BENCI UNTUK MENCINTA
*POV Anisa
Nama ku Anisa, umur ku kini 22 tahun, baru saja lulus kuliah sebagai sarjana desain interior sekitar dua minggu yang lalu, cita cita ku sih, ingin punya showroom atau galeri tempat memajangkan juga menjual furniture hasil karya ku sendiri, tapi mengingat bapak ku yang hanya seorang PNS dengan golongan biasa saja yang hanya bekerja sebagai staf di dinas pariwisata, dan ibu ku yang hanya ibu rumah tangga biasa saja, sepertinya mimpi ku terlalu tinggi, meski pun banyak pepatah mengatakan bermimpilah setinggi langit, tapi ya,, aku cukup sadar diri dengan keadaan ku, kok. Bisa lulus kuliah saja aku sudah bersyukur.
"Nisa, apa rencana mu untuk selanjutnya, apa kamu sudah coba melamar ke perusahaan perusahaan?" tanya bapak saat kami sedang menikmati makan malam masakan ibu.
Oh iya, aku ini anak tunggal, sebenarnya aku punya kakak laki laki dulu, hanya saja ketika usia kakak ku 10 tahun dia harus meninggal karena sakit demam berdarah dan tak tertolong, jadilah kini aku bak anak tunggal, bapak dan ibu ku sangat baik pada ku, meski tidak memanjakan ku dengan harta, tapi mereka melimpahkan kasih sayang dan perhatian yang sangat berlimpah pada ku, itulah yang membuat ku sangat menyayangi mereka, sangat sangat menyayangi mereka.
"Nisa belum tahu pak, Nisa bingung." jawab ku jujur.
"Maafkan bapak yang tak bisa membantu mu untuk mewujudkan cita cita mu membuka toko mebel itu, bapak gak punya uang," ucap bapak meski itu ucapan penyesalan dari nya, tapi di telinga ku terdengar sangat lucu, bagaimana tidak, bapak sering sekali bilang kalau cita cita ku itu membuka toko mebel, meskipun iya sih, gak salah, hanya saja kesannya kaya apa gitu.
"Sudahlah pak, Nisa kan masih bisa bekerja untuk mengumpulkan modal, nanti kalau uang Nisa sudah banyak, Nisa mau buka galeri sendiri, besok Nisa mau ke tempat Luna, katanya dia mau ngasih info lowongan pekerjaan, tenang saja pak!" kata ku agar bapak tak merasa khawatir berlebihan dengan ku.
Luna adalah sahabat ku semenjak kami sekolah di SMU, dia bukan hanya sekedar sahabat, tapi sudah ku anggap sebagai saudara ku sendiri, semua masalah ku, percintaan ku, dia paling hafal di luar kepala, pokoknya kita itu bestie banget. Sayangnya dia malas belajar, mungkin karena dia orang kaya yang serba enak dan tak begitu memikirkan uang, dia belum lulus kuliah, atau mungkin aku yang kecepetan lulusnya ya? Pokoknya dia masih sekitar dua semester lagi baru bisa lulus, itu pun kalau tak ada nilai yang harus di ulang.
***
Pagi ini aku sudah bersiap, hendak ke rumah Luna, ku periksa lagi berkas berkas yang di perlukan, karena katanya dia punya info lowongan pekerjaan untuk ku, katanya sih, perusahaan rekanan ayahnya yang juga seorang pengusaha tambang di luar pulau jawa,
Seperti biasanya, rumah Luna yang besar dan mewah itu terlihat sepi, karena memang orang tuanya hanya datang ke rumah itu satu bulan sekali, mereka harus tinggal di Kalimantan, tempat usaha tambang ayahnya.
Aku berjalan masuk ke rumah besar itu, aku memang sudah biasa main bahkan menginap di sana, jadi rumah itu sudah seperti rumah ke dua ku, apa lagi kalau aku harus ketemuan dengan Alan, kekasih ku yang selama 3 tahun ini ku pacari secara diam diam tanpa sepengetahuan orang tua ku, rumah ini adalah tempat paling aman buat ku dan Alan berpacaran.
