Janitra menatap sekali lagi rumah peninggalan eyangnya yang beberapa bulan terakhir ini dia tempati bersama Danang, laki-laki pemabuk yang saat ini masih berstatus suamiku dan Dewandaru, anak laki-lakiku semata wayang.
"Berangkat sekarang, Bu?"
Suara Pak Pardi, sopir jasa angkutan barang membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk pelan. Karena aku takut jika aku menjawab, bukan kalimat yang keluar namun justru tangisanku yang mengalir.
Kupeluk erat Dewa yang tertidur dalam gendonganku ketika perlahan mobil pickup melaju meninggalkan rumah penuh kenangan itu. Sesekali aku melirik ke spion, memastikan Danang tidak mengikutiku.
"Aman kok Bu.. Saya yakin dia nggak ikutin kita." Ucap Pak Pardi, seolah mengerti kekhawatiranku.
"Iya Pak. Terima kasih ya, Pak."
Aku kembali memandang jalanan di depanku. Lengang. Sepi. Jarum jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Sebenarnya bukan waktu yang tepat untuk pindahan apalagi hanya aku dan Dewa. Ah, aku kan bukan pindahan, tapi melarikan diri. Menyelamatkan masa depan anakku, agar tidak mengikuti jejak ayahnya.
*FLASH BACK*
Ddrrttt...
Gawaiku bergetar tanda panggilan masuk. 'Eyang Sri'
"Halo Eyang..."
"Nala, kamu dimana?"
"Masih di tempat kerja, Eyang... Ada apa, Eyang?"
"Kamu hari ini bisa pulang kesini?"
"Ya eyang, nanti pulang kerja ya?"
Setelah menitip beberapa barang, Eyang Sri menutup pembicaraan.
"Siapa Na?" tanya mbak Wina, rekan kerjaku.
"Eyang Sri. Ibunya Mamaku."
"Sayang ya sama kamu? Kok kamu nggak tinggal bareng eyang aja?"
"Ya sayang, mungkin karena aku udah nggak punya Mama, dan Papa....." jawabku menggantung. Ada rasa sesak jika harus membahas tentang Papa.
Mbak Wina mengelus pundakku, seolah ingin menguatkanku.
Sebenarnya aku terlahir dari sebuah keluarga yang bahagia. Mama dan Papa sangat menyayangiku. Namun semua kebahagiaanku usai dalam sebuah duka panjang tak bertepi setelah Mama meninggal. Papa memilih terhanyut dalam dukanya sendiri, menyibukkan diri dengan pekerjaan, teman dan pacar barunya. Melupakan bahwa aku dan adikku juga memiliki duka yang sama dan masih membutuhkan beliau.
Ya, kehilangan seorang ayah memang berarti kehilangan tulang punggung keluarga. Namun ketika kehilangan seorang ibu, kita juga kehilangan dunia kita. Dan aku mengalaminya.
Untunglah pekerjaan hari ini tidak terlalu banyak, jadi aku bisa segera pulang.
"Pulang ke kost atau jadi ke rumah eyang, Na?" tanya mbak Wina saat melihatku mulai menonaktifkan beberapa komputer.
"Ke rumah eyang, Mbak..."
"Naik apa? Sudah jam sembilan, nggak ada bis lho..."
"Tadi Bang Rico telpon aku, katanya mau jemput. Rencana mau ajakin makan bareng. Paling nanti pulangny aku minta antar ke rumah eyang sekalian."
Mbak Wina mengangguk-angguk sambil tersenyum penuh makna.
Tepat jam 9 malam, Bang Rico memarkirkan motornya di parkiran tempat kerjaku. Tidak langsung masuk, Bang Rico memilih menungguku di depan kios fotokopi sebelah kios rental komputer tempatku bekerja. Sebenarnya kios fotokopi dan rental komputer ini milik satu orang yang sama.
Setelah memastikan semua kabel tercabut dan uang berada di tempatnya, aku segera menutup rolling door dan berjalan keluar dari pintu belakang ruko.
"Maaf lama ya Bang?"
"Hahaha. Santai lah dek. Jadi kan kita makan? Abang belum makan dari pagi."
"Ih kenapa Abang ga makan? Nanti sakit lho..."
"Iya dek, seharian ini tadi banyak kerjaan. Ini siap kerja abang langsung meluncur kesini."
Bang Rico memasangkan helm yang sengaja ia bawakan untukku.
"Aku pulang dulu ya mbak?" pamitku pada mbak Wina setelah helm terpasang di kepalaku.
