Pendekar Pedang Naga Langit
Jauh di kaki gunung yang berada di tengah hutan, Laksminingrum dengan piawai memainkan pedangnya yang berukuran sedang itu. Tampak tak ada yang istimewa dengan pedang itu. Tapi jika dikulik lebih jauh, ada kekuatan yang dahsyat menyelimuti pedang itu. Laksminingrum bahkan saat pertama kali memegangnya , Ia tak kuat menahan energi dari pedang itu.
Untuk yang terakhir kalinya ia ingin berlama-lama berlatih pedang ditempat dimana ia berlatih selama ini.
Esok hari ia sudah harus pergi mencari jadi dirinya. Ia ingin tahu mengenai keluarga yang tak pernah ia ketahui rupanya. Ia ingin sekali, meski harus menempuh perjalanan yang berbahaya sekali.
Di kaki gunung itu ia tinggal bersama seorang pria separuh baya yang sekaligus juga gurunya. Mereka tinggal di tengah belantara yang tak jauh dari Sungai yang lumayan luas. Untuk pergi ke perkampungan terdekat yang biasa ditempuh dengan waktu tiga hari perjalanan, mereka biasa menggunakan rakit.
Mengenai gurunya itu, Ia lah orang yang membesarkannya selama ini dengan penuh kasih sayang. Dia sering berkata kalau istrinya dibunuh oleh seseorang saat sedang hamil. Karena didorong rasa sedih yang mendalam dia akhirnya menutup diri dari keramaian.
Kalau dilihat sekilas, tampak dia hanya orang biasa saja. Namun dilihat dari ilmunya yang didapatkannya selama ini, Laksminingrum menduga bahwa gurunya adalah seorang pendekar pilih tanding dimasanya. Itu hanya dugaannya, karena sang guru tak pernah menceritakan sepak terjangnya saat muda dulu. Dia hanya mengucapkan nasib istrinya yang malang dan alasan mengapa Ia menyepi, tak lebih. Itupun ia mengucapkannya tanpa sengaja.
Ia tak berani bertanya lebih jauh daripada yang diucap oleh gurunya karena didorong rasa hormatnya. Lagipula is merasa itu bukan urusannya juga. Mungkin saja ada alasan kuat mengapa Ia menutup erat masa lalunya itu.
***
Saat sedang asyik berlatih, tiba-tiba saja ia mendapat serangan dari belakang. Sedikit saja ia lengah, sudah pasti ambruk oleh serangan itu.
Sang penyerang itu ternyata adalah gurunya sendiri yang memberi isyarat untuk berduel dengannya. Diladeni juga oleh Laksmingrum untuk berduel. Karena setelah ini, belum tentu ia akan bisa duel lagi dengan gurunya.
Dengan segala kemampuan yang dimiliki, ia berhasil mengimbangi gerakan gurunya yang cukup cepat. Mereka berduel dengan pedang yang berada ditangan mereka.
Suara pedang yang beradu bergema sangat keras. Tak ada yang mau kalah satu sama lain. Walaupun mereka guru dan murid, mereka tetap mengerahkan segala yang mereka kuasai.
Setelah kira-kira sepenanak nasi, pertarungan itu mereka hentikan. Walaupun tak ada pemenang dalam duel tersebut.
Mereka berhenti karena Laksmingrum akan bersiap untuk memasak makan malam mereka . Dia segera bergegas ke kebun kecil yang berisi berbagai sayuran yang ditanam gurunya.
Rumah mereka letaknya jauh dari perkampungan, untuk memenuhi kebutuhan dapur gurunya menanam sayuran. Sedangkan untuk kebutuhan lainnya yang tak bisa didapat dihutan, mereka menjual hasil kebun yang awet untuk berhari-hari karena tidak cukup sehari perjalanan mereka ke perkampungan.
Walau begitu, Laksmingrum tidak meminta kepada gurunya untuk pindah ke perkampungan agar lebih mudah mendapatkan kebutuhan mereka sehari-hari. Ia berpikir gurunya pasti punya alasan yang kuat untuk tinggal di tengah hutan yang terisolasi dengan manusia. Lagipula ia dari kecil sudah berada dihutan, sehingga ia tak mempersalahkan hal itu.
Salah satu yang membuat kerasan adalah Ia bisa berlama-lama mandi di sungai tanpa takut diintip oleh siapapun juga. Sungai yang biasa dia pakai untuk mandi adalah sungai kecil dangkal dan mengalir tidak terlalu deras sehingga aman untuk mandi. Sungai itu terletak berada di dekat rumah. Sedang sungai satu lagi yang lumayan besar letaknya agak jauh dari rumah. Butuh setengah untuk sampai Sana. Airnya tenang tetapi dalam.
Lagipula udaranya sangat sejuk. Ditambah lagi pemandangan yang begitu indah. Ia merasa seperti tinggal di Swargaloka.
***
"Caramu memainkan pedang itu sungguh sempurna. Kamu memang sudah layak untuk menjajaki dunia yang sesungguhnya, " Saat sedang bersantap malam gurunya berkata.
"Tapi guru, saya belum siap untuk pergi meninggalkan tanah ini. Saya ingin lebih lama lagi berada disini dengan guru. "
"Tidak bisa. Apapun alasannya, kamu harus pergi dari sini. Kamu harus mencari tahu siapa gerangan dirimu ini."
"Tapi guru.... "
"Tak ada kata tapi. Kamu harus mencari jati dirimu yang sesungguhnya. Ini perintah. Kamu harus melaksanakannya! "
Perempuan itu tak bisa berkata-kata lagi. Baginya, gurunya adalah segalanya. Tetapi ada rasa berat hati meninggalkan gurunya seorang diri ia . Rasa untuk tinggal lebih lama lagi masih terus menggebu.
Malam seusai bersantap, Laksminingrum memandang bintang yang bertaburan. Ia ingin malam bertambah panjang agar ia bisa memandang bintang ditempat yang sama lebih lama lagi.
Ia tak habis pikir dengan gurunya. Ini malam ketiga gurunya berkata begitu. Walaupun pada kemarin malam disepakati untuk pergi besok, tapi rasanya masih sangat berat. Ia tak ingin meninggalkan tempat yang penuh kedamaian ini. Ia juga sebenarnya tak terlalu memperdulikan tentang siapa keluarganya, karena dari kecil Ia hanya mengenal gurunya sebagai sosok keluarganya, hanya saja mungkin gurunya berpikiran lain.
Tanpa sadar, dari balik jendela gurunya memperhatikan Laksminingrum yang tengah melamun sambil melihat bintang. Rasanya Ia ingin terus memandang muridnya yang sudah dianggap anak itu. Hanya saja Ia tak ingin egois . Ia ingin Laksminingrum mendapatkan kebahagiaan yang lebih.
Lagipula, sebelum bertemu dengan Laksminingrum yang saat itu ia temukan disungai ia sudah bertekad untuk menyepi setelah kehilangan istri yang sedang mengandung anaknya.
Setelah bayi itu telah menjadi dewasa dan semua ilmunya sudah sempurna, ini lah saat yang tepat untuk melaksanakan tekadnya itu.
***
Embun masih lumayan tebal saat mentari perlahan terbit. Dua omanusia sudah berada ditepian sungai. Orang itu adalah Laksminingrum dan gurunya.
Dengan rambut yang diikat seadanya dah juga perbekalan yang lumayan cukup, seorang wanita dengan selendang yang terikat di pinggang kirinya dan juga sebilah pedang ditangan kanan itu tampaknya menahan tangis karena tak ingin berpisah, sedangkan Satu lagi, seorang lelaki paruh baya menunjukkan ekspresi kurang lebih sama, hanya saja ia tampak lebih berusaha tegar.
Mereka menyebrang sungai menggunakan rakit. Perlahan namun pasti, mereka sampai diseberang sungai.
"Guru, terima kasih atas segalanya. Aku akan selalu mengingatmu. Tanpamu mungkin aku sudah tiada di dunia ini, " Saat berada diseberang sungai, sambil berusaha menahan air mata, Laksminingrum berkata begitu.
"Tidak perlu berterima kasih, Dewata yang Agung sudah menakdirkannya. Pergilah, kamu harus mencari jati dirimu sendiri. Buatlah legenda baru, " Jawab gurunya.
"Jaga baik-baik dirimu. Jangan sampai kamu terjatuh ke dalam jurang kegelapan. Kamu pasti bisa, " Gurunya memberi wejangan terakhir.
Setelah mereka saling mengucapkan kata-kata untuk yang terakhir kali, Laksminingrum dengan berat meninggalkan gurunya yang mengantarnya itu dengan berat untuk memulai perjalanan mencari jadi diri yang masih abu-abu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Wong Scater
pakai pengusi suara ding thor viar gak bosen
2023-03-16
0
Wong Scater
thor kok gk ada pengisi suaranya.bosen donk baca jd males
2023-03-16
0