Qiara dengan semangat menyiapkan masakan kesukaan Thoriq, suaminya yang malam ini akan pulang dari kampung halaman di Jawa Tengah.
Setelah meminta izin pada atasannya, Qiara pulang dan mampir ke supermarket membeli semua bahan untuk membuat soto ayam dan perkedel favorit suaminya. Tidak lupa ia memesan sate di langganan.
Sudah seminggu ini Thoriq berada di kampung halaman untuk menengok Kakek Hasan dan Nenek Farida. Thoriq dibesarkan oleh kakek neneknya setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan bis sewaktu dirinya masih kecil.
Qiara menengok ke jam di dinding. Perkiraannya Thoriq akan sampai sebelum maghrib. Setelah menata meja makan, Qiara membersihkan badan. Memakai baju rumah yang lucu dan sexy untuk menyambut laki-laki yang telah menjadi suaminya selama satu tahun ini.
***
Tokoh;
Qiara Anjani, seorang interior desainer muda berbakat berusia 26 tahun. Di awal karirnya, Qiara sudah berhasil menyelesaikan proyek-proyek besar seperti hotel dan rumah mewah. Parasnya yang cantik, garis wajah yang selalu ceria, dan ide-ide segar yang tidak biasa membuat banyak klien menyukai untuk memercayakan proyek mereka.
Thoriq Aditya laki-laki tampan berusia 30 tahun adalah seorang manajer di tempatnya bekerja. Sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang perhotelan. Walau yatim piatu dari kecil, Thoriq tidak pernah berkecil hati dan selalu mimpi besar. Sambil kuliah, Thoriq bekerja dan menempa dirinya untuk agar bisa menjadi orang sukses dan mebahagiakan kakek nenek yang sudah membesarkannya.
Cinta pada pandangan pertama, begitulah Thoriq selalu menceritakan awal muasal kisah cintanya dengan Qiara. Tidak lama ia meminta ijin pada Danu, abang kandung Qiara untuk melamar gadis pujaannya. Sama seperti dirinya Qiara pun telah kehilangan orang tuanya karena sakit. Thoriq dan Qiara merasa cocok satu sama lain sehingga akhirnya mereka mengikat diri dalam sebuah janji suci pernikahan.
***
Qiara meraih hapenya.
“Assalamualaykum, Sayang. Mas otw pulang ya, I love you and miss you so much. Always…”
Qiara tersenyum membaca pesan masuk dari suaminya.
“Waalaykumussalam… Mas, aku udah nunggui-nungguin. Kangen banget. Qia juga udah masakin soto ayam dan perkedel sama beli sate. Qia sholat dulu ya, can’t wait…”
“Iya cantik, kamu sholat dulu aja. In syaa Allah 30 menit Mas sampai.”
Qiara tersenyum. Semburat merah merekah di pipinya. Membayangkan kegiatan melepas rindu nanti malam bersama suaminya. Gegas ia mengambil wudhu dan menunaikan kewajibannya sebagai muslimah.
Setelah menyampaikan munajatnya, Qiara mendengar suara mobil masuk ke pekarangannya. Qiara melipat mukena lalu merapikan sajadah. Memulas sedikit wajahnya dan menyemprotkan minyak wangi kesukaan Thoriq. Dengan langkah bahagia menuju ke teras.
Begitu membuka pintu, Qiara mendapati wajah tampan yang sudah seminggu ini dirindukan. Qiara langsung memeluk erat suaminya, menyembunyikan wajah di dada bidang yang selalu memberinya kenyamanan.
Thoriq juga memeluk erat tubuh mungil istrinya. Wanita yang dirindukan siang malam. Wanita yang menjadi sumber kebahagiaan sejak mereka berkenalan.
“Apakabar, Qia, sayang? Mas kangen banget.”
“Qia juga kangen sama Mas.” Mereka menautkan bibir dengan mesra hingga tiba-tiba Qiara menyadari bahwa suaminya tidak datang sendirian. Qiara melepaskan bibirnya dari Thoriq, menatap sosok wanita yang berdiri di belakang Thoriq.
“Kamu … kamu Hanna bukan, ya? Anaknya Bude Uki?”
“Iya Mbak, saya Hanna.” Jawabnya sambil menunduk.
Qiara mengerutkan kening.
“Sayang, kita masuk dulu, yuk…” Ajak Thoriq sambil memegang bahu Qiara dan mengajaknya masuk.
“Hanna, kamu duduk di situ dulu. Mas mau bicara dengan Mba Qiara.”
“Baik, Mas,” balasnya lirih.
Thoriq tersenyum ke arah Qiara lalu menggandeng istrinya ke kamar. Rindu yang membuncah tak sanggup lagi ia tahan.
Sepasang mata berkaca-kaca memandang Thoriq dan Qiara yang masuk ke kamar.
Begitu menutup pintu, Thoriq segera menyerang Qiara dengan ciuman bertubi-tubi. Tak dipedulikan sorot mata Qiara yang masih bertanya dengan kehadiran Hanna.
Dengan lembut Thoriq membaringkan Qiara. Sepasang manusia yang saling mencinta itu melepas kerinduan yang sudah mereka tahan.
Di atas ranjang, Thoriq selalu memegang kendali. Sama halnya saat ini, Thoriq melepaskan hasrat dengan singkat namun memuaskan keduanya.
Setelah selesai, Thoriq menghadapkan Qiara ke arahnya. Mereka berdekapan dengan tubuh yang masih polos.
“I love you, Qiara Anjani.”
“I love you too Mas Thoriq Aditya.”
“Janji sama Mas, kita akan selalu bersama, ya… Mas nggak sanggup hidup tanpa kamu.”
“Kok ngomong gitu? Ada apa sih, Mas, kok Qia jadi takut…? Itu kenapa Hanna ikut ke Jakarta, Mas? Mau cari kerja ya?”
Thoriq merengkuh kepala Qiara dan membenamkan ke dadanya. Menciumi pucuk kepala dengan wangi shampo yang menjadi candu baginya. Pada kenyataannya Qiara adalah candu bagi Thoriq. Tempat dimana cintanya berlabuh.
“Sssh, jangan mikir lain. Aku cuma mau kita menikmati momen ini sebentar lagi.” Thoriq memejamkan mata merengkuh sebanyak-banyaknya kebahagiaan bersama wanita yang ia cintai.
“Mas, kita bersih-bersih dulu. Kamu pasti laper kan?”
“Mandi berdua?”
Qiara hanya tersenyum malu-malu dan pasrah ketika suaminya menggandeng ke kamar mandi.
Setelah satu kali permainan cinta, keduanya keluar kamar sambil bergandengan tangan. Membuat seorang wanita menatap nanar dengan menahan rasa iri.
Thoriq terus menggenggam tangan istrinya sambil melangkah ke sofa tamu tempat Hanna duduk menunggu. Langkahnya berat, namun mau tidak mau ia harus melalui hal ini.
“Hanna maaf ya nunggu lama, Mba ambilin minum dulu,” cetus Qiara dengan pembawaannya yang ceria.
Thoriq duduk di sofa panjang, sambil menghela napas. Qiara datang sambil membawa segelas es teh manis untuk Hanna.
“Diminum dulu Hanna,” ucap Qiara sambil duduk di samping suaminya.
Hanna tersenyum tipis lalu meminum es teh manis yang disuguhkan Qiara.
Thoriq menghela napas dalam.
“Qia, Bude Luki minggu lalu meninggal dunia…”
“Innaalillahi wa innailaayhi rooji’un…” Qiara menatap wajah Hanna, dilihatnya wanita itu menitikkan air mata. Qiara tahu persis rasanya kehilangan seorang ibu. Nalurinya membuatnya bangkit dari tempat duduk lalu berjalan dan memeluk Hanna.
“Yang ikhlas ya, Hanna, in syaa Allah Bude Uki sudah tenang di sana.”
Dengan canggung Hanna membalas pelukan Qiara lalu membalas pelan, “In syaa Allah, Mba. Terima kasih …”
Qiara kembali bertanya, “Terus rencana kamu sekarang gimana, Hanna?”
“Qia, duduk sini, ada yang harus Mas omongin..”
Qiara tersenyum menatap wajah Hanna lalu kembali duduk di samping suaminya.
Thoriq menarik napas dalam.
“Qia, kamu ingatkan, kan, Bude Uki, Kakek Hasan dan Nenek Halimah itu bersahabat?”
Qiara mengangguk.
“Dan kamu tahu, Hanna adalah anak tunggal dan hanya tinggal berdua dengan Bude Uki?”
Kembali Qiara mengangguk sambil sesekali melirik Hanna yang *******-***** ujung kerudungnya. Alis Qiara sedikit berkerut memperhatikan tingkah Hanna yang sepertinorqng salah tingkah.
“Qia, sesaat sebelum Bude meninggal, Bude menitipkan Hanna kepada kakek …”
Thoriq berhenti sejenak. Jantungnya berdegup kencang. Matanya menatap wajah cantik Qiara yang penuh tanda tanya.
“Kakek … Kakek menyetujui dan meminta … “ Thoriq tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Qiara tersenyum, sambil meraih jemari Thoriq.
“Kok tangan kamu dingin banget, Mas? Apa yang diminta Kakek?”
Thoriq menangkupkan tangannya ke wajah istrinya. “Sayang, kamu harus tau bahwa Mas sangat mencintai kamu … Kamulah satu-satunya wanita yang Mas inginkan …”
Hanna terisak membuat Qiara semakin bingung.
“Sebelum Bude meninggal, Hanna dan Mas … Hanna dan Mas menikah …”
Qiara menatap dalam netra suaminya. Netra yang kini membalas tatapannya penuh dengan rasa bersalah.
“Ah … mas bercanda kan? Mas mau prank aku, kan?”
Dengan sendu, Thoriq menggeleng kini netranya menunduk, tak mampu menatap istrinya.
Tubuh Qiara bergetar. Matanya bergantian melihat Hanna dan Thoriq.
Napasnya memburu.
“Mas sekali lagi aku tanya, Mas becanda, kan? Mas nggak beneran nikah lagi, kan?”
“Mba, kami berdua menikah sesaat sebelum Ibu meninggal. Saya minta maaf Mba Qia…” ucap Hanna.
Thoriq hendak menggenggam tangan Qiara, namun ditepis oleh istrinya.
“Qia …”
Qiara bangkit lalu setengah berlari ke kamar dengan menahan tangis. Laki-laki yang dirindukan, yang telah memberikan percintaan indah beberapa saat lalu, ternyata telah mengikatkan diri pada perempuan lain.
Thoriq mengejar Qiara.
“Qi … Qiara … “
Qiara membalikkan tubuhnya. Matanya menatap nyalang ke arah Thoriq.
“Aku akan masuk kamar. Aku harap, kamu dan istri barumu tidak ada di sini saat aku keluar.” Tanpa menunggu jawaban Thoriq, wanita yang sedang hancur itu masuk dan langsung mengunci pintu kamarnya.
Tubuhnya meluruh di balik pintu. Tulang-tulang tidak mampu menahan gelombang kekecewaan dan sakit hati yang ia rasakan. Qiara menangis tergugu.
“Astaghfirullahaladzim, astaghfirullahaladzim… ya Allah, sakit sekali ya Allah.” Qiara memegang dadanya, air mata bercucuran.
Thoriq menyandarkan kepalanya ke pintu.
“Qia, buka Qia. Please …” Air matapun mengalir. Tak sanggup dirinya mengingat tatapan kecewa dan sakit hati istrinya.
“Maafin, Mas, Qia, please jangan begini.”
“Pergilah dan bawa istri barumu!” Balas Qiara diantara tangisnya.
“Qia, Mas akan pergi, tapi Mas pasti kembali. Qia kita perlu bicara …
Qia, Qia …”
Qia mengabaikan panggilan suaminya.
“Maafkan Qia, Mas, tapi ini terlalu menyakitkan …”
Thoriq menatap pintu kamar yang kini menjadi pembatas antara dirinya dengan wanita pujaannya. Wanita yang telah ia hancurkan hatinya.
Tanpa disadari Hanna telah berdiri di belakangnya.
“Mas, sabar, in syaa Allah kita akan menjalani ini bersama-sama. Sabar dan istighfar, ya, Mas.”
Thoriq tidak membalas ucapan wanita yang telah sah menjadi istrinya. Sementara Qiara yang mendengar ucapan Hanna menahan amarah yang menggemuruh di dalam dada.
“Qia, Mas pergi mengantarkan Hanna ke penginapan, nanti Mas akan kembali. Maafin Mas, ya Qia. Mas cinta banget sama kamu.”
Hanna menghela napas. Memang usia pernikahannya baru beberapa hari, namun sekali pun suaminya belum mengucapkan kata cinta dan sayang padanya.
