Rasa

Baru saja perempuan berhijab hitam keluar dari ruang karyawan, temannya yang memang sudah selesai waktu kerjanya langsung memberikan secarik kertas yang berisi pesanan kepadanya. Lesti mendengkus, padahal hari ini inginnya istirahat dan bersantai, mengingat semalam hingga saat ini sosok Raziq masih suka meneror kehidupannya. Padahal segala cara telah Lesti lakukan, mulai dari meditasi hingga membuang semua barang pemberian Raziq. Namun, wajah tampan dan tatapan teduh milik Raziq masih singgah dalam pikiran dan perasaannya.

Ya, ampun Raziq! Kenapa lo tega banget sama gue! Kenapa enggak ngajak balikkan aja! Ish, bete deh gue!

Lesti menghela napas, dan mulai membuat pesanan untuk pelanggan yang duduk di meja 12. Selama pengerjaan pesanan, Lesti tiada henti menarik napas dan mengembuskannya perlahan agar hatinya tenang.

“Kenapa sih lo, baru mulai udah melamun sama bete gitu!” cetus Ardia yang juga mulai membuat pesanan.

“Gue kayaknya bucin berat sama Raziq. Masa iya, dia hadir di mimpi gue sama calon istrinya. Gak di kehidupan nyata, gak di mimpi, seolah senang lihat gue menderita!” balas Lesti yang mulai meracik kopi yang dipesan.

“Astaga, kenapa mantan mulu yang dibahas? Ini jam kerja, bisa gak kalian lebih profesional dan gak usah bawa-bawa masalah pribadi dalam pekerjaan?” celetuk laki-laki berkacamata dengan nampan berisi wadah bekas di tangannya.

“Iya, sorry. Lagian ini mantan manis banget, kalo gak manis mah mudah dilupain,” ujar Lesti, melas. Ia membawa pesanannya, dan sebelum menyajikan di hadapan pelanggan ia mengembuskan napas pelan, lagi.

Lesti terdiam sejenak, perlahan senyumnya mengembang kala langkahnya telah tiba di meja nomor dua belas. “Permisi.” Lesti menyajikan dua potong roti lapis karamel, dan sepasang kopi Creamy latte di hadapan dua laki-laki berpenampilan rapi ini.

Laki-laki berkaos hitam tersenyum menandakan terima kasih kepadanya, sementara laki-laki tampan berkaos biru terdiam menatapnya penuh pesona. Lesti segera memalingkan wajahnya, kala tatapan itu menusuk dalam bola matanya yang membuat hatinya bereaksi. Namun, segera Lesti netralkan dan tersenyum menunduk, penuh rasa hormat.

“Selamat menikmati!”

Cekatan, Lesti berbalik dan berhadapan dengan pelanggan yang memanggilnya sambil mengangkat tangannya. Baru saja kakinya maju beberapa langkah, seseorang dari belakang juga memanggilnya, bahkan dia menghampirinya.

“Hai, tadi kita habis pembukaan studio di samping tempat ini. Kita enggak lihat salah satu karyawan sini yang hadir ke acara pembukaan mungkin karena sibuk kali, ya? Jadi kita bagi-bagi voucher, dan satu voucher ini berlaku satu minggu. Kamu bisa foto bareng karyawan lain di studio kita.” Laki-laki berkaos hitam itu memberikan secarik kertas hitam berhias tulisan berwarna gold kepadanya.

“Oh!” Lesti tersenyum. “Terima kasih.” Lesti menundukkan kepalanya, dan beralih ke pelanggan lain untuk mencatat pesanannya.

Selesai mencatat pesanan pelanggan tersebut, Lesti kembali ke bar dan mulai mengeksekusi makanan dan minuman yang tertulis di kertas pesanan. Namun, sebelum benar-benar menyiapkan semuanya, ia memberikan kartu voucher itu ke laki-laki berkacamata yang kebetulan hadir dari balik pintu yang terhubung ke dapur seraya membawa senampan roti untuk di pajang.

“Nih, voucher foto studio!” Lesti memperlihatkan voucher tersebut, lalu menyimpannya di atas etalase.

“Widih! Voucher dari siapa?” Ardia tersenyum meraih voucher tersebut.

Laki-laki itu memasukan roti yang di bawanya ke dalam etalase, menyusunnya dengan rapi. Sementara itu, pendengarannya menangkap obrolan absurd dari dua rekan kerjanya yang super cerewet.