"Yoi. Hati-hati di jalan ya. Abang jangan ngebut lho..." teriak mbak Wina dari dalam kios fotokopi. Kebetulan hari ini fotokopi kebanjiran orderan, jadi mereka harus melemburnya. Biasanya aku juga menemani, namun malam ini agak sedikit luar biasa. Hahaha.
Perlahan, motor Bang Rico membelah jalanan yang masih tampak ramai walau sudah pukul setengah sepuluh malam.
"Makan disini ya dek? Abang kangen ayam bakarnya." katanya sambil memarkirkan motor.
"Iya bang... Kangen sama ayam bakar doang ya? Ga kangen aku?" Aku menggodanya sambil senyum-senyum. Lalu dia mengacak rambutku sambil tertawa.
"Adek duduk sana, abang pesankan. Ayam juga kan? Minumnya lemon tea hangat ya, sudah malam nggak baik minum dingin."
Malas membantah, kuiyakan saja.
Sambil menunggu, kami mengobrol ringan tentang pekerjaan masing-masing.
"Adek sudah bilang ke teman kost kan kalau pulang terlambat?"
"Aku nanti ke rumah eyang aja, Bang. Abang bisa antar?"
"Oh, oke oke nanti abang antar ya? Tapi nggak apa malam begini kesana?"
"Enggak. Aku tadi udah bilang eyang kok. Lagian besok kan libur, Bang."
"Ya sudah, kita makan agak cepat berarti ya biar nggak terlalu larut sampai rumah eyangnya adek."
Setelah membayar, bang Rico langsung mengantarkan aku ke rumah Eyang. Sudah pukul sebelas malam. Sebenarnya agak ragu datang jam segini, namun aku sudah terlanjur janji pada Eyang. Lampu ruang tamu masih menyala, pertanda eyang masih terjaga. Aku mengetuk pelan pintu rumah eyang.
Kreeett
Siti ternyata yang membuka pintu.
"Eyang udah tidur, Ti?"
"Belum mbak, nunggu mbak Nala daritadi."
Aku masuk setelah mempersilahkan bang Rico duduk di kursi teras.
"Eyang, maaf kemalaman. Tadi kios tutup agak malam."
"Iya nggak apa. Kamu naik apa?"
"Sama temen aku. Bang Rico."
"Cuma diantar sampai depan?"
"Enggak. Itu di teras, mau pamit eyang dulu katanya."
Aku menggandeng lengan Eyang Sri, berjalan pelan ke teras. Bang Rico sedang asyik mengamati anggrek-anggrek milik eyang.
"Bang..."
"Eh... Eyang, maaf kemalaman ya. Besok nggak diulang lagi." Bang Rico meminta maaf sambil menyalami eyang.
"Iya, kios juga tutupnya malam kan? Ya sudah mau minum apa? Biar dibuatkan Siti."
"Nggak usah eyang. Terima kasih. Saya pamit pulang saja sudah malam. Nala juga biar istirahat."
"Ya sudah. Hati-hati di jalan ya. Makasih udah antar Nala sampai sini."
"Itu tadi siapa, Nala?" tanya eyang setelah aku membersihkan diri dan duduk di sebelah eyang yang sedang asyik nonton TV.
"Bang Rico, eyang. Temen deket."
"Sudah lama?"
"Lumayan. Tapi karena kesibukan ya memang jarang ketemu."
"Pacarmu yang dulu itu, kemana?"
"Sudah pisah, eyang..."
"Rico bukan orang jawa ya?"
Aku menggeleng lemas. Aku tahu kemana arah pembicaraan ini.
"Ya sudah sana tidur dulu. Besok kita ngobrol lagi. Eyang kangen sama kamu."
Aku menarik nafas lega, setidaknya malam ini aku bisa beristirahat dulu walau besok akan tetap mendengar pendapat eyang tentang Bang Rico.
Bergegas aku masuk ke kamar yang biasa kutempati jika menginap disini. Sebuah kamar yang selalu mengingatkanku pada Mama.
Paginya, seperti biasa jika menginap di rumah eyang, aku pasti terbangun saat adzan subuh berkumandang. Sambil menunggu Siti menjalankan ibadah sholat subuh, aku mencuci piring dan gelas.
"Walah kok dicuciin lho mbak..."
"Daripada nganggur. Kamu mau belanja?"
"Iya, nanti mbak... Mau nyapu halaman dulu."
"Aku nyapu rumah ya. Sekalian kupel."
"Nggak apa-apa mbak?"
"Iya, mumpung libur juga aku."
