Detak

SEKARANG merupakan hari paling menyenangkan bagi seorang perempuan imut, berambut sepunggung, dengan pupil mata berwarna cokelat terang. Tidak habis pikir kenapa kakaknya tega membuang semua barang-barang luar biasa ini dari kamarnya. Padahal kondisinya masih sangat bagus, dan ada beberapa barang yang memliki logo brand terkenal. Perlukah ia membawa kakaknya ke psikiater, apakah ada gangguan dalam otaknya sampai harus membuang barang seberharga ini? Jawabannya tentu saja tidak, toh, bagaimana setelah diperiksa tiba-tiba kakaknya berubah pikiran dan membawa kembali barang-barangnya; gagal sudah rasa ingin menguasainya.

Setelah merasa puas melihat-lihat barang-barang yang ia dapatkan dari mamanya ini, perempuan berpakaian piyama ini membereskan semuanya. Menata seraya menyanyi kecil, tanpa menyurutkan ekspresi senangnya.

Ia melipat beberapa pakaian, menata beberapa boneka, mencoba dengan girang lima pasang sepatu, serta melingkarkan satu jam tangan dari tiga jam tangan dengan desain mewah, tidak lupa dengan beberapa gelang yang terbuat dari kayu turut melingkar di tangannya.

Perempuan berambut lurus ini, bangkit dari duduknya dan mulai mengambil langkah di hadapan cermin, bersiap untuk melakukan aksi bak seorang model yang berjalan di atas stage atau red carpet.

“Tiara, suatu hari nanti kamu bakal jadi seorang model go internasional yang dipenuhi prestasi dan apresiasi semua orang!” ujarnya yakin, dengan kedua tangan menggenggam erat kedua pinggangnya.

Tiara memutar tubuhnya, meninggalkan cermin dan terkejut. Sosok wanita baya, dengan kerudung kuning gadingnya sedang bersandar di lawang pintu sembari melipatkan kedua tangannya di depan dada.

Mala tersenyum. “Pada hari Minggu, pagi ini, Tiara Azzahra bersedia melakukan pekerjaan rumah dengan bayaran seperangkat barang kakak.” Mala menurunkan tangan dari depan dadanya.

Tiara hanya mampu menampakkan deretan giginya, seraya memiringkan kepalanya malu. “I-iya Ma, nanti aku beresin rumah dari ujung pintu dapur hingga pintu depan.”

“Udah bilang belum sama kak Lesti, kamu pakai semua itu?” tanya Mala.

Tiara menggelengkan kepalanya. “Nanti aja, kalo bilang kak Lesti sekarang takutnya dia ngambil balik barang-barang ini!”

“Udah izin dulu sana, setelah itu beresin semua rumah. Mama mau ke pasar dulu!” Mala beranjak dari hadapan Tiara yang memutar bola matanya kesal.

Tiara mendudukkan tubuhnya, membuka sepatu cantik dan beranjak menuju kamar kakaknya yang berada tepat di samping kamarnya. Tiara menghela napas, berharap kalau Lesti tidak akan meminta kembali barang-barang cantik yang sebagian sudah terpasang di tubuhnya.

“Kak, Kak Lesti!” seru Tiara seraya mengetuk pintu kamar kakaknya.

Karena tak kunjung mendapatkan respons, Tiara membuka pintu kamar Lesti yang ternyata enggak dikunci. Di ruangan pengap ini Tiara melihat kakaknya masih sangat pulas tertidur, padahal dari sela-sela tirai cahaya mentari berusaha untuk menguasai ruangan ini. Tiara mendengkus, dan membukakan tirai dan jendela kayu agar kakaknya ini bangun.

Lesti merengek pelan saat sinar matahari mengenai wajah, dan langsung memutar tubuhnya membelakangi jendela.

“Ganggu aja sih, Ra!”

Tiara terkekeh dan duduk di samping tubuh kakaknya. “Kak, barang-barang yang kakak ingin buang itu, buat aku aja. Mubazir tau, barang masih bagus dan ada juga yang brandnya terkenal malah dibuang. Ya, Kak, buat aku aja?”

Lesti membuka matanya cepat, meski terasa berat dan langsung bangkit; menghadap Tiara. “Ibu enggak buang barang-barang itu?”

Tiara sedikit tersentak, tapi segera dinetralkan. “Enggak, kata ibu mubazir, daripada dibuang mending buat aku aja. Tapi, syaratnya aku harus beresin rumah dari ujung pintu dapur hingga pintu depan,” jelas Tiara.

Dengan rasa kantuk yang masih menggebu, Lesti mengusap wajahnya sambil mengorek kedua matanya. “Ra, ya ampun!”

