Api Unggun Terakhir

Api Unggun Terakhir

Prolog

Langit yang gelap nampak indah dengan cahaya bulan yang berbentuk bulat sempurna ditemani binar cahaya bintang di sekelilingnya pertanda bulan purnama sedang bersinar begitu terang, namun terangnya cahaya bulan tidak mampu menembus dalamnya hutan belantara dan membuat suasana mencekam didalam hutan begitu terasa. Angin dingin berhembus dan suara - suara lolongan anjing hutan menambah aura - aura menyeramkan di hutan itu, aktifitas hewan - hewan liar menambah warna betapa tidak terjamahnya hutan belantara tersebut. Ditengah hutan, cahaya api unggun terlihat cukup untuk menerangi dan memberikan kehangatan kepada empat orang yang duduk bersantai dengan perlengkapan camping masing - masing mengelilingi api unggun itu.

Mereka berempat duduk terdiam disebuah kursi lipat camping sembari menatap kobaran api yang bergoyang terhembus oleh angin, ditengah kesunyian suara langkah kaki terdengar mendekati mereka secara perlahan. Kompak mereka berempat menoleh menatap sumber suara langkah kaki yang menggesek tanah dan dedaunan kering, samar terlihat siluet seseorang dari gelapnya hutan dan semakin jelas terlihat ketika cahaya api unggun menyinari wajah dari sosok itu.

"Ardi kah?" tanya Dimas ketika wajah Ardi terlihat jelas karena cahaya api unggun menyinarinya.

"Loh? Dimas?" tanya balik Ardi dengan terkejut

"Waah ini yang kita tunggu dari tadi! lama sekali kamu baru berkumpul bersama kami disini?" tanya Beni terdengar antusias, suara tawa Samir dan Rakasyah pun terdengar.

"Beni? Samir? Raka?" terkejut Ardi seakan tidak percaya bertemu dengan teman masa kecilnya dulu, lalu Dimas memberikan sebuah kursi lipat camping kepada Ardi.

"Duduklah kawan... sudah lima belas tahun ya kita tidak pernah bertemu lagi" ucap Dimas mencoba membuat Ardi berhenti terkejut, dengan senyum berat seakan masih tidak mempercayai akan bertemu teman - temannya lalu Ardi mengambil kursi lipat dari Dimas dan meletakkannya dekat api unggun dan duduk melingkar bersama yang lain.

"Nah sudah lengkap nih, bagaimana kabar kalian masing - masing selama lima belas tahun ini?" tanya Samir memecah keheningan

"Baik, setelah selesai kuliah di kota aku langsung melamar di perusahaan XXX bagian penyaluran barang. Cukup sukses lah, setidaknya aku mampu menafkahi anak istri. Aku punya dua anak saat ini, nakal - nakal sih kadang bikin gregetan" dengan tawa kecil Dimas mengatakannya, suara tawa Beni, Rakasyah dan Samir pun menyertai akhir kalimat Dimas.

"Lalu kalian sendiri gimana?" tanya Dimas

"Kalau aku bekerja sebagai penjaga hutan di departemen kehutanan nasional, lulus SMA aku langsung mendaftar dan tepat lima belas tahun ini aku akan naik jabatan setelah menyelesaikan penugasan di hutan XXX. Aku baru punya satu anak, istriku juga sedang hamil dan aku berharap tidak lama kami berpisah agar aku dapat menemani istriku lahiran" jawab Beni dengan bangganya

"Wah hebat ya, aku cuma freelance. Kadang cukup kadang kurang buat keluargaku, mana kebutuhan pokok terus naik yakan? baru - baru ini aku dapat kerjaan membuat iklan, lumayan lah buat kehidupan sehari - hari dan untuk pendaftaran anak sekolah" timpal Samir dengan sedih, Raka menepuk pundak Samir mencoba memberikan semangat.

"Sabar kawan, aku juga gak jauh lebih baik darimu. Aku bekerja sebagai kurir pengiriman barang, gajiku juga gak seberapa tapi resiko perjalanan yang aku hadapi sangat berat. Sepertinya hanya aku ya yang belum punya anak" terdengar capek Raka mengatakannya, suara tawa Dimas mendadak pecah.

"Kok malah jadi adu nasib? kalian berdua ini memang selalu begini sejak kecil" dengan sedikit tawa Dimas mengatakannya, suara tawa mereka berlima pecah seketika.