Mama adalah anak ke 5 dari 6 bersaudara. Meninggal karena kanker rahim yang sudah bermetastasis hingga ke paru-parunya saat aku duduk di bangku SMP. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi merasakan kehidupan sebuah keluarga bahagia yang sebelumnya kurasakan saat Mama masih ada bersama kami. Mungkin karena kasihan, Eyang Sri sering memintaku pulang ke rumahnya. Walau mungkin sebulan sekali aku baru bisa menginap disini sehari atau dua hari. Kecuali saat hari raya, biasanya seminggu karena membantu mempersiapkan acara keluarga.
Jam setengah enam aku dan Siti sudah bersiap ke pasar kecil dekat rumah Eyang untuk berbelanja. Hari ini rencana aku yang akan memasak. Sayur asem, ikan asin, tahu goreng dan sambal tomat terasi. Walau aku biasa memasak di kost, namun rasanya akan tetap berbeda jika dinikmati bersama keluarga.
"Semalam pacarmu?" tanya Eyang setelah sarapan.
"Iya, eyang." Kulihat eyang menarik napas.
"Yang dulu putus?" sambung eyang lagi.
"Iya, eyang..." jawabku menggantung karena aku sendiri tidak tahu apa status kami. Dibilang putus, tidak ada keputusan. Tapi dibilang masih, juga tidak ada kepastian.
"Mbok cari orang dekat saja. Sama-sama jawa. Eyang sudah tua, ingin melihat kamu menikah. Karena Mamamu sudah meninggal, Eyang yang ingin menikahkan kamu."
Aku berdiri lalu memeluk eyang.
"Iya Eyang. Doakan bisa dapat yang seperti itu ya Eyang."
"Ya.. Ya sudah, eyang mau istirahat dulu. Kamu nanti masih tidur sini kan?"
"Iya Eyang, besok pagi berangkat kerja dari sini."
Setelah eyang masuk kamar, aku menyusul masuk ke kamarku yang berada di rumah bagian belakang.
Sorenya aku terbangun saat Siti menyapu halaman belakang rumah Eyang.
"Ti, Eyang belum bangun?"
"Masih di kamar, Mbak. Tumben jam segini. Biasanya sudah mandi dan nonton televisi sambil ngeteh lho."
Aku mengerenyitkan dahi, lalu mengajak Siti ke kamar Eyang.
Tok...tok... Kuketuk pelan pintu kamar Eyang. Kuulangi beberapa kali namun tidak mendapat jawaban. Kubuka perlahan, untung tidak dikunci dari dalam. Kulihat eyang sedang tiduran bersandar ke tumpukan bantal sehingga posisinya agak duduk. Nafasnya tampak berat. Memang akhir-akhir ini kondisi eyang sering drop.
"Eyang sesak nafas?" tanyaku sambil menarik tabung oksigen kecil berwarna hitam yang memang ada di kamar eyang. Kubantu eyang memakai selang oksigen sementara Siti menyiapkan segelas air hangat untuk Eyang Sri.
"Jangan banyak pikiran, Eyang... Katanya mau nikahin aku dulu. Sehat ya Eyang."
Aku duduk di kursi samping tempat tidur eyang. Kupijati pelan-pelan agar lebih rileks. Tak lama, nafas eyang mulai teratur.
"Aku ke dapur dulu ya? Eyang kubikinin sup krim mau?"
Eyang mengangguk lemah.
"Masih sering sesek ya, Ti?"
"Iya mbak.. mbak sih lama nggak kesini."
"Iya, kadang aku ambil lemburan. Kan lumayan uangnya, Ti."
"Hahaha iya mbak. Pacar mbak yang dulu, si a'a Ardan sudah putus? Sekarang sama Bang Rico ya?"
"Iya gitu deh. Hahaha. Tapi sama a' Ardan benernya nggak ada kejelasan gitu, Ti. Sama Bang Rico juga baru sih."
"Tapi dua-duanya eyang nggak suka ya, Mbak?"
Kami memasak sambil terus mengobrol. Dari dulu aku memang akrab dengan Siti. Bahkan terkadang saat ada acara keluarga, aku memilih berdua dengan Siti menyibukkan diri di dapur daripada harus bergabung. Aku merasa asing setelah Mama pergi.
Sepanci kecil sup krim jagung, sosis dan ayam sudah siap. Kuambil sedikit untuk eyang.
"Aku antar untuk eyang dulu. Kamu ambil aja Ti kalau mau."
"Siap mbak, aku icip dikit ya?"
Kusuapi sedikit demi sedikit sambil kupandang wajah Eyang Sri, ibu kandung Mama. Ah aku rindu Mama. Seandainya Mama masih ada mungkin saat ini aku masih tinggal serumah dengan Papa dan adikku.
"Sudah selesai, eyang istirahat dulu ya? Nanti kalau butuh apa-apa, ketuk pinggiran tempat tidur aja ya."
Setelah membetulkan posisi tidur Eyang Sri, aku duduk di depan televisi bersama Siti.
"Mbok tinggal disini aja, Mbak. Atau seminggu sekali pulang kesini biar rumah nggak sepi."
"Hahaha. Takut dikira ngerepoti Eyang."
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Aku sudah menguap beberapa kali. Kulihat Siti juga tampak mengantuk.
"Tidur aja yuk. Aku tidur disini aja sambil jagain Eyang."
"Mbak di kamar saja. Biar aku yang di depan TV."
"Ya sudah, aku ke kamar dulu ya. Kalau butuh apa-apa, bangunin saja."
Aku mengintip ke kamar Eyang. Tampak Eyang sudah terlelap, nafasnya juga teratur.
Aku merasa tubuhku seperti ada yang mengguncang, lalu suara-suara ramai di depan kamarku. Mataku terasa berat, mungkin pengaruh obat batuk pilek yang kuminum sebelum tidur tadi.
"Mbak, bangun mbak... Eyang mbak...."
Kubuka mataku perlahan, kulihat Siti masih berusaha membangunkanku.
"Mbak, Eyang mbak..."
Kesadaranku langsung penuh dan segera berlari keluar disusul Siti. Namun aku belum sampai ke kamar Eyang, suara sirine terdengar sangat jelas di depan rumah. Kuarahkan langkahku keluar rumah. Ambulance diikuti mobil Pakdhe Nugroho tampak berjalan menjauh.
Kakiku terasa lemas.
"Tadi jam dua belasan Pakdhe Nugroho datang mbak. Pas aku bikinin teh sama siapin air mandi, Pakdhe ke kamar eyang. Ternyata eyang sesak nafas hebat. Langsung telepon ambulance, untung cepat datangnya. Kata Pakdhe, mbak disuruh menunggu kabar dulu jangan langsung nyusul ke rumah sakit." Siti segera menjelaskan sebelum kuminta.
Airmataku turun tanpa bisa kucegah. Ada penyesalan kenapa aku meminum obat batuk pilek sebelum tidur, jadi tidak bisa menemani eyang di dalam ambulance itu. Bagai film tanpa suara, bayangan mendiang Mama saat dulu berkali-kali dilarikan ke rumah sakit menggunakan ambulance karena anfal silih berganti di bayanganku. Siti memelukku erat dan mengajakku masuk.
"Aku bikinin susu hangat ya Mbak?"
Aku mengangguk mengiyakan. Rasa kantukku hilang entah kemana berganti dengan perasaan cemas yang tak terlukiskan.
Berdua dengan Siti aku cemas menunggu kabar dari Pakdhe Nugroho. Sudah setengah jam sejak mereka berangkat ke rumah sakit.
Jam empat tepat, telepon rumah berdering nyaring. Segera kuangkat dan benar saja telepon dari Pakdhe Nugroho.
"Tolong siapin baju-baju eyang, pakaian dalam juga sekalian. Nggak usah banyak. Nanti kalau sudah terang, kamu sama Siti ke rumah sakit ya."
"Ya, Pakdhe. Kondisi eyang sekarang gimana?"
"Di ICU, doa terus ya. Nanti kalian langsung ke ruang tunggu ICU saja."
Aku menutup telepon dengan lemas.
"Eyang gimana mbak? Sekarang di ruang apa? Kata Pakdhe Nug kapan kita kesana?" Siti memberondongku dengan beberapa pertanyaan.
"Kita disuruh siapin beberapa baju eyang, dan pakaian dalam. Sekarang masih di ICU tapi untuk jaga-jaga saja siapa tau dibutuhkan. Nanti kalau sudah terang kita kesana."
"Mbak ikut jaga eyang?"
"Aku nanti kesana bentar, lalu berangkat kerja. Pulang kerja aku langsung kesana, jaga eyang malam."
Siti mengangguk paham.
Setengah tujuh pagi, aku dan Siti bersiap berangkat ke rumah sakit menggunakan bis kota yang lewat depan gang. Sesampainya di rumah sakit, aku melangkahkan kaki ke ruang tunggu ICU. Dulu, Eyang bekerja di rumah sakit ini dan mendapat rumah dinas yang letaknya di belakang rumah sakit ini. Jadi aku masih hafal seluk beluk ruangan di rumah sakit ini. Terlihat Pakdhe Nugroho, Budhe Ratih dan putera puterinya sedang berbincang. Aku mendekati dan menyalaminya satu persatu.
