Dua Muara Takdir
Azan Isya berkumandang. Terlihat seorang gadis tergesa-gesa menyiapkan peralatan make up yang hendak ia gunakan untuk merias keluarga, serta mempelai pengantin yang sudah menyewanya, besok.
Malam ini, semua kru telah bersiap, menunggunya di depan rumah untuk menjemputnya tentunya. Sedangkan dirinya baru selesai menyetorkan tugas harian kepada dosen pembimbing di tempatnya menimba ilmu.
"Fatim, masih lama tidak, Nak? Teman-temanmu menunggu di luar tuuu!" teriak Jaenab, yang tak lain adalah ibu dari Siti Nurhana Fatimah. Gadis cantik yang berprofesi sebagai perias pengantin itu.
"Sebentar, Mak. Fatim masih ganti baju," jawabnya.
Tak terdengar teriakan lagi.
"Emakku sayang, dirimulah alarm terbaik di dunia ini. Setelah Adzan tentunya. Masya Allah cantiknya aku. Kapan ada pangeran berkuda putih melamar ku. Biar hidupku tak terburu-buru begini? Lihatlah, semua serba terburu-buru, seperti yang mau nikah, aku saja. Hahahah," candanya pada dirinya sendiri, yang kini sedang sibuk memakai hijab di depan meja rias.
"Yuhuuuu, akhirnya Siti Nurhana Fatimah putri emak Jaenab nan seksi itu, siap menjalankan tugas. Lets go, Fatim. Mari kita kerja. Mari kita buat bahagia mempelai pria. Ehhh... Kok mempelai pria? Mempelai wanita dong, kan yang mau dirias, yang cewek? Gimana sih?" Fatim memukul kepalanya sendiri, lalu tersenyum malu-malu.
"Eh... Tunggu-tunggu." Fatim menghentikan langkahnya.
"Harusnya bener dong? Yang dibikin bahagia mempelai pria, kan kalo istrinya cantik, yang seneng siapa? kan mempelai pria harusnya, gimana sih? Please Fatim, kembalikan kecerdasanmu pada tempatnya, jika tidak, maka...." Fatim kembali memukul kepalanya pelan, lalu tersenyum riang.
"Ahhhh, whatever... Siapapun yang senang, aku ikut senang. Mari Fatimah kita kerja... Kerjaaaa... Kerjaaa.. Kerja ha ha ha ha.. Kerja.. Kerja.. Kerja ha.. haaaa.. ha... " ucap Fatim, sembari bernyanyi dan berlari riang menuruni anak-anak tangga.
Namun langkah dan nyanyian gadis itu terhenti, ketika sampai di ruang tamu. Karena semua pemilik mata yang ada di ruangan tersebut memandangnya. Memandang dengan tatapan penuh pertanyaan.
"Ehhh, maaf, maaf ... Assalamu'alaikum semuanya. Maafkan saya," ucap Fatim, sembari berjalan menunduk dan menyapa para tamu emaknya yang sedang tertegun menatapnya.
"Waalaikumsalam salam... Ndak pa-pa, Nduk. Sini-sini, Pakde mau bicara sebentar sama Fatim!" pinta seseorang berbaju batik itu.
"Injih, Pakde. Monggo, tapi Fatim pamit sama temen-temen di depan dulu, nggih. Mereka sudah nunggu Fatim dari tadi," jawab Fatim, sopan.
"Oh, boleh-boleh. Pamit dulu ndak pa-pa. Nanti ke sananya kamu bareng Pakde sama emakmu saja. Kan kamu mau ngrias di tempat Pakde, to?" Pria paruh baya itu tersenyum. Sedangkan Emak Jaenab malah menatapnya memelas.
Fatim bingung, sebab ia masih belum memahami arti ucapan itu. Namun ia tetap mengangguk, lalu berpamitan sebentar untuk menitipkan peralatan make up miliknya kepada timnya.
"Kalian disuruh berangkat dulu, aku masih ada tamu. Eh kalian ada yang tahu nggak, kalo bapaknya mempelai pria malah ada di sini? Apakah mau membatalkan kerja sama kita?" tanya Fatim pada salah satu temannya.
"Nggak tahu, Fat. Mereka nggak ada bilang pa-pa tu sama bu bos. Mungkin ada tujuan lain sama kamu," jawab salah satu teman Fatimah.
"Ohhh tujuan lain ya! Emm... bisa jadi sih. Baiklah... Nanti aku nyusul ya. Oiya, melatinya jangan sampai rusak ya. Sampai sana langsung rendam pakek es batu. Nggak usah dikeluarin, seperti biasa, oke!" Pinta Fatim, semangat.
"Baik tuan putri, kamu udah bawa lipstik yang semalam aku kirim gambarnya kan?"
"Sudah! Semua lengkap. Nggak ada satupun yang tertinggal di rumah. Semua milik butik sudah aku kemas di situ," jawab Hana.
"Oke, princess... silakan selesaikan dulu urusanmu. Aku doakan setelah ini kamu cepetan nyusul!" canda salah satu kru.
