Cinta Yang Tak Utuh
Qiara dengan semangat menyiapkan masakan kesukaan Thoriq, suaminya yang malam ini akan pulang dari kampung halaman di Jawa Tengah.
Setelah meminta izin pada atasannya, Qiara pulang dan mampir ke supermarket membeli semua bahan untuk membuat soto ayam dan perkedel favorit suaminya. Tidak lupa ia memesan sate di langganan.
Sudah seminggu ini Thoriq berada di kampung halaman untuk menengok Kakek Hasan dan Nenek Farida. Thoriq dibesarkan oleh kakek neneknya setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan bis sewaktu dirinya masih kecil.
Qiara menengok ke jam di dinding. Perkiraannya Thoriq akan sampai sebelum maghrib. Setelah menata meja makan, Qiara membersihkan badan. Memakai baju rumah yang lucu dan sexy untuk menyambut laki-laki yang telah menjadi suaminya selama satu tahun ini.
***
Tokoh;
Qiara Anjani, seorang interior desainer muda berbakat berusia 26 tahun. Di awal karirnya, Qiara sudah berhasil menyelesaikan proyek-proyek besar seperti hotel dan rumah mewah. Parasnya yang cantik, garis wajah yang selalu ceria, dan ide-ide segar yang tidak biasa membuat banyak klien menyukai untuk memercayakan proyek mereka.
Thoriq Aditya laki-laki tampan berusia 30 tahun adalah seorang manajer di tempatnya bekerja. Sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang perhotelan. Walau yatim piatu dari kecil, Thoriq tidak pernah berkecil hati dan selalu mimpi besar. Sambil kuliah, Thoriq bekerja dan menempa dirinya untuk agar bisa menjadi orang sukses dan mebahagiakan kakek nenek yang sudah membesarkannya.
Cinta pada pandangan pertama, begitulah Thoriq selalu menceritakan awal muasal kisah cintanya dengan Qiara. Tidak lama ia meminta ijin pada Danu, abang kandung Qiara untuk melamar gadis pujaannya. Sama seperti dirinya Qiara pun telah kehilangan orang tuanya karena sakit. Thoriq dan Qiara merasa cocok satu sama lain sehingga akhirnya mereka mengikat diri dalam sebuah janji suci pernikahan.
***
Qiara meraih hapenya.
“Assalamualaykum, Sayang. Mas otw pulang ya, I love you and miss you so much. Always…”
Qiara tersenyum membaca pesan masuk dari suaminya.
“Waalaykumussalam… Mas, aku udah nunggui-nungguin. Kangen banget. Qia juga udah masakin soto ayam dan perkedel sama beli sate. Qia sholat dulu ya, can’t wait…”
“Iya cantik, kamu sholat dulu aja. In syaa Allah 30 menit Mas sampai.”
Qiara tersenyum. Semburat merah merekah di pipinya. Membayangkan kegiatan melepas rindu nanti malam bersama suaminya. Gegas ia mengambil wudhu dan menunaikan kewajibannya sebagai muslimah.
Setelah menyampaikan munajatnya, Qiara mendengar suara mobil masuk ke pekarangannya. Qiara melipat mukena lalu merapikan sajadah. Memulas sedikit wajahnya dan menyemprotkan minyak wangi kesukaan Thoriq. Dengan langkah bahagia menuju ke teras.
Begitu membuka pintu, Qiara mendapati wajah tampan yang sudah seminggu ini dirindukan. Qiara langsung memeluk erat suaminya, menyembunyikan wajah di dada bidang yang selalu memberinya kenyamanan.
Thoriq juga memeluk erat tubuh mungil istrinya. Wanita yang dirindukan siang malam. Wanita yang menjadi sumber kebahagiaan sejak mereka berkenalan.
“Apakabar, Qia, sayang? Mas kangen banget.”
