Malamnya, selesai jam kerja, aku diantar ke kost oleh Bang Rico untuk mandi dan mengambil baju ganti untuk keesokan harinya, makan malam lalu menuju ke rumah sakit tempat eyang dirawat. Hari ini Eyang sudah pindah ke ruang rawat inap. Pakdhe Nugroho menempatkan Eyang di ruang VIP dengan fasilitas yang lengkap termasuk ekstra tempat tidur untuk penunggu. Setelah menunjukkan kartu tunggu kepada satpam yang berjaga di pintu ruang rawat inap, aku dan Bang Rico diperbolehkan masuk. Seperti biasa, Bang Rico menggenggam erat tanganku.
"Pegangin terus..." sindirku pada Bang Rico.
"Iya, biar nggak kabur. Hahaha."
"Aku masuk sendiri aja nggak apa-apa Bang. Sudah malam, kasihan Abang."
"Abang nggak apa-apa juga antar adek ke ruangan Eyang. Lagi pula, tidak baik gadis jalan sendiri malam-malam begini." Jawabnya tegas sembari menggenggam tanganku semakin erat.
Malas berdebat, kubiarkan saja Bang Rico mengantarku. Sebenarnya alasanku adalah, aku takut Eyang melihatku bersama Bang Rico lalu membuat kondisinya menurun lagi. Kulirik jam di pergelangan tangan kiriku, sudah jam sepuluh malam. Semoga Eyang sudah tidur, harapku dalam bathin.
"Kenapa diam? Nggak nyaman jalan sama Abang?"
Aku melirik Bang Rico yang malam ini sepertinya agak sensitif.
"Bukan gitu, Abang... Nyaman kok jalan sama Abang. Cuma agak sedikit capek dan ngantuk." jawabku dengan sedikit senyum.
Tiba-tiba Bang Rico menghentikan langkahnya. Karena tanganku masih dipegang erat, otomatis akupun ikut berhenti. Bang Rico mengangkat daguku, menatap mataku dengan dalam.
"Hmm... Semoga kamu tidak berbohong."
"Beneran Bang, aku capek, ngantuk juga." cicitku.
"Ya. Semoga Eyang segera sembuh dan bisa pulang. Jadi kamu bisa tidur nyenyak lagi di kost. Sambil curi-curi waktu bertemu dengan seseorang yang nomornya kamu namai a' Ardan."
Tanpa menunggu jawabanku, Bang Rico melangkah lagi.
"Bang, maksud abang apa?"
"Seharusnya Abang yang nanya ke adek, maksud adek apa? Mau mempermainkan perasaan Abang?"
"Aku nggak pernah permainkan perasaan Abang. Aku nggak ada hubungan dengan a' Ardan."
"Ada getaran dalam suaramu. Kamu sedang berbohong."
Aku menarik nafas berat.
"Maksudku, aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan a' Ardan." Kuralat ucapanku. Karena, kurangnya kata dalam sebuah kalimat juga berbeda makna, bukan?
Lagi-lagi Bang Rico menatap mataku seolah mencari kejujuran.
"Sejak kapan tidak ada hubungan dengan a'a mu itu?"
"Sudah lama. Abang kenapa tiba-tiba bahas tentang dia?"
"Kenapa? Kaget? Sedari awal kita dekat, Abang cerita semua tentang diri Abang, keluarga Abang, bahkan mantan pacar Abang. Abang juga beberapa kali menanyakan tentang kehidupanmu termasuk masa lalu. Adek hanya menceritakan tentang Mama yang sudah meninggal, hubungan adek dengan Papa dan sebagainya lah tanpa pernah menceritakan mantan adek termasuk a' Ardanmu itu."
"Maaf, Bang. Bukan gitu maksudku, aku pengen cerita, tapi aku bingung sebenarnya hubungan apa yang sedang kita jalani. Abang dulu pernah cerita, belum bisa move on dari mantan abang. Lalu selama ini kita dekat tanpa pernah sekalipun Abang menjelaskan hubungan ini."
"Kita sudah bukan ABG. Masih harus diproklamirkan bahwa, kita pacaran lho dek. Atau mau langsung Abang nikahi saja Adek biar tahu kalau Abang serius?"
Aku terkejut mendengar jawabannya.
Bang Rico mengajakku duduk di kursi panjang yang tersedia di salah satu sisi selasar rumah sakit.
"Kenapa diam? Tidak mau kunikahi? Atau jangan-jangan aku hanya menjadi pelarianmu selama a' Ardanmu menghilang tanpa kabar, agar kamu tidak kesepian dan terlalu sedih??"
Aku tahu emosi Bang Rico sudah mulai memuncak, karena saat ini sudah mulai ber-aku kamu.
"Bukan gitu, bang. Aku nggak ada maksud seperti itu. Aku sama dia sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi."
"Sejak kapan? Atau hanya kamu yang mengambil keputusan sepihak?"
Bang Rico masih terus mendesakku, dan sejujurnya akupun tidak dapat menjawab. Memang kesalahanku, belum menyelesaikan hubunganku dengan a' Ardan, sudah berani dekat dengan Bang Rico.
