NovelToon NovelToon

Terakhir Untuk Selamanya

Prolog

DI BAWAH lampu dengan cahaya remang, perempuan berhijab hitam terdiam sejenak kala ponsel yang mendekam di saku jaketnya bergetar terus menerus setelah beberapa detik ia aktifkan internetnya. Ia melihat deretan notifikasi dari berbagai macam aplikasi, hingga matanya membulat sempurna ketika deretan huruf membentuk sebuah nama laki-laki yang sebulan ini tidak ada kabar, kini kembali hadir dengan ucapan selamat malam.

“Astaghfirullah!” pekik perempuan itu, membuat dua temannya yang masih bersiap-siap untuk pulang menatapnya penuh tanya.

“Ada apa?” tanya perempuan dengan rambut terikat, menghampirinya.

“Mantan gue ngechat setelah sebulan ngilang!” serunya, membuat ruangan hangat yang senyap ini kembali ramai.

“Raziq?”

Perempuan itu menoleh ke arah temannya, dan mengangguk tak karuan. Ia kembali menarik salah satu kursi yang sudah dirapikan, lalu duduk dan segera membalas pesan mantan pacarnya, yang sampai saat ini masih terasa manis diingatan.

“Pasti dia ngajak balikkan!” ujarnya mantap.

Sementara itu, laki-laki yang sekarang sudah siap untuk pulang memutar bola matanya malas. Tak sedikitpun ia penasaran sama pernyataan yang baru saja teman kerjanya paparkan. Mantan? Ngajak balikkan?

“Gue duluan, ya, bye!” pamitnya. Tatapan teduhnya menatap sejenak ke arah dua perempuan yang menjadi rekan shift malam untuk seminggu ke depan.

“Lo gak mau nungguin kita dijemput?”

“Enggak, gue capek, ngantuk, pengen tidur!” balasnya seraya memaparkan senyum lelah, sebelum akhirnya benar-benar pergi.

“Oke!”

Perempuan bernama lengkap Ardia Yulianti kembali mengarahkan penglihatnnya ke samping kiri, melihat temannya yang tengah sibuk membaca balasan dari mantannya. Dahinya mengerut, bersamaan dengan selaput air yang perlahan menyelimuti kedua bola mata temannya.

“Lesti? Kenapa?” tanyanya pelan.

Perempuan berhijab hitam itu melepaskan ponselnya, lalu menoleh ke arah Ardia dengan hela napas panjang menenangkan. Ia merentangkan tangan, dan langsung memeluk Ardia dengan erat.

“Lo kenapa, sih?” tanya Ardia dalam peluknya.

“Gue pikir dia bakal ngajak balikkan, eh, tahunya dia malah ngasih undangan. Dia bakalan nikah!” Lesti sedikit berteriak, dengan air mata sudah bercucuran membasahi hijabnya dan baju Ardia.

“Terus kenapa lo nangis?”

“Ardia! Gue pikir dia bakal nyesel putusin gue gitu, eh malah nikah duluan! Kalo gini, kelihatan banget kalo gue gagal move on dari dia. Gue masih berharap kalau dia bakal ngajak balikkan!” rengek Lesti.

Ardia memutar matanya, geram. Ia sangat tahu bagaimana perjalanan cinta antara Lesti dan Raziq yang diawali saat masa SMA hingga lulus. Raziq memilih untuk kuliah karena keluarganya jauh dari cukup, sementara Lesti memilih langsung kerja bersamanya karena memang terlahir dari keluarga sederhana.

“Gak usah nangis deh! Dia, kan, enggak tahu kalo lo gagal move on, atau masih ngarepin dia!” Ardia melepaskan pelukan Lesti dan menatapnya penuh. “Lo harus buktiin kalo lo itu udah move on dari dia, jangan nangis kek gini! Mantan nikah kok ditangisi bukannya diselamatin!”

Lesti menyeka air matanya. “Gimana caranya?”

“Lo harus hadir ke nikahan Raziq dengan tampilan yang super beautifull!”

Kedua bola mata Lesti membulat sempurna, mendengar apa yang baru saja terucap dari mulut Ardia. “Hah?!”

“Yaps! Lo harus hadir. Buktiin kalo lo itu udah move on dari dia!”

Lesti memalingkan tatapannya dari Ardia. Kedua tangannya dibiarkan menopang wajahnya, dan kembali melamun, membayangkan kenangan indah yang telah ia lewati bersama Raziq selama hampir lima tahun ini.

“Gue enggak bisa, Di! Kenangan gue sama Raziq terlalu indah vuat gue lupain. Lima tahun itu bukanlah waktu yang sebentar, Di! Apalagi putusnya sama dia baru sebulan!” decak Lesti.

Kembali, Ardia memutar bola matanya. Tidak menyangka kalau temannya akan seperti ini karena ditinggal nikah sama mantan. Apa yang harus ditangisi dari mantan yang menurut KBBI adalah bekas?

“Ya, itu, sih, terserah lo! Ya, kalo gue jadi lo, gue bakal hadir sambil gandeng cowok baru! Gue bakal buktiin kalau seorang Ardia Yulianti berhasil move on dari dia!” Ardia memaparkan gaya sok cantiknya di hadapan Lesti yang masih cemberut meratapi kenyataan yang sebenarnya tak perlu ia ratapi.

“Ardia! Masalahnya gue gak punya pacaaaarrrr!!!” rengek Lesti seraya menyembunyikan kepalanya di balik kedua tangannya yang tumpang tindih di atas meja.

Ardia menempelkan telunjuknya di dahi, berpikir bagaimana caranya agar temannya ini enggak bertingkah bodoh seperti ini.

“Gue punya ide!” seru Ardia, semangat.

Lesti menoleh ke arah Ardia, masih dengan posisi kepalanya tertidur di atas tangannya. “Apa?”

Ardia mendekatkan wajahnya ke telinga Lesti; membisikkan sesuatu.

Lesti terbelalak, lalu memeluk tubuh Ardia dengan sangat erat. “Tapi kalo dia enggak mau gimana? Secara gue selalu cuek sama dia.” Lesti melepaskan peluknya, dan kembali memaparkan ekspresi tak semangantnya.

“Ya Allah! Belum juga dicoba udah pesimis, pantesan Raziq ninggalin lo!” gemas Ardia.

“Ardia!!! Jahat banget sih jadi temen!” seru Lesti.

“Tapi lo demen, kan, temenan sama gue?” Ardia menautkan salah satu alisnya sambil tersenyum merekah.

Lesti memeluk Ardia sambil tersenyum bahagia. “Makasih, Di!”

“Gak usah nangis lagi. Masih banyak cowok di luar sana, lo hanya perlu menunggu waktu yang tepat, kapan Tuhan ngasih ke lo!” Ardia mengelus-elus punggung Lesti penuh dengan kasih sayang.

...O0O...

Sementara itu, di atas bumi yang sama, di bawah langit malam penuh bintang, laki-laki bertubuh tinggi dengan sweter hitam berjalan cepat begitu tubuhnya turun dari motor ninja merah di depan sebuah kafe ternama di ibu kota. Wajahnya tidak bisa meruntuhkan rasa senangnya, saat satu persatu langkahnya menaiki tangga menuju rooftof kafe ini.

Manik cokelatnya beredar menyapu satu persatu orang yang tengah menghabiskan waktu weekendnya di sini. Penglihatannya terpaku pada sosok perempuan cantik yang sedang mengepalkan kedua tangannya di hadapan wajahnya.

“Hai!” sapa laki-laki itu, tanpa menyurutkan senyum manis di bibirnya.

Perempuan berkemeja putih berbalut blezer hitam itu hanya tersenyum singkat, membiarkan laki-laki yang menjadi kekasihnya selama ini duduk di hadapannya. Ada rasa sakit yang menyelinap ke dalam hatinya, saat rencana yang menjadi keputusannya memenuhi isi pikirannya.

“Bi, aku mau ngomong sesuatu.” Dia menjeda ucapannya beberapa saat. “Aku mau kita udahan, aku belum siap jadi istri kamu, Bi,” lanjut perempuan itu datar, tapi mengandung banyak emosi di dalamnya.

Seperkian detik, semesta seolah menghentikan waktu; memberikan ruang untuk laki-laki tampan menyerap apa yang baru saja pacarnya ucapkan. Dadanya menggebu kencang, menghancurkan kebekuan semesta terhadap suasana yang menyelimutinya.

“Ma-maksud kamu apa?” Laki-laki itu masih berharap kalau apa yang baru saja terucap dari mulut kekasihnya itu hanya omong kosong belaka.

Perempuan itu kembali tersenyum. “Kita putus.”

Laki-laki itu mengembuskan napasnya perlahan, menenangkan dadanya yang memburu semenjak kalimat menyesakkan itu terlempar begitu saja dari mulut perempuan itu. Apa sekarang ia sedang mimpi? Tidak! Hal ini terlalu nyata untuk di bilang mimpi. Ia tidak mengerti kenapa perempuan yang telah dipinangnya selama dua tahun ini mengucapkan kalimat yang sangat ia hindari selama berpacaran.

“Aku masih punya banyak mimpi, terutama mimpi keluargaku. Mereka segalanya bagiku, maafkan aku, Bi.” Dia bangkit dari duduknya. “Terima kasih untuk segalanya selama ini, Bi.” Dia melepaskan cincin pemberian kekasihnya saat ulang tahun.