“Qia juga kangen sama Mas.” Mereka menautkan bibir dengan mesra hingga tiba-tiba Qiara menyadari bahwa suaminya tidak datang sendirian. Qiara melepaskan bibirnya dari Thoriq, menatap sosok wanita yang berdiri di belakang Thoriq.
“Kamu … kamu Hanna bukan, ya? Anaknya Bude Uki?”
“Iya Mbak, saya Hanna.” Jawabnya sambil menunduk.
Qiara mengerutkan kening.
“Sayang, kita masuk dulu, yuk…” Ajak Thoriq sambil memegang bahu Qiara dan mengajaknya masuk.
“Hanna, kamu duduk di situ dulu. Mas mau bicara dengan Mba Qiara.”
“Baik, Mas,” balasnya lirih.
Thoriq tersenyum ke arah Qiara lalu menggandeng istrinya ke kamar. Rindu yang membuncah tak sanggup lagi ia tahan.
Sepasang mata berkaca-kaca memandang Thoriq dan Qiara yang masuk ke kamar.
Begitu menutup pintu, Thoriq segera menyerang Qiara dengan ciuman bertubi-tubi. Tak dipedulikan sorot mata Qiara yang masih bertanya dengan kehadiran Hanna.
Dengan lembut Thoriq membaringkan Qiara. Sepasang manusia yang saling mencinta itu melepas kerinduan yang sudah mereka tahan.
Di atas ranjang, Thoriq selalu memegang kendali. Sama halnya saat ini, Thoriq melepaskan hasrat dengan singkat namun memuaskan keduanya.
Setelah selesai, Thoriq menghadapkan Qiara ke arahnya. Mereka berdekapan dengan tubuh yang masih polos.
“I love you, Qiara Anjani.”
“I love you too Mas Thoriq Aditya.”
“Janji sama Mas, kita akan selalu bersama, ya… Mas nggak sanggup hidup tanpa kamu.”
“Kok ngomong gitu? Ada apa sih, Mas, kok Qia jadi takut…? Itu kenapa Hanna ikut ke Jakarta, Mas? Mau cari kerja ya?”
Thoriq merengkuh kepala Qiara dan membenamkan ke dadanya. Menciumi pucuk kepala dengan wangi shampo yang menjadi candu baginya. Pada kenyataannya Qiara adalah candu bagi Thoriq. Tempat dimana cintanya berlabuh.
“Sssh, jangan mikir lain. Aku cuma mau kita menikmati momen ini sebentar lagi.” Thoriq memejamkan mata merengkuh sebanyak-banyaknya kebahagiaan bersama wanita yang ia cintai.
“Mas, kita bersih-bersih dulu. Kamu pasti laper kan?”
“Mandi berdua?”
Qiara hanya tersenyum malu-malu dan pasrah ketika suaminya menggandeng ke kamar mandi.
Setelah satu kali permainan cinta, keduanya keluar kamar sambil bergandengan tangan. Membuat seorang wanita menatap nanar dengan menahan rasa iri.
Thoriq terus menggenggam tangan istrinya sambil melangkah ke sofa tamu tempat Hanna duduk menunggu. Langkahnya berat, namun mau tidak mau ia harus melalui hal ini.
“Hanna maaf ya nunggu lama, Mba ambilin minum dulu,” cetus Qiara dengan pembawaannya yang ceria.
Thoriq duduk di sofa panjang, sambil menghela napas. Qiara datang sambil membawa segelas es teh manis untuk Hanna.
“Diminum dulu Hanna,” ucap Qiara sambil duduk di samping suaminya.
Hanna tersenyum tipis lalu meminum es teh manis yang disuguhkan Qiara.
Thoriq menghela napas dalam.
“Qia, Bude Luki minggu lalu meninggal dunia…”
“Innaalillahi wa innailaayhi rooji’un…” Qiara menatap wajah Hanna, dilihatnya wanita itu menitikkan air mata. Qiara tahu persis rasanya kehilangan seorang ibu. Nalurinya membuatnya bangkit dari tempat duduk lalu berjalan dan memeluk Hanna.
