Azan Isya berkumandang. Terlihat seorang gadis tergesa-gesa menyiapkan peralatan make up yang hendak ia gunakan untuk merias keluarga, serta mempelai pengantin yang sudah menyewanya, besok.
Malam ini, semua kru telah bersiap, menunggunya di depan rumah untuk menjemputnya tentunya. Sedangkan dirinya baru selesai menyetorkan tugas harian kepada dosen pembimbing di tempatnya menimba ilmu.
"Fatim, masih lama tidak, Nak? Teman-temanmu menunggu di luar tuuu!" teriak Jaenab, yang tak lain adalah ibu dari Siti Nurhana Fatimah. Gadis cantik yang berprofesi sebagai perias pengantin itu.
"Sebentar, Mak. Fatim masih ganti baju," jawabnya.
Tak terdengar teriakan lagi.
"Emakku sayang, dirimulah alarm terbaik di dunia ini. Setelah Adzan tentunya. Masya Allah cantiknya aku. Kapan ada pangeran berkuda putih melamar ku. Biar hidupku tak terburu-buru begini? Lihatlah, semua serba terburu-buru, seperti yang mau nikah, aku saja. Hahahah," candanya pada dirinya sendiri, yang kini sedang sibuk memakai hijab di depan meja rias.
"Yuhuuuu, akhirnya Siti Nurhana Fatimah putri emak Jaenab nan seksi itu, siap menjalankan tugas. Lets go, Fatim. Mari kita kerja. Mari kita buat bahagia mempelai pria. Ehhh... Kok mempelai pria? Mempelai wanita dong, kan yang mau dirias, yang cewek? Gimana sih?" Fatim memukul kepalanya sendiri, lalu tersenyum malu-malu.
"Eh... Tunggu-tunggu." Fatim menghentikan langkahnya.
"Harusnya bener dong? Yang dibikin bahagia mempelai pria, kan kalo istrinya cantik, yang seneng siapa? kan mempelai pria harusnya, gimana sih? Please Fatim, kembalikan kecerdasanmu pada tempatnya, jika tidak, maka...." Fatim kembali memukul kepalanya pelan, lalu tersenyum riang.
"Ahhhh, whatever... Siapapun yang senang, aku ikut senang. Mari Fatimah kita kerja... Kerjaaaa... Kerjaaa.. Kerja ha ha ha ha.. Kerja.. Kerja.. Kerja ha.. haaaa.. ha... " ucap Fatim, sembari bernyanyi dan berlari riang menuruni anak-anak tangga.
Namun langkah dan nyanyian gadis itu terhenti, ketika sampai di ruang tamu. Karena semua pemilik mata yang ada di ruangan tersebut memandangnya. Memandang dengan tatapan penuh pertanyaan.
"Ehhh, maaf, maaf ... Assalamu'alaikum semuanya. Maafkan saya," ucap Fatim, sembari berjalan menunduk dan menyapa para tamu emaknya yang sedang tertegun menatapnya.
"Waalaikumsalam salam... Ndak pa-pa, Nduk. Sini-sini, Pakde mau bicara sebentar sama Fatim!" pinta seseorang berbaju batik itu.
"Injih, Pakde. Monggo, tapi Fatim pamit sama temen-temen di depan dulu, nggih. Mereka sudah nunggu Fatim dari tadi," jawab Fatim, sopan.
"Oh, boleh-boleh. Pamit dulu ndak pa-pa. Nanti ke sananya kamu bareng Pakde sama emakmu saja. Kan kamu mau ngrias di tempat Pakde, to?" Pria paruh baya itu tersenyum. Sedangkan Emak Jaenab malah menatapnya memelas.
Fatim bingung, sebab ia masih belum memahami arti ucapan itu. Namun ia tetap mengangguk, lalu berpamitan sebentar untuk menitipkan peralatan make up miliknya kepada timnya.
"Kalian disuruh berangkat dulu, aku masih ada tamu. Eh kalian ada yang tahu nggak, kalo bapaknya mempelai pria malah ada di sini? Apakah mau membatalkan kerja sama kita?" tanya Fatim pada salah satu temannya.
"Nggak tahu, Fat. Mereka nggak ada bilang pa-pa tu sama bu bos. Mungkin ada tujuan lain sama kamu," jawab salah satu teman Fatimah.
"Ohhh tujuan lain ya! Emm... bisa jadi sih. Baiklah... Nanti aku nyusul ya. Oiya, melatinya jangan sampai rusak ya. Sampai sana langsung rendam pakek es batu. Nggak usah dikeluarin, seperti biasa, oke!" Pinta Fatim, semangat.
"Baik tuan putri, kamu udah bawa lipstik yang semalam aku kirim gambarnya kan?"
"Sudah! Semua lengkap. Nggak ada satupun yang tertinggal di rumah. Semua milik butik sudah aku kemas di situ," jawab Hana.
"Oke, princess... silakan selesaikan dulu urusanmu. Aku doakan setelah ini kamu cepetan nyusul!" canda salah satu kru.
"Nyusul ke mana?" tanya Fatim lugu.
"Nyusul mempelai ke pelaminanlah... ke mana lagi!" balas mereka serempak.
"Ha, apa?" Fatim bengong. Bingung dengan maksud sahabat-sahabatnya ini
"Ya Allah, Fatim, please, lolamu simpan aja di rumah. Ya nyusulin kita ke tempat kerja lah, Sayang. Masak iya kamu mau bersanding sama mempelai pria. Emang berani?" canda salah satu teman Fatim kagi.
"Berani! Kenapa enggak? Ehhh.. Astaghfirullah hal azim... Mulut, mulut... Ahhh.. Kalian selalu saja menggodaku. Dah ah.. Jalan sana hustt hust!" Fatim mengibas-ngibaskan tanganya, seperti mengusir mereka.
Tak ayal semua teman pun tertawa senang. Sebab begitulah seorang Fatimah. Lugu dan apa adanya. Selalu ceria dan bisa membuat semua teman-temannya nyaman berada di sampingnya.
***
Siti Nurhana Fatimah, seorang gadis yatim yang bekerja sebagai salah satu kru sebuah WO terbaik di kota itu. Ia masih kuliah semester lima. Tetapi hasil riasannya tidak diragukan lagi.
Sejak setahun ia bergabung di rumah Wedding Organizer itu, mereka selalu kebanjiran job. Apa lagi musim menikah seperti ini. Sampai bisa dibilang, jika musim nikahan seperti ini, Fatimah dan krunya jarang ada di rumah. Lantaran tuntutan pekerjaan.
Sedetik kemudian, mobil yang membawa para teman-teman Fatimah pun melaju.
Kini tinggalah gadis cantik ini dengan segala rasa penasaran yang melanda. Penyebabnya tak lain adalah kedatangan keluarga calon pengantin, yang seharusnya ia temui di tempat kerja.
Rasa penasaran itu pun menuntun gadis ayu ini untuk segera masuk ke dalam rumah.
"Itu anaknya, Kang. Monggo ditanya sendiri," ucap Emak Jaenab, mempersilakan.
"Sini, Nduk. Pakde mau bicara sama kamu," ucap pria paruh baya berbaju batik itu.
Fatim tersenyum takut, entahlah jantungnya berdebar lebih kencang dari pertama kali mereka bertatap muka.
"Ada apa, Mak?" bisik Fatim pada ibunya.
"Jadi begini, Nak Fatim? Kamu sudah mengenal Pakde sama Budemu kan?" tanya pria itu.
"Njih, Pakde sama Bude kan, kalo Fatim nggak salah, pemilik TPA dulu tempat Fatim belajar mengaji," jawab gadis ayu ini, jujur.
"Betul! Di samping itu, Pakde dan Bude ini teman kecil bapakmu," ucap pria itu lagi.
"Ohhh." Fatim tersenyum.
Suasana hening sejenak. Lalu pria paruh baya itu kembali mengutarakan maksud kedatangannya ke sini.
"Jadi begini, Fatim. Sebelumnya Pakde sama Bude minta maaf. Mungkin ini akan membuat kamu sedikit shock. Tetapi, Pakde mohon, Fatim mau membantu kami," ucap Pria itu. Memandang penuh harap pada gadis yang kini ada di depannya.
"Membantu apa, Pakde?" tanya Fatim.
"Kami tahu, kamu belum mengenal Azzam, putra pakde. Tetapi, maukah kamu menikah dengannya?"
"Ha!" Hanya kata itu yang sanggup ia ucapkan. Sungguh ia tidak menyangka, bahwa kedua orang tua mempelai pria yang harusnya ia rias malah melamarnya. Bukankah ini seperti lelucon. Tak ayal, Fatim bukan hanya terkejut, tapi shock. Sangat-sangat shock.
"Bagaimana Fatim?" tanya Wanita paruh baya yang ada di samping pria itu.
"Sebentar, Pakde... Sebentar Bude. Fatim ..." Fatim mencoba mengatur napas yang kini mulai tak beraturan. Karena detak jantungnya pun serasa lebih cepat dari biasanya. Kakinya gemetar. Keringat dingin punmulai menunjukkan pesonanya. Sungguh Fatim. tidak menyangka bahwa candaan yang ia lontarkan sendiri, candaan yang ia lontarkan pada teman-temannya malah akan menjadi kenyataan. Fatim tak habis pikir.
Bersambung...
"Kenapa harus Fatim, Pakde? Bukankah mempelai wanita sudah ada?" tanya Fatim, gugup plus takut.
"Mempelai wanita tidak bisa diharapkan, Nak. Ternyata dia.... " Pria yang dipanggil Pakde oleh Fatim itu, menatap sang istri. Seperti ragu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Ternyata apa, Pakde? Tolong jangan buat Fatim bingung." Fatim pun menatap kedua tamunya, bergantian.
"Kami bukan bermaksud membuka aib mereka, Nak Fatim. Tetapi, Pakde juga nggak bisa tinggal diam. Undangan sudah disebar. Kami tidak mungkin membiarkan putra kami duduk di pelaminan sendiri. Keluarga calon mempelai wanita, membatalkan pernikahan sepihak. Karena menilai mahar yang kami berikan kurang. Mereka pun memilih menikahkan putri mereka dengan seseorang yang lebih kaya, lebih mapan dari putra, Pakde," jawab pria paruh baya, jujur. Terlihat raut wajahnya menunjukkan kesedihan.
"Astaghfirullah hal azim! Kenapa bisa begitu, Pakde. Mohon maaf, kalo Fatim lancang. Tetapi, menurut Fatim ini sangat aneh. Bukankah semua sudah disetujui di awal. Kenapa bisa diputar balikkan begitu? ini sih kejam sekali, Pakde," ucap Fatim, seperti biasa ia selalu apa adanya, spontan dan sesuai keadaan.
"Itu sebabnya, Nak. Pakde sama budemu bukan ndak sanggup kasih mahar yang sama, sebesar yang mereka minta. Tetapi, putra kami terlanjur sakit hati. Dia marah dengan alasan penolakkan keluarga calon istrinya. Harga dirinya terluka, Nak. Itu sebabnya dia milih mundur." Terlihat, butiran bening mulai mengembun di pelupuk mata kedua orang tua ini.
"Maafkan, kami, Kang Karso! Ini sangat mendadak sekali. Bagaimana bisa putri saya, menggantikan calon mantu, Panjenengan. Sedangkan kami nggak punya persiapan apa-apa," ucap Ibu Jaenab, gugup.
"Jangan takut soal itu, Bu Jaenab. Bukankah semua sudah dipersiapkan, yang penting Fatim-nya mau dan panjenengan ridho, ikhlas, merestui, kalo putri panjenengan kami pinang, jadi mantu kami. Itu sudah cukup, bagi kami." Pak Karso tersenyum. Sedangkan Fatim dan emaknya saling menatap.
"Fatim mau kan bantu Pakde sama Bude, menikah dengan putra Pakde?" tanya Pak Karso lagi.
"Sebentar, Pakde... Aduh, Mak... Gimana? Fatim sama masnya kan nggak kenal? Mana bisa nikah?" Fatim terlihat semakin ketakutan.
Ini rekasi wajar. Pak Karso dan istrinya memaklumi keraguan Fatim.
"Bukan niat kami ingin balas dendam sama calon besan kami, Bu, tetapi kalo boleh jujur, kami merasa sangat dipermalukan. Seakan kami bukanlah keluarga yang baik. Kami hanya berusaha menjaga marwah keluarga kami, itu saja. Toh putra kami juga nggak jelek-jelek amat, tapi kenapa kok masih ada yang tega menginjak harga dirinya. Terus terang saya sebagai ayah merasa tertampar Bu Jaenab," ucap Pak Karso, sedikit tersendat. Seperti sedang menahan marah dan luka hati yang sangat dalam.
"Sabar, Kang Karso. Mungkin putrane panjenengan sama mbak yang di sana, memang belum jodoh. Semoga jodohnya segera datang. Biar lukanya segera terobati," ucap Bu Jaenab, malah memelas.
Fatim tak bisa berucap apapun, sebab sejatinya dia pun tak tahu harus bagaimana. Di sisi lain, ini bukan keinginannya, tetapi bagaimana jika ini adalah jalan Allah menunjukkan jodoh untuknya.
'Ya Allah... Tolong beri petunjukMu' ucap batin Fatim, masih dalam jurang kebimbangan.
"Bagaimana, Nduk? Apa kamu mau menikah dengan putra, Pakde?" tanya Pak Karso lagi.
"Mak, pripun?" tanya gadis ayu ini.
"Nduk, jodoh, rezeki dan maut itu, kadang datangnya menang tidak kita sangka. Mereka bertiga selalu datang di saat kita memang tidak siap, tetapi alangkah baiknya kita ambil sisi positif dari kejadian ini. Emak percaya, kamu adalah gadis yang baik. Allah pasti kasih kamu imam yang baik juga. Siapa tahu, ini adalah jodoh yang memang Allah kirim untukmu. Alangkah baiknya, kamu terima lamaran ini. Melangkahlah dengan Bissmillah putriku, Insya Allah, pasti akan berakhir dengan Alhamdulillah," Jawab Mak Jaenab, yakin.
Fatim menatap mata sang ibu. Terlihat jelas ada kesedihan dan kebahagiaan menyatu di dalam sana. Gadis ayu ini tak tega mematahkan kebahagiaan itu.
Dengan keikhlasan hati untuk berbakti dan membahagiakan ibunya, akhirnya Fatim pun menerima lamaran itu.
"Jika Emak yakin mau menerima lamaran ini, Insya Allah, Fatim ikhlas, Mak," ucap Fatim sembari memeluk emak terbaiknya.
Tangis pun pecah di antara ibu dan anak itu. Bagaimana tidak? Perpisahan antara mereka tampak jelas di depan mata. Perpisahan itu datang tanpa aba-aba. Namun begitu, mereka juga bahagia, karena jodoh yang datang sungguh tak disangka.
Seorang anak dari keluarga terpandang dan memiliki dasar agama yang kuat telah melamar seorang Fatimah. Gadis dari keluarga biasa dan yatim pula. Bukankah ini seperti sebuah hadiah tak terduga bagi mereka.
"Alhamdulillah Ya Allah... Terima kasih banyak, Nduk. Sekarang istirahatlah. Besok anggota keluarga Pakde akan datang menjemputmu. Akad nikah dan resepsi akan digelar di gedung yang sudah kami sediakan. Oiya, soal mahar, Fatim mau berapa?" tanya Pak Karso.
"Sebentar Pakde, sebelum pernikahan ini terjadi, bolehkah Fatim mengatakan sesuatu?" tanya Fatim, gugup.
"Tentu saja, Sayang. Katakanlah!" jawab Pak Karso, lembut.
"Sebenarnya Fatim memiliki cita-cita untuk menjadi perias profesional, Pakde. Fatim juga ingin bekerja di bank. Bolehkah Fatim tetap tinggal di kota ini, selama Fatim belum lulus kuliah? Soal mahar biar Emak saja nanti yang minta," jawab Fatimah, jujur.
"Oh, soal itu bisa kita bicarakan, Nak. Memangnya kamu kuliah di mana?" tanya Pak Karso.
"Di Universitas Harapan, Pakde, ambil jurusan perbankan," jawab Fatim.
"Universitas Harapan, yang di jalan Jendral Sudirman, bukan?" tanya Bu Nanik, istri Pak Karso.
"Njih, Bude, betul. Fatim menimba ilmu di situ. Kok Bude tahu?" tanya Fatim, penasaran.
"Kan masmu juga ngajar di situ! Tapi masih dosen muda sih," jawab beliau.
"Hah? Bude serius? Tapi di kampus kami kayaknya nggak ada deh yang namanya Azzam, eh Mas Azzam. Hampir semua nama-nama dosen muda, Fatim tahu, tapi serius deh, Bude. Yang namanya pak Azzam nggak ada di sana," jawab Fatim, serius.
"Iya, nama Azzam memang nggak ada, tapi kalo Fikri kamu kenal?" tanya beliau lagi.
"Fikri? Sebentar Bude, apakah beliau dosen bahasa Inggris?" tanya Fatim, spontan.
"Yab, betul. Kan nama lengkapnya Ahmad Azzam Al-fikri. Di rumah dipanggilnya Azzam. Di kerjaan dipanggilnya Fikri. Pak Fikri, dosen muda untuk mata pelajaran bahas Inggris," jawab Bu Nanik lagi, sembari tersenyum senang. Sebab ternyata, Fatimah dan sang putra sudah saling kenal. Meskipun mungkin tidak terlalu akrab.
"Astaghfirullah hal azim, Mak. Ini mimpi kan? Ha... Fatim mau dinikahkan sama dosen muda killer itu. Allah ya Karim... Matilah Fatim sekarang , Mak. Tolong Fatim, Mak! Kenapa main terima aja tadi," gerutu Fatimah tepat di pelukan sang emak.
"Ya mana Emak, tahu?" Bu Jaenab malah terlihat cuek.
"Fatim... nggak boleh berubah pikiran loh, tadi sudah setuju!" ucap Pak Karso memperingatkan.
"Ampun, Pakde. Maafkan Fatim. Maaf, Fatim sungguh-sungguh minta maaf, tapi ini di luar ekspetasi Fatim, Pakde, sungguh. Apa kata dunia kalo Fatim menikah dengan musuh bebuyutan, Pakde. Putra Pakde dingin, nggak pernah senyum. Ini neraka, Pakde. Sungguh! Matilah aku sekarang!" ucap Fatim heboh, seperti menyesal. Namun bagi pak Karso dan ibu Nanik, Fatimah malah terlihat menggemaskan.
Sayangnya, ucapan itu tidak dianggap serius oleh kedua orang tua Azzam. Masalah antara Azzam dan Fatimah adalah masalah kecil antara murid dan dosen. Semua bisa diatasi seiring berjalannya waktu. Menurut mereka ini peristiwa ini akan sangat menyenangkan. Pasti akan menjadi cerita yang unik di dalam rumah tangga mereka.
Pak Karso dan Ibu Fatma hanya tersenyum melihat kegalauan menggemaskan seorang Fatimah. Mereka malah bersemangat dan tidak sabar ingin segera mempertemukan mereka di meja ijab qobul.
***
Di sisi lain, Azzam meremas sepucuk surat dari wanita yang telah berhasil menggores hatinya. Wanita yang telah berhasil menginjak harga diri dan juga marwah kerlurganya.
Azzam berjanji akan membalas perlakuan jahat itu. Azzam berjanji akan menghancurkan masa depan wanita yang telah berani menampar hatinya, hanya karena sebuah materi.
Bersambung...
Azzam menatap nanar pada layar ponsel miliknya. Foto sesi prewedding yang dan sang kekasih gelar beberapa minggu yang lalu tampak begitu manis dan bahagia.
Namun, semuanya sirna karena sebuah keserakahan.
Ayah sang gadis datang dari rantau. Lalu membawa seorang pria yang katanya jauh lebih mapan dan kaya dibanding calon suami putrinya.
Rasa tidak terima karena tidak diikut sertakan dalam acara lamaran sekaligus persetujuan atas acara pernikahan sang putri, membuat pria ini marah. Karena dari awal, sang ayah ingin menjodohkan sang putri dengan pria yang ia kenal itu.
Seakan seluruh keputusan ada di tangannya, sang mempelai sekaligus seluruh keluarga besar tak berkutik.
Mereka pun memilih untuk menyetujui permintaan pria paruh baya itu. Dengan membatalkan pernikahan yang telah diatur sedemikian rupa.
Azzam meremas foto yang telah dibingkai rapi itu. Pria tampan ini marah, lalu merobek penuh emosi foto-foto yang telah sukses memberinya luka.
Mendengar sang putra mulai tak bisa mengendalikan diri, Pak Karso dan Bu Fatma yang baru turun dari mobil langsung berlari menuju kamar di mana pemuda tampan itu berada.
"Zam... Istighfar, Le, istighfar! Tenang ,Le, tenang!" pinta Pak Karso sambil mengelus punggung sang putra. Sedangkan Bu Fatma segera mengambilkan air minum untuk membantu Azzam tenang.
"Gimana Azzam bisa tenang, Yah. Mereka bukan hanya menginjak harga diriku. Mereka menginjak harga diri keluargaku, orang tuaku!" jawab Azzam penuh emosi.
"Ayah tahu, sudah-sudah kamu nggak usah pikirkan itu dulu. Tenangkan dirimu. Calon pengantin harus tenang. Supaya ijab qobul nya besok sukses," ucap Pak Karso.
Azzam mengangkat wajahnya. Heran dengan pernyataan sang ayah. "Maksud Ayah?"
"Jadi begini ya, Le. Ibu percaya, bahwa jodoh maut dan rezeki itu Allah yang ngatur. Jadi percayalah, kalo dia bukan gadis yang baik untukmu. Ikhlaskan ya, Le. Allah pasti akan ganti yang lebih baik untukmu," jawab sang Ibu mencoba membantu menyampaikan maksud ucapan sang suami.
"Masalahnya bukan itu, Bu. Kalo soal itu Azzam juga tahu, tapi bagaimana bisa mereka membatalkan pernikahan, sehari sebelum akad. Kalo toh mau, harusnya jauh-jauh hari. Agar kita tidak malu dengan tetangga, dengan teman-temanku, dengan kerabat-kerabat kita, Bu." Azzam menundukkan kepala, menahan kesedihan yang saat ini menggerogoti jiwanya.
"Jangan cemaskan itu! Kamu akan tetap menikah. Ibu sama Ayahmu sudah mempersiapkan calon istri yang lebih baik untukmu. Lebih cantik dan pastinya tidak matre. Insya Allah sholehah. Seperti apa yang kamu mau," balas Bu Fatma sembari tersenyum riang.
Tak ayal, Azzam pun tercengang. Bagaimana bisa? Hanya dengan hitungan jam, kedua orang tuanya sudah mendapatkan calon pendamping untuknya.
"Bu, jangan aneh-aneh, deh. Bagaimana mungkin? Lagian mana ada gadis yang mau nikah dadakan kalo bukan demi uang juga," bantah Azzam.
"Heee.... Ada, emang ayah ibumu ini pernah bohong. Tadi aja dia langsung bilang mau kok, pas kita tawarin, iya kan Yah. Dia juga nggak minta mahar banyak-banyak, apa lagi yang aneh-aneh. Pokoknya, menurut Ibu, gadis ini anak baik. Dia sangat ceria, cantik, sopan, dia juga udah bapak sama ibu kenal dari kecil. Bahkan dia juga, murit Ibu dulu di TPQ. Ibu yang ngajar malahan. Iya kan yah. Dia ini anak almarhum temen, ayahmu juga. Percayalah! Ayah sama Ibu nggak akan salah pilih. Sebenarnya kami sudah punya niat untuk menjodohkanmu dengannya dari dulu. Hanya saja kamu sudah punya pilihan. Tapi sekarang, Insya Allah ini yang terbaik untukmu dan dia," ucap Bu Fatma, yakin .
Azzam kembali menatap penuh tanya pada kedua orang tuanya. Baginya, ini hanya sebuah lelucon belaka.
"Pernikahan bukan mainan, Bu. Kenapa segampang ini ayah sama ibu ngambil keputusan. Nggak lucu ah, masak Azzam di suruh nikah sama perempuan yang nggak Azzam kenal," jawab Azzam, cemberut, sedikit tak suka.
