MALAM yang melelahkan namun menolak untuk diistirahatkan. Seperti itulah suasana yang menyelimuti diri Lesti sekarang. Setelah pulang kerja, biasanya ia akan langsung berbaring memeluk guling; melukis mimpi sedemikian rupa hingga saat bangun tadi tidak ada sesak yang menyembul dalam hatinya.
Namun, hal itu tidak akan terjadi pada malam ini. Pikirannya terlalu ramai dan bersemangat dalam membuka lembaran masa lalu yang memang sangat indah. Perasaannya pun seolah mendukung apa yang dilakukan oleh pikirannya.
Masa di mana mereka masih mengenakan seragam putih abu, menjadi pembuka dari bayangan masa lalu yang tergambar dalam pikirannya. Dulu, Lesti tidak pernah berpikir kalau Raziq yang merupakan siswa terpintar di kelasnya mengutarakan perasaannya setelah pembagian raport. Eskrim Cornetto menjadi benda pertama yang Raziq berikan setelah beberapa menit mereka resmi berpacaran. Lesti masih sangat ingat betapa istimewanya masa itu, dan berkat eskrim pula mereka saling suap-suapan yang berakhir dengan perang eskrim di wajah.
Raziq juga orang pertama yang mengenalkan dirinya dengan bioskop, dan orang pertama yang dimarahi ayahnya karena pulang terlalu larut. Lesti dan Raziq sampai diintrogasi dan disuruh bercerita sejujur-jujurnya apa yang membuatnya pulang larut oleh keluarga Lesti.
Ah, aku suka pikiranku, tapi tidak dengan kenyataan saat ini!
Lesti menutup kepalanya dengan bantal, berharap semua bayangan itu lekas pergi dan tak perlu kembali. Dia ditakdirkan bukan untuknya, melainkan untuk orang yang sudah pasti akan dipinangnya lusa nanti.
Ya Allah ... baru kali ini aku meminta kepadamu agar aku amnesia tentang Raziq. Hanya itu aja doaku malam ini!
Semakin berusaha Lesti melupakan kenangan bersama Raziq, semakin kuat kenangan itu untuk tetap singgah dalam memorinya. Sudah berkali-kali mata Lesti terpejam, tapi kenangan itu membangunkannya lagi. Sudah kesekian kalinya pula, ia berguling sana-sini mencari tempat yang pas untuk tubuhnya, tapi dengan perlahan kenangan itu membuat tempat tidurnya enggak nyaman yang pada akhirnya Lesti kembali bangkit dan merengek enggak jelas.
Lesti menghela napas panjang, menenangkan gebu di dadanya. Kemudian meraih ponsel yang bertengger tak jauh dari tubuhnya. Dengan cepat ia menekan folder kenangan hingga muncul ikon tong sampah di ujung layarnya, lantas memencetnya.
“Huft!” Lesti menggebrakkan tubuhnya ke kasur, dan saat membuka matanya dari pejam ia langsung terbelalak dan kembali bangkit. “Baiklah, untuk saat ini jangan ada lagi barang-barang pemberian Raziq satu pun yang bersarang di kamar ini!” tekadnya.
Dengan semangat empat lima, Lesti meraih semua barang pemberian Raziq yang berada di kamarnya. Mulai dari boneka, figura, aksesoris, kotak musik, baju, hijab, sepatu, kaos couple, hingga jam tangan yang masih melingkar di tangannya. Lesti memasukkan semua barang-barang tersebut ke dalam tas besar dan menyimpannya di kolong kasur.
Di ujung lelah, Lesti merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya beriringan dengan deru napas yang semakin teratur. Tanpa sadar alam mimpi membawanya terbang, menjauh sejenak dari kenangan yang ia ciptakan bersama Raziq.
Mimpi itu sangat indah, dihiasi banyak bintang bahkan Lesti bisa meraihnya dengan satu tangan. Namun, Lesti harus melepaskan bintang tersebut ke angkasa dan dalam hitungan detik semuanya lenyap kala langit mendadak mendung dan menyuarakan teriakan keras hingga dirinya tersentak dan terjatuh.
Lesti melihat seberkas cahaya dari kejauhan, yang perlahan cahaya itu mulai melemah dan mempertunjukan sepasang kekasih berbalut pakaian serba putih. Lesti sangat hafal siapa laki-laki yang menggandeng perempuan di sana, dan dia tersenyum penuh penghargaan kepadanya.
Dalam sekali entakkan, Lesti terperanjat dan terbangun dari mimpinya. Dadanya menggebu, dan tanpa sadar kedua bola matanya berkaca-kaca hingga menjelma menjadi tetesan air yang jatuh.
Lesti beranjak dari kasurnya membawa barang-barang yang sudah terkemas dalam tas besar keluar dari kamarnya.
“Lesti? Kamu udah bangun, atau belum tidur?” ujar seseorang dari belakang tubuhnya.
Lesti memutar tubuhnya dengan lelah. Sejenak tatapannya terarah terhadap jam dinding yang terpasang sejajar dengan televisi.
“Itu apaan?” Mala yang merupakan mama Lesti menghampirinya. “Kamu nangis?”
Lesti malah memeluk ibunya. “Lusa nanti, Raziq nikah.”
Suasana di sepertiga malam ini seolah mendukung betapa kecewanya suara yang keluar dari mulut Lesti. Mala menarik napasnya dan mengembuskannya perlahan, lalu mengelus-elus punggung Lesti dengan lembut.
“Terus kamu sedih?”
“Aku masih berharap padanya, Mah.” Lesti berusaha kuat agar air matanya enggak kembali tumpah.
Mala hanya tersenyum. “Kita salat yuk? Pasti hati kamu akan tenang,” balas Mala seraya melepaskan pelukan anaknya itu. “Ini apa?” sambung Mala saat tatapannya mengarah ke tas yang digusur Lesti.
“Ini barang-barang dari Raziq,” jawab Lesti.
“Mau di kemanain? Dibuang?”
Lesti hanya mengangguk.
“Yakin? Enggak bakalan nyesel, kan?” goda Mala.
“Mama!” rengek Lesti. “Aku ini lagi berusaha move on!” tambahnya.
O0O
Tepat jam alarm berdering, Billar terbangun dari tidurnya. Bukan hanya itu, cahaya mentari pun berusaha untuk menyelinap melewati tirai agar bisa menguasai kamar yang di dominasi dengan aksesoris tim bola kesayangannya.
Setelah beradaptasi dengan cahaya sekitar, Billar bangkit dari kasurnya dan segera beralih meraih handuk untuk melaksanakan ritual paginya. Tekadnya mengenai move on dari Amanda berdengung dengan keras di kepala, seolah-olah menyetujui keputusannya untuk segera pergi dari sini.
Tidak menyangka kalau putusnya dengan Amanda malah membuatnya semakin bersemangat melewati hari ini, hari esok, dan seterusnya. Billar pun sudah tidak merasakan luka dan kecewa yang terlalu parah, yang mungkin dengan sering berinteraksi nanti semuanya akan lenyap.
Billar sangat terkejut ketika keluar dari kamar mandi, di atas kasur sudah ada sosok laki-laki yang tertawa pelan sambil menatapnya.
“Sejak kapan lo di sini?” tanya Billar seraya berjalan menuju lemari.
“Sejak lo mandi, lalu gue masuk ke sini,” jelasnya.
“Lain kali ngetuk pintu dulu kalo mau masuk, jangan main masuk aja!” decak Billar seraya membalut seluruh tubuhnya dengan kaos santai dan celana jins.
“Dih, biasanya juga gini. Dari sejak lo lahir hingga saat ini, ya gue gini sering keluar masuk kamar lo. Sekarang tiba-tiba lo gini? Sensi amat sih,” kata laki-laki berkaos hitam yang rebahan di sana.
“Gue putus sama Manda!” cetus Billar membuat laki-laki bernama Arfan itu bangkit dan menatapnya penuh tanya.
“Hah, kok bisa?”
“Alasannya sih klasik, karena mimpi. Ya, menurut gue, kalo masalah mimpi kan bisa diraih sama-sama, tapi dianya tetap aja milih putus.” Billar meraih salah satu koleksi sepatunya, lalu duduk di samping Arfan.
Arfan menyampaikan tangannya ke tubuh keponakannya ini, lalu menepuknya berkala. “Ya gitulah cewek, suka memperumit keadaan. Ya intinya pengin putus aja, gak usah muter-muter bawa mimpi segala, kan? Untung gue gak punya cewek!”
“Ingat umur bro, lo itu udah tua. Tiap kali bawa pelanggan pasti bilangnya temen, mantan, kasian banget. Jomblo juga ada batas waktunya.” Billar bangkit dari duduknya, meninggalkan Arfan yang merenungi ucapannya.