Bagi Hanna, Thoriq adalah idolanya semenjak ia masih kecil. Thoriq, pemuda kampung yang terkenal tampan, cerdas, dan atletis. Ketika Kakek Hasan bertanya apakah ia bersedia menikah dengan Thoriq, dengan malu-malu Hanna mengangguk.
Ia tahu Thoriq telah menikah dengan Qiara, wanita yang cantik dan sholihah. Terakhir ia melihat Qiara saat membawa ke kampung untuk pesta pernikahan. Mereka berdua terlihat saling mencintai dan sangat bahagia.
Walau menjadi istri kedua, Hanna bertekad keras membuat Thoriq mencintainya.
Thoriq berjalan perlahan mengambil tas Hanna lalu menuju mobil. Hanna mengikuti suaminya dari belakang.
Qiara mendengar suara mobil meninggalkan kediamannya. Perlahan ia bangkit. Kakinya lemas tanpa daya. Berulang kali ia terjatuh saat menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.
***
Thoriq menyetir mobilnya menuju apartemen milik temannya yang sudah ia sewa untuk tempat tinggal Hanna.
Sedikitpun ia tidak ingin menyakiti Qiara, namun ia juga tidak mungkin menolak permohonan kakek yang sampai berlutut saat memintanya menikahi Hanna.
Ia tidak pernah memiliki perasaan apapun untuk Hanna. Bahkan hingga saat Thoriq menyentuhnya, ia justru menyesal bukan kepalang karena telah mengkhianati Qiara. Thoriq bahkan tidak ingat penyatuan dengan istrinya padahal ialah yang pertama menyentuh Hanna.
“Mas, sabar ya, Hanna yakin Mba Qiara akan bisa menerima pernikahan kita. Hanna akan coba mengakrabkan diri. Hanna pasti akan bantu Mas.”
“Terima kasih, Hanna. Biarkan Mas dulu yang bicara dengan Mba Qiara.”
“Hanna cuma ingin Mas tahu kalau Hanna benar-benar belajar mencintai Mas. buat Hanna ini bukan pernikahan main-main.”
Thoriq menghela napas.
Hanna melirik suaminya.
“Mas, aku akan membuat kamu mencintaiku dan melupakan Mba Qiara …”
***
Qiara melirik jam di dinding. Pukul satu malam. Puluhan telepon dan pesan dari suaminya berhenti pada pukul sepuluh.
“Ya Allah sakit sekali … “ Qiara memegang dada membayangkan apa yang mungkin dikerjakan suaminya saat ini bersama Hanna.
Dengan gontai ia memberesi lauk pauk yang sudah dimasak dengan penuh cinta.
Setelah beres ia masuk kamar mandi untuk membersihkan badan sekali lagi. Mengingat kemungkinan Thoriq tengah bergumul dengan Hanna setelah sebelumnya bercinta dengannya membuat Qiara jijik.
Setelah selesai, Qiara duduk di sisi tempat tidur, memandang fotonya berdua dengan Thoriq. Keduanya tertawa bahagia.
“Apakah kamu mencintainya, Mas? Apakah benar-benar tidak ada orang lain yang bisa dinikahkan dengan Hanna kecuali kamu, Mas? Kenapa kakek dan nenek memaksamu, padahal mereka juga selalu sayang dan baik padaku?”
Beribu pertanyaan dan kekecewaan berterbangan di benak Qiara.
Belum bisa tidur, Qiara memutuskan untuk melakukan sholat tahajjud, sekali lagi memohon kekuatan kepada Allah SWT.
***
Hanna menikmati wajah Thoriq yang tidur sangat pulas. Tidak ada niatan untuk membangunkan supaya Thoriq bisa menemui Qiara.
Laki-laki itu tidur dengan mulut sedikit terbuka. Semenjak menikah dua hari lalu, baru satu kali Thoriq menyentuhnya. Itu pun setelah Hanna memberikan minuman jamu yang dibelinya dari pasar. Obat kuat kata Mbok Surti.
Walaupun Thoriq beberapa kaki menyebut nama Qiara namun Hanna menikmati setiap sentuhan laki-laki itu. Sensasi yang baru pertama kali ia rasakan. Bahkan saat Thoriq memasuki dirinya, rasa sakit itu dirasakan dengan jeritan penuh kenikmatan.
Dibelainya lagi pipi Thoriq menggunakan punggung jari. Ditelusuri wajahnya. Hidung yang mancung, alis tebal, tulang pipi tinggi, rahang kokoh, dagu terbelah.
Perlahan, Hanna mengecup bibir Thoriq yang menggodanya.
Thoriq bergerak.
“Qia, Mas cinta kamu,” gumam Thoriq sambil menggeser tubuhnya.
Hanna berhenti sejenak menatap wajah yang baru menyebut nama kakak madunya. Senyuman penuh arti terbit di wajah ayu wanita yang menjadi kembang di desanya.
Tangan Hanna perlahan menyelusup ke balik kaos Thoriq. Memainkan bulu-bulu halus di dada.
“Qia … ah,” Thoriq merespon sentuhan lembut jari-jari lentik lalu memeluk Hanna yang disangka Qia.
Hanna mendongakkan kepala, semakin berani mencium bibir, yang dibalas dengan antusias oleh suaminya.
Sengaja Hanna mematikan lampu kamar. Kini tangannya mulai mengarah ke area sensitif Thoriq. Hingga pertahanan pria itu runtuh.
Dengan sekali gerakan Thoriq merebahkan Hanna, mengungkungnya dan memberikan ciuman-ciuman di sekujur tubuh.
“Qia, Qia sayang …”
Hanna memejamkan mata. Mematikan rasa cemburu yang menyelusup. Ia fokus untuk hanya menikmati ciuman, sentuhan dari Thoriq.
Hingga akhirnya dua tubuh itu kembali menyatu. Setelah kelelahan, Thoriq menjatuhkan tubuh di samping Hanna. Merengkuh istri mudanya lalu mengecup pucuk kepalanya.
“I love you Qia, makasi ya udah bikin Mas puas …” gumamnya sebelum jatuh ke alam mimpi.
Hanna teraenyum penuh kemenangan. Kini ia tahu cara memuaskan suaminya. Wanita muda yang terengah-engah menempelkan wajahnya ke dada polos suaminya. Menghirup aroma maskulin.
“Bahkan wangi tubuhmu membuat aku tergila-gila, Mas …”
Hanna mengusap perutnya.
