ALUNAN musik perlahan kembali mengalun setelah beberapa saat berhenti. Suara lembut mulai menyenandungkan lagu gambus yang sudah sangat familiar di telinga semua orang, bahkan saat ini beberapa orang mulai mengayunkan kepalanya, menikmati setiap entakkan musik, dan turut bernyanyi.
Kecuali, Lesti. Dalam gemingnya, mata bulatnya bercerita mengenai kisah sepasang manusia yang perlahan usang. Kisah itu berakhir dengan perpisahan, menyajikan cerita yang berbeda, hingga satu dari mereka berakhir di pelaminan. Maka sudah saatnya, satu lainnya merelakan semuanya dan membuang semua kenangan saat bersamanya.
“Lesti?” Putra membuyarkan lamunan Lesti yang terlihat menyesakkan.
Lesti tersentak; mengerjap berkali-kali. Kala matanya kembali mentap sepasang kekasih di sana, Raziq membalasnya membuat Lesti celingukan; refleks meraih sendok yang sudah berisi nasi di tangan Putra.
“Enak, banget ya!” kata Lesti, membuat Putra keheranan. “Suapin lagi dong, Put!” pinta Lesti seraya tersenyum sumringah.
Putra mengangguk, menurut saja apa yang diperintahkan oleh Lesti, toh, ini juga sesuatu yang ia harapkan. Putra kembali menyuapi Lesti dengan perlahan, hingga sajian mereka habis tak tersisa. Berniat untuk langsung pulang, Putra langsung menahan Lesti dan sempat beradu pandang cukup lama di tengah-tengah para tamu undangan.
“Ehm. Lesti, kita jalan-jalan aja yuk? Lagian masuk jam kerja masih lama kok,” ujar Putra masih dengan menggenggam tangan Lesti.
“Jalan-jalan ke mana?” tanya Lesti.
“Ke mana aja, yang penting kita jalan-jalan.” Putra menatap lekat, penuh harap, agar sosok yang ditatapnya mengiyakan keinginannya. Sungguh, ia benar-benar tulus mencintai Lesti, sangat tulus. Maka dari itu, mendapatkan ajakan seperti seolah semesta memberikan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya terhadap Lesti.
“Ayo!”
Setelah itu, Putra dan Lesti beranjak dari gedung yang dihias megah ini. Mungkin dengan beranjak dan menghabiskan waktu bersama Putra, kehidupan Lesti akan lebih cemerlang setelah dibuat murung oleh kenyataan ini. Tidak ada lagi sakit hati, tidak ada lagi kenangan indah saat bersama Raziq, dan tidak ada lagi menyalahkan kenyataan.
Keduanya mengobrol ringan selama di perjalanan, yang kadangkala diselingi oleh candaan yang tanpa sadar keduanya tertawa kecil. Hal-hal seperti ini membuat Lesti sangat senang, dan secuil harap di hatinya mulai tumbuh. Berada di samping Putra dengan menikmati hari di setiap harinya adalah harapannya. Secepat ini kah rasa nyaman tumbuh? Semuanya tergantung kepada Sang Maha Membolak-balikkan Hati.
Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah Alun-alun Bandung. Sebuah masjid besar berdiri kokoh dengan dikelilingi orang-orang yang tengah bersantai di atas sintetis berwarna hijau. Lesti tersenyum dan meminta Putra untuk memotret dirinya dengan latar belakang Masjid Raya Bandung. Tak lupa, Lesti juga meminta untuk merekam aksinya yang anggun menggunakan video slowmotion.
“Put, cepetan sini!” kata Lesti.
Begitu wajah Putra bersanding dengannya, puluhan jepretan foto berhasil ditangkapnya dengan berbagai macam gaya. Fiks! Perempuan ini benar-benar sangat berbeda dari perempuan lainnya. Entah ke berapa kali dadanya dibuat bergetar oleh sosok Lesti, tapi, hatinya masih menahan rasa istimewa itu.
Mereka berjalan menyusuri Jalan Asia Afrika yang banyak dikerumuni orang-orang. Keduanya sama-sama bahagia dan berkali-kali mengambil gambar dan vidio di jalan ini. Putra menarik Lesti ke sebuah stan dagangan aksesoris di sana.
“Ini buat kamu.” Putra memasangkan gelang dari ukiran bambu, dengan kujang sebagai aksesorisnya.