“Yang ikhlas ya, Hanna, in syaa Allah Bude Uki sudah tenang di sana.”
Dengan canggung Hanna membalas pelukan Qiara lalu membalas pelan, “In syaa Allah, Mba. Terima kasih …”
Qiara kembali bertanya, “Terus rencana kamu sekarang gimana, Hanna?”
“Qia, duduk sini, ada yang harus Mas omongin..”
Qiara tersenyum menatap wajah Hanna lalu kembali duduk di samping suaminya.
Thoriq menarik napas dalam.
“Qia, kamu ingatkan, kan, Bude Uki, Kakek Hasan dan Nenek Halimah itu bersahabat?”
Qiara mengangguk.
“Dan kamu tahu, Hanna adalah anak tunggal dan hanya tinggal berdua dengan Bude Uki?”
Kembali Qiara mengangguk sambil sesekali melirik Hanna yang *******-***** ujung kerudungnya. Alis Qiara sedikit berkerut memperhatikan tingkah Hanna yang sepertinorqng salah tingkah.
“Qia, sesaat sebelum Bude meninggal, Bude menitipkan Hanna kepada kakek …”
Thoriq berhenti sejenak. Jantungnya berdegup kencang. Matanya menatap wajah cantik Qiara yang penuh tanda tanya.
“Kakek … Kakek menyetujui dan meminta … “ Thoriq tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Qiara tersenyum, sambil meraih jemari Thoriq.
“Kok tangan kamu dingin banget, Mas? Apa yang diminta Kakek?”
Thoriq menangkupkan tangannya ke wajah istrinya. “Sayang, kamu harus tau bahwa Mas sangat mencintai kamu … Kamulah satu-satunya wanita yang Mas inginkan …”
Hanna terisak membuat Qiara semakin bingung.
“Sebelum Bude meninggal, Hanna dan Mas … Hanna dan Mas menikah …”
Qiara menatap dalam netra suaminya. Netra yang kini membalas tatapannya penuh dengan rasa bersalah.
“Ah … mas bercanda kan? Mas mau prank aku, kan?”
Dengan sendu, Thoriq menggeleng kini netranya menunduk, tak mampu menatap istrinya.
Tubuh Qiara bergetar. Matanya bergantian melihat Hanna dan Thoriq.
Napasnya memburu.
“Mas sekali lagi aku tanya, Mas becanda, kan? Mas nggak beneran nikah lagi, kan?”
“Mba, kami berdua menikah sesaat sebelum Ibu meninggal. Saya minta maaf Mba Qia…” ucap Hanna.
Thoriq hendak menggenggam tangan Qiara, namun ditepis oleh istrinya.
“Qia …”
Qiara bangkit lalu setengah berlari ke kamar dengan menahan tangis. Laki-laki yang dirindukan, yang telah memberikan percintaan indah beberapa saat lalu, ternyata telah mengikatkan diri pada perempuan lain.
Thoriq mengejar Qiara.
“Qi … Qiara … “
Qiara membalikkan tubuhnya. Matanya menatap nyalang ke arah Thoriq.
“Aku akan masuk kamar. Aku harap, kamu dan istri barumu tidak ada di sini saat aku keluar.” Tanpa menunggu jawaban Thoriq, wanita yang sedang hancur itu masuk dan langsung mengunci pintu kamarnya.
Tubuhnya meluruh di balik pintu. Tulang-tulang tidak mampu menahan gelombang kekecewaan dan sakit hati yang ia rasakan. Qiara menangis tergugu.
“Astaghfirullahaladzim, astaghfirullahaladzim… ya Allah, sakit sekali ya Allah.” Qiara memegang dadanya, air mata bercucuran.
Thoriq menyandarkan kepalanya ke pintu.
“Qia, buka Qia. Please …” Air matapun mengalir. Tak sanggup dirinya mengingat tatapan kecewa dan sakit hati istrinya.
“Maafin, Mas, Qia, please jangan begini.”