"Nyusul ke mana?" tanya Fatim lugu.
"Nyusul mempelai ke pelaminanlah... ke mana lagi!" balas mereka serempak.
"Ha, apa?" Fatim bengong. Bingung dengan maksud sahabat-sahabatnya ini
"Ya Allah, Fatim, please, lolamu simpan aja di rumah. Ya nyusulin kita ke tempat kerja lah, Sayang. Masak iya kamu mau bersanding sama mempelai pria. Emang berani?" canda salah satu teman Fatim kagi.
"Berani! Kenapa enggak? Ehhh.. Astaghfirullah hal azim... Mulut, mulut... Ahhh.. Kalian selalu saja menggodaku. Dah ah.. Jalan sana hustt hust!" Fatim mengibas-ngibaskan tanganya, seperti mengusir mereka.
Tak ayal semua teman pun tertawa senang. Sebab begitulah seorang Fatimah. Lugu dan apa adanya. Selalu ceria dan bisa membuat semua teman-temannya nyaman berada di sampingnya.
***
Siti Nurhana Fatimah, seorang gadis yatim yang bekerja sebagai salah satu kru sebuah WO terbaik di kota itu. Ia masih kuliah semester lima. Tetapi hasil riasannya tidak diragukan lagi.
Sejak setahun ia bergabung di rumah Wedding Organizer itu, mereka selalu kebanjiran job. Apa lagi musim menikah seperti ini. Sampai bisa dibilang, jika musim nikahan seperti ini, Fatimah dan krunya jarang ada di rumah. Lantaran tuntutan pekerjaan.
Sedetik kemudian, mobil yang membawa para teman-teman Fatimah pun melaju.
Kini tinggalah gadis cantik ini dengan segala rasa penasaran yang melanda. Penyebabnya tak lain adalah kedatangan keluarga calon pengantin, yang seharusnya ia temui di tempat kerja.
Rasa penasaran itu pun menuntun gadis ayu ini untuk segera masuk ke dalam rumah.
"Itu anaknya, Kang. Monggo ditanya sendiri," ucap Emak Jaenab, mempersilakan.
"Sini, Nduk. Pakde mau bicara sama kamu," ucap pria paruh baya berbaju batik itu.
Fatim tersenyum takut, entahlah jantungnya berdebar lebih kencang dari pertama kali mereka bertatap muka.
"Ada apa, Mak?" bisik Fatim pada ibunya.
"Jadi begini, Nak Fatim? Kamu sudah mengenal Pakde sama Budemu kan?" tanya pria itu.
"Njih, Pakde sama Bude kan, kalo Fatim nggak salah, pemilik TPA dulu tempat Fatim belajar mengaji," jawab gadis ayu ini, jujur.
"Betul! Di samping itu, Pakde dan Bude ini teman kecil bapakmu," ucap pria itu lagi.
"Ohhh." Fatim tersenyum.
Suasana hening sejenak. Lalu pria paruh baya itu kembali mengutarakan maksud kedatangannya ke sini.
"Jadi begini, Fatim. Sebelumnya Pakde sama Bude minta maaf. Mungkin ini akan membuat kamu sedikit shock. Tetapi, Pakde mohon, Fatim mau membantu kami," ucap Pria itu. Memandang penuh harap pada gadis yang kini ada di depannya.
"Membantu apa, Pakde?" tanya Fatim.
"Kami tahu, kamu belum mengenal Azzam, putra pakde. Tetapi, maukah kamu menikah dengannya?"
"Ha!" Hanya kata itu yang sanggup ia ucapkan. Sungguh ia tidak menyangka, bahwa kedua orang tua mempelai pria yang harusnya ia rias malah melamarnya. Bukankah ini seperti lelucon. Tak ayal, Fatim bukan hanya terkejut, tapi shock. Sangat-sangat shock.
"Bagaimana Fatim?" tanya Wanita paruh baya yang ada di samping pria itu.
"Sebentar, Pakde... Sebentar Bude. Fatim ..." Fatim mencoba mengatur napas yang kini mulai tak beraturan. Karena detak jantungnya pun serasa lebih cepat dari biasanya. Kakinya gemetar. Keringat dingin punmulai menunjukkan pesonanya. Sungguh Fatim. tidak menyangka bahwa candaan yang ia lontarkan sendiri, candaan yang ia lontarkan pada teman-temannya malah akan menjadi kenyataan. Fatim tak habis pikir.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Hasrie Bakrie
Assalamualaikum warahmatullahi wabarhakatu Aq mampir ya thor
2023-02-22
0
Fairuz Aurelia
lanjut baca d sini stlh baca nya sunshine yg ternyata masih ngegantung,,,semoga aja cerita ini bener2 tamat ya Thor...
tlng lanjutin nulis cerita my sunshine ya Thor ceritanya bagus kenapa gk d lanjut...
2022-10-13
0
Syifa Altafunnisa
mampir ya Thor 🙏🙏🙏 lanjut 👍
2022-09-30
0