Janitra

Janitra

Bab 1

Janitra menatap sekali lagi rumah peninggalan eyangnya yang beberapa bulan terakhir ini dia tempati bersama Danang, laki-laki pemabuk yang saat ini masih berstatus suamiku dan Dewandaru, anak laki-lakiku semata wayang.

"Berangkat sekarang, Bu?"

Suara Pak Pardi, sopir jasa angkutan barang membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk pelan. Karena aku takut jika aku menjawab, bukan kalimat yang keluar namun justru tangisanku yang mengalir.

Kupeluk erat Dewa yang tertidur dalam gendonganku ketika perlahan mobil pickup melaju meninggalkan rumah penuh kenangan itu. Sesekali aku melirik ke spion, memastikan Danang tidak mengikutiku.

"Aman kok Bu.. Saya yakin dia nggak ikutin kita." Ucap Pak Pardi, seolah mengerti kekhawatiranku.

"Iya Pak. Terima kasih ya, Pak."

Aku kembali memandang jalanan di depanku. Lengang. Sepi. Jarum jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Sebenarnya bukan waktu yang tepat untuk pindahan apalagi hanya aku dan Dewa. Ah, aku kan bukan pindahan, tapi melarikan diri. Menyelamatkan masa depan anakku, agar tidak mengikuti jejak ayahnya.

*FLASH BACK*

Ddrrttt...

Gawaiku bergetar tanda panggilan masuk. 'Eyang Sri'

"Halo Eyang..."

"Nala, kamu dimana?"

"Masih di tempat kerja, Eyang... Ada apa, Eyang?"

"Kamu hari ini bisa pulang kesini?"

"Ya eyang, nanti pulang kerja ya?"

Setelah menitip beberapa barang, Eyang Sri menutup pembicaraan.

"Siapa Na?" tanya mbak Wina, rekan kerjaku.

"Eyang Sri. Ibunya Mamaku."

"Sayang ya sama kamu? Kok kamu nggak tinggal bareng eyang aja?"

"Ya sayang, mungkin karena aku udah nggak punya Mama, dan Papa....." jawabku menggantung. Ada rasa sesak jika harus membahas tentang Papa.

Mbak Wina mengelus pundakku, seolah ingin menguatkanku.

Sebenarnya aku terlahir dari sebuah keluarga yang bahagia. Mama dan Papa sangat menyayangiku. Namun semua kebahagiaanku usai dalam sebuah duka panjang tak bertepi setelah Mama meninggal. Papa memilih terhanyut dalam dukanya sendiri, menyibukkan diri dengan pekerjaan, teman dan pacar barunya. Melupakan bahwa aku dan adikku juga memiliki duka yang sama dan masih membutuhkan beliau.

Ya, kehilangan seorang ayah memang berarti kehilangan tulang punggung keluarga. Namun ketika kehilangan seorang ibu, kita juga kehilangan dunia kita. Dan aku mengalaminya.

Untunglah pekerjaan hari ini tidak terlalu banyak, jadi aku bisa segera pulang.

"Pulang ke kost atau jadi ke rumah eyang, Na?" tanya mbak Wina saat melihatku mulai menonaktifkan beberapa komputer.

"Ke rumah eyang, Mbak..."

"Naik apa? Sudah jam sembilan, nggak ada bis lho..."

"Tadi Bang Rico telpon aku, katanya mau jemput. Rencana mau ajakin makan bareng. Paling nanti pulangny aku minta antar ke rumah eyang sekalian."

Mbak Wina mengangguk-angguk sambil tersenyum penuh makna.

Tepat jam 9 malam, Bang Rico memarkirkan motornya di parkiran tempat kerjaku. Tidak langsung masuk, Bang Rico memilih menungguku di depan kios fotokopi sebelah kios rental komputer tempatku bekerja. Sebenarnya kios fotokopi dan rental komputer ini milik satu orang yang sama.

Setelah memastikan semua kabel tercabut dan uang berada di tempatnya, aku segera menutup rolling door dan berjalan keluar dari pintu belakang ruko.

"Maaf lama ya Bang?"

"Hahaha. Santai lah dek. Jadi kan kita makan? Abang belum makan dari pagi."

"Ih kenapa Abang ga makan? Nanti sakit lho..."

"Iya dek, seharian ini tadi banyak kerjaan. Ini siap kerja abang langsung meluncur kesini."

Bang Rico memasangkan helm yang sengaja ia bawakan untukku.

"Aku pulang dulu ya mbak?" pamitku pada mbak Wina setelah helm terpasang di kepalaku.