"Lalu gimana denganmu Ardi? gimana kamu selama lima belas tahun ini?" tanya Dimas lagi sembari menatap Ardi yang hanya diam saja sejak awal datang

Pandangan Dimas, Beni, Samir dan Rakasyah teralihkan menatap Ardi. Seketika Ardi tampak terkejut mendapatkan tatapan dari teman - temannya itu, Ardi pun menepuk kedua pipi dengan kedua tangannya cukup keras seakan mencoba untuk menyadarkan diri dari lamunannya. Ardi memajukan badan dan menahan bobot tubuhnya dengan kedua lengan yang dia taruh diatas pahanya, merasakan kehangatan api sambil terus memandanginya dalam - dalam.

"Kamu... baik - baik aja di? kamu agak beda ya selama lima belas tahun ini, agak lebih pendiam gitu" celetuk Beni dengan nada khawatir, Ardi menghela nafasnya sebelum menjawab pertanyaan Beni.

"Aku baik - baik aja, makasih Ben udah bertanya. Aku bekerja sebagai polisi bagian tindak pidana kriminal, yah tugasku gitu - gitu aja sih gak ada serunya. Anakku sudah tiga dan yah begitu - begitu saja sih. Dari tadi aku banyak diam karena jika berkumpul seperti ini, aku jadi teringat masa kecil kita" jawab Ardi, perlahan Dimas melempar beberapa kayu kedalam api unggun untuk mempertahankan nyala apinya.

"Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar, jadi wajar sih kita agak canggung" timpal Dimas terdengar tenang

"Apa kalian ingat sama mbah Sarno?" tanya Ardi, pertanyaan Ardi membuat Dimas, Beni, Samir dan Rakasyah terkejut.

"Iya aku ingat! dia yang dulu membantu kita lepas dari arwah jelangkung itu kan?" Samir dengan sedikit antusias menjawab pertanyaan Ardi

"Benar, beliau meninggal loh. Kalian sudah dengar kabarnya?" tanya Ardi lagi, seketika mereka berempat serentak menggelengkan kepalanya.

"Beliau meninggal karena sakit, mungkin sudah satu bulan ini. Apa kalian diganggu lagi sama arwah jelangkung itu dalam waktu dekat - dekat ini?" tanya Ardi lagi sembari menatap teman - temannya itu secara bergantian, mereka hanya terdiam beberapa saat sampai Dimas memecah keheningan.

"Aku sih diganggu ya... sebenarnya takut juga mau cerita, apa lagi malam - malam ditengah hutan begini" jawab Dimas ketakutan, Rakasyah pun tertawa mendengar jawaban Dimas.

"Mana Dimas si pemberani dari kampung? kok mendadak ciut? lagian dulu yang ngajakin main jelangkung kan dirimu" tanya Rakasyah sembari mencoba menahan tawanya, Dimas melempar beberapa kayu kecil kearah Rakasyah.

"Aku nih masih Dimas pemberani! enak aja ngejek aku seperti itu!" agak membentak Dimas mengatakannya

"Gimana ceritanya?" tanya Ardi penasaran, Dimas menatap Ardi dan terdiam beberapa saat.

"Gak apa nih aku cerita? serem loh" tanya balik Dimas mencoba meyakinkan temannya bahwa ceritanya benar - benar akan merusak suasana

"Udah cerita aja, kemah ini jadi gak seru kalau gak diselingi cerita seram. Yakan?" Samir mengatakannya dengan tenang, Dimas kembali menatap api unggun itu lalu melemparkan beberapa kayu kedalam api.

"Ya sudah kalau kalian memaksa, aku akan ceritakan kisahku dalam sebulan ini yang kembali diganggu arwah jelangkung itu" jawab Dimas dengan terpaksa, Dimas menghela nafasnya sejenak lalu kembali menatap api unggun dalam - dalam.

Tiba - tiba angin berhembus cukup kencang dan membuat nyala api unggun bergoyang begitu keras, bayangan kelima orang itu terkesan bergerak - gerak di pepohonan. Dinginnya angin malam terasa begitu menusuk hingga ke tulang meski mereka menggunakan jaket tebal, dinginnya malam seperti siap untuk menemani kisah yang akan dimulai oleh Dimas dan menambah kesan mencekam.

"Begini kisahnya..." Dimas mulai menceritakan kisahnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!