“Semoga tumbuh benih di sini, agar Mas Thoriq tidak akan melepaskanku …”
***
Qiara menengok ke arah jam di nakas. Pukul 2.30. Jantungnya tidak berhenti berdegup karena gelombang kecemburuan dan kekecewaan yang menghempas dadanya bertubi-tubi.
Ia merebahkan kepalanya. Dirabanya bantal yang biasa dipakai Thoriq.
“Kita tidak akan pernah sama lagi, Mas…”
***
Thoriq terbangun mendengar bunyi adzan Subuh dari hapenya. Ia merasa ada tubuh yang memeluk tubuhnya.
“Qia, bangun yuk, kita bersih-bersih terus sholat,” ucapnya sambil terus membelai pundak polos itu. Tangannya meraih night lampu di nakas dan menyalakannya.
Mata terbelalak melihat dirinya dan Hanna sama-sama polos.
“Mas,” sapa Hanna dengan suara manja.
Thoriq menahan kekecewaan pada dirinya. Berarti semalam ia tidak pulang ke Qiara dan malah menggauli Hanna. Walau tidak salah, namun ia tidak bisa membayangkan perasaan Qiara yang sudah tahu pernikahannya dengan Hanna.
Thoriq menatap netra Hanna menggeser tubuh polos wanita itu, menutupinya dengan selimut lalu berjalan ke kamar mandi.
Hanna segera bangun dan menghambur ke arahnya.
“Makasi buat semalam, Mas bikin Hanna benar-benar seperti wanita paling beruntung di dunia. Hanna sayang, Mas. Hanna siapin buat mandi Mas dulu, ya…”
“Hanna, nggak usah disiapin. Mas mau mandi sendiri, kamu siapin sarapan aja,” pinta Thoriq untuk membuat Hanna meninggalkannya.
“Siap! Hanna akan buat sarapan paling enak buat suamiku tercinta.” Hanna jinjit lalu mengecup bibir suaminya. Thoriq tersenyum tipis.
Setelah memasuki kamar mandi, Thoriq mengusap wajahnya dengan kasar.
“Qia, Qia, apa yang sudah Mas lakukan? Maafin Mas.” Air mata menetes menyadari bahwa ia telah menghancurkan perasaan Qiara.
Thoriq berjalan ke shower menyalakan air dingin lalu berdiri di bawahnya. Wajahnya tertunduk. Tangannya terkepal memukul dinding kamar mandi.
“Qia, Qia, apakah kamu masih mau menerima Mas?” Isaknya. Tak ada bekas kenikmatan bersama Hanna yang diingatnya. Hanya ada rasa bersalah yang sekali lagi menyelip masuk ke rongga hatinya.
Segera ia melaksanakan ritual mandi wajib. Mengenakan pakaian yang sudah dibawanya lalu keluar.
Aroma telor dadar memenuhi seluruh penjuru apartemen.
“Mas, subuh bareng yuk. Tunggu Hanna cepat kok mandinya,” ucap Hanna dengan ceria.
Thoriq mengangguk, ia menduga Hanna pasti akan menahannya sementara ia sudah tak sabar menemui Qiara. Begitu pintu kamar mandi tertutup, Thoriq dengan segera menggelar sajadah dan menjalankan kewajiban pagi hari.
Ia meninggalkan kartu ATM dan mengirimkan pesan ke hape Hanna.
“Hanna, Mas harus pulang ke Mba Qiara. Ini ada kartu ATM untuk pegangan kamu. Pinnya 242424. Mas minta kamu mengerti keadaan Mas yang harus bertemu Mba Qiara. Assalamualaykum…”
Gegas Thoriq keluar apartemen menuju parkiran mobil dan memacunya ke rumah.
“Mas, mas, Hanna lupa bawa daleman. Boleh tolong ambilin?” Hanna berseru dari dalam kamar mandi. Berharap Thoriq mengambilkan dan ia akan menggoda dengan tubuh polos yang masih basah.
“Mas …”
Hanna membuka pintu kamar mandi. Ia tidak mendapati suaminya. Ia melihat kartu ATM di tempat tidur. Dengan mengernyit ia melingkarkan handuk lalu ke luar.
“Mas, kamu lagi sarapan? Hanna udah buatin telor dadar sama roti panggang. Ada susu hangat juga,” Hanna berjalan keluar dengan hanya menggunakan handuk.
Hanna melayangkan pandangan, namun suaminya tidak nampak. Ia segera mengambil hape dan membaca pesan.
“Aaaaaarg! Tenang Hanna, kamu harus main cantik…”
Setelah berpikir, Hanna membalas pesan Thoriq.
“Waalaykumussalam. Hanna ngerti, Mas. Maaf semalam Hanna nggak bangunin Mas karena kelihatan cape banget. Semoga semua baik-baik. Hanna ijin jalan-jalan sekitar apartemen. Semoga Allah selalu melindungi Mas ..”
Thoriq melihat pesan masuk dari Hanna. Ia memutuskan untuk tidak membukanya. Fokusnya hanya ke Qiara. Jika Qiara sudah ke kantor, maka ia akan menyusul. Tekadnya bulat, tidak ingin kehilangan Qiara.
Dua puluh menit, Thoriq lega melihat mobil Qiara masih ada di garasi.
“Assalamualaykum, Qia,” ucap Thoriq begitu membuka pintu dengan kunci yang dibawanya.
Dilihatnya sosok yang ingin ditemui dari semalam sudah bersiap ke kantor. Kerudung berwarna pink senada dengan gamis berwarna pastel dengan motif bunga-bunga.
“Qia … Mas …”
Thoriq menghentikan langkah melihat mata Qiara yang bengkak dan wajah yang sembab.
“Waalaykumussalam …” jawab Qiara lirih. Hatinya semakin perih melihat Thoriq yang sudah mandi dengan rambut yang masih basah.
“Qia maafin Mas …” Thoriq memeluk tubuh istri yang sangat dicintainya. Qiara membiarkan tanpa membalas.
“Qia, tolong peluk Mas … please …”
“Aku nggak bisa, Mas …”
Thoriq melepas pelukan lalu menangkup tangannya ke wajah Qiara.
“Qia, maafin.”
Qiara menghela napas.
“Mas nggak kuat melihat kamu seperti ini. Tapi Mas tahu ini semua karena Mas. Qia, kita bicara ya …”
Thoriq mengecup kening Qiara dengan penuh cinta.
“Qia, kamu bisa ijin datang telat? Kita harus bicara. Mas tadi udah telepon kantor. Nanti Qia berangkat sama Mas aja.” Thoriq menatap lembut netra istrinya. Mengusap sisa bulir air mata yang masih membasahi bulu mata lentik. Mata teduh yang kini penuh luka dan kekecewaan.
Thoriq menggandeng istrinya ke sofa depan TV. Apapun itu, ia harus menceritakan semua pada Qiara.
“Sayang, Mas akan ceritakan semuanya. Ini pasti menyakitkan, tapi Mas mohon, bertahanlah. Pukulah Mas, cakar Mas … Mas ikhlas. Walau Mas tahu itu semua tidak bisa membalikkan keadaan.”
Jantung Qiara kembali berdegup. Dirinya paham bahwa cepat atau lambat harus bicara dengan Thoriq. Tak ada gunanya menghindar dari permainan takdir bahwa suaminya kini memiliki dua istri.
“Waktu Mas sampai di kampung, semua sedang kumpul di rumah Bude Luki. Mas dengar Bude menitipkan Hanna ke kakek. Keesokan hari, kakek bicara dengan Mas. Menanyakna bagaimana sebaiknya memenuhi permintaan Bude Luki. Mas mengatakan bahwa Hanna sudah besar, seharusnya bisa mulai berdiri sendiri. Toh Hanna sudah lulus kuliah jadi bisa cari kerja.”
Thoriq memejamkan mata sambil
Flash back on …
“Nanti Mas telepon lagi ya, Qia. Kamu hati-hati nyetirnya. In syaa Allah, Kamis sampai rumah lagi …”
“Iya Mas, hati-hati, salam buat kakek dan nenek. Qia udah kangen. Next time Qia ikut…”
“In syaa Allah, Sayang. Qia, udah dulu ya kakek sama nenek dateng nih. I love you, Qiara, assalamualaykum.”
“Waalaykumussalam, Mas.”
Thoriq meletakkan hape lalu mengambil nampan yang dibawa nenek. Ada kopi dan pisang goreng di sana.
“Thoriq, alhamdulillah, kamu bisa ke sini. Kakek dan nenek udah rindu, sama seperti kami rindu sama Qia,” ucap kakek sambil menyeruput kopi manis.
“Qia kirim salam buat kakek dan nenek. Next time Qia akan ikut pulang juga.”
“In syaa Allah. Thoriq, ada sesuatu yang ingin kakek dan nenek bicarakan. Mengenai Hanna.”
Thoriq masih asik menikmati legitnya pisang goreng dan kopi manis. Dia tidak terlalu mengenal Hanna karena umur mereka yang terpaut jauh.
“Bude Luki sudah parah dan sudah berulang kali menitipkan Hanna kepada kami. Sementara kakek dan nenek sudah tua. Kami sudah tidak ada lagi energi untuk menjaga Hanna.”
“Memang harus dijaga seperti apa Kek. Hanna kan sudah besar, sudah lulus kuliah,” ulas Thoriq.
“Nah itulah, Hanna bukan lagi anak kecil. Sekarang ia adalah seorang wanita dewasa. Kembang desa. Thoriq, kakek tidak oernah meminta sesuatu padamu. Permintaan kakek ini mungkin berat, tapi kakek mohon kamu menyetujuinya.”
Thoriq menatap kakeknya.
“Thoriq, kakek dan nenek meminta kesediaan kamu untuk menikahi Hanna.”
Thoriq tercekat.
“Kek, Nek… ini main-main kan?”
Nenek mengambil tangan Thoriq dan mengelusnya lembut.
“Thoriq, mungkin tidak ingat siapa ayah Hanna. Pakde Haryo adalah orang yang berjasa membangun usaha bersama kakek. Bahkan tanpa Pakde Haryo maka usaha kakek tidak akan makmur seperti sekarang.”
“Dari dulu, Pakde Haryo pernah meminta kakek untuk menjodohkan Hanna dengan kamu. Tapi ketika kamu mengenalkan Qiara, kakek dan nenek mengurungkan niat karena melihat kamu sangat mencintai istrimu.”
“Kek, Nek, mohon maaf, tapi Thoriq tidak ingin menikah dengan siapapun kecuali Qiara. Thoriq sangat mencintai Qiara.”
“Thoriq, kamu tau kan Hanna itu sebatang kara, dia tidak punya saudara satu pun.”
“Tapi bukan berarti Thoriq harus menikahi Hanna, Kek. Jika masalah uang, Thoriq bisa mengirim tiap bulan sampai Hanna bekerja melalui Nenek.”
Terdengar seseorang mengetuk pintu.
“Pak Hasan, cepat ke rumah Bu Luki, sudah semakin kritis!” Terdengar suara laki-laki berteriak.
“Astaghfirullah!”
Kakek, nenek, diikuti Thoriq bergegas ke rumah Bude Luki yang tidak jauh dari rumah mereka.
Setibanya, kakek dan nenek langsung masuk ke kamar Bude Luki. Thoriq menunggu di luar sambil membaca yasin bersama warga desa.
Keluarga Kakek Hasan dan Bude Luki memang terkenal dermawan dan selalu siap membantu warga desa. Sehingga jika dalam kesulitan, warga desa juga tidak pamrih untuk langsung membantu.
“Thoriq …” Panggil nenek.
Pria itu mengernyit, merasa tidak enak terhadap apa yang akan terjadi.
“Nak Thoriq …” Panggil Bude Luki lirih.
“Ya Bude…”
“Bude ingin menitipkan Hanna pada Nak Thoriq. Anak bude sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Menikahlah dengan Hanna, ini permintaan terakhir Bude.”
“Bude, Thoriq tidak ingin …”
Tiba-tiba kakek berlutut di depan Thoriq.
“Thoriq, kakek rela berlutut memohon pada kamu. Menikahlah dengan Hanna. Tolong kakek menjaga amanah Haryo dan Luki…”
“Kakek, bangun …”
“Nenek juga mohon, Nenek tau ini pasti menyakitkan untuk Qiara, tapi Nenek akan meminta maaf dan menjelaskan…”
“Kakek, nenek jangan seperti ini, Thoriq mohon …” Pria itu dilanda kepanikan.