“Tuh!” Lesti mengarahkan dagunya ke arah meja nomor dua belas. “Katanya mereka baru saja buka foto studio di samping tempat kita ini.”

Ardia memicingkan matanya, kemudian terbuka lebar saat dua laki-laki tampan berhasil dipotretnya. “Gila ganteng banget!” puji Ardia. “Boleh tuh, lo gebet Les!” sambungnya, membuat Lesti tersentak.

“Astaghfirullah! Enggak ada yang bisa ngalahin Raziq!” putusnya.

“Mulai lagi! Gue laporin ke bos baru tau!” ketus laki-laki berkacamata.

“Astaghfirullah Putra, kenapa sih lo, meskipun kita ngobrol kayak gini, kita tetap profesional kok! Heran gue!” balas Lesti seraya menghentikan aksi kerjanya. “Jangan kaku-kaku banget kalo kerja, santai aja!” sambungnya.

Laki-laki bernama Putra itu menggelengkan kepalanya lalu pergi ke dapur untuk memanggang roti dan membereskan pekerjaan lainnya.

“Udah, deh, Les. Lo gak inget, Putra, kan jadi sasaran lo untuk dijadiin teman kondangan. Kalo gara-gara lo bicara kayak tadi, nanti dia gak mau gimana?” ujar Ardia pelan.

Lesti terdiam sebentar, lalu menoleh ke Ardia. “Lo beresin ini, gue mau ngobrol dulu sama Putra. Tolong, ya!”

Perempuan dengan pipi sedikit tembem ini, beranjak menuju dapur dan memaparkan ekspresi melasnya. Lesti berdiri di samping Putra, dengan kedua tangan ia sembunyikan di belakang punggungnya.

“Put, sorry ya, jika ucapan gue tadi bikin lo tersingggung. Gue tau, lo ketua shift, tapi kita juga butuh hiburan gitu. Lo maafin gue, kan?” ujar Lesti.

“To the point aja, pasti lo ada maunya kalo gini,” beber Putra.

Dada Lesti menggebu ketika mendengar respons Putra yang lumayan membuat jiwanya meronta. Kalau bukan di tempat kerja, atau posisi dirinya sedang tidak patah hati, mungkin salah satu tangannya sudah mendarat di kepala laki-laki berkacamata ini. Namun, demi kelancaran semuanya ia tahan, dan hanya dilampiaskan dengan embusan napas.

“Mau gak lo jadi temen kondangan gue?” ungkap Lesti.

Suara pemanggangan dan gemercik air yang keluar dari keran, seolah membisu terserap oleh apa yang baru saja Lesti ucapkan. Putra menoleh, menatap Lesti dengan begitu dalam, sedalam palung mariana.

Mendapatkan tatapan seperti itu, Lesti menurunkan kepalanya mempertontonkan gerakan tangan yang saling mengepal. Dadanya berdesir, apakah ia salah berbicara seperti itu? Apakah Putra akan menolaknya kemudian membencinya? Jika ini terjadi, besar kemungkinan ia akan memarahi Ardia.

Lesti tidak menyangka akan mendapatkan respons seperti ini dari sosok laki-laki yang kalau bicara seadanya, dan topik pembicaraannya selalu membosankan. Hingga terbersit dalam pikirannya mengenai postingan yang menyatakan kalau emosi seorang pendiam lebih mengerikan dari orang pada umumnya. Ya, sekarang Lesti mengakuinya, Putra terlihat seperti pembunuh berdarah dingin dengan tatapan seperti itu.

“Kenapa harus gue?” ujar Putra akhirnya.

Lesti masih menundukkan kepalanya. “Karena lo satu-satunya temen cowok gue yang paling deket. Kan, kalo yang lainnya kayak iklan, numpang lewat doang. Kalo lo mah teman gue yang gue anggap serius, bukan iklan,” papar Lesti.

“Bukan karena gue jomblo, kan?” Putra masih mempertahankan tatapannya. Padahal gue pengin banget jadi bagian yang paling istimewa di hidup lo, Les! Batinnya meneruskan.

Lesti mengangkat kepalanya, kemudian menggeleng. “Gak ada hubungannya sama itu, Put!”

Putra tersenyum.

“Enggak usah tersenyum,” ujar Lesti saat melihat Putra memaparkan senyum.

Putra menyurutkan senyumnya, dan mengerutkan dahi, heran. “Kenapa?”

“Lo lebih keren dengan ekspresi dingin lo!”

Demi kitab sucinya Sun Go Kong, sekarang dada Putra menggebu sangat kencang. Beginikah rasanya dipuji perempuan yang dicintainya? Putra berasa berada di padang sabana yang luas dan indah dengan disuguhkan satu perempuan cantik yang tiada lain adalah Lesti Andriyani.

“Put, Putra!” seru Lesti.

Putra mengerjap, dan segera ia netralkan juga memalingkan wajahnya sejenak dari wajah Lesti.

“Kenapa sih? Jadi, gimana, mau ya, mau? Plis!” mohon Lesti.

Begitu hela napas terembus sempurna, Putra kembali menatap Lesti. “Jam berapa?”

Lesti membeliak senang, refleks, ia memberikan pelukan untuk Putra selama seperkian detik. “Yeay! Makasih Putra, nanti jemput gue jam sembilan ya, jangan lupa besok!” Lesti benar-benar antusias ketika Putra menyetujuinya.

Raziq, lihat saja nanti!

Sedangkan, Putra kembali membeku kala rasa hangat yang disalurkan berkat pelukan Lesti menyergap tubuhnya. Baru kali ini, peluk yang seharusnya menghangatkan, malah membuatnya beku, tak berkutik.

O0O

Billar mulai merebahkan tubuhnya di kursi kerjanya, ia mulai mengedit hasil foto untuk dicetak nanti agar hasilnya tambah maksimal. Namun, pikirannya malah menggambarkan sosok pelayan berhijab hitam tadi. Sekali tatap, sejenak sosok Amanda lenyap dalam bayangannya. Hanya sekali tatap? Kalau berkali-kali, berjam-jam, atau selamanya? Bahagia sepertinya.

“Cieee yang berhasil move on!” celetuk Arfan sambil menyenderkan tubuhnya di lawang pintu. “Lo yakin, mau modelan seperti dia?”

“Emang kenapa?” tanya Billar.

“Ya, enggak apa-apa, sih.” Arfan menghampirinya. “Selagi dia ngebuat lo bahagia, why not?”

Kedua tangan Billar saling mengepal di hadapan wajahnya. “Kayaknya, gue yang bakal ambil studio yang ini. Lo ambil yang di Jakarta.”

Arfan menautkan salah satu alisnya, sebelum akhirnya tawanya pecah membungkam ruang kerja Billar. Arfan tidak percaya kalau keponakannya akan move on secepat ini, apalagi kisah cinta antara Billar dan Amanda berlangsung selama dua tahun, dan dalam hitungan detik, laki-laki di hadapannya ini sudah bisa terbebas dari sosok Amanda hanya karena perempuan berhijab yang entah siapa namanya.

“Lo harus dapetin tuh cewek! Dia udah berhasil membuat sosok Billar Aswindra move on lebih cepat! Gila!” seru Arfan bahagia.

“Udah, berisik!” ketus Billar.

“Beda ya kalo lagi jatuh cinta, ketus juga mesem-mesem!” goda Arfan, sebelum pergi dari ruang kerja keponakannya ini.

“Bacot lo!”

Begitu Arfan hilang dari ruangannya, Billar memaparkan senyum merekah. Ia tak menyangka hanya karena sosok perempuan itu, sosok Amanda langsung menghilang dalam benaknya. Apa mungkin, ini merupakan pertanda kalau semesta perlahan memberikan jalan untuk masalah hatinya?

Ya, Tuhan, jika memang dia untukku, permudahlah dekatku dengannya!

Tunggu ... apakah hatinya baru saja mengklaim harapan kepada perempuan itu? Ini Gila! Perempuan manis itu membuat perasaan dan pikirannya meronta, ingin cepat-cepat kenal, dekat, kemudian menjalankan hal yang serius. Tapi ... kalau dia sudah ada yang memiliki, bagaimana?

Ah, ****! Sabar Bi, lo harus sabar, lo gak boleh terlalu berharap sama perempuan itu. Mungkin semesta lagi menguji lo, Bi. Tenang ... lo harus tenang!

Billar memejamkan matanya, mengatur napasnya yang mendadak tak karuan. Setelah itu, ia kembali memokuskan tatapannya ke layar komputer yang menampakkan sosok keluarga berpose bahagia.

Pokoknya lo harus tenang, harus sabar, jangan mudah terpancing! Kembali, hatinya memberikan wejangan agar dirinya bersikap tenang dan tidak terlalu terbawa suasana.

...O0O...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!