Sebenarnya, bukannya aku tak ingin jujur pada orang tua ku, aku sudah sempat memperkenalkan Alan pada orang tua ku, namun entah mengapa bapak dan ibu ku serempak tidak setuju aku berpacaran dengan nya, dan bagi ku sangat tak masuk akal mereka menentang hubungan ku tanpa memberi tahu apa alasan yang membuat mereka menentangnya.
Backstreet adalah jalan satu satunya bagi kami, apalagi kami juga saling mencintai, dan Alan tak keberatan hubungan kami di rahasiakan dari kedua orang tua ku, dia dengan sabar menunggu luluhnya perasaan orang tua ku agar bisa merestui hubungan kami, begitu pun dengan ku yang tak pernah lelah memperjuangkan restu dari kedua orang tua ku, selalu pelan pelan ku mempengaruhi dan mencuci otak kedua orang tua ku kalau Alan itu pria yang baik, dan dia juga sedang merintis kariernya sebagai pengacara, meskipun masih junior dan belum bisa punya kantor sendiri.
Aku melanjutkan langkah ku menuju lantai dua rumah itu, di mana kamar Luna berada, pintu kamarnya sedikit terbuka, pasti dia sudah bangun, batinku. Luna memang selalu ceroboh seperti itu, kalau tidur pintu kamarnya tak pernah di tutup, bagaimana kalau ada orang jahat datang, bukankah dia pasti langsung bisa masuk ke dalam kamarnya dan melakukan hal hal yang----
segala lamunan dan pikiran ku yang sedang menghawatirkan Luna sahabat ku itu tiba tiba buyar seketika, saat melihat sepasang manusia setengah telanjang tidur berpelukan di atas ranjang yang sama, dengan tempat tidur yang acak acakan, dan ups,,, apa yang aku injak ini, menjijikan sekali, ku alihkan pandangan ku ke lantai, karena sesuatu yang terasa kenyal dan basah yang berada di bawah telapak kaki ku, ku angkat kaki kanan ku dan oh,,, alat kontrasepsi bekas pakai, iyuhhh!
"Alan !" panggil ku dengan sisa tenaga yang ku punya aku memanggil kekasih ku yang sedang memeluk tubuh sahabat ku yang setengah telannjangg itu dengan volume suara yang agak meninggi.
Aku benar benar syok melihat pemandangan pagi ini, berharap ini semua hanyalah mimpi, apa iya Luna? Ah yang benar saja, masa iya kekasih ku berselingkuh dengan sahabat ku sendiri, tepis ku mencoba berhianat dari pikiran ku sendiri, sayangnya mata ku tidak bisa berhianat, semua tampak jelas dan nyata di hadapan ku.
"Ah,, Nisa ?!" kaget Alan yang langsung terlonjak dari tempat tidur itu dan spontan melepaskan pelukannya di tubuh Luna, di susul oleh Luna, sahabatku yang kini terlihat sangat kaget karena aku telah menangkap basah mereka yang sedang berbuat tidak senonoh, ah bukan sedang berbuat, tapi mungkin telah berbuat tidak senonoh, lebih tepatnya.
Luna meraih selimut yang kini teronggok di bawah, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut itu.
"Sejak kapan?" tanya ku pada mereka, aku tak peduli siapa yang akan menjadi juru bicara di antara mereka berdua, aku hanya ingin tau, meskipun penjelasan mereka tak akan berarti apa apa pada kelanjutan hubungan ku dengan Alan nantinya, tak ada kata maaf bagi perselingkukan dan penghianatan, ini terlalu sakit.
"Nisa, maafkan aku, tapi ini bukan seperti yang kamu pikirkan, aku dan Luna----" ucap Alan masih mencoba membela dirinya.
"Apa maksud mu bukan seperti yang aku pikirkan, lalu aku harus berpikiran apa tentang kalian, lihat,,,kalian setengah telanjang, seperti itu, mau membuat pembelaan apa lagi? Belum lagi kaki ku menginjak sisa pencintaan kalian yang menjijikan ini, masih mau bilang tidak seperti yang aku pikirkan, jelas aku berpikir kalian habis bercinta lah, apa lagi ?" sewot ku menyambar ucapan Alan yang seakan tanpa dosa masih melakukan pembenaran atas kelakuan menjijikan mereka, sambil mengarah kan pandangan ku pada alat kontrasepsi bekas yang tergeletak di lantai itu.
Baru saja Alan membuka mulutnya dan hendak mendekati ku, namun aku segera mundur beberapa langkah,
"Jangan sentuh aku, tangan mu bekas kau gunakan untuk mencumbunya, jadi jauh jauh dari ku!" tolak ku sambil merentangkan tangan kanan ku agar Alan tak mendekat ke arah ku.
Alan menghentikan langkahnya menatap ku penuh rasa penyesalan, atau hanya akting atau apa lah aku tak tau, sementara Luna hanya diam duduk di ujung ranjang sambil tertunduk, tak mengatakan sepatah kata pun, bahkan tak ada seucap pun kata maaf yang dia ucapkan pada ku, namun kulihat ada air mata menetes dari pipinya lalu meluncur ke selimut yang kini menutpi tubuhnya, entah sedang menangisi apa.
Kalau ada yang bertanya bagaimana perasaan ku saat ini? jawabannya adalah hancur sehancur hancurnya, saat ini aku bukan hanya di selingkuhi kekasih yang sudah 3 tahun ini ku pacari, tapi juga aku di hianati sahabat ku yang sudah ku anggap sebagai saudara ku sendiri, dunia ku seakan runtuh, begini amat Tuhan memberikan cobaan pada ku, pikir ku.
Tapi aku hanya bisa menghela nafas panjang, seraya berkata dalam hati 'Terimakasih gusti, sudah menunjukan kebusukan dua manusia yang aku sayangi ini'
Mengingat persahabatan ku dengan Luna yang sudah sedekat itu, dan hubngan ku dengan Alan yang sudah selama itu, aku hanya bisa berkata seperti ni pada mereka,
"Alan, Luna terima kasih sudah pernah menjadi bagian terindah dan bagian terperih di hidup ku, aku tak marah pada kalian, aku hanya kecewa, dan aku hanya minta satu pada kalian, anggap kita tak pernah saling mengenal satu sama lainnya, di antara kita bertiga mulai sekarang sampai ke depannya kita orag asing!" kata ku.
Luna mengangkat wajahnya sepertinya dia terkejut dengan keputusan ku, begitu pun Alan, mereka berdua ternganga mendengar apa yang aku ucapkan, bahkan tangis Luna kini sudah pecah, aku juga tak tau apa yang sebenarnya dia tangisi, bukankah itu menguntungkan baginya, dia tak harus sembunyi sembunyi lagi berhubungan dengan kekasih ku, eh,, mantan kekasih ku sekarang ini.
Lalu aku harus apa, atau harus bagaimana? Apa aku harus menangis sambil mengamuk seperti video yang sering aku lihat di instagram?
Atau aku harus menangis pilu lalu di jadikan status facebook agar seluruh dunia tau kalau aku sedang patah hati saat ini, lalu jutaan netizen membela ku dan menghujat mereka? Ah,,, sepertinya itu bukan aku.
Seperti itu saja sudah cukup, ya,,, cukup tidak usah lagi mengenal mereka, karena kalau aku masih berhubungan dengan mereka, aku akan semakin sakit.Sesederhana itu cara ku menyelesaikan masalah dengan dua manusia itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Hasrie Bakrie
Mampir ya
2023-03-02
0
Azizah az
mampir nih teteh
2022-09-08
1