“Ini keren! Hm, ....” Lesti tampak melihat-lihat gelang lainnya, dan meraih satu gelang dengan aksesori berbentuk cinta. “Ini dari aku buat kamu!” Lesti memasangkan gelang tersebut di tangan kiri Putra.
Putra tersenyum memandangi Lesti yang tengah memasangkan gelang di tangannya. Dadanya tiada henti berdebar, seakan-akan unsur-unsur yang berada di dalamnya tengah berpesta merayakan jatuh hatinya seorang laki-laki yang memiliki sikap membosankan kepada perempuan manis yang tidak pernah luput dari kejutan.
“Putra?” Lesti membuat Putra tersentak dan mengerjap. “Kamu kenapa? Sini kita foto dulu,” ujar Lesti menarik tangan Putra yang sudah terpasang gelang. “Ini pasti estetik banget!”
Lesti memamerkan kebersamaannya dengan Putra di seluruh story sosial medianya. Baginya, beriringan dengan Putra setelah pernikahan mantannya adalah hal luar biasa. Apalagi laki-laki di hadapannya ini sudah menguatkannya saat dirinya hampir luruh berhadapan dengan kedua mempelai.
‘Semesta sedang berbahagia, jangan ganggu, ini akan menjadi hal yang kurindu’
@putravlntino_
-@lesti_andryni
Putra meraih tangan Lesti, menggenggamnya dengan lembut. Putra menatap Lesti dengang fokus, membuat Lesti memalingkan sejenak dari wajahnya dan meminta agar dirinya tidak menatapnya seperti itu. Putra hanya tersenyum, bersamaan dengan mengelus tangan Lesti dalam genggamnya.
“Terima kasih, untuk hari ini, Les,” ujar Putra.
Lesti menoleh, dan tersenyum kikuk. “I-iya. Terima kasih juga, sudah mau temenin aku.” Lesti kembali memalingkan wajahnya, seraya menggigit bawah bibirnya.
Ya Tuhan!
O0O
Studio foto yang didominasi warna abu-abu kegelapan ini, kembali ramai digandrungi konsumen. Arfan yang tadinya akan kembali ke Jakarta terpaksa membantu Billar terlebih dahulu, karena memang lagi masa promosi, pantas saja jika tempat ini kembali dipenuhi konsumen.
Sekitar pukul dua siang, akhirnya studio ini mulai terlihat tenang dan menyerahkan ke karyawannya. Sedangkan, Arfan dan Billar tengah berada di ruangan lain menghirup udara baru setelah dikerumuni kepengapan di tiga ruangan studionya.
“Fan, cepetan pulang gih! Lalu minta siapa saja buat bawain motor gue!” ujar Billar.
“Lo ngusir gue? Atau lo udah gak sabar buat PDKT sama tuh cewek?” Arfan terkekeh.
“Dua-duanya!” timpal Billar.
“Dih! Yaudah gue pulang nih, nanti gue suruh si Haris yang bawa motor lo ke sini, sekalian bantuin lo,” balas Arfan. “Selama promosi ini, banyak konsumen yang bilang kalo hasil foto kita pada bagus. Bahkan, hari ini semakin meningkat dan banyak konsumen di luar voucher yang kita bagiin.”
“Makannya buruan pergi,” ujar Billar.
“Astaga ini anak, gak sabaran banget jadi orang! Lagian gue juga mau pulang, mau meet sama calon gue!” balas Arfan membuat Billar menoleh dan menautkan salah satu alisny.
“Sejak kapan lo punya calon?” tanya Billar.
“Jangan kepo. Lo pikir gue ini gak laku? Selama ini gue cuma cari yang cocok, agar hubungan gue langgeng!”
“Iya, iya, terserah deh!”
Arfan mendengkus seraya keluar dari ruangan ini, meninggalkan Billar yang beberapa menit kemudian pikirannya membawa jiwa raganya untuk menebar angan terhadap seseorang yang berhasil membuat hatinya bereaksi.
Setelah mendengar suara mobil menjauh dari studionya, Billar beranjak dari kantornya. Perutnya sudah meronta meminta jatah roti dan kopi, di samping studionya.
“Nanti, kalian kalo mau istirahat, istirahat aja. Bergilir aja!” kata Billar ke salah satu karyawannya.
“Siap, Pak!”
