dibuat selayaknya istana kecil, membayar semua utang-utangnya, dan yang paling penting, Saras, mantan kekasihnya, tidak akan meninggalkannya. Mereka berdua bisa hidup bahagia, membentuk keluarga kecil bersama dengan anak anak, hingga cucu sampai akhir hayat, tanpa perlu mengkhawatirkan masalah finansial.
Pria itu masih mencintai Saras. Bagaimanapun, perempuan itu sudah mengisi hatinya, menemaninya selama enam tahun dan membantunya di saat-saat paling terpuruk. Ia berharap suatu hari mereka bisa "balikan" (CLBK).
"Sebuah keputusan yang sangat bodoh yang aku lakukan saat itu," batin Tanaka. "Seharusnya aku mendengarkan ucapan Saras sehingga semua ini tidak akan terjadi."
Tepat ketika pikiran itu melintas, suara si legal kembali menyadarkannya. Pria itu tampak sangat puas karena telah menjelaskan "dongengnya" dengan begitu rinci, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa Tanaka tidak menyimak.
"Jadi, Tuan Tanaka, bisakah Anda beritahu nomor rekening Anda? Saya harus kembali ke kantor. Ada urusan yang tidak bisa saya tinggalkan."
Tanaka mendengar permintaan itu, dan otaknya langsung bekerja. Ia memiliki ingatan yang bagus. Ia mengingat nomor rekeningnya dengan jelas, bahkan tanpa harus melihat lagi buku tabungannya. Namun, satu pelajaran pahit dari masa lalu seketika terlintas di benaknya.
Tidak. Tidak lagi.
Ia menyunggingkan senyum yang terpaksa. "Maaf, Pak," katanya, nadanya dibuat cemas. "Bisa tidak kompensasinya diberikan secara tunai? Aku tidak ingat nomor rekening aku. Buku rekening ada di rumah dan aku tidak mencatatnya di ponsel pintar aku yang saat ini entah berada di mana sekarang."
Ia terpaksa berbohong. Ia tahu, jika uang kompensasi itu masuk ke rekeningnya, bank akan langsung mengambilnya secara otomatis untuk pembayaran cicilan utang. Ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama seperti saat Saras mentransfer uang lima juta ke rekeningnya. Uang itu raib tanpa ia sadari.
Tanaka harus mengatur keuangannya dengan lebih baik kali ini. Lima puluh juta adalah satu-satunya aset yang ia miliki sekarang. Ini adalah kesempatan kedua yang diberikan Tuhan.
Selama seminggu lebih, Tan dirawat di rumah sakit. Selama itu juga, ia bisa beristirahat dengan tenang, sejenak melupakan semua masalah hidup yang sedang dihadapinya. Tidak ada lagi teror dari para debt collector, karena ponselnya mengalami kerusakan parah akibat kecelakaan. Ia tidak berpikir untuk memperbaikinya, meskipun harga perbaikannya sama dengan membeli ponsel terkini yang paling murah. Ponsel itu sudah menemani di masa-masa sulit, dan kini, sudah saatnya dipensiunkan.
Tan juga tidak perlu memusingkan biaya perawatan di rumah sakit, karena semuanya ditanggung oleh Ayunindya. Begitu juga dengan motornya yang berada di bengkel untuk diperbaiki. Meskipun di dalam hatinya ia ingin motornya diganti dengan yang baru, ia tidak ingin terlalu serakah. Ia sadar, kecelakaan itu sepenuhnya salahnya.
Seharusnya aku yang membayar ganti rugi, bukan sebaliknya. Tapi, di sisi lain, Tuhan memberiku jalan keluar. Aku harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya.
Hari ini, perban di kepalanya dilepas. Punggungnya sudah tidak lagi terasa sesakit di awal. Dokter menyatakan ia sudah boleh pulang, dan itu adalah berita yang membawa kelegaan sekaligus kecemasan baru.
Ia bangkit dari ranjang, perlahan mengumpulkan barang-barangnya. Sebuah tas selempang kecil, berisi dompet dan ponselnya yang sudah tak bernyawa, serta pakaian yang sama dengan saat ia kecelakaan. Kausnya lusuh, dengan noda darah kering yang samar. Tidak ada teman atau keluarga yang menjenguk dan membawakan baju ganti. Ia hidup sendiri.
Sebelum keluar, ia menyempatkan diri berpamitan dengan teman sekamarnya. Seorang pria paruh baya yang kakinya patah akibat pertandingan sepak takraw antar-RT, dan seorang mahasiswa muda yang baru saja menjalani operasi usus buntu.
Selama seminggu, ia lebih banyak mengobrol dengan pria paruh baya itu. Pria itu, seorang pengemudi ojek daring, tidak pernah berhenti bercerita. Dari beban hidup sebagai kepala keluarga hingga keluh kesah soal pekerjaan. Sebagai seorang introvert, Tanaka awalnya enggan berinteraksi, namun rasa bosan dan kebaikan pria itu membuatnya luluh.
"Gimana, Mas Tanaka?" sapa pria paruh baya itu, namanya Pak Dede. Ia melambaikan tangan dengan semangat dari ranjangnya. "Udah boleh pulang, ya?"
Tanaka tersenyum tipis. "Iya, Pak. Dokter bilang udah nggak apa-apa. Pak Dede kapan pulangnya?"
"Ah, saya masih lama ini, Mas. Paling cepat sebulan lagi. Kata dokter, tulangnya harus nyambung sempurna dulu. Maklum, namanya juga tulang orang tua, butuh waktu lebih lama," canda Pak Dede sambil menunjuk gips yang melilit kakinya.
Tanaka terkekeh. Ia menghampiri ranjang Pak Dede. "Sabar, Pak. Cepat atau lambat, Bapak bakal pulang juga."
"Gimana rencana ke depan, Mas? Kata dokter, Mas nggak ada yang jenguk. Sendirian di rumah, ya?" tanya Pak Dede, suaranya terdengar prihatin.
Tanaka terdiam sejenak. Ia mengangguk. "Iya, Pak. Orang tua saya sudah nggak ada. Saya tinggal sendiri."
"Sama kayak saya, Mas. Istri saya juga udah meninggal duluan. Anak saya sudah pada sibuk masing-masing. Hidup ini memang keras, ya," kata Pak Dede sambil menghela napas.
"Tapi kita harus kuat, Mas. Demi diri sendiri. Saya doain, semoga Mas Tan dikasih rezeki yang berlimpah sama Tuhan, biar bisa bangkit lagi."
"Aamiin. Terima kasih banyak, Pak Dede. Doain saya, ya. Kalau ada waktu, mampir ke rumah saya. Nanti saya masakin kopi," balas Tanaka, tulus.
Pak Dede tertawa. "Siap, Mas. Tapi nanti saya juga yang bawain jajanan, ya. Biar nggak ngerepotin. Jaga diri baik-baik, Mas."
"Iya, Pak. Bapak juga, ya. Cepat sembuh," kata Tanaka sambil menepuk bahu Pak Dede.
Setelah itu, ia berpamitan dengan teman sekamarnya yang lain, mahasiswa muda yang pendiam. Ia melangkah keluar, menyusuri koridor rumah sakit.
Saat berjalan di koridor, ia berpapasan dengan Suster Fitri yang sering merawatnya.
"Loh, Pak Tanaka? Mau pulang?" sapa Suster Fitri, ramah.
"Iya, Suster. Dokter bilang sudah boleh pulang," jawab Tanaka, tersenyum.
"Syukurlah. Saya kira Bapak belum ada yang jemput," kata Suster Fitri sambil menatap sekeliling. "Kalau mau pesan taksi atau ojek online, pakai ponsel saya saja, Pak."
"Tidak usah, Suster. Nanti saya cari di depan saja. Lagipula, saya tidak bawa uang tunai banyak," kata Tanaka, sedikit berbohong. Ia tidak ingin orang tahu bahwa ia akan mendapatkan uang kompensasi 50 juta.
"Baiklah. Hati-hati di jalan, ya, Pak. Cepat sembuh, jangan lupa minum obatnya. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan hubungi saya. Ada nomor saya di pergelangan tangan Bapak, kan?" goda Suster Fitri.
Tanaka tertawa.
"Iya, Suster. Terima kasih banyak atas bantuannya selama ini. Suster orangnya ramah sekali."
Suster Fitri tersipu.
"Sama-sama, Pak. Itu sudah tugas saya. Bapak juga orangnya baik, saya suka kalau Bapak cerita."
"Cerita apa, Suster? Saya kan jarang ngomong," balas Tanaka, pura-pura tidak tahu.
"Ah, Bapak pura-pura. Kemarin kan Bapak cerita sedikit soal apa yang sedang bapak hadapi saat ini. Bapak sabar sekali orangnya," kata Suster Fitri.
Tanaka terdiam sejenak.
"Terima kasih, Suster."
"Iya, Pak. Semoga Bapak bisa menjalani hidup yang lebih baik lagi. Doa saya selalu menyertai Bapak," kata Suster Fitri, tulus.
"Aamiin. Terima kasih banyak, Suster. Suster juga, ya. Sukses selalu," balas Tanaka.
Setelah berpamitan, ia melangkah keluar, menyusuri koridor rumah sakit, ia menyapa suster dan dokter yang ia kenali.
Hatinya bertanya-tanya. Di mana perwakilan legal dari Jaya Group yang menjanjikan kompensasi? Ia meminta uang itu secara tunai, bukan transfer, agar terhindar pemotongan dari pihak bank atau cicilan angsuran pinjamanya.
Pria itu menjanjikan uang akan diberikan saat ia pulang dari rumah sakit.
"Apa aku harus langsung ke kantor pusat Jaya Group di kota ini?" gumamnya pada diri sendiri, sambil menekan tombol lift.
Lift berdenting. Pintu terbuka. Tanaka masuk, dan beberapa menit kemudian, ia sudah berada di lobi. Ia melangkah menuju pintu utama, memantapkan niat untuk pergi ke kantor perusahaan itu. Namun, tepat saat ia akan tiba di pintu utama rumah sakit tersebut, sosok yang ia cari tiba-tiba muncul. Pria berjas itu, dengan wajah datar yang sama, masuk dari arah berlawanan.
Mata mereka bertemu. Pria itu menyunggingkan senyum tipis.
"Tuan Tanaka, kebetulan sekali kamu di sini. Saya baru saja akan menuju bangsal Anda," sapa pria itu.
"Ya, saya sudah diizinkan pulang. Perawatannya akan dilanjutkan dengan rawat jalan," jawab Tanaka, merasa lega sekaligus canggung.
Pria itu mengangguk, lalu memberi isyarat agar Tanaka mengikutinya. "Mari, ikut saya ke mobil. Tidak nyaman membicarakan masalah puluhan juta di tempat terbuka seperti ini."
Tanaka mengangguk. Ia mengekor di belakang pria itu, berjalan di area parkir rumah sakit yang luas. Hujan baru saja reda, menyisakan genangan air dan aroma tanah basah.
Mereka berhenti di samping sebuah sedan hitam mengilap. Pria itu membuka pintu, dan mereka berdua masuk. Tanaka duduk di kursi penumpang depan, sementara pria itu duduk di kursi kemudi.
"Sebelumnya, saya ucapkan selamat karena anda sudah boleh pulang," ujar pria itu, suaranya kembali formal. "Kedatangan saya ke sini adalah untuk menyerahkan cek senilai lima puluh juta rupiah, sesuai dengan kompensasi yang telah disepakati."
Pria itu mengambil sebuah amplop coklat dari laci dasbor, mengeluarkan selembar kertas berharga itu, dan menyerahkannya pada Tanaka.
Tanaka memandang cek itu dengan takjub. Nominal Rp 50.000.000,00 tercetak jelas di sana, di bawah nama penerima: Tanaka Syahputra. Ada tanda tangan dari manajer Jaya Group cabang Yogyakarta.
"Kami tidak bisa memberikan uang tunai karena terlalu berisiko bagi anda untuk membawanya. Cek ini bisa dicairkan di seluruh Bank Pusat Asia (BPS) di Indonesia dalam waktu tiga hari, terhitung mulai hari ini," jelas pria itu.
Tanaka mengangguk, hatinya berdebar. Ia memasukkan cek itu ke dalam tas selempangnya, menjaganya dengan erat seolah benda itu adalah nyawanya. Ini bukan hanya selembar kertas, ini adalah tiketnya untuk bebas. Tiketnya untuk memulai babak baru.
Setelah urusan selesai, pria itu menawarkan tumpangan, namun Tanaka menolak. Ia tidak ingin terlalu berutang budi. Begitu mobil pria itu melaju pergi, Tanaka berjalan menuju pintu gerbang rumah sakit. Ia tidak punya ponsel untuk memesan ojek online, jadi ia harus mencari tumpangan secara manual.
Ia melihat penampilannya. Kaus lusuh dengan noda darah kering yang samar. Celana training robek.
"Mungkin lebih baik naik ojek pangkalan daripada naik bus dengan pakaian seperti ini," gumamnya.
Namun, tidak ada pangkalan ojek di sekitar. Ia memutuskan untuk menunggu di pinggir jalan, berharap ada pengemudi ojek online yang lewat tanpa penumpang.
Tak lama kemudian, sebuah motor matic berhenti di hadapannya. Pengemudinya adalah seorang pria paruh baya. Tanaka langsung menyapanya.
"Mas, bisa minta tolong antar saya?"
Pengemudi itu menatap Tanaka dari atas ke bawah. "Mau ke mana, Mas?"
Tanaka menyebutkan alamatnya. Pengemudi itu menyebutkan harga. "Dua puluh lima ribu, Mas. Kalau online, tiga puluh ribu."
Tanaka menelan ludah. "Bisa lima belas ribu, Mas?"
Pengemudi itu mengerutkan dahi. "Loh? Kok murah banget, Mas?"
"Begini, Mas," kata Tanaka, dengan jujur. "Saya baru keluar dari rumah sakit. Saya kecelakaan. Uang saya cuma sisa lima belas ribu."
Pengemudi itu awalnya ragu, namun saat ia melihat lebih dekat, ia menyadari kebenaran ucapan Tanaka. Kausnya yang robek, bekas darah di kerah leher, perban yang menempel di kepala… ia melihat dompet Tanaka yang diperlihatkan oleh orangnya sendiri sebagai bukti kalau dia tidak punya banyak uang, yang isinya hanya dua lembar uang, satu sepuluh ribuan dan satu lima ribuan. Rasa iba menjalar di hatinya.
"Ya sudah, ayo naik. Cuma lima belas ribu nggak apa-apa," katanya.
Tanaka sangat berterima kasih dan dia pun naik ke jok belakang, hati-hati agar tidak merasakan sakit. Pengemudi itu menyodorkan helm yang tanak pasangkan ke kepalanya dengan lembut untuk menghindari rasa sakit.
Selama perjalanan, pengemudi ojek itu banyak bertanya. Ia bertanya tentang kecelakaan yang dialami Tanaka. Tanaka hanya bercerita singkat, tentang betapa beruntungnya ia bertemu orang yang baik hati.
Ia tidak menceritakan soal kompensasi lima puluh juta, karena ia tahu, uang bisa mengubah manusia. Ia tidak ingin berburuk sangka, tetapi ia harus waspada.
Setibanya di depan rumahnya, Tanaka turun. Ia melepaskan helm dan merogoh dompetnya. Namun, pengemudi itu menolak.
"Tidak usah, Mas. Biarkan rezeki ini diganti sama Tuhan. Saya ikhlas," kata pengemudi itu, tulus.
Tanaka terkejut. "Tapi, Mas…"
"Sudah, nggak apa-apa. Saya tahu, Mas baru kena musibah. Semoga cepat sembuh, ya."
Tanaka merasa sangat bersyukur. Ia tidak bisa berkata-kata, selain mengucapkan terima kasih dan mendoakan kebaikan untuk pengemudi ojek tersebut. Pria itu mengaminkan, lalu pergi.
Tanaka berdiri di depan rumahnya, menunggui sampai motor pengemudi ojek itu hilang dari pandangan. Setelah memastikan ia sendirian, ia melangkah masuk ke dalam pagar rumahnya.
Ia membuka kunci pagar, lalu pintu rumah. Ia berharap tidak ada maling yang masuk selama ia dirawat di rumah sakit.
Begitu di dalam, ia langsung menuju kamar, melepas pakaian lamanya, dan mencari pakaian yang layak. Ia tidak akan pergi ke bank dengan pakaian seperti itu.
Ia butuh pakaian yang lebih bersih dan sedikit lebih bagus. Sebuah kemeja lengan pendek dan celana kain yang masih layak ia pakai.
Ia tidak bisa menunggu lagi. Walaupun cek itu bisa dicairkan dalam tiga hari, ia ingin memegang uang tunai itu secepatnya.
Setelah berpakaian, ia mengunci rumahnya dan berjalan menuju halte bus kota. Ia tidak punya ponsel untuk memesan ojek daring. Perjalanan dengan bus memakan waktu lebih dari satu jam. Bus itu berjalan lambat, berhenti di banyak halte, seperti menguji kesabaran. Namun, Tanaka tidak peduli. Pikirannya hanya terfokus pada selembar kertas di tasnya.
Setibanya di Bank Pusat Asia, ia melangkah masuk. Seorang satpam menyambutnya dengan ramah.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Mas?"
"Saya mau mencairkan cek," jawab Tanaka.
"Mohon maaf, Mas, boleh saya tahu berapa nominalnya? Kalau lima puluh juta ke atas, kami sediakan ruangan khusus."
"Pas lima puluh juta," bisik Tanaka, setengah berbisik. Ia tidak ingin ada orang lain yang mendengar nominal itu, takut akan menjadi incaran perampok.
Satpam itu mengangguk, mengerti. Ia memberikan selembar formulir dan nomor antrean.
"Silakan diisi dulu formulirnya, lalu tunggu nomor antreannya dipanggil," kata satpam.
Tanaka mengisi formulir dengan data diri dan keperluannya. Setelah selesai, ia duduk di sofa tunggu yang empuk, menunggu gilirannya.
Sambil menunggu, ia mengalihkan pandangannya ke televisi di depan. Layar itu terbagi dua. Sisi kanan menayangkan acara bincang-bincang bisnis, dan sisi kiri menampilkan indeks saham domestik.
Saat itulah, sesuatu yang aneh terjadi. Tiba-tiba, pandangannya sedikit kabur, seolah ia melihat ilusi optik. Angka-angka di indeks saham itu berubah. Panah hijau menunjuk ke atas, panah merah menunjuk ke bawah. Ia juga melihat jam di sudut layar menunjukkan pukul 14.30. Padahal, ia ingat betul, ia tiba di bank ini pada pukul 13.30.
Seketika, pandangannya kembali normal. Angka-angka di layar kembali ke semula, dan jam menunjukkan pukul 13.45. Ada perbedaan signifikan pada angka saham itu. Ia mengerjapkan matanya, yakin ia baru saja berhalusinasi.
Apa ini? Apa mataku ada kelainan? Aku harus periksa ke dokter mata setelah ini, batinnya.
Fokusnya terhenti saat nomor antreannya dipanggil. Ia berdiri, dan menghampiri teller. Di balik meja kaca, duduk seorang wanita muda, mungkin berusia 24 atau 26 tahun. Ia tidak secantik Ayunindya, tapi ia memiliki kecantikan yang mempesona.
"Selamat siang, dengan saya Nina Maharani. Ada yang bisa saya bantu?" sapa teller itu, ramah.
"Saya ingin mencairkan cek," jawab Tanaka, menyerahkan cek itu.
Nina mengambil cek itu dan memeriksanya. "Baik, saya periksa dulu. Mohon tunggu sebentar."
Nina mengamati keaslian cek, lalu mengecek nama penerima. Setelah yakin, ia mengangkat kepala.
"Cek ini atas nama Bapak Tanaka Syahputra. Bolehkah saya lihat KTP-nya, Pak, untuk verifikasi?"
Tanaka merogoh tasnya lagi, mengeluarkan dompet. Isinya hanya beberapa lembar uang, SIM, STNK, KTP, dan kartu ATM bank lamanya. Ia menyerahkan KTP-nya. Nina membandingkan foto dan nama di KTP dengan yang tertera di cek.
"Baik, Pak Tanaka, nama Anda sudah terverifikasi. Kami akan mencairkan nominal uang yang tertera di cek ini, lima puluh juta rupiah. Apakah Anda memiliki rekening di bank ini, atau ingin kami transfer ke bank lain?" tanya Nina, sambil mengembalikan KTP Tanaka.
"Tidak, saya tidak punya rekening di bank ini. Saya mau dicairkan tunai," jawab Tanaka, tegas.
Nina sedikit terkejut. Ia kembali mengingatkan Tanaka akan risiko membawa uang sebanyak itu secara tunai. Ia juga menyarankan untuk membuka rekening BPS di sana agar uangnya bisa langsung ditabung.
Tanaka menggeleng. Tawaran itu memang masuk akal. Lagipula, bank tempat ia punya utang berbeda dengan BPS, jadi uangnya tidak akan langsung dipotong. Namun, ia ingin memegang uang itu. Ia ingin merasakan bagaimana rasanya memiliki uang sebanyak itu.
"Kapan lagi aku bisa megang uang sebanyak itu? Meskipun berisiko, kalau aku hati-hati, pasti tidak ada kejadian buruk," pikirnya.
"Baik, kalau begitu. Mohon tunggu sebentar. Saya akan segera mencairkan cek ini," ucap Nina, lalu pergi ke sebuah ruangan di belakang meja teller.
Sambil menunggu, Tanaka kembali menatap televisi. Ia melihat jam menunjukkan pukul 14.40. Ia tertegun. Angka-angka saham di layar menunjukkan perubahan yang signifikan. Angka-angka itu sama persis dengan yang ia lihat dalam "halusinasi" anehnya tadi. Simbol panah hijau dan merah juga sama. Tanaka membelalakkan mata. Ini bukan halusinasi. Ini nyata.
"Apa yang terjadi pada mataku?" bisiknya pada diri sendiri. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam tentang hal itu nanti.
Beberapa menit kemudian, Nina kembali dengan sebuah troli berisi keranjang. Di dalamnya, ada lima tumpukan uang seratus ribuan.
"Pak Tanaka, mohon perhatikan mesin penghitung uang, ya. Saya akan menghitungnya," kata Nina.
Ia mulai memasukkan tumpukan uang itu ke mesin. Mesin itu berbunyi cepat.
"Total lima ratus lembar, Pak. Nominal seratus ribuan. Totalnya lima puluh juta rupiah. Sudah sesuai, Pak?" tanya Nina, setelah selesai menghitung.
Tanaka mengangguk.
"Apa Anda membawa tas atau wadah untuk uang ini? Jika tidak, kami bisa sediakan amplop coklat, gratis," tawar Nina. "Tapi sekali lagi, saya sarankan untuk transfer atau buka rekening di sini, Pak, demi keamanan."
Tanaka kembali berpikir. Benar juga. Membawa uang sebanyak itu di jalanan akan sangat berbahaya. Ia akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran Nina.
"Baiklah. Saya akan buka rekening di sini."
Mendengar itu, Nani pun langsung menganggukkan kepalanya, dia langsung menyelesaikan tugasnya untuk pencairan cek senilai 50 juta itu.
Dalam hitungan menit, Nani meletak dua tumpukan uang yang rapi, terbagi menjadi dua kantong amplop coklat.
“Ini nota penerimaannya, Pak Tanaka,” ucap Nani, seraya menyerahkan lembaran kertas untuk ditandatangani. “Satu lembar untuk Bapak sebagai arsip, satunya lagi untuk dokumentasi kami.”
Tanaka mengangguk, jemarinya terasa kaku memegang pena. Ia membubuhkan tanda tangannya di atas kertas itu, seolah sedang menandatangani babak baru dalam hidupnya.
Setelah semuanya selesai, Nani membawanya ke bagian customer service untuk proses pembukaan rekening.
“Silakan tunggu di sini sebentar, Pak Tanaka,” ujar Nani. “Saya akan memberitahukan kepada petugas customer service tentang hal ini.”
Tanaka menganggukkan kepalanya, lalu kembali duduk di sofa empuk yang ditinggalkannya tadi.
Matanya mengikuti Nani yang berjalan menuju meja petugas customer service di seberang, yang saat itu masih melayani seorang nasabah.
Nani berbicara sebentar dengan petugas itu, lalu petugas itu menganggukkan kepalanya, memberi isyarat mengerti.
Nani kembali menghampiri Tanaka dengan senyum. “Saya sudah memberitahukan pada petugas costumer service dan pak Tanaka bisa langsung memproses pembukaan rekening sekarang, saat petugas costumer service sudah selesai dengan nasabahnya saat ini.”
Tanaka mengangguk lagi,Nani kemudian pergi meninggalkannya, kembali ke tempat tugasnya di meja teller.
Setelah beberapa saat, nasabah itu sudah selesai dengan urusannya dan langsung bangkit dari tempat duduknya di costumer service tersebut.
“Silahkan pak,” ujar petugas costumer service itu pada Tanaka.
Tanaka, bangkit dengan membawa dua kantong amplop berisi uang 50 jutanya berjalan menuju meja costumer service tersebut.
Ia disambut oleh petugas customer service yang ramah.
Proses pembukaan rekeningnya di Bank Pusat Asia pun dimulai dan itu tidak sampai memakan waktu lebih dari satu jam.
Setelah rekening barunya selesai dengan saldo awal 40 juta, 10 juta sisanya ia masukkan ke dalam dompet.
Dompetnya yang biasanya tipis, kini terasa tebal dan penuh. Ia tersenyum, seperti dompetnya bisa merasakan kebahagiaan karena melihat dompetnya seperti merasa sangat kenyang karena diberikan tumpukan uang sepuluh juta.
Tanaka merasa tidak ada urusan lagi di tempat itu, langsung pergi meninggalkan tempat tersebut, kembali ke rumahnya dengan perasaan senang dan lega, tidak ada perasaan cemas seperti bila di harus membawa uang sebanyak lima puluh juta dalam perjalanan pulang ke rumahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!