Lagi-lagi laki-laki itu menghela napas menenangkan perasaannya yang terseret habis oleh kecewa dan luka. Namun, apakah masih ada harapan untuknya kembali memadu kasih sayang dengan mantan kekasihnya ini? Ia menggenggam tangan perempuan itu saat melintas di sampingnya.

“Manda! Aku tahu kamu punya mimpi, kita semua punya mimpi. Tapi, tidak harus kita putus, kan, Manda? Kita bisa meraihnya bersama-sama—”

“Tidak untuk itu. Kamu enggak paham apa yang aku rasakan, Bi. Terima kasih atas segalanya!” Perempuan yang dipanggil Manda pergi begitu saja, meninggalkan luka yang tersirat di dada laki-laki yang kini hanya bisa meratapi kenyataannya.

Laki-laki itu kembali duduk, menatap cincin yang baru saja ditinggalkan Manda di mejanya. Ia meraihnya, lalu bangkit meninggalkan tempat ini dengan perasaan tak menentu. Di ujung tangga, ia dapat melihat Manda pergi menggunakan taksi online. Untuk ke sekian kalinya, ia menghela napas berusaha merelakan yang baru saja pergi.

Tidak pernah menyangka kalau di malam yang indah, takdir memberikan kejutan yang berbanding terbalik dengan suasana malam ini. Bukan bintang atau bulan yang takdir berikan untuknya, melainkan kilat yang memporakporandakan perasaannya.

Dengan perasaan kesal, ia melempar cincin yang dibawanya ke sembarang arah. Dalam relung hati yang paling dalam, ia bertekad untuk tidak bertemu dengan perempuan yang bernama lengkap Amanda Putri dan ... tidak dulu menyentuh apa yang namanya pacaran. Kejadian ini benar-benar membuatnya sedikit ‘gila’.

Baru saja tangannya memanjakan helm di kepalanya, benda pipih yang bersarang di saku jaketnya meronta meminta untuk diakui.

Arfan:

Jangan lupa besok Grand Opening MRB Studio di Bandung!

Dari balik helmnya, ia tersenyum bahagia. Mungkin dengan tinggal berhari-hari di Bandung sambil menjalankan studio barunya, ia bisa melupakan sosok perempuan yang baru saja memutuskan hubungannya. Mungkin juga, ia akan menemukan sosok perempuan yang lebih baik lagi dari Amanda di sana, dengan begitu proses move on-nya akan lebih cepat.

Billar Aswindra, lo harus semangat! Lo pasti bisa mendapatkan yang lebih baik dari Manda! Kamu pasti bisa!

...O0O...

Sebuah Usaha Untuk Move On

MALAM yang melelahkan namun menolak untuk diistirahatkan. Seperti itulah suasana yang menyelimuti diri Lesti sekarang. Setelah pulang kerja, biasanya ia akan langsung berbaring memeluk guling; melukis mimpi sedemikian rupa hingga saat bangun tadi tidak ada sesak yang menyembul dalam hatinya.

Namun, hal itu tidak akan terjadi pada malam ini. Pikirannya terlalu ramai dan bersemangat dalam membuka lembaran masa lalu yang memang sangat indah. Perasaannya pun seolah mendukung apa yang dilakukan oleh pikirannya.

Masa di mana mereka masih mengenakan seragam putih abu, menjadi pembuka dari bayangan masa lalu yang tergambar dalam pikirannya. Dulu, Lesti tidak pernah berpikir kalau Raziq yang merupakan siswa terpintar di kelasnya mengutarakan perasaannya setelah pembagian raport. Eskrim Cornetto menjadi benda pertama yang Raziq berikan setelah beberapa menit mereka resmi berpacaran. Lesti masih sangat ingat betapa istimewanya masa itu, dan berkat eskrim pula mereka saling suap-suapan yang berakhir dengan perang eskrim di wajah.

Raziq juga orang pertama yang mengenalkan dirinya dengan bioskop, dan orang pertama yang dimarahi ayahnya karena pulang terlalu larut. Lesti dan Raziq sampai diintrogasi dan disuruh bercerita sejujur-jujurnya apa yang membuatnya pulang larut oleh keluarga Lesti.

Ah, aku suka pikiranku, tapi tidak dengan kenyataan saat ini!

Lesti menutup kepalanya dengan bantal, berharap semua bayangan itu lekas pergi dan tak perlu kembali. Dia ditakdirkan bukan untuknya, melainkan untuk orang yang sudah pasti akan dipinangnya lusa nanti.

Ya Allah ... baru kali ini aku meminta kepadamu agar aku amnesia tentang Raziq. Hanya itu aja doaku malam ini!

Semakin berusaha Lesti melupakan kenangan bersama Raziq, semakin kuat kenangan itu untuk tetap singgah dalam memorinya. Sudah berkali-kali mata Lesti terpejam, tapi kenangan itu membangunkannya lagi. Sudah kesekian kalinya pula, ia berguling sana-sini mencari tempat yang pas untuk tubuhnya, tapi dengan perlahan kenangan itu membuat tempat tidurnya enggak nyaman yang pada akhirnya Lesti kembali bangkit dan merengek enggak jelas.

Lesti menghela napas panjang, menenangkan gebu di dadanya. Kemudian meraih ponsel yang bertengger tak jauh dari tubuhnya. Dengan cepat ia menekan folder kenangan hingga muncul ikon tong sampah di ujung layarnya, lantas memencetnya.

“Huft!” Lesti menggebrakkan tubuhnya ke kasur, dan saat membuka matanya dari pejam ia langsung terbelalak dan kembali bangkit. “Baiklah, untuk saat ini jangan ada lagi barang-barang pemberian Raziq satu pun yang bersarang di kamar ini!” tekadnya.

Dengan semangat empat lima, Lesti meraih semua barang pemberian Raziq yang berada di kamarnya. Mulai dari boneka, figura, aksesoris, kotak musik, baju, hijab, sepatu, kaos couple, hingga jam tangan yang masih melingkar di tangannya. Lesti memasukkan semua barang-barang tersebut ke dalam tas besar dan menyimpannya di kolong kasur.

Di ujung lelah, Lesti merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya beriringan dengan deru napas yang semakin teratur. Tanpa sadar alam mimpi membawanya terbang, menjauh sejenak dari kenangan yang ia ciptakan bersama Raziq.

Mimpi itu sangat indah, dihiasi banyak bintang bahkan Lesti bisa meraihnya dengan satu tangan. Namun, Lesti harus melepaskan bintang tersebut ke angkasa dan dalam hitungan detik semuanya lenyap kala langit mendadak mendung dan menyuarakan teriakan keras hingga dirinya tersentak dan terjatuh.

Lesti melihat seberkas cahaya dari kejauhan, yang perlahan cahaya itu mulai melemah dan mempertunjukan sepasang kekasih berbalut pakaian serba putih. Lesti sangat hafal siapa laki-laki yang menggandeng perempuan di sana, dan dia tersenyum penuh penghargaan kepadanya.

Dalam sekali entakkan, Lesti terperanjat dan terbangun dari mimpinya. Dadanya menggebu, dan tanpa sadar kedua bola matanya berkaca-kaca hingga menjelma menjadi tetesan air yang jatuh.

Lesti beranjak dari kasurnya membawa barang-barang yang sudah terkemas dalam tas besar keluar dari kamarnya.

“Lesti? Kamu udah bangun, atau belum tidur?” ujar seseorang dari belakang tubuhnya.

Lesti memutar tubuhnya dengan lelah. Sejenak tatapannya terarah terhadap jam dinding yang terpasang sejajar dengan televisi.

“Itu apaan?” Mala yang merupakan mama Lesti menghampirinya. “Kamu nangis?”

Lesti malah memeluk ibunya. “Lusa nanti, Raziq nikah.”

Suasana di sepertiga malam ini seolah mendukung betapa kecewanya suara yang keluar dari mulut Lesti. Mala menarik napasnya dan mengembuskannya perlahan, lalu mengelus-elus punggung Lesti dengan lembut.

“Terus kamu sedih?”

“Aku masih berharap padanya, Mah.” Lesti berusaha kuat agar air matanya enggak kembali tumpah.

Mala hanya tersenyum. “Kita salat yuk? Pasti hati kamu akan tenang,” balas Mala seraya melepaskan pelukan anaknya itu. “Ini apa?” sambung Mala saat tatapannya mengarah ke tas yang digusur Lesti.

“Ini barang-barang dari Raziq,” jawab Lesti.

“Mau di kemanain? Dibuang?”

Lesti hanya mengangguk.

“Yakin? Enggak bakalan nyesel, kan?” goda Mala.

“Mama!” rengek Lesti. “Aku ini lagi berusaha move on!” tambahnya.

O0O

Tepat jam alarm berdering, Billar terbangun dari tidurnya. Bukan hanya itu, cahaya mentari pun berusaha untuk menyelinap melewati tirai agar bisa menguasai kamar yang di dominasi dengan aksesoris tim bola kesayangannya.

Setelah beradaptasi dengan cahaya sekitar, Billar bangkit dari kasurnya dan segera beralih meraih handuk untuk melaksanakan ritual paginya. Tekadnya mengenai move on dari Amanda berdengung dengan keras di kepala, seolah-olah menyetujui keputusannya untuk segera pergi dari sini.

Tidak menyangka kalau putusnya dengan Amanda malah membuatnya semakin bersemangat melewati hari ini, hari esok, dan seterusnya. Billar pun sudah tidak merasakan luka dan kecewa yang terlalu parah, yang mungkin dengan sering berinteraksi nanti semuanya akan lenyap.

Billar sangat terkejut ketika keluar dari kamar mandi, di atas kasur sudah ada sosok laki-laki yang tertawa pelan sambil menatapnya.

“Sejak kapan lo di sini?” tanya Billar seraya berjalan menuju lemari.

“Sejak lo mandi, lalu gue masuk ke sini,” jelasnya.

“Lain kali ngetuk pintu dulu kalo mau masuk, jangan main masuk aja!” decak Billar seraya membalut seluruh tubuhnya dengan kaos santai dan celana jins.

“Dih, biasanya juga gini. Dari sejak lo lahir hingga saat ini, ya gue gini sering keluar masuk kamar lo. Sekarang tiba-tiba lo gini? Sensi amat sih,” kata laki-laki berkaos hitam yang rebahan di sana.

“Gue putus sama Manda!” cetus Billar membuat laki-laki bernama Arfan itu bangkit dan menatapnya penuh tanya.

“Hah, kok bisa?”

“Alasannya sih klasik, karena mimpi. Ya, menurut gue, kalo masalah mimpi kan bisa diraih sama-sama, tapi dianya tetap aja milih putus.” Billar meraih salah satu koleksi sepatunya, lalu duduk di samping Arfan.

Arfan menyampaikan tangannya ke tubuh keponakannya ini, lalu menepuknya berkala. “Ya gitulah cewek, suka memperumit keadaan. Ya intinya pengin putus aja, gak usah muter-muter bawa mimpi segala, kan? Untung gue gak punya cewek!”

“Ingat umur bro, lo itu udah tua. Tiap kali bawa pelanggan pasti bilangnya temen, mantan, kasian banget. Jomblo juga ada batas waktunya.” Billar bangkit dari duduknya, meninggalkan Arfan yang merenungi ucapannya.

Arfan mendengkus. “Bisa gak lo lebih sopan sama gue?”

“Bisa Om Arfan, kalo Om udah nikah!” celetuknya.

Arfan yang sebelumnya sudah tersenyum mendengar tutur kata yang menyejukkan telinganya, akhirnya terpatahkan oleh kalimat akhir yang diutarakan oleh keponakannya itu. Emang sih, ia sendiri yang meminta ke Billar agar tidak menyebutnya dengan embel-embel Om atau sejenisnya. Dengan begini, ia berasa seumuran dengannya dan teman-teman sepekerjaannya.

“Kalian enggak sarapan dulu?” seru Kirana—ibunya Billar.

Arfan dan Billar menoleh bersamaan. “Enggak deh Bu, takutnya telat dari jadwal, dah ibu!” ucap Billar.

“Dah!” susul Arfan.

“Iya. Hati-hati di jalannya, jangan ngebut!” Kirana kembali berseru.

Billar dan Arfan masuk ke dalam mobil dan langsung melaju meninggalkan istana megah kediaman keluarga Aswindra. Selama di perjalanan mereka tiada henti berucap mulai dari permasalahan pekerjaan hingga ke permasalahan hati.

“Niatnya gue di Bandung hanya dua minggu, setelah itu lo yang pimpin. Gue ambil yang di sini. Gakpapa, kan?” kata Billar dengan tatapan fokus ke depan.

“Gakpapalah, kan, lo bosnya,” balas Arfan.

“Gak usah panggil bos, kita ini keluarga. Anggap aja ini usaha keluarga,” timpal Billar.

Arfan tersenyum. “Thanks, ya!”

Setelah hampir empat jam berkemelut di jalanan, akhirnya mereka sampai di kota tujuan. Di depan studio sudah banyak orang untuk menyaksikan peresmian MRB Studio, dan di antara mereka ada karyawan yang baru saja mereka rekrut secara online.

Billar dan Arfan memberikan sambutan dan permintaan maaf atas keterlambatannya, dan hanya perlu memakan lima belas menit akhirnya acara peresmian dengan gunting pita dilaksanakan.

Pita yang melingkar di pintu studio tergunting setelah mengucapkan doa, dan semua orang yang menyaksikan bertepuk tangan dan memberikan selamat. Tidak lupa Arfan memberikan tiket voucher diskon kepada penonton untuk pemotretan di MRB Studio yang berlaku satu minggu.

Tak perlu menunggu lama, begitu Billar memberikan tugas kepada karyawan barunya orang-orang yang mendapatkan tiket voucher diskon langsung masuk dan antri untuk melakukan pemotretan.

Sekitar lima puluh penggenggam tiket voucher diskon, berhasil mereka layani dengan profesional. Tersisa beberapa orang lagi, Billar dan Arfan menyerahkan kamera kepada karyawannya, mengingat hampir sembilan jam perutnya belum terisi yang benar-benar bisa mengganjal rasa laparnya.

“Gila, gue lapar banget!” lontar Billar.

“Gue juga. Kita ke Kejora Coffe and Bakery aja, lumayan bisa ganjel juga tahan kantuk,” papar Arfan, selanjutnya.

Billar mengangguk, dan langsung masuk duluan ke tempat yang tepat berada di samping studionya. Mereka langsung memesan beberapa roti dan kopi kepada pelayan di sini.

Tempat dengan warna kebesaran kuning gading ini terasa sejuk, dan nyaman. Tak heran jika pengunjung di sini lumayan ramai, karena memang senyaman ini tempatnya. Bukan hanya itu, pelayanannya pun sangat baik dan sopan juga ramah-ramah.

Billar mengedarkan tatapannya, menyapu setiap senti tempat ini hingga terpaku terhadap sosok perempuan berhijab yang membawa pesanan ke arah mejanya.

“Permisi,” ucapnya seraya menyajikan pesanan mereka dengan sopan. “Selamat menikmati,” sambungnya dengan sedikit menundukkan kepalanya sebagai rasa hormat.

Tatapan Billar benar-benar terkunci terhadap sosok perempuan manis dengan hijab berwarna hitam membungkus kepalanya.

“Yakin, lo mau ganti selera?” celetuk Arfan membuyarkan tatapan Billar.

Billar mengerjap. “Apaan sih lo!”

...O0O...

Rasa

Baru saja perempuan berhijab hitam keluar dari ruang karyawan, temannya yang memang sudah selesai waktu kerjanya langsung memberikan secarik kertas yang berisi pesanan kepadanya. Lesti mendengkus, padahal hari ini inginnya istirahat dan bersantai, mengingat semalam hingga saat ini sosok Raziq masih suka meneror kehidupannya. Padahal segala cara telah Lesti lakukan, mulai dari meditasi hingga membuang semua barang pemberian Raziq. Namun, wajah tampan dan tatapan teduh milik Raziq masih singgah dalam pikiran dan perasaannya.

Ya, ampun Raziq! Kenapa lo tega banget sama gue! Kenapa enggak ngajak balikkan aja! Ish, bete deh gue!

Lesti menghela napas, dan mulai membuat pesanan untuk pelanggan yang duduk di meja 12. Selama pengerjaan pesanan, Lesti tiada henti menarik napas dan mengembuskannya perlahan agar hatinya tenang.

“Kenapa sih lo, baru mulai udah melamun sama bete gitu!” cetus Ardia yang juga mulai membuat pesanan.

“Gue kayaknya bucin berat sama Raziq. Masa iya, dia hadir di mimpi gue sama calon istrinya. Gak di kehidupan nyata, gak di mimpi, seolah senang lihat gue menderita!” balas Lesti yang mulai meracik kopi yang dipesan.

“Astaga, kenapa mantan mulu yang dibahas? Ini jam kerja, bisa gak kalian lebih profesional dan gak usah bawa-bawa masalah pribadi dalam pekerjaan?” celetuk laki-laki berkacamata dengan nampan berisi wadah bekas di tangannya.

“Iya, sorry. Lagian ini mantan manis banget, kalo gak manis mah mudah dilupain,” ujar Lesti, melas. Ia membawa pesanannya, dan sebelum menyajikan di hadapan pelanggan ia mengembuskan napas pelan, lagi.

Lesti terdiam sejenak, perlahan senyumnya mengembang kala langkahnya telah tiba di meja nomor dua belas. “Permisi.” Lesti menyajikan dua potong roti lapis karamel, dan sepasang kopi Creamy latte di hadapan dua laki-laki berpenampilan rapi ini.

Laki-laki berkaos hitam tersenyum menandakan terima kasih kepadanya, sementara laki-laki tampan berkaos biru terdiam menatapnya penuh pesona. Lesti segera memalingkan wajahnya, kala tatapan itu menusuk dalam bola matanya yang membuat hatinya bereaksi. Namun, segera Lesti netralkan dan tersenyum menunduk, penuh rasa hormat.

“Selamat menikmati!”

Cekatan, Lesti berbalik dan berhadapan dengan pelanggan yang memanggilnya sambil mengangkat tangannya. Baru saja kakinya maju beberapa langkah, seseorang dari belakang juga memanggilnya, bahkan dia menghampirinya.

“Hai, tadi kita habis pembukaan studio di samping tempat ini. Kita enggak lihat salah satu karyawan sini yang hadir ke acara pembukaan mungkin karena sibuk kali, ya? Jadi kita bagi-bagi voucher, dan satu voucher ini berlaku satu minggu. Kamu bisa foto bareng karyawan lain di studio kita.” Laki-laki berkaos hitam itu memberikan secarik kertas hitam berhias tulisan berwarna gold kepadanya.

“Oh!” Lesti tersenyum. “Terima kasih.” Lesti menundukkan kepalanya, dan beralih ke pelanggan lain untuk mencatat pesanannya.