"Aku harus bagaimana biar abang percaya denganku?"
"Terserah kamu. Tanpa kamu jelaskan juga aku bisa mencari tahu sendiri."
"Bang, maaf... Aku salah. Kuakui aku salah, tapi benar aku sudah tidak ada hubungan lagi dengan a' Ardan."
"Iya, itu versimu. Tapi tidak dengan dia yang masih menganggap bahwa kamu miliknya. Paham?"
"Besok aku ganti nomor saja, kuhapus nomor dia. Setelah itu kita bisa kembali baik-baik saja." jawabku lirih.
"Kamu pikir semudah itu? Ganti nomor, hapus nomor dia. Kamu pikir itu saja cukup? Percuma. Abang yakin, nomornya sudah tersimpan rapi di memori otakmu. Dan suatu saat jika kita ada masalah, bukan tidak mungkin, kamu menghubungi dia lagi. Mengganti nomor pun juga bukan solusi. Justru seperti orang yang melarikan diri dari masalah."
"Terus aku harus bagaimana, Bang? Ohya, Abang kenapa tiba-tiba bahas tentang dia?"
"Kenapa? Kaget ya kok tiba-tiba aku tahu tentang dia? Sewaktu kamu mandi, gawaimu berbunyi. Sebenarnya aku malas mengangkatnya. Namun karena berkali-kali, kulihat gawaimu. Ternyata nama si pemanggil adalah a'Ardan, lengkap dengan tanda love di depan dan belakang namanya. Lalu ada sms masuk, ternyata dari dia. Maaf, aku lancang membacanya. Aku tidak menghapusnya, coba kamu cek saja sendiri. Lalu kamu pikir, pantas tidak aku marah?"
Segera aku mengecek gawaiku. Benar ada beberapa sms dari a'Ardan yang sudah terbaca.
'Kamu dimana dek? Pindah kemana kamu? Aku barusan pulang dan kamu tidak ada di rumah. Maaf, aku tidak menghilang, tapi ada urusan penting yang harus kuselesaikan. Aku harap kamu bisa mengerti. Aku sekarang di rumah, tapi kata tetangga, kamu sudah beberapa bulan pindah tanpa memberi tahu kemana. Yang a'a sesali, kenapa kamu tidak bisa menunggu a'a datang dan memberi penjelasan?'
'Dek, maafin a'a. A'a kangen kamu. Pulang ya dek. Ini ada titipan roti juga dari Mama.'
Aku menggigit bibirku, berusaha menahan airmata yang hampir jatuh. Entah bagaimana aku menjelaskan pada Bang Rico, karena semua sms dari a' Ardan memang benar-benar bisa membuat kesalahpahaman. Aku menarik nafas dalam berkali-kali untuk menenangkan diriku.
"Bang, aku minta maaf sekali lagi karena tidak pernah menceritakan tentang dia. Sebenarnya aku sendiripun juga ingin melupakannya. Aku nggak nyangka malah jadi begini. Maafin aku, Bang."
"Sudah larut malam, kuantar kamu ke ruangan eyang. Besok pagi bersiap lebih pagi, aku jemput, kita sarapan dan lanjutkan pembicaraan. Malam ini kamu istirahat saja dulu. Biar aku berpikir, langkah apa yang seharusnya kita ambil."
Tanpa menunggu jawabanku, Bang Rico menarik tanganku. Genggamannya terasa lebih erat dibandingkan hari kemarin. Kami berjalan dalam hening hingga tidak terasa sudah sampai ke depan ruang rawat inap yang ditempati eyang.
"Masuk sana. Istirahat. Aku pulang dulu."
"Makasih, Bang. Maafin aku."
Bang Rico mengangguk lalu berjalan pelan ke arah pintu keluar.
"Bang..." panggilku sebelum dia berjalan semakin jauh. Aku menyusulnya.
"Jangan tinggalin aku..." cicitku sambil terus menunduk.
"Aku tidak akan melepaskan apa yang sudah kumiliki begitu saja. Kecuali jika dia sudah tidak ingin bersamaku. Besok kita bahas lagi. Sekarang, tidurlah."
Kali ini tidak seperti biasanya, tanpa kecupan hangat di keningku. Bang Rico meneruskan langkahnya menyusuri lorong rumah sakit yang terasa sangat sepi malam ini.
"Mbak..." Siti memanggilku.
"Lho belum tidur?"
"Belum. Ayo mbak, masuk."
Aku mengikuti Siti masuk ke ruang rawat inap. Eyang tampak tertidur nyenyak, mungkin pengaruh obat.
Setelah membersihkan diri dan berganti baju tidur, aku merebahkan diri di tempat tidur yang memang disediakan untuk penunggu pasien. Sebenarnya tubuhku terasa sangat lelah, namun mata rasanya sulit sekali terpejam. Bayangan a' Ardan dan Bang Rico silih berganti memenuhi ruang di kepalaku.
Masalah restu belum selesai, bahkan belum sempat kubahas dengan Bang Rico, sudah datang masalah baru lagi. Kapan aku boleh bahagia, Tuhan? Teriakku dalam hati.
[FLASHBACK OFF]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments