Rasuk

Rasuk

Penolakan

"Apa? Asrama? Aku gak mau tinggal di asrama, Mah. Aku juga gak mau pindah sekolah. Kenapa, sih, Mamah dan Papah nyuruh aku buat pindah sekolah?"

Seorang gadis belia berusia tujuh belas tahun, Alea Prasetyo, berdiri dengan dada bergemuruh. Dia baru saja tiba di rumah, seragam sekolah bahkan masih melekat di tubuhnya, tapi kedua orang tua gadis itu langsung saja membicarakan tentang perpindahan sekolah.

Siska, wanita paruh baya yang tak lain adalah mamahnya, menghela napas berat. Memperhatikan gadis itu dari tempatnya duduk. Tatapan matanya menyiratkan ketegasan, tanpa berkedip menghujam manik Alea.

Ia kira gadis itu akan luluh dan menurut, nyatanya manik coklat Alea justru balik menusuk tatapannya. Tak ada gentar ketakutan, sama tegas seperti apa yang dia layangkan.

"Kamu gak bisa nolak, Le. Mamah dan Papah sudah memutuskannya, kamu akan pindah ke sekolah asrama. Gak ada penolakan!" tegas wanita itu sembari memainkan jari telunjuknya di depan wajah.

Dia bahkan tak beranjak sama sekali, tetap duduk elegan di sebuah sofa kulit besar. Kedua kaki menumpuk, dagu yang selalu terangkat tak pernah sekalipun menunduk. Pantang baginya menundukkan wajah di depan siapapun.

"Aku tetap gak mau, Mah!" tolak Alea lagi.

Gadis dengan rambut sebahu itu membanting langkah hendak pergi. Mata tajam Siska mengikuti ke mana kaki jenjang sang anak pergi. Tangga demi tangga ia lewati dengan cepat dan langkah yang dihentakkan.

"Kamu gak bisa menolak, Le! Besok Papah dan Mamah akan mengantar kamu ke sekolah yang baru. Baru saja Papah dari sekolah kamu dan mengurus surat pindah. Jadi, kemasi barang-barang kamu karena pagi-pagi sekali kita akan berangkat." Sebuah suara berat terdengar membahana di ruang tamu rumah itu.

Langkah Alea terhenti, dihentaknya kaki yang masih menggantung di udara sebelum berbalik badan menghadap kedua orang tua yang bergeming di tempatnya. Mata gadis itu berputar secara bergantian menatap dua orang dewasa di bawah sana.

Rahangnya mengeras, rasa panas ia rasakan di seluruh pembuluh darah hingga membuat matanya ikut memanas. Ingin menangis, tapi dia menahannya. Yang ia lakukan hanyalah mengeratkan pegangan pada tali tas yang disampirkannya di punggung.

"Kalian egois. Kenapa aku gak boleh nentuin keinginan aku sendiri? Kenapa aku harus selalu nurut sama kalian? Kenapa aku gak bisa kaya Nola yang bebas nentuin pilihan? Kenapa?" jeritnya tak kalah membahana.

Ia bernapas dengan cepat, serasa ada ribuan sembilu menghujam jantungnya. Menusuk-nusuk segumpal daging dalam dada, membuatnya sesak. Air mata yang tumpah segara dihapusnya dengan tegas.

Namun, kedua orang tua di bawah sana tetap pada keputusan mereka, wanita itu bahkan tak merubah ekspresinya, tetap datar dan tanpa senyum. Juga laki-laki yang bergelar Ayah, sekalipun tak pernah bersikap lembut padanya. Pandang keduanya berkilat-kilat tajam, ada kebencian dalam pancaran manik mereka yang ditujukan untuk Alea.

"Kemasi barangmu malam ini juga!" perintah terakhir dari ayahnya membuat Alea tak berkutik.

Bibir gadis itu berkedut-kedut hendak menangis, wajahnya meringis sedih. Jari jemarinya dikepalkan dengan erat hingga kuku-kukunya yang panjang menusuk daging tangan. Ia berbalik tanpa berucap, berlari cepat menapaki anak tangga, memasuki kamarnya.

Suara dentaman pintu keras menyentak kedua orang tua yang masih berada di tempat itu. Pandang mereka bertemu, keduanya tak acuh dan hanya menggelengkan kepala.

******

Pagi datang terlalu cepat, Alea duduk termangu di tepi ranjang. Menatap sebuah koper berukuran sedang yang berisi sebagian pakaian miliknya. Jiwa dan raganya belum siap untuk meninggalkan rumah, sekolah, juga teman-teman, tapi mau bagaimana lagi? Keputusan mutlak ada di tangan dua orang tua itu.

Untuk pertama kalinya, hati Alea menolak kedatangan sang mentari pagi. Ia membiarkan rambutnya begitu saja, mata sembab dan merah juga sedikit membengkak, terdapat lingkaran hitam yang mengelilinginya. Alea yang selalu tampil elegan dan menarik, kini terlihat seperti mayat hidup yang tak memiliki tujuan hidup.

"Alea!"

Lengkingan suara Siska bagai lolongan serigala di tengah malam yang sunyi. Menggelegar, membahana memecah hening. Gadis itu bangkit, menyeret langkah keluar dari kamar. Koper ditangannya ia biarkan bergesekan dengan lantai. Bunyi bising yang tak ingin didengar Siska membuat kepalanya mengepulkan asap.

Mulut wanita itu terkunci rapat, hanya sorot matanya saja yang terlihat mengobarkan api amarah. Beruntung dia tidak meledak, berbalik saat Alea mulai mendekat. Tungkai indahnya berlenggok elegan meninggalkan rumah.

Alea membisu, meliriknya saja tidak. Terbesit tanya dalam hati, apakah dia anak kandung mereka? Ataukah bukan? Perlakuan yang mereka tunjukkan sangat berbanding terbalik dengan Nola. Remaja yang masih duduk di bangku SMP yang tak lain adalah adik Alea.

Siska merangkul bahu Nola dengan menampilkan garis bibir yang sempurna. Nyaris tanpa cacat. Rasa iri seketika memenuhi hatinya, teringin menerima senyum sempurna, hangat dan penuh cinta itu. Sebuah keinginan sederhana, tapi tak pernah ia dapatkan.

"Alea!"

Teguran dari Prasetyo membuat Alea membuyarkan lamunan. Kaki jenjangnya mulai melangkah dengan malas. Masuk ke dalam mobil setelah menaruh koper di bagasi. Sepanjang perjalanan, wajahnya tak berpaling dari hamparan bangunan tinggi menjulang. Juga deretan pepohonan yang menyejukkan jalan.

Ada banyak pedagang yang berkeliaran di sekitar komplek perumahannya. Alea menjatuhkan kepala pada jendela pintu, mata sayu itu tak berkedip menatap kota kelahiran yang akan dia tinggalkan. Untuk sekadar berpamitan saja, ia tak diberi izin.

Selamat tinggal Jakarta. Entah ke mana mereka akan membawaku.

Hatinya bergumam sedih, rasa sakit menusuk-nusuk jantung menimbulkan sebak yang tiada tara. Telinganya seolah tertutup, tak mendengar celoteh ketiga orang yang bersamanya. Ia menutup mata, mencoba untuk tertidur. Hampir semalaman kelopak mata itu tak terpejam.

*****

"Kak, bangun! Kita udah sampai."

Nola mengguncang lembut bahu Alea. Gadis itu membuka mata, menutup mulut yang terbuka lebar. Buram matanya melihat sebuah bangunan tinggi dengan banyak pintu menghiasi. Dinding suram dan berlumut seolah-olah tak pernah dibersihkan, membangunkan rasa ngeri dalam hati Alea.

"Ayo, turun! Kita udah sampai," ajak Nola lagi melihat Alea yang termangu di dalam mobil.

Rasa tak percaya membuatnya berpikir keras, daripada disebut asrama sekolah, bangunan itu terlihat seperti rumah susun yang tak berpenghuni. Alea mengedarkan pandangan, jauh di seberang bangunan asrama itu terdapat bangunan lagi yang lebih mirip dengan kelas-kelas di sekolah.

Banyak pohon tinggi tumbuh di sekitar lingkungan itu. Beberapa mungkin sudah berumur puluhan tahun. Tempat yang nyaman sebenarnya, tapi entah kenapa membuat bulu kuduk Alea meremang. Terlebih saat mereka melintasi sebuah pohon beringin dengan akar-akarnya yang menjuntai, Alea tanpa sadar mengusap tengkuk.

Langkahnya terhenti saat sesuatu mengusik mata. Alea memutar kepala memeriksa. Ia merasa seseorang sedang mengawasi dibalik pohon besar itu. Memanggil namanya dengan lembut, memintanya untuk datang.

"Alea!"

Terpopuler

Comments

han bi

han bi

pinter banget author, feelnya kerasa banget. semangat thor
saling suport yukk
mampir juga ya di karyaku🤗🤗

2023-06-27

0

Triple.1

Triple.1

bisa kubayangkan ngerinya gimana kak...

2022-06-17

1

Wati Simangunsong

Wati Simangunsong

jd berinding sndri aku kk aisy

2022-06-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!