"Yoi. Hati-hati di jalan ya. Abang jangan ngebut lho..." teriak mbak Wina dari dalam kios fotokopi. Kebetulan hari ini fotokopi kebanjiran orderan, jadi mereka harus melemburnya. Biasanya aku juga menemani, namun malam ini agak sedikit luar biasa. Hahaha.

Perlahan, motor Bang Rico membelah jalanan yang masih tampak ramai walau sudah pukul setengah sepuluh malam.

"Makan disini ya dek? Abang kangen ayam bakarnya." katanya sambil memarkirkan motor.

"Iya bang... Kangen sama ayam bakar doang ya? Ga kangen aku?" Aku menggodanya sambil senyum-senyum. Lalu dia mengacak rambutku sambil tertawa.

"Adek duduk sana, abang pesankan. Ayam juga kan? Minumnya lemon tea hangat ya, sudah malam nggak baik minum dingin."

Malas membantah, kuiyakan saja.

Sambil menunggu, kami mengobrol ringan tentang pekerjaan masing-masing.

"Adek sudah bilang ke teman kost kan kalau pulang terlambat?"

"Aku nanti ke rumah eyang aja, Bang. Abang bisa antar?"

"Oh, oke oke nanti abang antar ya? Tapi nggak apa malam begini kesana?"

"Enggak. Aku tadi udah bilang eyang kok. Lagian besok kan libur, Bang."

"Ya sudah, kita makan agak cepat berarti ya biar nggak terlalu larut sampai rumah eyangnya adek."

Setelah membayar, bang Rico langsung mengantarkan aku ke rumah Eyang. Sudah pukul sebelas malam. Sebenarnya agak ragu datang jam segini, namun aku sudah terlanjur janji pada Eyang. Lampu ruang tamu masih menyala, pertanda eyang masih terjaga. Aku mengetuk pelan pintu rumah eyang.

Kreeett

Siti ternyata yang membuka pintu.

"Eyang udah tidur, Ti?"

"Belum mbak, nunggu mbak Nala daritadi."

Aku masuk setelah mempersilahkan bang Rico duduk di kursi teras.

"Eyang, maaf kemalaman. Tadi kios tutup agak malam."

"Iya nggak apa. Kamu naik apa?"

"Sama temen aku. Bang Rico."

"Cuma diantar sampai depan?"

"Enggak. Itu di teras, mau pamit eyang dulu katanya."

Aku menggandeng lengan Eyang Sri, berjalan pelan ke teras. Bang Rico sedang asyik mengamati anggrek-anggrek milik eyang.

"Bang..."

"Eh... Eyang, maaf kemalaman ya. Besok nggak diulang lagi." Bang Rico meminta maaf sambil menyalami eyang.

"Iya, kios juga tutupnya malam kan? Ya sudah mau minum apa? Biar dibuatkan Siti."

"Nggak usah eyang. Terima kasih. Saya pamit pulang saja sudah malam. Nala juga biar istirahat."

"Ya sudah. Hati-hati di jalan ya. Makasih udah antar Nala sampai sini."

"Itu tadi siapa, Nala?" tanya eyang setelah aku membersihkan diri dan duduk di sebelah eyang yang sedang asyik nonton TV.

"Bang Rico, eyang. Temen deket."

"Sudah lama?"

"Lumayan. Tapi karena kesibukan ya memang jarang ketemu."

"Pacarmu yang dulu itu, kemana?"

"Sudah pisah, eyang..."

"Rico bukan orang jawa ya?"

Aku menggeleng lemas. Aku tahu kemana arah pembicaraan ini.

"Ya sudah sana tidur dulu. Besok kita ngobrol lagi. Eyang kangen sama kamu."

Aku menarik nafas lega, setidaknya malam ini aku bisa beristirahat dulu walau besok akan tetap mendengar pendapat eyang tentang Bang Rico.

Bergegas aku masuk ke kamar yang biasa kutempati jika menginap disini. Sebuah kamar yang selalu mengingatkanku pada Mama.

Terpopuler

Comments

Uindhy

Uindhy

Dari inbox FB langsung kesini 😁

2023-04-01

1

Novi Larasati

Novi Larasati

hallo mak intaaa aku langsung otw buka nt setelah liat postinganmu di fb 😁😁 berharap yg dulu di kaskus di lanjut di sini makkk masih penasaran sama endingnya.. dari aku masih gadis sampai punya anak 2 mak.. masih terngiang" ceritamu di kaskus hikss😢

2022-10-04

1

Wulan Lestari

Wulan Lestari

lekas update ya thor
penasaran ihh 🤭🤭

2022-06-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!