“Kenapa sih Kak? Lagian barangnya masih bagus, heran deh! Ingat Kak, untuk beli barang-barang seperti ini tuh enggak memungkinkan buat kita. Kak Raziq baik lagi, mau ngasih barang-barang istimewa ini. Kakak mah enggak menghargai pemberian orang, apalagi kak Raziq pacarnya Kakak. Kalo aku jadi pacarnya kak Raziq, sudah dipastikan bakal nempel terus! OMG, kak Raziq—”

“Ra!” bentak Lesti. Tiara terdiam; terkejut. “Raziq sekarang mau nikah!”

Sontak, Tiara membulatkan kedua bola matanya tak percaya. Mulutnya sedikit terbuka, rasanya perkataan kakaknya ini sangat menusuk di indera pendengarnya. Bahkan, saking menusuknya hingga terasa menyakitkan di hati.

Seingat Tiara hubungan kakaknya dengan Raziq sangat baik-baik saja, meskipun ia juga heran kenapa akhir-akhir ini Raziq tidak pernah mampir ke rumahnya. Dan kakaknya pun diam membisu, seolah enggak ada selera untuk mengatakan tentang sosok laki-laki berwajah tampan dan pemilik tatapan mematikan. Tiara mengakui, kalau ia sempat cemburu terhadap kedekatan kakaknya dengan Raziq.

“Ni-ni-nikah?”

Lesti mendengkus lemah. “Makannya, kakak buang barang-barang itu agar kakak bisa move on dari dia!”

“Ta-tapi, sejak kapan Kakak putus dari Raziq? Dan kenapa kak Raziq enggak nikahin aku aja!”

Lesti membeliak, enggak percaya kalau adiknya bilang seperti itu. Hal itu membuat, ia memukul kepala adiknya dengan bantal. “Rara! Kamu parah banget jadi adik! Ish, kesal deh!”

Tiara meringis, setelah mendapatkan pukulan dari kakaknya ia juga mendapatkan cubitan darinya. “Eh, Kak, bukan begitu!” resah Tiara.

“Tau ah!” Lesti beranjak dari tempat tidurnya menuju ruangan belakang.

“Ta-tapi, ini barangnya—”

“Terserah!”

O0O

Rumah sederhana berwarna putih usang, penuh dengan tanaman hias yang begitu segar, serta satu motor klasik berwarna kuning terparkir di depannya. Rumah yang sudah berdiri lebih dari tiga puluh tahun ini, tampak bersinar kala sang mentari menyinarinya. Keindahan ini tambah sempurna kala pangeran menampakkan keberadaannya.

Sosok laki-laki tinggi, dengan kacamata bertengger di hidungnya baru saja keluar dari rumah itu dengan kemeja berwarna biru muda berbalut jaket biru tua. Wajahnya yang tegas tak segan untuk membalas sapa dari para tetangganya yang berlalu lalang di depannya. Ia sudah bersiap menjemput putri yang akan menjadi bagian dari hidupnya untuk beberapa jam ke depan. Sungguh, kesempatan yang singkat ini harus ia maksimalkan agar kemungkinan yang merupakan angan bisa kejadian dan panjang umur.

“Bu, aku berangkat dulu!” seru laki-laki itu.

“Iya, hati-hati!”

Selama perjalanan menuju rumah sang putri, pangeran tampan ini memikirkan cara agar hubungannya dengan sang putri lebih serius. Sudah saatnya rasa yang mendekam di penjara hati bebas dan merasakan indahnya semesta penuh cinta.

Hanya memakan waktu dua puluh menit, ia sudah berada di hadapan rumah yang sama sederhanya denga rumahnya. Catnya putih usang, namun, sebagian rumah ini bervariasi layaknya himpitan batu dengan semen. Rumah ini tampak senyap dan teduh di bagian depan karena terhalang pohon mangga yang rimbun.

Ia memarkirkan motornya di depan gerbang, dan mulai memanggil-manggil nama sang putri. Tak perlu menunggu lama, seseorang keluar dari balik pintu dengan wajah menyuarakan rasa penasaran.

“Ya?”

“Lestinya ada?” tanya pangeran ini, dengan hati yang mulai berdetak sedikit tak karuan.

“Oh, ada!” perempuan berbaju piyama itu kembali masuk.

Sekitar lima menit berlalu, putri yang bernama Lesti itu hadir dengan balutan gaun biru tua dan hijab senada. Lesti tersenyum kepada sang pangeran, dan mengajaknya untuk langsung berangkat.

“Ciee kapelan!” seru perempuan berbaju piayama dari lawang pintu.

Sontak keduanya mengecek kembali pakaian masing-masing, lalu menatap satu sama lain hingga tercipta keterkejutan di antara mereka.

“Kok bisa?” kata Lesti.

“Ya, bagus dong, kita serasi,” balas laki-laki itu.

“Ya, iya, bagus. Ya udah, yuk berangkat, Put.” Lesti meraih helm yang bergeming di atas motor klasik milik Putra.

Di luar dugaan, Putra kembali merebut helm Lesti dan mengenakannya dengan lembut. “Diam, agar hijab lo gak berangkatan.”

Jantung Lesti berdetak kencang dari biasanya. Lesti akui, sekarang penampilan Putra jauh lebih keren dari biasanya. Wajahnya yang tegas tampak berseri, bahkan Lesti pun kehilangan kata-kata untuk menggambarkan sosok Putra hari ini.

“Makasih, Put. Nanti di sana kita bicaranya aku-kamu aja, ya?” pinta Lesti.

Putra mengangguk. “Oke!”

Sepanjang jalan menuju aula yang disewa menjadi tempat resepsi pernikahan Raziq, jantung Lesti terus berdetak kencang beda dari biasanya. Perasaanya tak menentu; antara takut akan terjadi yang tak diinginkan di tempat pernikahan Raziq, dan perasaan luar biasanya akan diri Putra yang berbeda ini.

Sedangkan, Putra masih sibuk memikirkan rencana setelah pulang dari acara pernikahan ini. Ia tidak mau menyia-nyiakan waktu berharga ini. Ia harus memberikan sesuatu untuk Lesti, selain untuk proses pendekatan tetapi untuk sesi hal yang akan dirindukan nantinya.

Kurang lebih seratus meter untuk sampai ke tempat tujuang, mereka sudah bisa mendengar alunan musik gambus yang mereka duga dari gedung aula. Lesti memicingkan matanya begitu melihat sepasang nama terpampang di sana.

Raziq dan Asyila

Lesti tidak mau menebak siapa yang menjadi pendamping hidup mantannya ini, tapi, mengingat nama ‘Asyila’ pikiran dan hatinya sudah tidak asing dengan nama itu. Jika memang orang tersebut yang diduga Lesti, ia tidak menyangka. Tapi, sudahlah ... tidak perlu dipikirkan, toh, semuanya sudah berjalan sesuai dengan rencana Allah. Lesti berdoa agar dirinya kuat dan bisa menerima kenyataan ini, dan semoga Raziq dan pasangannya ini langgeng sampai surga.

Begitu motornya sudah terparkir, Lesti dan Putra berjalan berdampingan menuju penerima tamu. Akad nikah sudah dilaksanakan sekitar satu jam yang lalu, sekarang mereka hanya mengucapkan selamat dan doa lalu menyantap hidangan yang disajikan.

Lesti tidak terkejut dengan sosok yang sedang bersalaman di pelaminan sana, karena beberapa menit yang lalu ia sudah menduganya. Asyila Fauziah, menjadi landasan sang mantan. Teman sebangkunya, memang dari dulu ngebet banget pengin dekat dengan Raziq yang merupakan kakak kelasnya. Meskipun sempat marahan, tapi, Asyila perlahan menerimanya. Dan, sekarang takdir Allah berkata bahwa temannya itulah yang sempurna untuk Raziq.

Melihat semrawut wajah Lesti tegang dan takut, refleks, Putra merangkulnya; menguatkan kalau semuanya baik-baik saja. Perlahan, ia mulai menuntunnya mengantri untuk bersalaman dan mengucapkan selamat kepada kedua mempelai.

Dalam hati Lesti mengucapkan terima kasih, setidaknya dengan Putra melakukan ini hatinya sedikit tenang dan merasa aman.

Tersisa beberapa tamu lagi hingga dirinya bisa bersalaman dengan mantan dan temannya. Dari sini Lesti benar-benar mempersiapkan diri, seolah-olah ia merasa baik-baik saja meski hatinya tak bisa dibohongi kalau melihat hal ini sangatlah sakit. Namun, Putra tiada henti memberi elusan dalam rangkulannya yang membuatnya sedikit kuat.

Lesti tersenyum begitu berhadapan dengan sepasang kekasih ini. “Selamat, ya, kalian. Barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fill khairin.”

Lesti melayangkan salaman untuk Raziq, dan merima pelukkan dari Asyilla. Dalam detak yang semakin menjadi, Lesti mengucapkan selamat untuk Asyilla dan kembali mendoakan mereka. Setelah itu, dada Lesti kembali menggebu mendapatkan ekspresi orang tua Raziq, dan dengan ketegarannya yang tersisa Lesti kembali berpelukan dengan orang tua Raziq dan kembali melantunkan doa terbaik untuk putranya, begitupun sebaliknya, orang tua Raziq juga mendoakan dirinya.

“Lesti?” seru Putra. “Aku salut sama kamu, kamu perempuan hebat, dan kau benar-benar luar biasa.”

Lesti tersenyum. “Terima kasih, ini juga berkatmu, Put!”

Deg!

Kalian pasti tahu apa yang Putra rasakan begitu mendengar apa yang baru saja Lesti ucapkan padanya. Yups! Bak hujan di tanah tandus.

Putra mengangguk. “Sama-sama.”

...O0O...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!