Selesai mencatat pesanan pelanggan tersebut, Lesti kembali ke bar dan mulai mengeksekusi makanan dan minuman yang tertulis di kertas pesanan. Namun, sebelum benar-benar menyiapkan semuanya, ia memberikan kartu voucher itu ke laki-laki berkacamata yang kebetulan hadir dari balik pintu yang terhubung ke dapur seraya membawa senampan roti untuk di pajang.

“Nih, voucher foto studio!” Lesti memperlihatkan voucher tersebut, lalu menyimpannya di atas etalase.

“Widih! Voucher dari siapa?” Ardia tersenyum meraih voucher tersebut.

Laki-laki itu memasukan roti yang di bawanya ke dalam etalase, menyusunnya dengan rapi. Sementara itu, pendengarannya menangkap obrolan absurd dari dua rekan kerjanya yang super cerewet.

“Tuh!” Lesti mengarahkan dagunya ke arah meja nomor dua belas. “Katanya mereka baru saja buka foto studio di samping tempat kita ini.”

Ardia memicingkan matanya, kemudian terbuka lebar saat dua laki-laki tampan berhasil dipotretnya. “Gila ganteng banget!” puji Ardia. “Boleh tuh, lo gebet Les!” sambungnya, membuat Lesti tersentak.

“Astaghfirullah! Enggak ada yang bisa ngalahin Raziq!” putusnya.

“Mulai lagi! Gue laporin ke bos baru tau!” ketus laki-laki berkacamata.

“Astaghfirullah Putra, kenapa sih lo, meskipun kita ngobrol kayak gini, kita tetap profesional kok! Heran gue!” balas Lesti seraya menghentikan aksi kerjanya. “Jangan kaku-kaku banget kalo kerja, santai aja!” sambungnya.

Laki-laki bernama Putra itu menggelengkan kepalanya lalu pergi ke dapur untuk memanggang roti dan membereskan pekerjaan lainnya.

“Udah, deh, Les. Lo gak inget, Putra, kan jadi sasaran lo untuk dijadiin teman kondangan. Kalo gara-gara lo bicara kayak tadi, nanti dia gak mau gimana?” ujar Ardia pelan.

Lesti terdiam sebentar, lalu menoleh ke Ardia. “Lo beresin ini, gue mau ngobrol dulu sama Putra. Tolong, ya!”

Perempuan dengan pipi sedikit tembem ini, beranjak menuju dapur dan memaparkan ekspresi melasnya. Lesti berdiri di samping Putra, dengan kedua tangan ia sembunyikan di belakang punggungnya.

“Put, sorry ya, jika ucapan gue tadi bikin lo tersingggung. Gue tau, lo ketua shift, tapi kita juga butuh hiburan gitu. Lo maafin gue, kan?” ujar Lesti.

“To the point aja, pasti lo ada maunya kalo gini,” beber Putra.

Dada Lesti menggebu ketika mendengar respons Putra yang lumayan membuat jiwanya meronta. Kalau bukan di tempat kerja, atau posisi dirinya sedang tidak patah hati, mungkin salah satu tangannya sudah mendarat di kepala laki-laki berkacamata ini. Namun, demi kelancaran semuanya ia tahan, dan hanya dilampiaskan dengan embusan napas.

“Mau gak lo jadi temen kondangan gue?” ungkap Lesti.

Suara pemanggangan dan gemercik air yang keluar dari keran, seolah membisu terserap oleh apa yang baru saja Lesti ucapkan. Putra menoleh, menatap Lesti dengan begitu dalam, sedalam palung mariana.

Mendapatkan tatapan seperti itu, Lesti menurunkan kepalanya mempertontonkan gerakan tangan yang saling mengepal. Dadanya berdesir, apakah ia salah berbicara seperti itu? Apakah Putra akan menolaknya kemudian membencinya? Jika ini terjadi, besar kemungkinan ia akan memarahi Ardia.

Lesti tidak menyangka akan mendapatkan respons seperti ini dari sosok laki-laki yang kalau bicara seadanya, dan topik pembicaraannya selalu membosankan. Hingga terbersit dalam pikirannya mengenai postingan yang menyatakan kalau emosi seorang pendiam lebih mengerikan dari orang pada umumnya. Ya, sekarang Lesti mengakuinya, Putra terlihat seperti pembunuh berdarah dingin dengan tatapan seperti itu.

“Kenapa harus gue?” ujar Putra akhirnya.

Lesti masih menundukkan kepalanya. “Karena lo satu-satunya temen cowok gue yang paling deket. Kan, kalo yang lainnya kayak iklan, numpang lewat doang. Kalo lo mah teman gue yang gue anggap serius, bukan iklan,” papar Lesti.

“Bukan karena gue jomblo, kan?” Putra masih mempertahankan tatapannya. Padahal gue pengin banget jadi bagian yang paling istimewa di hidup lo, Les! Batinnya meneruskan.