“Thoriq, Hanna tidak ada siapa-siapa, Bude mohon …”
“Thoriq, kakek dan nenek akan terus berlutut sampai kamu mengabulkan permintaan kami …”
Thoriq memejamkan mata. Terbayang rasa sakit yang akan dia berikan pada istri tercintanya. Namun menolak permintaan kakek dan nenek yang telah membesarkannya juga sungguh berat.
“Nak… “
“Baiklah, Bude…”
“Alhamdulillah, mas Hasan, apakah bersedia jadi wali nikah untuk Hanna?”
Flash back off…
***
Air mata kembali membasahi wajah cantik Qiara. Setiap bulir bagaikan pisau tajam yang menusuk hati Thoriq.
“Qiara, maafin Mas sudah menghancurkan mimpi kita. Tapi Mas mohon Qia, jangan pernah tinggalin, Mas … janji ya, Sayang …”
Qiara bergeming. Sesekali kepalanya menggeleng, mengusir pedih.
“Qia, Qia …” Thoriq merengkuh tubuh Qiara memeluknya erat.
“Jangan pernah tinggalin, Mas, ya. Mas juga bingun mesti gimana Qia… cuma kamu kepastian yang Mas punya …”
Qiara menangis, demikian pula Thoriq. Cinta yang mereka miliki kini hancur berkeping. Menyisakan sejuta kecewa dan ketakutan.
Thoriq membelai lembut kepala Qiara yang tertutup kerudung. Dibenamkan wajah di pundak wanitanya.
Qiara mengurai pelukannya. Matanya menatap sendu ke wajah Thoriq.
“Mas … apakah Mas sudah menyentuh Hanna?”
“Qia …”
Tangis Qia kembali pecah. Thoriq ingin memeluk namun ditepis oleh Qiara.
“Mas, jangan sentuh Qia, please …” Pinta Qia di antara sedu sedannya.
“Jangan Qia, Mas mohon … jangan jijik sama Mas…”
Qiara terus mendorong Thoriq.
“Qia benci Mas Thoriq, pergi! Qia bilang pergi!”
Qiara berlari ke arah kamar namun dikejar oleh Thoriq yang langsung mendekap erat dari belakang. Qiara meronta hingga kelelahan namun Thoriq tak kunjung melepaskannya.
“Qiara … Mas mohon, maafin Mas …”
“Semua sudah hancur, Mas. Hati Qia sakit. Semalam Qia nungguin dan Mas nggak pulang. Qia wanita dewasa, Qia ngerti apa yang pasti terjadi di antara Mas dan … Hanna. Qia sakit … mungkin lebih baik Qia yang mun …”
“Sssh, no Qia! Mas mending mati daripada hidup nggak sama kamu. Mas nggak mencintai Hanna. Hanya kamu, Qia. Tapi Hanna juga istri Mas, sejauh Mas menghindar, ada kalanya … ada kalanya hal itu terjadi …”
Mendengar perkataan suaminya, kaki Qiara tidak mampu menopang bobotnya.
“Qia!”
Thoriq membopong Qiara ke kamar. Dibaringkannya dengan lembut, dibukanya kerudung, lalu ia mengoleskan minyak kayu putih ke tengkuk dan kaki Qiara. Memijatnya dengan penuh kasih sayang dan kekhawatiran.
Tak berapa lama Qiara siuman. Thoriq menatapnya lalu menyodorkan teh manis hangat.
“Minumlah, Sayang …”
Qiara memegang cangkir dengan tangan yang gemetar.
“Ya Allah, sesakit ini rasanya dimadu. Apakah aku bisa ikhlas ya Allah?” Batin Qiara.
Thoriq mengambil cangkir dari tangan Qiara yang masih gemetaran.
“Ya Allah, maafkan aku yang telah menyakiti wanita yang sangat kucintai,” ucap Thoriq dalam hati.
Qia berusaha bangun.
“Mas, Qia harus berangkat. Ijinin Qia berangkat nggak sama Mas. Qia perlu waktu sendiri.”
“Enggak Qia. Mas nggak akan ijinin kamu nyetir sendiri. Berangkat sama Mas ya, please. Qia, Mas takut banget kamu tinggalin Mas.”
Qiara termenung.
“Semua udah nggak sama Mas. Kita nggak mungkin seperti dulu lagi. Qia belum rela membagi kamu dengan Hanna. Dan mungkin nggak akan pernah rela.”
Thoriq terdiam. Rasa takut meliputi hatinya.
“Apalagi membayangkan kamu menyentuh Hanna. Sakit, Mas …”
“Qia please … Hati dan cinta Mas hanya milik kamu. Cuma kamu. Tapi dengan kondisi sekarang walau Mas tidak pernah meminta sama Hanna, tapi hal itu sangat mungkin terjadi. Maafkan Mas …”
Thoriq merutuki kelemahannya yang tidak mampu menolak permintaan kakek, nenek dan Bude Luki hingga menorehkan luka pada Qiara.
Dengan lembut Thoriq menghapus air mata dari pipi Qiara.
“Mas minta kita menghadapi ini sama-sama. Mas juga nggak kebayang punya dua istri. Buat Mas, kamu adalah segalanya dan itu sudah sangat cukup. Mas mohon kebesaran hati kamu Qia …”
Ingin rasanya Qiara berteriak memaki takdir, namun semua tiada arti. Semua sudah terjadi.
“Mas, Qia akan bertahan sekuat Qia. Hanya saja Qia minta untuk tidak membawa Hanna ke sini. Qia belum sanggup melihat kalian berdua.”
Thoriq mengangguk. Dia bukanlah pria sadis yang mengajak istri mudanya untuk tinggal bersama istri tua.
“Qia harus kuat, Mas akan terus jagain Qia. Jagain perasaan Qia. Hati Mas sakit banget melihat Qia seperti ini. Sekali lagi, Mas minta maaf …”
Qia mengangguk lemah. Thoriq langsung merengkuh tibuh istrinya dan memeluknya erat-erat.
“I love you Qiara Anjani …”
Lidah Qiara terasa kelu untuk membalas ucapan cinta, walau hatinya masih merasakan cinta yang amat sangat. Cinta yang tak utuh lagi.
Bersambung …
***
Pov Thoriq
Jika ada yang mengatakan nikmat memiliki banyak istri, maka aku tidak akan segan mendebat orang itu. Entah apakah aku yang kelewat bucin pada Qiara atau sekadar bodoh. Tapi kehidupan dengan dua istri sungguh menyiksaku.
Dua tahun lalu aku jatuh cinta dengan seorang gadis bernama Qiara Anjani. Bukan saja karena wajahnya yang cantik, tapi pembawaannya yang riang dan ceria membuat aku selalu menantikan saat bertemu dengannya.
