Pov Thoriq
Jika ada yang mengatakan nikmat memiliki banyak istri, maka aku tidak akan segan mendebat orang itu. Entah apakah aku yang kelewat bucin pada Qiara atau sekadar bodoh. Tapi kehidupan dengan dua istri sungguh menyiksaku.
Dua tahun lalu aku jatuh cinta dengan seorang gadis bernama Qiara Anjani. Bukan saja karena wajahnya yang cantik, tapi pembawaannya yang riang dan ceria membuat aku selalu menantikan saat bertemu dengannya.
Tak lama aku melamarnya, tak sabar untuk menikahi dan menjadikan gadis itu milikku. Aku tahu banyak teman pria yang mencoba menjalin hubungan dengan Qiara, namun dia bukan gadis sembarangan. Qiara tidak mudah memenuhi ajakan teman laki-lakinya.
Ketika suatu hari aku memberanikan diri menanyakan alamat rumahnya, hampir pingsan rasanya ketika Qiara memberikannya. Dia tersenyum lembut lalu berlalu.
Malam Minggu aku berkunjung. Ternyata Qiara tinggal bersama kakak laki-lakinya, seorang dokter di sebuah rumah sakit. Sama seperti aku, orang tua Qiara sudah berpulang. Bedanya aku diasuh kakek dan nenek, sementara Qiara dan Dhanu, kakaknya hampir bisa dikatakan mereka berjuang hanya berdua.
Ayah Qiara yang juga seorang dokter meninggalkan bekal yang cukup. Dhanu menjadi wali sekaligus pelindung untuk Qiara ketika ayah mereka meninggal. Usia mereka berdua terpaut delapan tahun.
Qiara mengatakan bahwa jika kakaknya setuju, maka ia mau pergi denganku. Gugup rasanya dipandang oleh Dhanu yang tujuan hidupnya adalah melindungi adiknya. Kemampuan mendiagnosis penyakit diterapkan padaku. Ia menanyakan padaku hingga hal terkecil, seperti kapan pertama aku berciuman. Apakah aku pernah berhubungan dengan wanita lain.
Entah kenapa aku tidak keberatan dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Justru aku belajar jika suatu saat aku memiliki anak perempuan, begitulah aku akan melindunginya.
Akhirnya Dhanu memberikan lampu hijau. Tiga bulan setelah mengenalnya, aku yakin dialah wanita terbaik untukku. Aku mengundang Kakek dan Nenek ke Jakarta. Mereka pun langsung menyukai Qiara dan menyetujui hubungan kami. Bahkan kakek meminta kami untuk tidak lama-lama berpacaran. “Takut kebablasan,” begitu nasihat kakek yang sangat kuhormati.
Walau kami dari keluarga yang berkecukupan, aku dan Qiara tidak ingin membebani Kakek dan Mas Dhanu dengan biaya pernikahan. Kami sedikit menunda agar cukup dana untuk mengadakan walimah pernikahan.
Kami bersyukur rejeki kami selalu dimudahkan. Dari proyek-proyek interior desain, Qiara banyak mendapat bonus sehingga kami sanggup membeli rumah cukup untuk keluarga muda, di lingkungan perumahan yang nyaman. Kebetulan juga sang pemilik rumah membutuhkan dana cepat.
Hasil kerja kerasku kami alokasikan untuk membeli kendaraan dan menambah dana untuk pernikahan. Awalnya Dhanu tidak mau menerima dana dariku, menurutnya ayah mereka telah menyiapkan dana pesta pernikahan yang sangat cukup untuk anak perempuan satu-satunya. Akhirnya aku menyimpan sebagai tabungan dan tentunya hotel romantis di Bali tempat kami berbulan madu.
Hari pernikahanku adalah hari yang paling membahagiakan. Ijab qabul kuucapkan dengan lantang dan penuh kesungguhan menjadi imam bagi Qiaraku. Till Jannah.
Air mata menitik saat melihat istriku memasuki ruangan akad mengenaikan kebaya putih. Ketika ia malu-malu menatap netraku sebelum mencium tangan, jantungku berhenti berdetak. Mata bulat bening, wajah berbentuk hati, senyum manis dan tulus, tubuhnya yang mungil kini sah sudah jadi milikku.
Ingin rasanya aku mengajaknya lari keluar ruangan, membawanya ke kamar, mengurungnya berhari-hari untuk memadu cinta.
Dan itulah yang aku lakukan padanya saat kami berbulan madu. Tidak ada satu pun bagian tubuhnya yang luput dari sentuhan dan ciuman buasku. Kepuasan demi kepuasan kami reguk bersama, hingga lelah mendera. Dan kami mulai lagi percintaan kami.
Qiara, wanita itu adalah candu bagiku. Pembawaannya yang ceria dan easy going selalu memberikan warna dalam hari-hariku.
Hingga aku menikahi Hanna demi memenuhi permintaan kakek nenekku. Jika pengantin pria lain bisa jadi memikirkan kenikmatan punya dua istri, benakku hanya ada ketakutan bagaimana jika Qiara tidak bisa menerima keputusanku. Wanita mana yang mau dimadu.
Aku dan Hanna tidaklah akrab. Memang aku mengenalnya sebagai anak Pakde Haryo dan Bude Luki, namun bahkan bercakap pun kami tak pernah.
Sungguh mengherankan ketika Hanna menyetujui untuk menikah denganku. Harapanku adalah ia menolak. Untuk kedua kalinya aku mengucapkan akad nikah. Kali ini dengan setengah hati.
Perlu dua kali bagiku untuk mengulang akad karena nama Qiara yang kusebut. Kakek memegang pundakku. Baru kali ketiga aku bisa menyebut namanya Hanna Adinda. Detik itu pula aku sah menjadi suaminya. Detik itu pula aku mengkhianati cintaku pada Qiara.
Tak berapa lama setelah akad, Bude Luki meninggalkan kami selamanya. Sebagai suami Hanna, aku serta merta menjadi penanggung jawab untuk semua. Hanna selalu berdiri di sampingku. Tergadang tangannya menggapai tangan yang membuatku risih.
Setelah semua pelayat pulang, kakek menasihatiku untuk menjaga Hanna dan memperlakukannya sebagai istri. Aku hanya diam. Kakek juga berjanji akan ke Jakarta untuk menjelaskan dan meminta maaf pada Qiara. Berat buat Kakek dan Nenek yang juga menyayangi Qiara.
Kakek dan Nenek menyuruhku untuk tidur di rumah Bude karena kami sudah halal untuk bersama.
Malam pertama, aku memilih tidur terpisah dengan Hanna. Aku tahu istri keduaku memerlukan bahuku untuk menangis, tapi hatiku masih belum bisa menerimanya.
Rumah Bude cukup besar, aku memilih tidur di kamar tamu. Malam itu aku video call Qiara. Begitu melihat wajahnya terasa seribu belati menghujam ke tubuhku. Senyum lebarnya akan terganti dengan tangis kekecewaan.
Malam kedua, setelah pengajian selesai, aku membantu Hanna membereskan rumah. Hanna memberikan minuman, memang biasa di pagi dan malam hari orang di kampung minum jamu.
Entah kenapa aku merasa panas, napasku sesak setelah minum jamu buatan Hanna. Aku lupa apa yang terjadi, hingga keesokan harinya, aku dan Hanna terbangun di ranjang yang sama dengan tubuh polos. Kulihat bercak darah. Hanna menatapku malu-malu sementara aku panik bukan kepalang.
Tidak ada pelukan seperti yang biasa kuberikan pada Qiara selepas percintaan kami. Aku mengambil bajuku dan langsung pindah ke kamar tamu. Aku tahu Hanna kecewa, namun aku lebih kecewa lagi pada diriku. Bagaimana mungkin aku melakukannya dengan Hanna? Semudah itukah aku berpaling dari Qiara?
Aku hanya diijinkan cuti lima hari dan tidak ada niatan untuk tinggal lebih kama di kampung, walaupun Bude Luki sebetulnya sudah terhitung sebagai mertuaku. Ketika aku minta ijin pulang pada kakek dan nenek, Hanna bersikeras untuk ikut. Katanya sebagai istri dia harus ikut kemana suami pergi.
Perasaanku acak kadul. Di satu sisi merindukan Qiara tapi aku juga takut bertemu dengannya.
Kakek menasihati Hanna untuk menjaga perasaan Qiara. Bagaimanapun Hanna adalah istri kedua, tidak ada wanita yang rela berbagi suami. Hanna mengangguk, menatapku malu-malu. Tak ada getaran apapun di hatiku beda saat Qiara menatapku.
Dengan setengah hati aku memasukkan tas-tas Hanna ke mobil. Aku menyewa apartemen sahabatku, Fauzan, untuk satu bulan. Ia terkejut mendengar alasanku menyewa apartemen. Dia menasihatiku untuk berterus terang pada Qiara dari awal, apapun risikonya. Istri Fauzan, juga sahabat Qiara. Sebagai wanita, Ella mendadak sinis padaku di sisa percakapan kami.
Kami sudah dalam perjalanan selama 6 jam. Hanna tidak menunjukkan kesungkanannya. Ia menggandeng lenganku, sesekali mencium pipiku, yang membuatku jengah.
Sungguh aku tidak ingat apa yang aku lakukan bersamanya malam itu. Namun dia nampak bahagia dan ceria. Aku bahkan tidak menemukan jejak kesedihan karena Bude Luki meninggal.
Pada Hanna, aku mengingatkannya untuk tidak berkata apa-apa saat bertemu Qiara. Beberapa kali aku harus menghentikan kendaraan untuk menerima telepon Qiara. Mendengar suara Qiara, segala kegundahanku hilang sesaat. Aku melupakan ketakutan kehilangan istri tercintaku.
Begitu bertemu Qiara, aku menumpahkan segala rindu dan cintaku padanya. Aku lupa pada Hanna yang menunggu kami di ruang tamu. Bagaimana perasaan Hanna saat itu aku tak peduli. Aku ingin bercinta dengan istriku, karena mungkin itu kali terakhir dia akan menerimaku.
Kami melepas rindu dengan penuh napsu. Qiara, Qiara, hanya kamu yang membuatku bahagia. Aku ingin mengulangnya lagi dan lagi, namun justru Qiara yang mengingatkan bahwa Hanna menunggu di ruang tamu. Oh Qiara, jika saja kamu tahu bahwa wanita di luar sana adalah madumu.
Memberitahu Qiara bahwa aku telah menikahi Hanna adalah hal terburuk yang pernah aku lakukan seumur hidup. Hilang sudah binar ceria di matanya. Yang ada tinggal kepedihan dan kekecewaan.
Qiara tidak ingin aku dan Hanna berada di rumah itu. Aku mengajak Hanna ke apartemen yang sudah kusewa dengan niatan untuk segera kembali ke istri yang kucintai.
Tapi apa yang kulakukan. Aku terbujuk rayuannya untuk menemani hingga tertidur. Dan akhirnya kami melakukannya lagi.
Aku jatuh tertidur dan aku hanya ingat sedang bersama Qiara di tepi danau yang indah. Kubelai pucuk kepalanya, wajahnya, kubenamkan wajahku diceruk lehernya. Aku menikmati kebersamaan dengan Qiara. Dia memaafkan aku yang sudah mengkhianatinya. Aku bahagia.
Ternyata aku bermimpi dan malam itu aku melakukannya bukan dengan Qiara, malah dengan Hanna. Di kamar mandi aku membersihkan diri. Mungkin sebagai laki-laki aku dinilai tidak waras karena merutuki kesempatan tidur dengan dua wanita dalam satu malam. Terserah, mungkin aku memang sudah menjadi tidak waras karena perkawinanku dengan Hanna.
Aku berusaha menghindar dari Hanna yang terlihat tidak ingin aku pergi menemui Qiara. Ia berusa menahanku. Akhirnya saat ia membersihkan diri, aku buru-buru sholat Subuh dan pulang ke rumahku.
Hanna bilang apartemen adalah rumahku. Tidak Hanna … rumahku adalah dimana Qiara berada.
Aku bersyukur karena Qiara masih di rumah. Matanya merah dan wajahnya sembab. Aku memeluknya, dia tidak membalas pelukanku. Sedih rasanya …
Setengah memaksa, aku menceritakan bagaimana akhirnya aku menikahi Hanna. Kami menangis bersama. Hancurlah mimpi dan harapan yang kami bangun sejak janji suci itu terucap.
Qiara menanyakan apakah aku sudah menyentuh Hanna. Aku tidak ingin menyembunyikan apapun. Qiara terkulai dalam pelukanku. Kubopong tubuh mungilnya ke ranjang kami. Kubaringkan, kuoleskan minyak kayu putih. Qiara, Qiara, maafkan aku yang terlalu lemah menolak permintaan kakek.
Setelah siuman, aku kecup kening wanitaku. Tak kutemui sinar di netra yang selalu membuat hidupku bersemangat. Aku memintanya untuk bertahan bersamaku.
“Mas, Qia akan bertahan sekuat Qia …”
Aku berjanji untuk menjaga hatinya. Berusaha untuk membuatnya tetap berada di sisiku.
***
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Iqmahbundanya Arfan
dari sini kita udh tau sifat si hanalu🤮
2023-08-18
2
Windy Dewanti
nahh thoriq gak sadar apa yg terjadi malam itu. entah itu bercak darah beneran atau pura2 aja
2023-03-02
1
.
kurang asem selingkuhan sama suami kiara🙄
2022-09-30
0