Arfan mendengkus. “Bisa gak lo lebih sopan sama gue?”
“Bisa Om Arfan, kalo Om udah nikah!” celetuknya.
Arfan yang sebelumnya sudah tersenyum mendengar tutur kata yang menyejukkan telinganya, akhirnya terpatahkan oleh kalimat akhir yang diutarakan oleh keponakannya itu. Emang sih, ia sendiri yang meminta ke Billar agar tidak menyebutnya dengan embel-embel Om atau sejenisnya. Dengan begini, ia berasa seumuran dengannya dan teman-teman sepekerjaannya.
“Kalian enggak sarapan dulu?” seru Kirana—ibunya Billar.
Arfan dan Billar menoleh bersamaan. “Enggak deh Bu, takutnya telat dari jadwal, dah ibu!” ucap Billar.
“Dah!” susul Arfan.
“Iya. Hati-hati di jalannya, jangan ngebut!” Kirana kembali berseru.
Billar dan Arfan masuk ke dalam mobil dan langsung melaju meninggalkan istana megah kediaman keluarga Aswindra. Selama di perjalanan mereka tiada henti berucap mulai dari permasalahan pekerjaan hingga ke permasalahan hati.
“Niatnya gue di Bandung hanya dua minggu, setelah itu lo yang pimpin. Gue ambil yang di sini. Gakpapa, kan?” kata Billar dengan tatapan fokus ke depan.
“Gakpapalah, kan, lo bosnya,” balas Arfan.
“Gak usah panggil bos, kita ini keluarga. Anggap aja ini usaha keluarga,” timpal Billar.
Arfan tersenyum. “Thanks, ya!”
Setelah hampir empat jam berkemelut di jalanan, akhirnya mereka sampai di kota tujuan. Di depan studio sudah banyak orang untuk menyaksikan peresmian MRB Studio, dan di antara mereka ada karyawan yang baru saja mereka rekrut secara online.
Billar dan Arfan memberikan sambutan dan permintaan maaf atas keterlambatannya, dan hanya perlu memakan lima belas menit akhirnya acara peresmian dengan gunting pita dilaksanakan.
Pita yang melingkar di pintu studio tergunting setelah mengucapkan doa, dan semua orang yang menyaksikan bertepuk tangan dan memberikan selamat. Tidak lupa Arfan memberikan tiket voucher diskon kepada penonton untuk pemotretan di MRB Studio yang berlaku satu minggu.
Tak perlu menunggu lama, begitu Billar memberikan tugas kepada karyawan barunya orang-orang yang mendapatkan tiket voucher diskon langsung masuk dan antri untuk melakukan pemotretan.
Sekitar lima puluh penggenggam tiket voucher diskon, berhasil mereka layani dengan profesional. Tersisa beberapa orang lagi, Billar dan Arfan menyerahkan kamera kepada karyawannya, mengingat hampir sembilan jam perutnya belum terisi yang benar-benar bisa mengganjal rasa laparnya.
“Gila, gue lapar banget!” lontar Billar.
“Gue juga. Kita ke Kejora Coffe and Bakery aja, lumayan bisa ganjel juga tahan kantuk,” papar Arfan, selanjutnya.
Billar mengangguk, dan langsung masuk duluan ke tempat yang tepat berada di samping studionya. Mereka langsung memesan beberapa roti dan kopi kepada pelayan di sini.
Tempat dengan warna kebesaran kuning gading ini terasa sejuk, dan nyaman. Tak heran jika pengunjung di sini lumayan ramai, karena memang senyaman ini tempatnya. Bukan hanya itu, pelayanannya pun sangat baik dan sopan juga ramah-ramah.
Billar mengedarkan tatapannya, menyapu setiap senti tempat ini hingga terpaku terhadap sosok perempuan berhijab yang membawa pesanan ke arah mejanya.
“Permisi,” ucapnya seraya menyajikan pesanan mereka dengan sopan. “Selamat menikmati,” sambungnya dengan sedikit menundukkan kepalanya sebagai rasa hormat.
Tatapan Billar benar-benar terkunci terhadap sosok perempuan manis dengan hijab berwarna hitam membungkus kepalanya.
“Yakin, lo mau ganti selera?” celetuk Arfan membuyarkan tatapan Billar.
Billar mengerjap. “Apaan sih lo!”
...O0O...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Fidy Putri
Suka sama ceritanya, Thor! Kalau aku ketemu kamu, mau minta tanda tangan plus selfie bareng😁
2022-07-07
1