Bab 2

Paginya, seperti biasa jika menginap di rumah eyang, aku pasti terbangun saat adzan subuh berkumandang. Sambil menunggu Siti menjalankan ibadah sholat subuh, aku mencuci piring dan gelas.

"Walah kok dicuciin lho mbak..."

"Daripada nganggur. Kamu mau belanja?"

"Iya, nanti mbak... Mau nyapu halaman dulu."

"Aku nyapu rumah ya. Sekalian kupel."

"Nggak apa-apa mbak?"

"Iya, mumpung libur juga aku."

Mama adalah anak ke 5 dari 6 bersaudara. Meninggal karena kanker rahim yang sudah bermetastasis hingga ke paru-parunya saat aku duduk di bangku SMP. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi merasakan kehidupan sebuah keluarga bahagia yang sebelumnya kurasakan saat Mama masih ada bersama kami. Mungkin karena kasihan, Eyang Sri sering memintaku pulang ke rumahnya. Walau mungkin sebulan sekali aku baru bisa menginap disini sehari atau dua hari. Kecuali saat hari raya, biasanya seminggu karena membantu mempersiapkan acara keluarga.

Jam setengah enam aku dan Siti sudah bersiap ke pasar kecil dekat rumah Eyang untuk berbelanja. Hari ini rencana aku yang akan memasak. Sayur asem, ikan asin, tahu goreng dan sambal tomat terasi. Walau aku biasa memasak di kost, namun rasanya akan tetap berbeda jika dinikmati bersama keluarga.

"Semalam pacarmu?" tanya Eyang setelah sarapan.

"Iya, eyang." Kulihat eyang menarik napas.

"Yang dulu putus?" sambung eyang lagi.

"Iya, eyang..." jawabku menggantung karena aku sendiri tidak tahu apa status kami. Dibilang putus, tidak ada keputusan. Tapi dibilang masih, juga tidak ada kepastian.

"Mbok cari orang dekat saja. Sama-sama jawa. Eyang sudah tua, ingin melihat kamu menikah. Karena Mamamu sudah meninggal, Eyang yang ingin menikahkan kamu."

Aku berdiri lalu memeluk eyang.

"Iya Eyang. Doakan bisa dapat yang seperti itu ya Eyang."

"Ya.. Ya sudah, eyang mau istirahat dulu. Kamu nanti masih tidur sini kan?"

"Iya Eyang, besok pagi berangkat kerja dari sini."

Setelah eyang masuk kamar, aku menyusul masuk ke kamarku yang berada di rumah bagian belakang.

Sorenya aku terbangun saat Siti menyapu halaman belakang rumah Eyang.

"Ti, Eyang belum bangun?"

"Masih di kamar, Mbak. Tumben jam segini. Biasanya sudah mandi dan nonton televisi sambil ngeteh lho."

Aku mengerenyitkan dahi, lalu mengajak Siti ke kamar Eyang.

Tok...tok... Kuketuk pelan pintu kamar Eyang. Kuulangi beberapa kali namun tidak mendapat jawaban. Kubuka perlahan, untung tidak dikunci dari dalam. Kulihat eyang sedang tiduran bersandar ke tumpukan bantal sehingga posisinya agak duduk. Nafasnya tampak berat. Memang akhir-akhir ini kondisi eyang sering drop.

"Eyang sesak nafas?" tanyaku sambil menarik tabung oksigen kecil berwarna hitam yang memang ada di kamar eyang. Kubantu eyang memakai selang oksigen sementara Siti menyiapkan segelas air hangat untuk Eyang Sri.

"Jangan banyak pikiran, Eyang... Katanya mau nikahin aku dulu. Sehat ya Eyang."

Aku duduk di kursi samping tempat tidur eyang. Kupijati pelan-pelan agar lebih rileks. Tak lama, nafas eyang mulai teratur.

"Aku ke dapur dulu ya? Eyang kubikinin sup krim mau?"

Eyang mengangguk lemah.

"Masih sering sesek ya, Ti?"

"Iya mbak.. mbak sih lama nggak kesini."

"Iya, kadang aku ambil lemburan. Kan lumayan uangnya, Ti."

"Hahaha iya mbak. Pacar mbak yang dulu, si a'a Ardan sudah putus? Sekarang sama Bang Rico ya?"

"Iya gitu deh. Hahaha. Tapi sama a' Ardan benernya nggak ada kejelasan gitu, Ti. Sama Bang Rico juga baru sih."

"Tapi dua-duanya eyang nggak suka ya, Mbak?"

Kami memasak sambil terus mengobrol. Dari dulu aku memang akrab dengan Siti. Bahkan terkadang saat ada acara keluarga, aku memilih berdua dengan Siti menyibukkan diri di dapur daripada harus bergabung. Aku merasa asing setelah Mama pergi.

Sepanci kecil sup krim jagung, sosis dan ayam sudah siap. Kuambil sedikit untuk eyang.

"Aku antar untuk eyang dulu. Kamu ambil aja Ti kalau mau."

"Siap mbak, aku icip dikit ya?"

Kusuapi sedikit demi sedikit sambil kupandang wajah Eyang Sri, ibu kandung Mama. Ah aku rindu Mama. Seandainya Mama masih ada mungkin saat ini aku masih tinggal serumah dengan Papa dan adikku.

"Sudah selesai, eyang istirahat dulu ya? Nanti kalau butuh apa-apa, ketuk pinggiran tempat tidur aja ya."

Setelah membetulkan posisi tidur Eyang Sri, aku duduk di depan televisi bersama Siti.

"Mbok tinggal disini aja, Mbak. Atau seminggu sekali pulang kesini biar rumah nggak sepi."

"Hahaha. Takut dikira ngerepoti Eyang."

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Aku sudah menguap beberapa kali. Kulihat Siti juga tampak mengantuk.

"Tidur aja yuk. Aku tidur disini aja sambil jagain Eyang."

"Mbak di kamar saja. Biar aku yang di depan TV."

"Ya sudah, aku ke kamar dulu ya. Kalau butuh apa-apa, bangunin saja."

Aku mengintip ke kamar Eyang. Tampak Eyang sudah terlelap, nafasnya juga teratur.

Aku merasa tubuhku seperti ada yang mengguncang, lalu suara-suara ramai di depan kamarku. Mataku terasa berat, mungkin pengaruh obat batuk pilek yang kuminum sebelum tidur tadi.

"Mbak, bangun mbak... Eyang mbak...."

Terpopuler

Comments

Arin Enggarini

Arin Enggarini

udah update... makasih kakak..

2022-06-25

0

Wulan Lestari

Wulan Lestari

Lekas update ya thor, gws thor

2022-06-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!