Tak lama aku melamarnya, tak sabar untuk menikahi dan menjadikan gadis itu milikku. Aku tahu banyak teman pria yang mencoba menjalin hubungan dengan Qiara, namun dia bukan gadis sembarangan. Qiara tidak mudah memenuhi ajakan teman laki-lakinya.
Ketika suatu hari aku memberanikan diri menanyakan alamat rumahnya, hampir pingsan rasanya ketika Qiara memberikannya. Dia tersenyum lembut lalu berlalu.
Malam Minggu aku berkunjung. Ternyata Qiara tinggal bersama kakak laki-lakinya, seorang dokter di sebuah rumah sakit. Sama seperti aku, orang tua Qiara sudah berpulang. Bedanya aku diasuh kakek dan nenek, sementara Qiara dan Dhanu, kakaknya hampir bisa dikatakan mereka berjuang hanya berdua.
Ayah Qiara yang juga seorang dokter meninggalkan bekal yang cukup. Dhanu menjadi wali sekaligus pelindung untuk Qiara ketika ayah mereka meninggal. Usia mereka berdua terpaut delapan tahun.
Qiara mengatakan bahwa jika kakaknya setuju, maka ia mau pergi denganku. Gugup rasanya dipandang oleh Dhanu yang tujuan hidupnya adalah melindungi adiknya. Kemampuan mendiagnosis penyakit diterapkan padaku. Ia menanyakan padaku hingga hal terkecil, seperti kapan pertama aku berciuman. Apakah aku pernah berhubungan dengan wanita lain.
Entah kenapa aku tidak keberatan dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Justru aku belajar jika suatu saat aku memiliki anak perempuan, begitulah aku akan melindunginya.
Akhirnya Dhanu memberikan lampu hijau. Tiga bulan setelah mengenalnya, aku yakin dialah wanita terbaik untukku. Aku mengundang Kakek dan Nenek ke Jakarta. Mereka pun langsung menyukai Qiara dan menyetujui hubungan kami. Bahkan kakek meminta kami untuk tidak lama-lama berpacaran. “Takut kebablasan,” begitu nasihat kakek yang sangat kuhormati.
Walau kami dari keluarga yang berkecukupan, aku dan Qiara tidak ingin membebani Kakek dan Mas Dhanu dengan biaya pernikahan. Kami sedikit menunda agar cukup dana untuk mengadakan walimah pernikahan.
Kami bersyukur rejeki kami selalu dimudahkan. Dari proyek-proyek interior desain, Qiara banyak mendapat bonus sehingga kami sanggup membeli rumah cukup untuk keluarga muda, di lingkungan perumahan yang nyaman. Kebetulan juga sang pemilik rumah membutuhkan dana cepat.
Hasil kerja kerasku kami alokasikan untuk membeli kendaraan dan menambah dana untuk pernikahan. Awalnya Dhanu tidak mau menerima dana dariku, menurutnya ayah mereka telah menyiapkan dana pesta pernikahan yang sangat cukup untuk anak perempuan satu-satunya. Akhirnya aku menyimpan sebagai tabungan dan tentunya hotel romantis di Bali tempat kami berbulan madu.
Hari pernikahanku adalah hari yang paling membahagiakan. Ijab qabul kuucapkan dengan lantang dan penuh kesungguhan menjadi imam bagi Qiaraku. Till Jannah.
Air mata menitik saat melihat istriku memasuki ruangan akad mengenaikan kebaya putih. Ketika ia malu-malu menatap netraku sebelum mencium tangan, jantungku berhenti berdetak. Mata bulat bening, wajah berbentuk hati, senyum manis dan tulus, tubuhnya yang mungil kini sah sudah jadi milikku.
Ingin rasanya aku mengajaknya lari keluar ruangan, membawanya ke kamar, mengurungnya berhari-hari untuk memadu cinta.
Dan itulah yang aku lakukan padanya saat kami berbulan madu. Tidak ada satu pun bagian tubuhnya yang luput dari sentuhan dan ciuman buasku. Kepuasan demi kepuasan kami reguk bersama, hingga lelah mendera. Dan kami mulai lagi percintaan kami.
Qiara, wanita itu adalah candu bagiku. Pembawaannya yang ceria dan easy going selalu memberikan warna dalam hari-hariku.
Hingga aku menikahi Hanna demi memenuhi permintaan kakek nenekku. Jika pengantin pria lain bisa jadi memikirkan kenikmatan punya dua istri, benakku hanya ada ketakutan bagaimana jika Qiara tidak bisa menerima keputusanku. Wanita mana yang mau dimadu.
Aku dan Hanna tidaklah akrab. Memang aku mengenalnya sebagai anak Pakde Haryo dan Bude Luki, namun bahkan bercakap pun kami tak pernah.
Sungguh mengherankan ketika Hanna menyetujui untuk menikah denganku. Harapanku adalah ia menolak. Untuk kedua kalinya aku mengucapkan akad nikah. Kali ini dengan setengah hati.
Perlu dua kali bagiku untuk mengulang akad karena nama Qiara yang kusebut. Kakek memegang pundakku. Baru kali ketiga aku bisa menyebut namanya Hanna Adinda. Detik itu pula aku sah menjadi suaminya. Detik itu pula aku mengkhianati cintaku pada Qiara.
Tak berapa lama setelah akad, Bude Luki meninggalkan kami selamanya. Sebagai suami Hanna, aku serta merta menjadi penanggung jawab untuk semua. Hanna selalu berdiri di sampingku. Tergadang tangannya menggapai tangan yang membuatku risih.
Setelah semua pelayat pulang, kakek menasihatiku untuk menjaga Hanna dan memperlakukannya sebagai istri. Aku hanya diam. Kakek juga berjanji akan ke Jakarta untuk menjelaskan dan meminta maaf pada Qiara. Berat buat Kakek dan Nenek yang juga menyayangi Qiara.
Kakek dan Nenek menyuruhku untuk tidur di rumah Bude karena kami sudah halal untuk bersama.
Malam pertama, aku memilih tidur terpisah dengan Hanna. Aku tahu istri keduaku memerlukan bahuku untuk menangis, tapi hatiku masih belum bisa menerimanya.
Rumah Bude cukup besar, aku memilih tidur di kamar tamu. Malam itu aku video call Qiara. Begitu melihat wajahnya terasa seribu belati menghujam ke tubuhku. Senyum lebarnya akan terganti dengan tangis kekecewaan.
Malam kedua, setelah pengajian selesai, aku membantu Hanna membereskan rumah. Hanna memberikan minuman, memang biasa di pagi dan malam hari orang di kampung minum jamu.
Entah kenapa aku merasa panas, napasku sesak setelah minum jamu buatan Hanna. Aku lupa apa yang terjadi, hingga keesokan harinya, aku dan Hanna terbangun di ranjang yang sama dengan tubuh polos. Kulihat bercak darah. Hanna menatapku malu-malu sementara aku panik bukan kepalang.
Tidak ada pelukan seperti yang biasa kuberikan pada Qiara selepas percintaan kami. Aku mengambil bajuku dan langsung pindah ke kamar tamu. Aku tahu Hanna kecewa, namun aku lebih kecewa lagi pada diriku. Bagaimana mungkin aku melakukannya dengan Hanna? Semudah itukah aku berpaling dari Qiara?
Aku hanya diijinkan cuti lima hari dan tidak ada niatan untuk tinggal lebih kama di kampung, walaupun Bude Luki sebetulnya sudah terhitung sebagai mertuaku. Ketika aku minta ijin pulang pada kakek dan nenek, Hanna bersikeras untuk ikut. Katanya sebagai istri dia harus ikut kemana suami pergi.
Perasaanku acak kadul. Di satu sisi merindukan Qiara tapi aku juga takut bertemu dengannya.
Kakek menasihati Hanna untuk menjaga perasaan Qiara. Bagaimanapun Hanna adalah istri kedua, tidak ada wanita yang rela berbagi suami. Hanna mengangguk, menatapku malu-malu. Tak ada getaran apapun di hatiku beda saat Qiara menatapku.
Dengan setengah hati aku memasukkan tas-tas Hanna ke mobil. Aku menyewa apartemen sahabatku, Fauzan, untuk satu bulan. Ia terkejut mendengar alasanku menyewa apartemen. Dia menasihatiku untuk berterus terang pada Qiara dari awal, apapun risikonya. Istri Fauzan, juga sahabat Qiara. Sebagai wanita, Ella mendadak sinis padaku di sisa percakapan kami.
Kami sudah dalam perjalanan selama 6 jam. Hanna tidak menunjukkan kesungkanannya. Ia menggandeng lenganku, sesekali mencium pipiku, yang membuatku jengah.
Sungguh aku tidak ingat apa yang aku lakukan bersamanya malam itu. Namun dia nampak bahagia dan ceria. Aku bahkan tidak menemukan jejak kesedihan karena Bude Luki meninggal.
Pada Hanna, aku mengingatkannya untuk tidak berkata apa-apa saat bertemu Qiara. Beberapa kali aku harus menghentikan kendaraan untuk menerima telepon Qiara. Mendengar suara Qiara, segala kegundahanku hilang sesaat. Aku melupakan ketakutan kehilangan istri tercintaku.
Begitu bertemu Qiara, aku menumpahkan segala rindu dan cintaku padanya. Aku lupa pada Hanna yang menunggu kami di ruang tamu. Bagaimana perasaan Hanna saat itu aku tak peduli. Aku ingin bercinta dengan istriku, karena mungkin itu kali terakhir dia akan menerimaku.
Kami melepas rindu dengan penuh napsu. Qiara, Qiara, hanya kamu yang membuatku bahagia. Aku ingin mengulangnya lagi dan lagi, namun justru Qiara yang mengingatkan bahwa Hanna menunggu di ruang tamu. Oh Qiara, jika saja kamu tahu bahwa wanita di luar sana adalah madumu.
Memberitahu Qiara bahwa aku telah menikahi Hanna adalah hal terburuk yang pernah aku lakukan seumur hidup. Hilang sudah binar ceria di matanya. Yang ada tinggal kepedihan dan kekecewaan.
Qiara tidak ingin aku dan Hanna berada di rumah itu. Aku mengajak Hanna ke apartemen yang sudah kusewa dengan niatan untuk segera kembali ke istri yang kucintai.
Tapi apa yang kulakukan. Aku terbujuk rayuannya untuk menemani hingga tertidur. Dan akhirnya kami melakukannya lagi.
Aku jatuh tertidur dan aku hanya ingat sedang bersama Qiara di tepi danau yang indah. Kubelai pucuk kepalanya, wajahnya, kubenamkan wajahku diceruk lehernya. Aku menikmati kebersamaan dengan Qiara. Dia memaafkan aku yang sudah mengkhianatinya. Aku bahagia.
Ternyata aku bermimpi dan malam itu aku melakukannya bukan dengan Qiara, malah dengan Hanna. Di kamar mandi aku membersihkan diri. Mungkin sebagai laki-laki aku dinilai tidak waras karena merutuki kesempatan tidur dengan dua wanita dalam satu malam. Terserah, mungkin aku memang sudah menjadi tidak waras karena perkawinanku dengan Hanna.
Aku berusaha menghindar dari Hanna yang terlihat tidak ingin aku pergi menemui Qiara. Ia berusa menahanku. Akhirnya saat ia membersihkan diri, aku buru-buru sholat Subuh dan pulang ke rumahku.
Hanna bilang apartemen adalah rumahku. Tidak Hanna … rumahku adalah dimana Qiara berada.
Aku bersyukur karena Qiara masih di rumah. Matanya merah dan wajahnya sembab. Aku memeluknya, dia tidak membalas pelukanku. Sedih rasanya …
Setengah memaksa, aku menceritakan bagaimana akhirnya aku menikahi Hanna. Kami menangis bersama. Hancurlah mimpi dan harapan yang kami bangun sejak janji suci itu terucap.
Qiara menanyakan apakah aku sudah menyentuh Hanna. Aku tidak ingin menyembunyikan apapun. Qiara terkulai dalam pelukanku. Kubopong tubuh mungilnya ke ranjang kami. Kubaringkan, kuoleskan minyak kayu putih. Qiara, Qiara, maafkan aku yang terlalu lemah menolak permintaan kakek.
Setelah siuman, aku kecup kening wanitaku. Tak kutemui sinar di netra yang selalu membuat hidupku bersemangat. Aku memintanya untuk bertahan bersamaku.
“Mas, Qia akan bertahan sekuat Qia …”
Aku berjanji untuk menjaga hatinya. Berusaha untuk membuatnya tetap berada di sisiku.
***
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!