Qiara melirik jam di dinding. Pukul satu malam. Puluhan telepon dan pesan dari suaminya berhenti pada pukul sepuluh.
“Ya Allah sakit sekali … “ Qiara memegang dada membayangkan apa yang mungkin dikerjakan suaminya saat ini bersama Hanna.
Dengan gontai ia memberesi lauk pauk yang sudah dimasak dengan penuh cinta.
Setelah beres ia masuk kamar mandi untuk membersihkan badan sekali lagi. Mengingat kemungkinan Thoriq tengah bergumul dengan Hanna setelah sebelumnya bercinta dengannya membuat Qiara jijik.
Setelah selesai, Qiara duduk di sisi tempat tidur, memandang fotonya berdua dengan Thoriq. Keduanya tertawa bahagia.
“Apakah kamu mencintainya, Mas? Apakah benar-benar tidak ada orang lain yang bisa dinikahkan dengan Hanna kecuali kamu, Mas? Kenapa kakek dan nenek memaksamu, padahal mereka juga selalu sayang dan baik padaku?”
Beribu pertanyaan dan kekecewaan berterbangan di benak Qiara.
Belum bisa tidur, Qiara memutuskan untuk melakukan sholat tahajjud, sekali lagi memohon kekuatan kepada Allah SWT.
***
Hanna menikmati wajah Thoriq yang tidur sangat pulas. Tidak ada niatan untuk membangunkan supaya Thoriq bisa menemui Qiara.
Laki-laki itu tidur dengan mulut sedikit terbuka. Semenjak menikah dua hari lalu, baru satu kali Thoriq menyentuhnya. Itu pun setelah Hanna memberikan minuman jamu yang dibelinya dari pasar. Obat kuat kata Mbok Surti.
Walaupun Thoriq beberapa kaki menyebut nama Qiara namun Hanna menikmati setiap sentuhan laki-laki itu. Sensasi yang baru pertama kali ia rasakan. Bahkan saat Thoriq memasuki dirinya, rasa sakit itu dirasakan dengan jeritan penuh kenikmatan.
Dibelainya lagi pipi Thoriq menggunakan punggung jari. Ditelusuri wajahnya. Hidung yang mancung, alis tebal, tulang pipi tinggi, rahang kokoh, dagu terbelah.
Perlahan, Hanna mengecup bibir Thoriq yang menggodanya.
Thoriq bergerak.
“Qia, Mas cinta kamu,” gumam Thoriq sambil menggeser tubuhnya.
Hanna berhenti sejenak menatap wajah yang baru menyebut nama kakak madunya. Senyuman penuh arti terbit di wajah ayu wanita yang menjadi kembang di desanya.
Tangan Hanna perlahan menyelusup ke balik kaos Thoriq. Memainkan bulu-bulu halus di dada.
“Qia … ah,” Thoriq merespon sentuhan lembut jari-jari lentik lalu memeluk Hanna yang disangka Qia.
Hanna mendongakkan kepala, semakin berani mencium bibir, yang dibalas dengan antusias oleh suaminya.
Sengaja Hanna mematikan lampu kamar. Kini tangannya mulai mengarah ke area sensitif Thoriq. Hingga pertahanan pria itu runtuh.
Dengan sekali gerakan Thoriq merebahkan Hanna, mengungkungnya dan memberikan ciuman-ciuman di sekujur tubuh.
“Qia, Qia sayang …”
Hanna memejamkan mata. Mematikan rasa cemburu yang menyelusup. Ia fokus untuk hanya menikmati ciuman, sentuhan dari Thoriq.
Hingga akhirnya dua tubuh itu kembali menyatu. Setelah kelelahan, Thoriq menjatuhkan tubuh di samping Hanna. Merengkuh istri mudanya lalu mengecup pucuk kepalanya.
“I love you Qia, makasi ya udah bikin Mas puas …” gumamnya sebelum jatuh ke alam mimpi.