Billar berjalan menuju toko yang juga mulai ramai dikunjungi. Sekarang Billar memilih kursi yang berdampingan dengan dinding kaca. Dalam tatapannya ke luar Billar melamun sejenak, sebelum akhir mengedarkan pandangan mencari pelayan yang kemarin melayaninya. Tapi, hasilnya nihil.
Apa dia enggak masuk kerja?
Billar menghela napas pendek, dan menyeru pelayan yang ada saja. Perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi soal makanan, kecuali menikmati makanan tersebut bersama orang yang dicintainya. Ah, ia sudah tidak sabar untuk itu.
Tak perlu menunggu lama, pesanan Billar telah tersaji di hadapannya. Pelan-pelan ia mulai memakan roti dengan karamel di atasnya dan menyeruput kopi khas gayo yang memiliki cita rasa yang unik di dalamnya.
Namun, cita rasa itu perlahan luruh kala sepasang manusia hadir di balik kaca yang berada di sampingnya. Mereka terlihat bahagia, senyum yang terpapar di antar keduanya sangatlah tulus. Tidak percaya, dadanya berdebar seolah tidak rela melihat seseorang yang berhasil membuat hatinya bereaksi berjalan berdampingan dengan laki-laki berkacamata itu.
Billar tidak bisa mengalihkan pandangannya dari dia. Perempuan itu telah menarik perasaannya, maka tidak mungkin ia melepasnya.
Dalam diamnya Billar mengatur napas, menumpas pikiran buruk dari otaknya. Mungkin saja laki-laki itu hanya tetangganya, mungkin saja laki-laki itu saudaranya, dan mungkin saja laki-laki itu hanya rekan kerja biasa.
Bi, kendalikan diri lo!
O0O
Tepat pukul sepuluh malam Billar tersentak ketika salah satu karyawannya mengetuk pintu ruangannya. Billar menoleh memandangi remaja yang ia taksir berusia 20 tahun itu dengan tatapan heran.
“Iya?”
“Aku izin pulang ya, Pak?”
“Iya, silakan. Lagian kenapa kamu ambil lembur sih? Teman-teman kamu udah pada pulang sejak tiga jam yang lalu,” kata Billar.
“Enggak apa-apa sih, Pak. Ya daripada melamun di kontrakan sendirian, mending lembur aja, Pak. Biar besok enggak terlalu capek juga,” balasnya.
Billar dan remaja yang bernama Rendi itu keluar dari studio, dan alangkah terkejutnya Billar saat tatapannya melihat seorang perempuan yang tengah berdiri di depan pintu. Billar menghampiri perempuan itu dan ya tebakkannya tepat, jika perempuan itu adalah perempuan yang sudah berani merasuki perasaannya.
“Hai?” sapa Billar.
“Hai.” Lesti menoleh dan menjeda kalimatnya beberapa detik. “Lo yang kemarin ngasih voucher kan?”
Billar mengangguk, seraya melebarkan senyumnya. “Kamu belum pulang?”
“Lagi nunggu jemputan, katanya bakal lambat dari biasanya,” jawab Lesti.
“Mau gue anterin?” tawar Billar.
“Eng-enggak usah, bentar lagi juga datang kok,” tolak Lesti.
“Udah enggak apa-apa, gue anterin aja ya?” Billar langsung beranjak mendekati Rendi yang masih asik dengan jaket dan ponselnya.
Billar menepuk Rendi, dan tersenyum. “Ren, boleh pinjem motornya gak? Nanti gaji kamu saya naikkin, dan kamu akan menjadi karyawan tetap di studio ini.”
Rendi tersentak bukan main, tapi, segera ia turun dari motornya dan memberikan helm serta kunci motor kepada bosnya. Mengingat mencari kerja di era sekarang ini sangatlah susah, apalagi menjadi karyawan tetap.
“Nanti, kamu pulang naik ojek online aja, besok motor kamu saya balikkin!” kata Billar seraya melajukan motornya ke depan perempuan manis di sana.
Dia tersenyum ragu. “I-itu siapa?”
“Dia itu karyawan gue, ayo cepetan naik, keburu malam!”
Meskipun ragu, dia tetap naik ke boncengan Billar. Ini merupakan malam yang paling membahagiakan bagi seorang Billar. Tidak menyangka usahanya membawakan hasil yang luar biasa ini.
“Ehm, mau gak lo temenin gue makan, gue lapar dari tadi belum makan. Mau ya?”
...O0O...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments