Terakhir Untuk Selamanya
DI BAWAH lampu dengan cahaya remang, perempuan berhijab hitam terdiam sejenak kala ponsel yang mendekam di saku jaketnya bergetar terus menerus setelah beberapa detik ia aktifkan internetnya. Ia melihat deretan notifikasi dari berbagai macam aplikasi, hingga matanya membulat sempurna ketika deretan huruf membentuk sebuah nama laki-laki yang sebulan ini tidak ada kabar, kini kembali hadir dengan ucapan selamat malam.
“Astaghfirullah!” pekik perempuan itu, membuat dua temannya yang masih bersiap-siap untuk pulang menatapnya penuh tanya.
“Ada apa?” tanya perempuan dengan rambut terikat, menghampirinya.
“Mantan gue ngechat setelah sebulan ngilang!” serunya, membuat ruangan hangat yang senyap ini kembali ramai.
“Raziq?”
Perempuan itu menoleh ke arah temannya, dan mengangguk tak karuan. Ia kembali menarik salah satu kursi yang sudah dirapikan, lalu duduk dan segera membalas pesan mantan pacarnya, yang sampai saat ini masih terasa manis diingatan.
“Pasti dia ngajak balikkan!” ujarnya mantap.
Sementara itu, laki-laki yang sekarang sudah siap untuk pulang memutar bola matanya malas. Tak sedikitpun ia penasaran sama pernyataan yang baru saja teman kerjanya paparkan. Mantan? Ngajak balikkan?
“Gue duluan, ya, bye!” pamitnya. Tatapan teduhnya menatap sejenak ke arah dua perempuan yang menjadi rekan shift malam untuk seminggu ke depan.
“Lo gak mau nungguin kita dijemput?”
“Enggak, gue capek, ngantuk, pengen tidur!” balasnya seraya memaparkan senyum lelah, sebelum akhirnya benar-benar pergi.
“Oke!”
Perempuan bernama lengkap Ardia Yulianti kembali mengarahkan penglihatnnya ke samping kiri, melihat temannya yang tengah sibuk membaca balasan dari mantannya. Dahinya mengerut, bersamaan dengan selaput air yang perlahan menyelimuti kedua bola mata temannya.
“Lesti? Kenapa?” tanyanya pelan.
Perempuan berhijab hitam itu melepaskan ponselnya, lalu menoleh ke arah Ardia dengan hela napas panjang menenangkan. Ia merentangkan tangan, dan langsung memeluk Ardia dengan erat.
“Lo kenapa, sih?” tanya Ardia dalam peluknya.
“Gue pikir dia bakal ngajak balikkan, eh, tahunya dia malah ngasih undangan. Dia bakalan nikah!” Lesti sedikit berteriak, dengan air mata sudah bercucuran membasahi hijabnya dan baju Ardia.
“Terus kenapa lo nangis?”
“Ardia! Gue pikir dia bakal nyesel putusin gue gitu, eh malah nikah duluan! Kalo gini, kelihatan banget kalo gue gagal move on dari dia. Gue masih berharap kalau dia bakal ngajak balikkan!” rengek Lesti.
Ardia memutar matanya, geram. Ia sangat tahu bagaimana perjalanan cinta antara Lesti dan Raziq yang diawali saat masa SMA hingga lulus. Raziq memilih untuk kuliah karena keluarganya jauh dari cukup, sementara Lesti memilih langsung kerja bersamanya karena memang terlahir dari keluarga sederhana.
“Gak usah nangis deh! Dia, kan, enggak tahu kalo lo gagal move on, atau masih ngarepin dia!” Ardia melepaskan pelukan Lesti dan menatapnya penuh. “Lo harus buktiin kalo lo itu udah move on dari dia, jangan nangis kek gini! Mantan nikah kok ditangisi bukannya diselamatin!”
Lesti menyeka air matanya. “Gimana caranya?”
“Lo harus hadir ke nikahan Raziq dengan tampilan yang super beautifull!”
Kedua bola mata Lesti membulat sempurna, mendengar apa yang baru saja terucap dari mulut Ardia. “Hah?!”
“Yaps! Lo harus hadir. Buktiin kalo lo itu udah move on dari dia!”
Lesti memalingkan tatapannya dari Ardia. Kedua tangannya dibiarkan menopang wajahnya, dan kembali melamun, membayangkan kenangan indah yang telah ia lewati bersama Raziq selama hampir lima tahun ini.
“Gue enggak bisa, Di! Kenangan gue sama Raziq terlalu indah vuat gue lupain. Lima tahun itu bukanlah waktu yang sebentar, Di! Apalagi putusnya sama dia baru sebulan!” decak Lesti.
Kembali, Ardia memutar bola matanya. Tidak menyangka kalau temannya akan seperti ini karena ditinggal nikah sama mantan. Apa yang harus ditangisi dari mantan yang menurut KBBI adalah bekas?
“Ya, itu, sih, terserah lo! Ya, kalo gue jadi lo, gue bakal hadir sambil gandeng cowok baru! Gue bakal buktiin kalau seorang Ardia Yulianti berhasil move on dari dia!” Ardia memaparkan gaya sok cantiknya di hadapan Lesti yang masih cemberut meratapi kenyataan yang sebenarnya tak perlu ia ratapi.
“Ardia! Masalahnya gue gak punya pacaaaarrrr!!!” rengek Lesti seraya menyembunyikan kepalanya di balik kedua tangannya yang tumpang tindih di atas meja.
Ardia menempelkan telunjuknya di dahi, berpikir bagaimana caranya agar temannya ini enggak bertingkah bodoh seperti ini.
“Gue punya ide!” seru Ardia, semangat.
Lesti menoleh ke arah Ardia, masih dengan posisi kepalanya tertidur di atas tangannya. “Apa?”
Ardia mendekatkan wajahnya ke telinga Lesti; membisikkan sesuatu.
Lesti terbelalak, lalu memeluk tubuh Ardia dengan sangat erat. “Tapi kalo dia enggak mau gimana? Secara gue selalu cuek sama dia.” Lesti melepaskan peluknya, dan kembali memaparkan ekspresi tak semangantnya.
“Ya Allah! Belum juga dicoba udah pesimis, pantesan Raziq ninggalin lo!” gemas Ardia.
“Ardia!!! Jahat banget sih jadi temen!” seru Lesti.
“Tapi lo demen, kan, temenan sama gue?” Ardia menautkan salah satu alisnya sambil tersenyum merekah.
Lesti memeluk Ardia sambil tersenyum bahagia. “Makasih, Di!”
“Gak usah nangis lagi. Masih banyak cowok di luar sana, lo hanya perlu menunggu waktu yang tepat, kapan Tuhan ngasih ke lo!” Ardia mengelus-elus punggung Lesti penuh dengan kasih sayang.
...O0O...
Sementara itu, di atas bumi yang sama, di bawah langit malam penuh bintang, laki-laki bertubuh tinggi dengan sweter hitam berjalan cepat begitu tubuhnya turun dari motor ninja merah di depan sebuah kafe ternama di ibu kota. Wajahnya tidak bisa meruntuhkan rasa senangnya, saat satu persatu langkahnya menaiki tangga menuju rooftof kafe ini.
Manik cokelatnya beredar menyapu satu persatu orang yang tengah menghabiskan waktu weekendnya di sini. Penglihatannya terpaku pada sosok perempuan cantik yang sedang mengepalkan kedua tangannya di hadapan wajahnya.
“Hai!” sapa laki-laki itu, tanpa menyurutkan senyum manis di bibirnya.
Perempuan berkemeja putih berbalut blezer hitam itu hanya tersenyum singkat, membiarkan laki-laki yang menjadi kekasihnya selama ini duduk di hadapannya. Ada rasa sakit yang menyelinap ke dalam hatinya, saat rencana yang menjadi keputusannya memenuhi isi pikirannya.
“Bi, aku mau ngomong sesuatu.” Dia menjeda ucapannya beberapa saat. “Aku mau kita udahan, aku belum siap jadi istri kamu, Bi,” lanjut perempuan itu datar, tapi mengandung banyak emosi di dalamnya.
Seperkian detik, semesta seolah menghentikan waktu; memberikan ruang untuk laki-laki tampan menyerap apa yang baru saja pacarnya ucapkan. Dadanya menggebu kencang, menghancurkan kebekuan semesta terhadap suasana yang menyelimutinya.
“Ma-maksud kamu apa?” Laki-laki itu masih berharap kalau apa yang baru saja terucap dari mulut kekasihnya itu hanya omong kosong belaka.
Perempuan itu kembali tersenyum. “Kita putus.”
Laki-laki itu mengembuskan napasnya perlahan, menenangkan dadanya yang memburu semenjak kalimat menyesakkan itu terlempar begitu saja dari mulut perempuan itu. Apa sekarang ia sedang mimpi? Tidak! Hal ini terlalu nyata untuk di bilang mimpi. Ia tidak mengerti kenapa perempuan yang telah dipinangnya selama dua tahun ini mengucapkan kalimat yang sangat ia hindari selama berpacaran.
“Aku masih punya banyak mimpi, terutama mimpi keluargaku. Mereka segalanya bagiku, maafkan aku, Bi.” Dia bangkit dari duduknya. “Terima kasih untuk segalanya selama ini, Bi.” Dia melepaskan cincin pemberian kekasihnya saat ulang tahun.
Lagi-lagi laki-laki itu menghela napas menenangkan perasaannya yang terseret habis oleh kecewa dan luka. Namun, apakah masih ada harapan untuknya kembali memadu kasih sayang dengan mantan kekasihnya ini? Ia menggenggam tangan perempuan itu saat melintas di sampingnya.
“Manda! Aku tahu kamu punya mimpi, kita semua punya mimpi. Tapi, tidak harus kita putus, kan, Manda? Kita bisa meraihnya bersama-sama—”
“Tidak untuk itu. Kamu enggak paham apa yang aku rasakan, Bi. Terima kasih atas segalanya!” Perempuan yang dipanggil Manda pergi begitu saja, meninggalkan luka yang tersirat di dada laki-laki yang kini hanya bisa meratapi kenyataannya.
Laki-laki itu kembali duduk, menatap cincin yang baru saja ditinggalkan Manda di mejanya. Ia meraihnya, lalu bangkit meninggalkan tempat ini dengan perasaan tak menentu. Di ujung tangga, ia dapat melihat Manda pergi menggunakan taksi online. Untuk ke sekian kalinya, ia menghela napas berusaha merelakan yang baru saja pergi.
Tidak pernah menyangka kalau di malam yang indah, takdir memberikan kejutan yang berbanding terbalik dengan suasana malam ini. Bukan bintang atau bulan yang takdir berikan untuknya, melainkan kilat yang memporakporandakan perasaannya.
Dengan perasaan kesal, ia melempar cincin yang dibawanya ke sembarang arah. Dalam relung hati yang paling dalam, ia bertekad untuk tidak bertemu dengan perempuan yang bernama lengkap Amanda Putri dan ... tidak dulu menyentuh apa yang namanya pacaran. Kejadian ini benar-benar membuatnya sedikit ‘gila’.
Baru saja tangannya memanjakan helm di kepalanya, benda pipih yang bersarang di saku jaketnya meronta meminta untuk diakui.
Arfan:
Jangan lupa besok Grand Opening MRB Studio di Bandung!
Dari balik helmnya, ia tersenyum bahagia. Mungkin dengan tinggal berhari-hari di Bandung sambil menjalankan studio barunya, ia bisa melupakan sosok perempuan yang baru saja memutuskan hubungannya. Mungkin juga, ia akan menemukan sosok perempuan yang lebih baik lagi dari Amanda di sana, dengan begitu proses move on-nya akan lebih cepat.
Billar Aswindra, lo harus semangat! Lo pasti bisa mendapatkan yang lebih baik dari Manda! Kamu pasti bisa!
...O0O...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Regita Regita
aku mampir...semoga ceritanya bagus....baru baca ,udah tertarik...tulisannya rapih dan penataan kalimatnya luwes...lanjut.semangat Kakak,semoga sehat selalu dan diberikan rizki yang melimpah.
2022-09-11
2
Mamh Arief
karna cerita leslar aq jadi mampir
2022-08-27
2
Erni Fitriana
tertarik baca sinopsisnya..langsung buka di gente moveltoon..dannnn...survey membuktikan crira nya bagus..penulisan kalimat nya pun luwes...tuk kita lanjuuuttttt
2022-08-19
1