Lesti mengangkat kepalanya, kemudian menggeleng. “Gak ada hubungannya sama itu, Put!”

Putra tersenyum.

“Enggak usah tersenyum,” ujar Lesti saat melihat Putra memaparkan senyum.

Putra menyurutkan senyumnya, dan mengerutkan dahi, heran. “Kenapa?”

“Lo lebih keren dengan ekspresi dingin lo!”

Demi kitab sucinya Sun Go Kong, sekarang dada Putra menggebu sangat kencang. Beginikah rasanya dipuji perempuan yang dicintainya? Putra berasa berada di padang sabana yang luas dan indah dengan disuguhkan satu perempuan cantik yang tiada lain adalah Lesti Andriyani.

“Put, Putra!” seru Lesti.

Putra mengerjap, dan segera ia netralkan juga memalingkan wajahnya sejenak dari wajah Lesti.

“Kenapa sih? Jadi, gimana, mau ya, mau? Plis!” mohon Lesti.

Begitu hela napas terembus sempurna, Putra kembali menatap Lesti. “Jam berapa?”

Lesti membeliak senang, refleks, ia memberikan pelukan untuk Putra selama seperkian detik. “Yeay! Makasih Putra, nanti jemput gue jam sembilan ya, jangan lupa besok!” Lesti benar-benar antusias ketika Putra menyetujuinya.

Raziq, lihat saja nanti!

Sedangkan, Putra kembali membeku kala rasa hangat yang disalurkan berkat pelukan Lesti menyergap tubuhnya. Baru kali ini, peluk yang seharusnya menghangatkan, malah membuatnya beku, tak berkutik.

O0O

Billar mulai merebahkan tubuhnya di kursi kerjanya, ia mulai mengedit hasil foto untuk dicetak nanti agar hasilnya tambah maksimal. Namun, pikirannya malah menggambarkan sosok pelayan berhijab hitam tadi. Sekali tatap, sejenak sosok Amanda lenyap dalam bayangannya. Hanya sekali tatap? Kalau berkali-kali, berjam-jam, atau selamanya? Bahagia sepertinya.

“Cieee yang berhasil move on!” celetuk Arfan sambil menyenderkan tubuhnya di lawang pintu. “Lo yakin, mau modelan seperti dia?”

“Emang kenapa?” tanya Billar.

“Ya, enggak apa-apa, sih.” Arfan menghampirinya. “Selagi dia ngebuat lo bahagia, why not?”

Kedua tangan Billar saling mengepal di hadapan wajahnya. “Kayaknya, gue yang bakal ambil studio yang ini. Lo ambil yang di Jakarta.”

Arfan menautkan salah satu alisnya, sebelum akhirnya tawanya pecah membungkam ruang kerja Billar. Arfan tidak percaya kalau keponakannya akan move on secepat ini, apalagi kisah cinta antara Billar dan Amanda berlangsung selama dua tahun, dan dalam hitungan detik, laki-laki di hadapannya ini sudah bisa terbebas dari sosok Amanda hanya karena perempuan berhijab yang entah siapa namanya.

“Lo harus dapetin tuh cewek! Dia udah berhasil membuat sosok Billar Aswindra move on lebih cepat! Gila!” seru Arfan bahagia.

“Udah, berisik!” ketus Billar.

“Beda ya kalo lagi jatuh cinta, ketus juga mesem-mesem!” goda Arfan, sebelum pergi dari ruang kerja keponakannya ini.

“Bacot lo!”

Begitu Arfan hilang dari ruangannya, Billar memaparkan senyum merekah. Ia tak menyangka hanya karena sosok perempuan itu, sosok Amanda langsung menghilang dalam benaknya. Apa mungkin, ini merupakan pertanda kalau semesta perlahan memberikan jalan untuk masalah hatinya?

Ya, Tuhan, jika memang dia untukku, permudahlah dekatku dengannya!

Tunggu ... apakah hatinya baru saja mengklaim harapan kepada perempuan itu? Ini Gila! Perempuan manis itu membuat perasaan dan pikirannya meronta, ingin cepat-cepat kenal, dekat, kemudian menjalankan hal yang serius. Tapi ... kalau dia sudah ada yang memiliki, bagaimana?

Ah, ****! Sabar Bi, lo harus sabar, lo gak boleh terlalu berharap sama perempuan itu. Mungkin semesta lagi menguji lo, Bi. Tenang ... lo harus tenang!

Billar memejamkan matanya, mengatur napasnya yang mendadak tak karuan. Setelah itu, ia kembali memokuskan tatapannya ke layar komputer yang menampakkan sosok keluarga berpose bahagia.

Pokoknya lo harus tenang, harus sabar, jangan mudah terpancing! Kembali, hatinya memberikan wejangan agar dirinya bersikap tenang dan tidak terlalu terbawa suasana.

...O0O...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!