"Eh... Siapa bilang Azzam nggak kenal. Udah dibilang Azzam kenal kok. Dia salah satu mahasiswa di kampus kamu juga. Tapi nggak tahu ya, murid kamu atau bukan." Ibu Fatma tersenyum. Sedangkan Azzam hanya menatap bingung.
"Kamu nggak pengen tahu siapa dia?" tanya Pak Karso.
"Emang siapa, Yah?" tanya Azzam.
"Ni namanya, kamu apalin. Biar besok ijab qobul nya lancar. Nggak ketuker sama yang ono," ucap Pak Karso sembari menyerahkan secarik kertas untuknya.
"Siti Nurhana Fatimah binti Rusli Ahmad? Siapa itu, Azzam nggak kenal tu. Nggak pernah baca nama itu juga. Kayaknya ini bukan mahasiswa Azzam deh, Yah!" Jawab Azzam bingung. Karena mahasiswa yang ia ajar, sepertinya memang tidak ada nama itu.
Pak Karso dan Ibu Fatma saling menatap. Seolah saling memberi kode. Bahwa memberi tahu Azzam besok, sepertinya akan lebih menyenangkan.
"Ayah nggak tahu, ayah juga nggak ngerti . Tapi dia bilang masih kuliah di tempat kamu ngajar. Kan yang ngerti dunia perkuliahan kan kamu. Ayah tahunya cuma kasih makan lele sama gurami. Dah, pokoknya itu nama yang mesti Azzam apalin, soal wajah si gadis Azzam percayakan sama ayah, sama Ibu. Cantik pokok'e ya, Bu!" jawab Pak Karso, sedikit bercanda.
"Mana bisa begitu, Yah?"
"Bisa!"
Ibu Fatma hanya tersenyum melihat kedua pria kesayangannya ini berdebat manja.
"Ahhhh... baiklah, Bu. Sebaiknya kita lihat persiapan yang lain, yang penting besok putra kita nggak batal nikah. Udah ada calon ini. Azzam juga udah tahu namanya, nggak pusing lagi kita, Bu, " ucap Pak Karso, semangat. Tak lupa, Pak Karso juga melirik Azzam. Masih penasaran dengan ekpresi Azzam tentang calon istrinya.
"Azzam beneran nggak kenal ni cewek, Yah. Fotonya ada nggak?" tanya Azzam penasaran.
"Waduh! Foto ya.. Nggak ada Zam. Ahh udahlah, pokoknya percaya sama ibu. Dia sangat cantik," goda Bu Fatma.
"Lah piye sih, arep nikah nggak tahu wajah istrinya," ucap Azzam.
"Sudah Ibu bilang, kamu tahu Azzam. Hayo diingat-ingat. Orang dia aja tahu kamu kok!" jawab Ibu Fatma seraya menggandeng sang suami dan mengajaknya keluar meninggalkan Azzam yang masih bertanya-tanya.
"Salah satu mahasiwa di kamusku? Cantik, baik, sholehah. Hah ... Siapa dia?" Azzam terlihat berpikir keras.
Penasaran, Azzam pun langsung mencari laptopnya. Berbekal nama yang udah ia kantongi, pemuda tampan ini langsung mencari tahu bagaimana rupa gadis yang hendak dinikahkan dengannya.
Lima menit berlalu, akhirnya layar laptop miliknya langsung menunjukkan foto yang cocok dengan nama tersebut.
Betapa tercengangnya Azzam. Gadis yang hendak ia nikahi ternyata gadis yang pernah membuatnya malu di depan umum, beberapa minggu yang lalu.
"Dia .... Ya Allah Ya Tuhanku? Yang bener aja ibu sama ayah ni. Cewek begini dibilang cantik, sholehah. Barbar baru benar!" ucap Azzam kesal.
Tak terima dengan pilihan kedua orang tuanya, pemuda tampan ini pun langsung mendatangi kamar di mana kedua orang tuanya berada. Tentu saja ingin memastikan, apakah benar, gadis yang hendak dinikahkan dengannya ini adalah gadis barbar itu.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!