“Pergilah dan bawa istri barumu!” Balas Qiara diantara tangisnya.
“Qia, Mas akan pergi, tapi Mas pasti kembali. Qia kita perlu bicara …
Qia, Qia …”
Qia mengabaikan panggilan suaminya.
“Maafkan Qia, Mas, tapi ini terlalu menyakitkan …”
Thoriq menatap pintu kamar yang kini menjadi pembatas antara dirinya dengan wanita pujaannya. Wanita yang telah ia hancurkan hatinya.
Tanpa disadari Hanna telah berdiri di belakangnya.
“Mas, sabar, in syaa Allah kita akan menjalani ini bersama-sama. Sabar dan istighfar, ya, Mas.”
Thoriq tidak membalas ucapan wanita yang telah sah menjadi istrinya. Sementara Qiara yang mendengar ucapan Hanna menahan amarah yang menggemuruh di dalam dada.
“Qia, Mas pergi mengantarkan Hanna ke penginapan, nanti Mas akan kembali. Maafin Mas, ya Qia. Mas cinta banget sama kamu.”
Hanna menghela napas. Memang usia pernikahannya baru beberapa hari, namun sekali pun suaminya belum mengucapkan kata cinta dan sayang padanya.
Bagi Hanna, Thoriq adalah idolanya semenjak ia masih kecil. Thoriq, pemuda kampung yang terkenal tampan, cerdas, dan atletis. Ketika Kakek Hasan bertanya apakah ia bersedia menikah dengan Thoriq, dengan malu-malu Hanna mengangguk.
Ia tahu Thoriq telah menikah dengan Qiara, wanita yang cantik dan sholihah. Terakhir ia melihat Qiara saat membawa ke kampung untuk pesta pernikahan. Mereka berdua terlihat saling mencintai dan sangat bahagia.
Walau menjadi istri kedua, Hanna bertekad keras membuat Thoriq mencintainya.
Thoriq berjalan perlahan mengambil tas Hanna lalu menuju mobil. Hanna mengikuti suaminya dari belakang.
Qiara mendengar suara mobil meninggalkan kediamannya. Perlahan ia bangkit. Kakinya lemas tanpa daya. Berulang kali ia terjatuh saat menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.
***
Thoriq menyetir mobilnya menuju apartemen milik temannya yang sudah ia sewa untuk tempat tinggal Hanna.
Sedikitpun ia tidak ingin menyakiti Qiara, namun ia juga tidak mungkin menolak permohonan kakek yang sampai berlutut saat memintanya menikahi Hanna.
Ia tidak pernah memiliki perasaan apapun untuk Hanna. Bahkan hingga saat Thoriq menyentuhnya, ia justru menyesal bukan kepalang karena telah mengkhianati Qiara. Thoriq bahkan tidak ingat penyatuan dengan istrinya padahal ialah yang pertama menyentuh Hanna.
“Mas, sabar ya, Hanna yakin Mba Qiara akan bisa menerima pernikahan kita. Hanna akan coba mengakrabkan diri. Hanna pasti akan bantu Mas.”
“Terima kasih, Hanna. Biarkan Mas dulu yang bicara dengan Mba Qiara.”
“Hanna cuma ingin Mas tahu kalau Hanna benar-benar belajar mencintai Mas. buat Hanna ini bukan pernikahan main-main.”
Thoriq menghela napas.
Hanna melirik suaminya.
“Mas, aku akan membuat kamu mencintaiku dan melupakan Mba Qiara …”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Masiah Cia
iiih katanya g cinta hanya mencintai qiara tp baru 1 Minggu pernikahan sdh me yentuh ....dasar
2023-09-02
1
Uthie
Intinya si Hana itu pasti nya bukan wanita baik2... Krn mau aja buat nyakitin kebahagiaan wanita lain 😡
2023-03-18
0
Windy Dewanti
dihh dasar pelakor gak tau diri si hanna
2023-03-02
1