"Alea!"
Suara panggilan bernada tinggi dari seorang laki-laki menyentak lamunan Alea.
"Eh?"
Alea mengedarkan pandangan, kerutan di dahinya menandakan garis bingung begitu melihat dirinya yang sedang berhadapan dengan pohon beringin tua. Raut wajah penuh tanya, dalam hati menuntut jawaban, sejak kapan dia berdiri di sana? Apakah dia berjalan tanpa sadar?
"Alea, cepatlah!"
Kali ini suara Siska yang memanggil. Nada suara wanita itu keras lagi tegas, urat-urat kekesalan bermunculan di pelipis juga lehernya. Amat menonjol sehingga siapa yang berada di dekatnya akan dapat melihat itu dengan jelas.
Alea masih mengatup rapat mulut sejak kedua kakinya menginjak halaman asrama itu. Tak satupun kata terlontar dari bibirnya yang pucat. Tubuhnya bergerak tanpa kendali, berjalan linglung mengikuti kedua orang tua memasuki sebuah ruangan.
Lagi-lagi, bulu-bulu halus dalam tubuh Alea meremang. Pemandangan di dalam ruangan itu begitu mengerikan. Banyak patung kepala hewan terpasang di dinding sebagai hiasan, juga barang-barang kuno nan klasik turut menempel di sekelilingnya.
"Sebentar, saya akan panggilkan Ibu dulu. Silahkan duduk!" pamit seorang wanita yang memandu mereka sembari menunjuk sebuah kursi yang berbuat dari kayu jati.
Kursi berukiran bunga-bunga dengan bantalan tipis pada bagian yang biasa diduduki itu, menggoda mereka untuk segera mendudukinya. Prasetyo, Siska, dan Nola serentak duduk sambil mengedarkan pandangan melihat-lihat seisi ruang tamu.
Hanya Alea yang masih berdiri di sana, wajahnya datar tanpa ekspresi. Menatap satu demi satu patung hewan yang diawetkan. Tiba-tiba saja mata hewan-hewan itu terbuka dan melotot ke arahnya. Alea juga melihat sebuah seringai dari mulut hewan-hewan itu.
Deg!
Jantungnya berdetak tak karuan, membuatnya sedikit sesak seolah-olah tercekik. Napasnya memburu berat, kembang-kempis hidung Alea mencari udara. Tubuh gadis itu kaku, membeku dan tak dapat digerakkan. Kedua matanya melotot lebar, menatap patung-patung hewan di tembok.
"Alea!"
Prasetyo menghampirinya, mengguncang tubuh kaku Alea cukup kuat. Namun, gadis itu masih membeku, tangannya yang bergetar terangkat menunjuk kepala kerbau yang bertanduk panjang. Matanya kosong saat bersitatap dengan sang Ayah. Tak lama, tubuh Alea ambruk tak sadarkan diri.
"Alea!"
Prasetyo sigap membawa tubuh lunglai itu dan membaringkannya di kursi panjang.
"Kakak! Pah, Kakak kenapa? Aku lihat tadi Kakak kaya yang ketakutan," tanya Nola. Mungkin hanya gadis itu saja yang terlihat cemas, sedangkan Papah dan Mamah mereka kembali bersikap biasa seolah-olah tak terjadi apapun.
"Kakak kamu cuma kecapean, tadi pagi dia gak sarapan. Mungkin juga semalaman dia gak tidur," sahut Siska tak acuh. Mereka membiarkan Alea begitu saja.
Tak lama wanita paruh baya yang memandu mereka muncul dengan membawa nampan berisi gelas-gelas enamel yang antik bermotif batik khas zaman dulu.
"Silahkan, Pak, Bu. Diminum!"
Senyum di wajah wanita itu raib saat melihat Alea yang terbaring tak sadarkan diri.
"Eh, itu si Neng-nya kenapa?" tanyanya terkejut. Ia mendekat dan memeriksa keadaan Alea. Layaknya seorang dokter ahli, wanita paruh baya itu memeriksa denyut nadi juga membuka kelopak mata Alea.
Kepalanya menoleh, tegang dan serius saat melihat Prasetyo juga Siska. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berbalik dan kembali masuk ke arah di mana tadi dia muncul.
"Dia aneh sekali, wajahnya seram. Apa Papah dan Mamah lihat? Tempat ini juga seram, apa gak apa-apa Kakak ditinggal di sini?" Nola menatap kedua orang tuanya.
Ada kekhawatiran dalam pancaran mata kecil itu. Cemas karena harus membiarkan sang Kakak tinggal di tempat asing juga tak nyaman itu sendirian. Siska mengusap rambutnya lembut, bibirnya menampakkan senyum hangat, tapi juga tegas. Menolak pemikiran sang anak bungsu yang mengkhawatirkan Alea.
"Sayang, ini semua demi kebaikan Kakak kamu. Supaya dia mandiri, bisa ngurus diri sendiri, dan gak bergantung terus sama orang tua. Udah, ya. Kamu jangan terlalu mencemaskan Kakak. Dia akan baik-baik saja di sini," ucapnya lembut.
Nola mengangguk pasrah. Berselang, seorang wanita berusia lanjut muncul dari pintu di depan mereka. Wanita yang elegan dengan pakaian khas Sunda melekat di tubuhnya. Atasan kebaya dipadu kain sarung motif batik yang membalut kakinya. Tubuhnya sintal dan berisi meskipun usianya telah memasuki setengah abad lebih.
Ia melenggang pelan, setiap ketukan langkah seolah diperhitungkan. Bibir yang dipoles gincu merah bata itu membentuk senyum sempurna, rambut disanggul dengan tusuk konde antik berbentuk bunga. Prasetyo dan Siska sontak berdiri menyambut kedatangannya.
"Selamat datang Bapak, Ibu, di asrama Melati Putih. Silahkan duduk!" Ia menjulurkan tangan, Siska dan Prasetyo bergantian menyambut.
Mereka berdua mengepalkan tangan setelah merasai betapa lembut kulit wanita berusia lanjut itu. Kelembutannya melekat di kulit tangan mereka, sehalus sutera yang membuat mereka ingin berlama-lama menyentuh kulit tersebut.
Dahi wanita itu berkerut, tapi garis lengkung di bibir masih tercetak sempurna. Langkah kembali mengetuk lantai yang terbuat dari marmer mengkilap mendekati Alea yang tertidur. Disapunya dahi gadis itu, kedua matanya terpejam.
Senyum di bibirnya hilang, sama persis seperti wanita yang tadi. Kepalanya pelan menoleh, menatap dua orang tua yang tertegun melihatnya. Mata itu bahkan lebih tajam dari wanita tadi, maniknya yang hitam menusuk jantung mereka. Secara tiba-tiba, dada mereka bergemuruh hebat. Ada sesuatu yang aneh mengalir membuat sekujur tubuh mereka bergejolak panas.
Mata Alea terbuka, keadaannya sudah jauh lebih baik. Ia bahkan tersenyum pada wanita misterius itu. Wanita itu beranjak, kembali ke tempat duduk berbincang dengan santai.
"Jiwa yang rapuh selalu mengundang mereka untuk datang. Kalian yakin akan menitipkan anak ini di sini? Saya lihat dia sangat rapuh dan membutuhkan kedua orang tuanya. Bagaimana, Pak, Bu?" Suara lembut itu mengalun bagai nyanyian rindu sang rembulan.
"Mmm ... kami sangat yakin, Bu. Kami ingin dia jadi anak yang mandiri, gak selalu bergantung sama kedua orang tua. Itu saja," ucap Prasetyo dengan yakin.
Wanita itu mengangguk, bahkan gerakan kepalanya saja teramat elegan. Tangannya gemulai mempersilahkan mereka meminum jamuan.
*****
Menjelang sore, Prasetyo dan keluarga berpamitan pada pemilik asrama. Bersama Alea, mereka mengantar kepergian keluarga Prasetyo itu.
Alea menatap hampa mobil yang membawa keluarganya, bergeming tanpa berbicara sepatah katapun.
"Nak Alea, mari Ibu antar ke kamar!" ucap sang pemilik asrama seraya berjalan lebih dulu.
Alea menghela napas, berjalan dengan kepala tertunduk. Awan mendung itu masih menyelimuti wajah cantiknya. Mereka menapaki tangga menuju lantai tiga. Di sanalah Alea akan tinggal bersama tiga orang asing yang lebih dulu menghuni kamar tersebut.
Wanita itu membuka pintu, mempersilahkan Alea untuk memasukinya.
"Terima kasih, Bu-"
"Ningsih, nama saya Ningsih. Panggil saja Bu Ningsih, yang lain juga begitu."
Alea mengangguk pelan, pandang mereka bertemu untuk beberapa saat. Wanita itu melangkah, menyentuh bahu kiri Alea dengan lembut.
"Jangan berkeliaran saat menjelang malam. Di saat senja memayungi bumi, tetaplah berada di kamar kamu. Juga, jangan mandi di waktu Maghrib. Pamali."
Dia tersenyum. Bentuk senyum yang aneh di mata Alea sehingga kerutan muncul di dahinya. Wanita itu berbalik hendak pergi. Wajah itu masih sempat menatap Alea di ambang pintu.
"Mmm ... kenapa, Bu? Ada apa?" tanya Alea tanpa sadar.
Bibir merah itu kembali tersenyum.
"Pamali."
Hanya itu yang dia katakan sebelum menutup pintu kamar Alea. Tinggallah dia sendiri di dalam ruangan yang dipenuhi banyak barang itu.
Brak!
Dia tersentak saat jendela kamar tiba-tiba terbanting. Seseorang melintas di depan kamarnya, Alea membelalak dan berlari ke jendela. Seorang gadis cantik menoleh, wajahnya dingin dan kaku. Matanya kosong seolah-olah tak ada kehidupan. Dia kembali berjalan.
"Tunggu!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Inna Wati
seru..bosen crta cinta2 an🤣🤣
2023-08-15
0
Kartika
Oh alea, yang sabar ya nak....
2022-12-14
0
Yeni Haryani
apakah alea ank ny?
2022-11-09
0