Hanna teraenyum penuh kemenangan. Kini ia tahu cara memuaskan suaminya. Wanita muda yang terengah-engah menempelkan wajahnya ke dada polos suaminya. Menghirup aroma maskulin.
“Bahkan wangi tubuhmu membuat aku tergila-gila, Mas …”
Hanna mengusap perutnya.
“Semoga tumbuh benih di sini, agar Mas Thoriq tidak akan melepaskanku …”
***
Qiara menengok ke arah jam di nakas. Pukul 2.30. Jantungnya tidak berhenti berdegup karena gelombang kecemburuan dan kekecewaan yang menghempas dadanya bertubi-tubi.
Ia merebahkan kepalanya. Dirabanya bantal yang biasa dipakai Thoriq.
“Kita tidak akan pernah sama lagi, Mas…”
***
Thoriq terbangun mendengar bunyi adzan Subuh dari hapenya. Ia merasa ada tubuh yang memeluk tubuhnya.
“Qia, bangun yuk, kita bersih-bersih terus sholat,” ucapnya sambil terus membelai pundak polos itu. Tangannya meraih night lampu di nakas dan menyalakannya.
Mata terbelalak melihat dirinya dan Hanna sama-sama polos.
“Mas,” sapa Hanna dengan suara manja.
Thoriq menahan kekecewaan pada dirinya. Berarti semalam ia tidak pulang ke Qiara dan malah menggauli Hanna. Walau tidak salah, namun ia tidak bisa membayangkan perasaan Qiara yang sudah tahu pernikahannya dengan Hanna.
Thoriq menatap netra Hanna menggeser tubuh polos wanita itu, menutupinya dengan selimut lalu berjalan ke kamar mandi.
Hanna segera bangun dan menghambur ke arahnya.
“Makasi buat semalam, Mas bikin Hanna benar-benar seperti wanita paling beruntung di dunia. Hanna sayang, Mas. Hanna siapin buat mandi Mas dulu, ya…”
“Hanna, nggak usah disiapin. Mas mau mandi sendiri, kamu siapin sarapan aja,” pinta Thoriq untuk membuat Hanna meninggalkannya.
“Siap! Hanna akan buat sarapan paling enak buat suamiku tercinta.” Hanna jinjit lalu mengecup bibir suaminya. Thoriq tersenyum tipis.
Setelah memasuki kamar mandi, Thoriq mengusap wajahnya dengan kasar.
“Qia, Qia, apa yang sudah Mas lakukan? Maafin Mas.” Air mata menetes menyadari bahwa ia telah menghancurkan perasaan Qiara.
Thoriq berjalan ke shower menyalakan air dingin lalu berdiri di bawahnya. Wajahnya tertunduk. Tangannya terkepal memukul dinding kamar mandi.
“Qia, Qia, apakah kamu masih mau menerima Mas?” Isaknya. Tak ada bekas kenikmatan bersama Hanna yang diingatnya. Hanya ada rasa bersalah yang sekali lagi menyelip masuk ke rongga hatinya.
Segera ia melaksanakan ritual mandi wajib. Mengenakan pakaian yang sudah dibawanya lalu keluar.
Aroma telor dadar memenuhi seluruh penjuru apartemen.
“Mas, subuh bareng yuk. Tunggu Hanna cepat kok mandinya,” ucap Hanna dengan ceria.
Thoriq mengangguk, ia menduga Hanna pasti akan menahannya sementara ia sudah tak sabar menemui Qiara. Begitu pintu kamar mandi tertutup, Thoriq dengan segera menggelar sajadah dan menjalankan kewajiban pagi hari.
Ia meninggalkan kartu ATM dan mengirimkan pesan ke hape Hanna.
“Hanna, Mas harus pulang ke Mba Qiara. Ini ada kartu ATM untuk pegangan kamu. Pinnya 242424. Mas minta kamu mengerti keadaan Mas yang harus bertemu Mba Qiara. Assalamualaykum…”
Gegas Thoriq keluar apartemen menuju parkiran mobil dan memacunya ke rumah.
“Mas, mas, Hanna lupa bawa daleman. Boleh tolong ambilin?” Hanna berseru dari dalam kamar mandi. Berharap Thoriq mengambilkan dan ia akan menggoda dengan tubuh polos yang masih basah.
“Mas …”
Hanna membuka pintu kamar mandi. Ia tidak mendapati suaminya. Ia melihat kartu ATM di tempat tidur. Dengan mengernyit ia melingkarkan handuk lalu ke luar.
“Mas, kamu lagi sarapan? Hanna udah buatin telor dadar sama roti panggang. Ada susu hangat juga,” Hanna berjalan keluar dengan hanya menggunakan handuk.
Hanna melayangkan pandangan, namun suaminya tidak nampak. Ia segera mengambil hape dan membaca pesan.
“Aaaaaarg! Tenang Hanna, kamu harus main cantik…”
Setelah berpikir, Hanna membalas pesan Thoriq.
“Waalaykumussalam. Hanna ngerti, Mas. Maaf semalam Hanna nggak bangunin Mas karena kelihatan cape banget. Semoga semua baik-baik. Hanna ijin jalan-jalan sekitar apartemen. Semoga Allah selalu melindungi Mas ..”
Thoriq melihat pesan masuk dari Hanna. Ia memutuskan untuk tidak membukanya. Fokusnya hanya ke Qiara. Jika Qiara sudah ke kantor, maka ia akan menyusul. Tekadnya bulat, tidak ingin kehilangan Qiara.
Dua puluh menit, Thoriq lega melihat mobil Qiara masih ada di garasi.
“Assalamualaykum, Qia,” ucap Thoriq begitu membuka pintu dengan kunci yang dibawanya.
Dilihatnya sosok yang ingin ditemui dari semalam sudah bersiap ke kantor. Kerudung berwarna pink senada dengan gamis berwarna pastel dengan motif bunga-bunga.
“Qia … Mas …”
Thoriq menghentikan langkah melihat mata Qiara yang bengkak dan wajah yang sembab.
“Waalaykumussalam …” jawab Qiara lirih. Hatinya semakin perih melihat Thoriq yang sudah mandi dengan rambut yang masih basah.
“Qia maafin Mas …” Thoriq memeluk tubuh istri yang sangat dicintainya. Qiara membiarkan tanpa membalas.
“Qia, tolong peluk Mas … please …”
“Aku nggak bisa, Mas …”
Thoriq melepas pelukan lalu menangkup tangannya ke wajah Qiara.
“Qia, maafin.”
Qiara menghela napas.
“Mas nggak kuat melihat kamu seperti ini. Tapi Mas tahu ini semua karena Mas. Qia, kita bicara ya …”
Thoriq mengecup kening Qiara dengan penuh cinta.
“Qia, kamu bisa ijin datang telat? Kita harus bicara. Mas tadi udah telepon kantor. Nanti Qia berangkat sama Mas aja.” Thoriq menatap lembut netra istrinya. Mengusap sisa bulir air mata yang masih membasahi bulu mata lentik. Mata teduh yang kini penuh luka dan kekecewaan.
Thoriq menggandeng istrinya ke sofa depan TV. Apapun itu, ia harus menceritakan semua pada Qiara.
“Sayang, Mas akan ceritakan semuanya. Ini pasti menyakitkan, tapi Mas mohon, bertahanlah. Pukulah Mas, cakar Mas … Mas ikhlas. Walau Mas tahu itu semua tidak bisa membalikkan keadaan.”
Jantung Qiara kembali berdegup. Dirinya paham bahwa cepat atau lambat harus bicara dengan Thoriq. Tak ada gunanya menghindar dari permainan takdir bahwa suaminya kini memiliki dua istri.
“Waktu Mas sampai di kampung, semua sedang kumpul di rumah Bude Luki. Mas dengar Bude menitipkan Hanna ke kakek. Keesokan hari, kakek bicara dengan Mas. Menanyakna bagaimana sebaiknya memenuhi permintaan Bude Luki. Mas mengatakan bahwa Hanna sudah besar, seharusnya bisa mulai berdiri sendiri. Toh Hanna sudah lulus kuliah jadi bisa cari kerja.”
Thoriq memejamkan mata sambil
Flash back on …
“Nanti Mas telepon lagi ya, Qia. Kamu hati-hati nyetirnya. In syaa Allah, Kamis sampai rumah lagi …”
“Iya Mas, hati-hati, salam buat kakek dan nenek. Qia udah kangen. Next time Qia ikut…”
“In syaa Allah, Sayang. Qia, udah dulu ya kakek sama nenek dateng nih. I love you, Qiara, assalamualaykum.”
“Waalaykumussalam, Mas.”
Thoriq meletakkan hape lalu mengambil nampan yang dibawa nenek. Ada kopi dan pisang goreng di sana.
“Thoriq, alhamdulillah, kamu bisa ke sini. Kakek dan nenek udah rindu, sama seperti kami rindu sama Qia,” ucap kakek sambil menyeruput kopi manis.
“Qia kirim salam buat kakek dan nenek. Next time Qia akan ikut pulang juga.”
“In syaa Allah. Thoriq, ada sesuatu yang ingin kakek dan nenek bicarakan. Mengenai Hanna.”
Thoriq masih asik menikmati legitnya pisang goreng dan kopi manis. Dia tidak terlalu mengenal Hanna karena umur mereka yang terpaut jauh.
“Bude Luki sudah parah dan sudah berulang kali menitipkan Hanna kepada kami. Sementara kakek dan nenek sudah tua. Kami sudah tidak ada lagi energi untuk menjaga Hanna.”
“Memang harus dijaga seperti apa Kek. Hanna kan sudah besar, sudah lulus kuliah,” ulas Thoriq.
“Nah itulah, Hanna bukan lagi anak kecil. Sekarang ia adalah seorang wanita dewasa. Kembang desa. Thoriq, kakek tidak oernah meminta sesuatu padamu. Permintaan kakek ini mungkin berat, tapi kakek mohon kamu menyetujuinya.”
Thoriq menatap kakeknya.
“Thoriq, kakek dan nenek meminta kesediaan kamu untuk menikahi Hanna.”
Thoriq tercekat.
“Kek, Nek… ini main-main kan?”
Nenek mengambil tangan Thoriq dan mengelusnya lembut.
“Thoriq, mungkin tidak ingat siapa ayah Hanna. Pakde Haryo adalah orang yang berjasa membangun usaha bersama kakek. Bahkan tanpa Pakde Haryo maka usaha kakek tidak akan makmur seperti sekarang.”
“Dari dulu, Pakde Haryo pernah meminta kakek untuk menjodohkan Hanna dengan kamu. Tapi ketika kamu mengenalkan Qiara, kakek dan nenek mengurungkan niat karena melihat kamu sangat mencintai istrimu.”
“Kek, Nek, mohon maaf, tapi Thoriq tidak ingin menikah dengan siapapun kecuali Qiara. Thoriq sangat mencintai Qiara.”
“Thoriq, kamu tau kan Hanna itu sebatang kara, dia tidak punya saudara satu pun.”
“Tapi bukan berarti Thoriq harus menikahi Hanna, Kek. Jika masalah uang, Thoriq bisa mengirim tiap bulan sampai Hanna bekerja melalui Nenek.”
Terdengar seseorang mengetuk pintu.
“Pak Hasan, cepat ke rumah Bu Luki, sudah semakin kritis!” Terdengar suara laki-laki berteriak.
“Astaghfirullah!”
Kakek, nenek, diikuti Thoriq bergegas ke rumah Bude Luki yang tidak jauh dari rumah mereka.
Setibanya, kakek dan nenek langsung masuk ke kamar Bude Luki. Thoriq menunggu di luar sambil membaca yasin bersama warga desa.
Keluarga Kakek Hasan dan Bude Luki memang terkenal dermawan dan selalu siap membantu warga desa. Sehingga jika dalam kesulitan, warga desa juga tidak pamrih untuk langsung membantu.
“Thoriq …” Panggil nenek.
Pria itu mengernyit, merasa tidak enak terhadap apa yang akan terjadi.
“Nak Thoriq …” Panggil Bude Luki lirih.
“Ya Bude…”
“Bude ingin menitipkan Hanna pada Nak Thoriq. Anak bude sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Menikahlah dengan Hanna, ini permintaan terakhir Bude.”
“Bude, Thoriq tidak ingin …”
Tiba-tiba kakek berlutut di depan Thoriq.
“Thoriq, kakek rela berlutut memohon pada kamu. Menikahlah dengan Hanna. Tolong kakek menjaga amanah Haryo dan Luki…”
“Kakek, bangun …”
“Nenek juga mohon, Nenek tau ini pasti menyakitkan untuk Qiara, tapi Nenek akan meminta maaf dan menjelaskan…”
“Kakek, nenek jangan seperti ini, Thoriq mohon …” Pria itu dilanda kepanikan.
“Thoriq, Hanna tidak ada siapa-siapa, Bude mohon …”
“Thoriq, kakek dan nenek akan terus berlutut sampai kamu mengabulkan permintaan kami …”
Thoriq memejamkan mata. Terbayang rasa sakit yang akan dia berikan pada istri tercintanya. Namun menolak permintaan kakek dan nenek yang telah membesarkannya juga sungguh berat.
“Nak… “
“Baiklah, Bude…”
“Alhamdulillah, mas Hasan, apakah bersedia jadi wali nikah untuk Hanna?”
Flash back off…
***
Air mata kembali membasahi wajah cantik Qiara. Setiap bulir bagaikan pisau tajam yang menusuk hati Thoriq.
“Qiara, maafin Mas sudah menghancurkan mimpi kita. Tapi Mas mohon Qia, jangan pernah tinggalin, Mas … janji ya, Sayang …”
Qiara bergeming. Sesekali kepalanya menggeleng, mengusir pedih.
“Qia, Qia …” Thoriq merengkuh tubuh Qiara memeluknya erat.
“Jangan pernah tinggalin, Mas, ya. Mas juga bingun mesti gimana Qia… cuma kamu kepastian yang Mas punya …”
Qiara menangis, demikian pula Thoriq. Cinta yang mereka miliki kini hancur berkeping. Menyisakan sejuta kecewa dan ketakutan.
Thoriq membelai lembut kepala Qiara yang tertutup kerudung. Dibenamkan wajah di pundak wanitanya.
Qiara mengurai pelukannya. Matanya menatap sendu ke wajah Thoriq.
“Mas … apakah Mas sudah menyentuh Hanna?”
“Qia …”
Tangis Qia kembali pecah. Thoriq ingin memeluk namun ditepis oleh Qiara.
“Mas, jangan sentuh Qia, please …” Pinta Qia di antara sedu sedannya.
“Jangan Qia, Mas mohon … jangan jijik sama Mas…”
Qiara terus mendorong Thoriq.
“Qia benci Mas Thoriq, pergi! Qia bilang pergi!”
Qiara berlari ke arah kamar namun dikejar oleh Thoriq yang langsung mendekap erat dari belakang. Qiara meronta hingga kelelahan namun Thoriq tak kunjung melepaskannya.
“Qiara … Mas mohon, maafin Mas …”
“Semua sudah hancur, Mas. Hati Qia sakit. Semalam Qia nungguin dan Mas nggak pulang. Qia wanita dewasa, Qia ngerti apa yang pasti terjadi di antara Mas dan … Hanna. Qia sakit … mungkin lebih baik Qia yang mun …”
“Sssh, no Qia! Mas mending mati daripada hidup nggak sama kamu. Mas nggak mencintai Hanna. Hanya kamu, Qia. Tapi Hanna juga istri Mas, sejauh Mas menghindar, ada kalanya … ada kalanya hal itu terjadi …”
Mendengar perkataan suaminya, kaki Qiara tidak mampu menopang bobotnya.
“Qia!”
Thoriq membopong Qiara ke kamar. Dibaringkannya dengan lembut, dibukanya kerudung, lalu ia mengoleskan minyak kayu putih ke tengkuk dan kaki Qiara. Memijatnya dengan penuh kasih sayang dan kekhawatiran.
Tak berapa lama Qiara siuman. Thoriq menatapnya lalu menyodorkan teh manis hangat.
“Minumlah, Sayang …”
Qiara memegang cangkir dengan tangan yang gemetar.
“Ya Allah, sesakit ini rasanya dimadu. Apakah aku bisa ikhlas ya Allah?” Batin Qiara.
Thoriq mengambil cangkir dari tangan Qiara yang masih gemetaran.
“Ya Allah, maafkan aku yang telah menyakiti wanita yang sangat kucintai,” ucap Thoriq dalam hati.
Qia berusaha bangun.
“Mas, Qia harus berangkat. Ijinin Qia berangkat nggak sama Mas. Qia perlu waktu sendiri.”
“Enggak Qia. Mas nggak akan ijinin kamu nyetir sendiri. Berangkat sama Mas ya, please. Qia, Mas takut banget kamu tinggalin Mas.”
Qiara termenung.
“Semua udah nggak sama Mas. Kita nggak mungkin seperti dulu lagi. Qia belum rela membagi kamu dengan Hanna. Dan mungkin nggak akan pernah rela.”
Thoriq terdiam. Rasa takut meliputi hatinya.
“Apalagi membayangkan kamu menyentuh Hanna. Sakit, Mas …”
“Qia please … Hati dan cinta Mas hanya milik kamu. Cuma kamu. Tapi dengan kondisi sekarang walau Mas tidak pernah meminta sama Hanna, tapi hal itu sangat mungkin terjadi. Maafkan Mas …”
Thoriq merutuki kelemahannya yang tidak mampu menolak permintaan kakek, nenek dan Bude Luki hingga menorehkan luka pada Qiara.
Dengan lembut Thoriq menghapus air mata dari pipi Qiara.
“Mas minta kita menghadapi ini sama-sama. Mas juga nggak kebayang punya dua istri. Buat Mas, kamu adalah segalanya dan itu sudah sangat cukup. Mas mohon kebesaran hati kamu Qia …”
Ingin rasanya Qiara berteriak memaki takdir, namun semua tiada arti. Semua sudah terjadi.
“Mas, Qia akan bertahan sekuat Qia. Hanya saja Qia minta untuk tidak membawa Hanna ke sini. Qia belum sanggup melihat kalian berdua.”
Thoriq mengangguk. Dia bukanlah pria sadis yang mengajak istri mudanya untuk tinggal bersama istri tua.
“Qia harus kuat, Mas akan terus jagain Qia. Jagain perasaan Qia. Hati Mas sakit banget melihat Qia seperti ini. Sekali lagi, Mas minta maaf …”
Qia mengangguk lemah. Thoriq langsung merengkuh tibuh istrinya dan memeluknya erat-erat.
“I love you Qiara Anjani …”
Lidah Qiara terasa kelu untuk membalas ucapan cinta, walau hatinya masih merasakan cinta yang amat sangat. Cinta yang tak utuh lagi.
Bersambung …
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Kyla Kyla
tingalin qia saiganmu teelalu licik baik di luarnya aja
2025-02-04
1
Sri Darmayanti
udah gede Hanna..... ngapain dititipin.... wkkkk
2024-06-24
0
Sri Darmayanti
pergi Qia.... tinggalin
2024-06-24
0