Kubuka mataku perlahan, kulihat Siti masih berusaha membangunkanku.
"Mbak, Eyang mbak..."
Kesadaranku langsung penuh dan segera berlari keluar disusul Siti. Namun aku belum sampai ke kamar Eyang, suara sirine terdengar sangat jelas di depan rumah. Kuarahkan langkahku keluar rumah. Ambulance diikuti mobil Pakdhe Nugroho tampak berjalan menjauh.
Kakiku terasa lemas.
"Tadi jam dua belasan Pakdhe Nugroho datang mbak. Pas aku bikinin teh sama siapin air mandi, Pakdhe ke kamar eyang. Ternyata eyang sesak nafas hebat. Langsung telepon ambulance, untung cepat datangnya. Kata Pakdhe, mbak disuruh menunggu kabar dulu jangan langsung nyusul ke rumah sakit." Siti segera menjelaskan sebelum kuminta.
Airmataku turun tanpa bisa kucegah. Ada penyesalan kenapa aku meminum obat batuk pilek sebelum tidur, jadi tidak bisa menemani eyang di dalam ambulance itu. Bagai film tanpa suara, bayangan mendiang Mama saat dulu berkali-kali dilarikan ke rumah sakit menggunakan ambulance karena anfal silih berganti di bayanganku. Siti memelukku erat dan mengajakku masuk.
"Aku bikinin susu hangat ya Mbak?"
Aku mengangguk mengiyakan. Rasa kantukku hilang entah kemana berganti dengan perasaan cemas yang tak terlukiskan.
Berdua dengan Siti aku cemas menunggu kabar dari Pakdhe Nugroho. Sudah setengah jam sejak mereka berangkat ke rumah sakit.
Jam empat tepat, telepon rumah berdering nyaring. Segera kuangkat dan benar saja telepon dari Pakdhe Nugroho.
"Tolong siapin baju-baju eyang, pakaian dalam juga sekalian. Nggak usah banyak. Nanti kalau sudah terang, kamu sama Siti ke rumah sakit ya."
"Ya, Pakdhe. Kondisi eyang sekarang gimana?"
"Di ICU, doa terus ya. Nanti kalian langsung ke ruang tunggu ICU saja."
Aku menutup telepon dengan lemas.
"Eyang gimana mbak? Sekarang di ruang apa? Kata Pakdhe Nug kapan kita kesana?" Siti memberondongku dengan beberapa pertanyaan.
"Kita disuruh siapin beberapa baju eyang, dan pakaian dalam. Sekarang masih di ICU tapi untuk jaga-jaga saja siapa tau dibutuhkan. Nanti kalau sudah terang kita kesana."
"Mbak ikut jaga eyang?"
"Aku nanti kesana bentar, lalu berangkat kerja. Pulang kerja aku langsung kesana, jaga eyang malam."
Siti mengangguk paham.
Setengah tujuh pagi, aku dan Siti bersiap berangkat ke rumah sakit menggunakan bis kota yang lewat depan gang. Sesampainya di rumah sakit, aku melangkahkan kaki ke ruang tunggu ICU. Dulu, Eyang bekerja di rumah sakit ini dan mendapat rumah dinas yang letaknya di belakang rumah sakit ini. Jadi aku masih hafal seluk beluk ruangan di rumah sakit ini. Terlihat Pakdhe Nugroho, Budhe Ratih dan putera puterinya sedang berbincang. Aku mendekati dan menyalaminya satu persatu.
"Gimana kondisi Eyang?" tanyaku pada Pakdhe.
"Kita berdoa saja. Sekarang masih di ICU. Semoga eyang bisa pulih."
Aku mengangguk pelan.
Drrrttt....
Gawaiku bergetar tanda panggilan masuk. Kulihat, ternyata Bang Rico. Aku menekan tombol hijau lalu berjalan menjauh dari keluargaku.
"Ya Bang?"
"Adek kerja nggak?"
"Kerja, Bang. Ini sebentar lagi mau berangkat."
"Ini Abang sudah di halaman parkir rumah sakit. Adek dimananya?"
"Di ruang tunggu ICU bang."
"Tunggu ya, Abang kesana."
Tidak sampai sepuluh menit, tampak Bang Rico berjalan mendekatiku. Setelah bersalaman dan berbasa basi dengan Pakdhe Nugroho, Budhe Ratih dan kakak-kakak sepupuku, aku dan Bang Rico pamit karena kami harus segera bekerja.
Sepanjang jalan hingga ke parkiran, Bang Rico terus menggenggam erat tanganku seolah menguatkan.
"Nanti pulang kerja adek ke rumah sakit lagi?"
"Iya Bang. Ambil baju dulu di kost."
"Abang jemput ya. Jangan kemana-mana sebelum Abang sampai sini."
"Nggak ngerepotin?"
"Nggak... Sudah pokoknya Abang yang jemput dan antar adek ke rumah sakit. Abang kerja dulu sekarang. Adek juga harus tetap semangat kerjanya ya."
Selepas Bang Rico pergi, aku bergegas membuka rolling door kios rental komputer tempatku bekerja. Mbak Wina yang juga baru datang langsung membantuku.
"Gimana kondisi eyangmu? Harusnya kamu ijin kok..."
"Masih di ICU, Mbak. Minta doanya ya, Mbak. Kalau aku ijin, siapa yang menggantikanku?"
"Iya sih ya. Disini nggak ada yang bisa mengetik cepat." jawabnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya sudah, semoga eyang baik-baik aja ya... Kita doain aja." sambungnya lagi.
Hari itu pelanggan datang silih berganti lebih ramai daripada biasanya. Kesedihanku sedikit teralihkan dengan kesibukan yang bahkan untuk makan siang saja telat.
Tidak terasa sudah pukul tujuh malam. Orderan ketikan terakhir baru saja diambil oleh pelanggan. Sengaja memang aku mempercepat mengerjakannya, agar aku tidak perlu lembur. Baru saja selesai mematikan komputer terakhir, motor Bang Rico sudah parkir di depan rental.
Setelah mandi, mengambil baju ganti dan makan malam, Bang Rico mengarahkan motornya ke Rumah Sakit.
"Abang kalau capek, aku masuk sendiri aja nggak apa-apa."
"Sudah ayo, Abang antar sampai dalam. Lagipula sudah jam sembilan malam."
Sama seperti tadi pagi, Bang Rico menggenggam erat tanganku sepanjang lorong rumah sakit. Sepele namun sangat berarti.
"Pakdhe, maaf kemalaman..."
"Ya sudah nggak apa, Pakdhe pulang dulu ya... Kamu jaga sini sama Siti ya? Berani kan? Atau mau ditemani temanmu?"
"Saya mau pulang, Pakdhe. Kebetulan ada pekerjaan yang harus saya selesaikan malam ini. Hanya antar Nala saja. Besok pagi saya usahakan jemput dan antar ke tempat kerjanya juga."
"Oh, ya sudah ayo bareng saja jalan ke parkiran. Ngomong-ngomong, kamu kerja dimana?"
"Jasa konstruksi, Pakdhe."
Mereka berjalan menjauh dari ruang tunggu sambil terus berbincang.
"Mbak, masuk yuk... Kasur lipat udah kurapikan. Tinggal tidur saja, pasti capek kan?" Siti menggamit lenganku setelah bayangan Pakdhe Nugroho dan Bang Rico menghilang di ujung lorong rumah sakit.
Sebelum terlelap, kudaraskan sebuah doa khusus untuk kesembuhan Eyang. Semoga Tuhan masih memberiku kesempatan untuk berbakti dan memberikan yang terbaik untuk Eyang Sri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments