Bab 4

"Mbak, bangun mbak... Barusan perawat memanggil kita. Eyang sadar katanya."

Kesadaranku langsung penuh mendengar sebuah kabar bahagia. Kulihat seorang perawat keluar dari ruang ICU. Aku dan Siti segera menghampirinya.

"Keluarga Eyang Sri? Eyang sudah sadar dan memanggil Mbak Nala. Mbak Nala bisa cuci tangan lalu mengenakan pakaian yang sudah kami sediakan sebelum masuk ke ruang ICU ya."

Aku mengangguk dan bergegas mengikuti perawat itu masuk, setelah mencuci tangan dan mengenakan pakaian yang memang khusus digunakan jika akan masuk ke ruang ICU.

"Eyang..." bisikku perlahan nyaris tak terdengar karena aku mati-matian menahan isakku. Kulihat Eyang sedang tertidur, namun seolah Eyang mengetahui kehadiranku. Eyang membuka matanya, dan menggerakkan jarinya. Aku berjalan mendekat brankar, menggenggam lembut tangan Eyang.

"Nala nungguin Eyang di luar. Eyang cepet sembuh ya? Katanya mau nikahin Nala kan? Eyang harus sembuh. Sekarang Eyang istirahat dulu, biar besok kondisi Eyang stabil dan bisa pindah ke ruang rawat inap."

Eyang menggerakkan ibu jarinya yang berarti 'OK'

"Nala keluar dulu ya, biar Eyang bisa istirahat. Nala sayang Eyang."

Setelah kukecup keningnya, aku keluar dan langsung diberondong pertanyaan oleh Siti.

"Gimana Eyang mbak? Benar sudah sadar? Berarti bisa pindah ke ruangan lain kan? Kapan bisa pulang?"

"Iya Eyang sudah sadar. Pindahnya nunggu observasi dokter dulu. Sekarang jam berapa ya? Aku mau sms Pakdhe Nugroho dulu."

"Jam setengah dua belas malam, Mbak."

Kuambil gawaiku di tas. Ada beberapa sms dari Bang Rico rupanya.

"Adek, abang diajak makan sop kaki kambing di depan rumah sakit sama Pakdhe. Adek mau makan lagi nggak?"

"Adek sudah tidur? Kok tumben nggak balas sms Abang. Abang sudah selesai makan. Abang pulang dulu ya. Jaga diri baik-baik, besok Abang jemput adek."

"Dek, Abang sudah sampai kontrakan. Selamat tidur, aster putihku."

Membacanya aku tersipu. Bang Rico memang selalu menyebutku 'aster putih'.

Sebelum kubalas sms Bang Rico, aku mengirim sms ke seluruh keluargaku dahulu untuk mengabarkan bahwa Eyang sudah sadar dan sekarang sedang di observasi. Setelah kupastikan semua terkirim, aku segera mengetik sms untuk membalas sms Bang Rico yang baru sempat kubaca.

"Abang, maaf tadi aku langsung tidur. Lalu terbangun tadi karena perawat mengetuk dan memberitahu bahwa Eyang sudah sadar dan mencariku. Sekarang Eyang sedang di observasi. Semoga semua baik-baik saja dan dapat segera pindah ke ruang perawatan."

Tanpa harus menunggu lama, balasan dari Bang Rico masuk lagi.

"Syukurlah. Abang ikut senang mendengarnya. Ya sudah, adek lanjut tidur lagi ya? Ini pekerjaan Abang juga sudah hampir selesai lalu mau tidur juga. Kita ketemu dalam mimpi ya? Selamat beristirahat lagi, aster putihku."

Lagi-lagi aku tersipu.

"Mbak, senyum-senyum sendiri." Siti menggodaku.

"Tidur yuk... Kamu ngantuk kan? Atau mau makan?"

"Walah jam segini makan, nanti aku makin gemuk. Hahaha."

Aku merebahkan diri di samping Siti. Seperti biasa, kami mengobrol dan bercerita tentang banyak hal sebelum akhirnya sama-sama tertidur.

Sayup-sayup adzan subuh terdengar berkumandang. Kubangunkan Siti yang masih tertidur.

"Ti, bangun. Sholat subuh dulu sana."

"Wah iya mbak. Malah Mbak Nala yang bangunin aku. Makasih ya, Mbak?"

Siti menjepit rambutnya, lalu berjalan menuju kamar mandi yang terletak di samping ruang tunggu. Aku mengambil gawaiku dan mengikuti berjalan keluar ruangan dengan maksud memberi kesempatan dan tempat untuk Siti menjalankan ibadah sholat subuh.

Kuedarkan pandanganku ke sekitar. Sepi. Namun toh sejak Mama berpulang ke rumah Tuhan, aku sudah akrab dengan sepi, sekalipun ramai orang. Kupandangi satu persatu pintu yang berada di seberang ruang tunggu yang kutempati saat ini. Suara sirine ambulance sesekali terdengar. Entah berapa nyawa yang saat ini sedang berjuang di balik ruangan-ruangan berdinding dingin.

"Mbak, ngelamunin Bang Rico ya?"

Siti duduk di sebelahku membawa sebotol kecil air mineral yang kemarin dibelikan oleh Pakdhe Nugroho.

"Hish, ngawur. Lagi ngelamunin nasib. Hahaha."

"Kangen Mama ya Mbak?" tanya Siti lagi.

"Iya. Kangen banget. Hidupku berubah total setelah Mama meninggal. Dulu bahagia, sekarang menyedihkan."

Siti memelukku dari samping. Lalu kami sama-sama terdiam.

Jam tujuh tepat, Bang Rico sudah sampai di ruang tunggu ICU yang kutempati.

"Dek, kita sarapan dulu ya? Ini abang bawakan nasi kuning. Abang beli dekat kontrakan. Langganan Abang ini, Dek. Ah tapi besok kalau sudah nikahi adek, pasti sudah tidak langganan lagi. Abang sarapan masakan adek setiap pagi. Hahaha. Sudah ayo kita makan. Abang beli tiga bungkus."

Mendengar ucapannya panjang lebar, aku tersipu malu. Apalagi Bang Rico mengucapkannya di depan Siti.

Bang Rico membuka satu persatu bungkus nasi kuning, meletakkan sendok lalu memberikan padaku dan Siti.

"Makasih, Bang." Ucapku dan Siti hampir bersamaan.

"Kembali kasih. Ayo kita nikmati sarapan ini biar kuat menghadapi dunia. Hahaha."

Bersama Siti dan Bang Rico aku menikmati nasi kuning dengan lauk telor balado dan suwiran ayam.

Baru saja menyelesaikan suapan terakhir, Budhe Ratih datang bersama Pakdhe Nugroho.

"Gimana kondisi Eyang?"

"Masih observasi, Budhe. Kata perawat, nanti kita akan diinformasikan lagi oleh dokter langsung."

"Berarti ada kemungkinan besok atau lusa Eyang bisa pindah ke ruang rawat inap. Di ruang Tulip saja seperti biasa, biar Eyang nyaman, dan ada bed untuk penunggu pasien, juga ruang tamu. Jadi kalau ada tamu kan tidak mengganggu istirahatnya Eyang."

Budhe mengangguk menyetujui ucapan Pakdhe Nugroho. Entah benar-benar setuju atau hanya enggan berdebat. Karena Pakdhe Nugroho anak laki-laki Eyang satu-satunya dan selalu dibanggakan. Sementara aku, Siti, dan Bang Rico hanya diam. Jelas karena tidak berani berpendapat.

"Pakdhe, Budhe, aku ijin berangkat kerja dulu. Nanti sepulang kerja, aku langsung ke rumah sakit lagi. Tolong aku dikabari kondisi Eyang."

Setelah berpamitan, aku dan Bang Rico berjalan keluar rumah sakit. Masih seperti kemarin, tanganku digenggam sepanjang lorong rumah sakit.

"Makasih ya Bang, menguatkanku." cicitku.

"Ya kan Abang hanya bantu doa dan antar jemput."

"Tapi genggaman tangan Abang juga bikin aku kuat, kok. Merasa tidak sendiri, ada abang yang selalu pegangin aku."

"Oh ini?" tanyanya sambil mengangkat tanganku yang masih dia pegang.

"Iya." jawabku sambil senyum.

"Ini sih biar semua yang di rumah sakit tahu kalau kamu sudah jadi milik Abang. Biar tidak ada dokter yang ngelirik." jawabnya santai.

"Ih Abang tu nyebelin. Lagian kondisi gini mana ada aku mikir aneh-aneh."

"Hahaha. Abang pencemburu lho, Dek. Tapi dengan cara elegan." jawabnya lagi sembari mengacak rambutku.

Aku mencubit pinggangnya gemas, lalu mempercepat langkahku menuju tempat parkir yang tinggal beberapa meter saja. Bang Rico menyusul sambil tertawa renyah.

Ah, seandainya Eyang merestui....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!