"Gimana kondisi Eyang?" tanyaku pada Pakdhe.
"Kita berdoa saja. Sekarang masih di ICU. Semoga eyang bisa pulih."
Aku mengangguk pelan.
Drrrttt....
Gawaiku bergetar tanda panggilan masuk. Kulihat, ternyata Bang Rico. Aku menekan tombol hijau lalu berjalan menjauh dari keluargaku.
"Ya Bang?"
"Adek kerja nggak?"
"Kerja, Bang. Ini sebentar lagi mau berangkat."
"Ini Abang sudah di halaman parkir rumah sakit. Adek dimananya?"
"Di ruang tunggu ICU bang."
"Tunggu ya, Abang kesana."
Tidak sampai sepuluh menit, tampak Bang Rico berjalan mendekatiku. Setelah bersalaman dan berbasa basi dengan Pakdhe Nugroho, Budhe Ratih dan kakak-kakak sepupuku, aku dan Bang Rico pamit karena kami harus segera bekerja.
Sepanjang jalan hingga ke parkiran, Bang Rico terus menggenggam erat tanganku seolah menguatkan.
"Nanti pulang kerja adek ke rumah sakit lagi?"
"Iya Bang. Ambil baju dulu di kost."
"Abang jemput ya. Jangan kemana-mana sebelum Abang sampai sini."
"Nggak ngerepotin?"
"Nggak... Sudah pokoknya Abang yang jemput dan antar adek ke rumah sakit. Abang kerja dulu sekarang. Adek juga harus tetap semangat kerjanya ya."
Selepas Bang Rico pergi, aku bergegas membuka rolling door kios rental komputer tempatku bekerja. Mbak Wina yang juga baru datang langsung membantuku.
"Gimana kondisi eyangmu? Harusnya kamu ijin kok..."
"Masih di ICU, Mbak. Minta doanya ya, Mbak. Kalau aku ijin, siapa yang menggantikanku?"
"Iya sih ya. Disini nggak ada yang bisa mengetik cepat." jawabnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya sudah, semoga eyang baik-baik aja ya... Kita doain aja." sambungnya lagi.
Hari itu pelanggan datang silih berganti lebih ramai daripada biasanya. Kesedihanku sedikit teralihkan dengan kesibukan yang bahkan untuk makan siang saja telat.
Tidak terasa sudah pukul tujuh malam. Orderan ketikan terakhir baru saja diambil oleh pelanggan. Sengaja memang aku mempercepat mengerjakannya, agar aku tidak perlu lembur. Baru saja selesai mematikan komputer terakhir, motor Bang Rico sudah parkir di depan rental.
Setelah mandi, mengambil baju ganti dan makan malam, Bang Rico mengarahkan motornya ke Rumah Sakit.
"Abang kalau capek, aku masuk sendiri aja nggak apa-apa."
"Sudah ayo, Abang antar sampai dalam. Lagipula sudah jam sembilan malam."
Sama seperti tadi pagi, Bang Rico menggenggam erat tanganku sepanjang lorong rumah sakit. Sepele namun sangat berarti.
"Pakdhe, maaf kemalaman..."
"Ya sudah nggak apa, Pakdhe pulang dulu ya... Kamu jaga sini sama Siti ya? Berani kan? Atau mau ditemani temanmu?"
"Saya mau pulang, Pakdhe. Kebetulan ada pekerjaan yang harus saya selesaikan malam ini. Hanya antar Nala saja. Besok pagi saya usahakan jemput dan antar ke tempat kerjanya juga."
"Oh, ya sudah ayo bareng saja jalan ke parkiran. Ngomong-ngomong, kamu kerja dimana?"
"Jasa konstruksi, Pakdhe."
Mereka berjalan menjauh dari ruang tunggu sambil terus berbincang.
"Mbak, masuk yuk... Kasur lipat udah kurapikan. Tinggal tidur saja, pasti capek kan?" Siti menggamit lenganku setelah bayangan Pakdhe Nugroho dan Bang Rico menghilang di ujung lorong rumah sakit.
Sebelum terlelap, kudaraskan sebuah doa khusus untuk kesembuhan Eyang. Semoga Tuhan masih memberiku kesempatan untuk berbakti dan memberikan yang terbaik untuk Eyang Sri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!