"Mamah?"
Alea berdiri di ruang tengah rumahnya. Rumah yang biasanya ramai oleh celoteh Nola dan mamah, kini nampak lengang. Tak ada siapapun di sana, hanya dirinya seorang.
"Alea!"
Suara panggilan itu kembali menggema di telinga. Alea berputar mencari sosok yang memanggilnya. Tak ada apapun yang terlihat hanya desiran angin malam yang menerbangkan tirai-tirai jendela rumah.
"Alea, kamu pulang, sayang?"
Seorang wanita muda menyambutnya dengan senyum hangat. Langkahnya pelan mengetuk anak tangga, lembut menyapa telinga.
"Mamah?" Alea bergumam tak percaya, sosok yang selalu sinis padanya itu kini menampilkan senyum termanis sama seperti saat dia tersenyum pada Nola.
Tanpa sadar, air matanya menetes mengharu biru. Sebak merebak dalam dada, sesak pun karena bahagia. Ia melangkah pelan, kedua tangan membentang hendak memeluk, tapi wanita itu melengos ke arah lain. Tangan Alea tak dapat menggapai tubuh itu.
Ia tercenung, memutar kepala dengan pelan untuk dapat melihat siapa yang didatangi wanita itu.
"Mamah!"
Alea menutup mulut dengan kedua tangan, menggeleng tak percaya pada penglihatannya sendiri. Suara teriakan seorang anak kecil yang berlari ke dalam rumah. Di belakangnya, dua orang lansia mengikuti.
"Nenek! Kakek!" Lidahnya bergumam lirih.
Itu adalah kenangan saat kecil dulu, di mana Alea sering menginap di rumah Kakek dan Nenek. Air matanya kembali rembes tak tertahankan. Dia lupa, dia pernah memiliki masa kanak-kanak yang bahagia sebelum badai itu datang membuat dunianya tersisih.
Tiba-tiba keadaan sekitarnya berputar, Alea bingung. Jongkok meringkuk ketakutan, menutup wajah menggunakan kedua tangan. Suara tangisan seorang bayi menggema di telinganya, Alea membuka wajah dan melihat wanita tadi menggendong seorang bayi.
"Mamah, aku mau susu," pinta Alea kecil sambil menarik-narik pakaian yang dikenakan mamahnya.
"Ish!"
Wanita itu menepis tangan mungilnya hingga terlepas, tapi Alea kecil tak menyerah. Ia terus meminta susu pada mamahnya sambil menarik-narik pakaian. Dengan kasar, tangan Siska mendorong tubuh kecil Alea hingga jatuh di lantai. Wajahnya berubah bengis, tak ada lagi tatapan lembut yang dulu sering ia dapatkan.
"Kamu itu udah gede, udah punya adik. Jangan manja, deh. Sana, pergi bikin sendiri!" bentak Siska. Matanya melotot lebar hampir-hampir melompat keluar menerkam wajah pucat Alea.
Alea menggelengkan kepala, kembali berjongkok sambil menjambak rambutnya sendiri.
"Gak! Jangan lagi!" jeritnya melengking.
Alea menangis meraung-raung, menjerit tak karuan. Menolak kenyataan bahwa dia pada akhirnya hanya jadi anak buangan.
"Alea! Kamu kenapa?"
"Lea, sadar! Sadar, Le!"
"Kenapa Lea jadi kaya patung gini, sih? Bikin bulu kuduk aku berdiri tahu, gak." Sofi mengusap tengkuk sendiri merasakan hawa dingin menyentuh lembut kulitnya.
Alea tiba-tiba mematung, diam tak bergerak. Matanya terbuka, tapi hampa. Kedua bibirnya terbelah, dan berkedut-kedut. Air merembes dari kedua sudut matanya, tapi dia tetap diam tak bergerak.
Panik, ketiga temannya itu tidak tahu harus melakukan apa. Memanggil Bu Ningsih atau guru lainnya? Jangan harap! Bukan saatnya untuk keluar kamar dan berkeliaran.
Lina terlonjak memeluk Sofi dikala Alea mulai menjerit, kedua tangan gadis itu menjambak rambut sendiri. Menariknya hingga beberapa helai tercabut dari kulit kepalanya. Sofi bergidik ngeri, tanpa sadar beranjak berdiri, menjauh dari posisi Alea yang seperti orang gila.
"Argh!"
Hanya suara jeritan yang cukup keras keluar dari mulutnya. Alea melempar semua yang ada di depannya dengan brutal, sontak Firda dan Lina bangkit. Mereka melangkah mundur disaat Alea merangkak di atas ranjang. Dia bukan lagi Alea.
"Lea! Sadar, Le! Kamu harus lawan dia!" jerit Firda. Takut dan iba menjadi satu, berbaur menjadi rasa yang tak menentu.
"Fir, aku takut. Kenapa Lea tiba-tiba begitu?" Lina meremas pundak Firda sedikit kuat. Menggigit kuku takut menyaksikan bagaimana tubuh Alea menggeliat tak karuan.
"Ini udah gak baik, gak masuk akal. Kenapa Lea tiba-tiba berubah gitu aja? Padahal, 'kan, dia gak ke mana-mana," ujar Sofi. Semua yang ada di depan matanya benar-benar tidak dapat diterima nalar.
"Lea kerasukan, Sof. Jiwanya dikuasai jin," sahut Firda mencoba meredam rasa takut yang menghantui dirinya.
Suara raungan, disusul geraman menyeramkan yang dilakukan Alea semakin menambah rasa takut dalam hati mereka.
"Lea, ya Allah! Sadar, Le! Lawan, aku yakin kamu bisa!" Firda kembali menjerit, ketiganya berkumpul di sudut ruangan tak berani beranjak selangkah pun.
"Iya, Le! Kamu lebih kuat dari mereka. Lawan, Lea!" Lina ikut menimpali meski air mata telah rembes menghujani pipinya.
"Hahahaha ... hihihi ...." Suara lengkingan tawa menggema.
Suara yang terdengar banyak dan beraneka rupa. Alea bertumpu pada lutut, kedua tangan membentang ke kanan dan kiri. Wajah menengadah, mulutnya terbuka lebar terus menggemakan tawa yang melangit.
"Bismillaahirrahmaanirrahiim ... Allaahu laa ilaaha illaa huwal hayuul qayyuum ...." Firda melantunkan ayat kursi dengan lantang.
Diikuti Lina dan Sofi yang membantu membaca ta'awwudz, surat-surat pendek yang mereka hafal ala kadarnya berharap bacaan-bacaan itu akan mengusir jin yang menguasai jiwa Alea.
"Berhenti!" Suara raungan kembali terdengar disusul jerit kesakitan. Barang-barang di kamar tersebut berjatuhan karena energi negatif yang dibawa makhluk-makhluk itu.
"Panas!" Lengkingan begitu banyak suara terdengar mengerikan. Bumi seolah berguncang, melakukan perlawanan.
"Teruskan! Kita gak boleh berhenti," ucap Firda seraya melanjutkan kembali bacaannya.
"Ayo, Lea! Kamu bisa lawan mereka, kamu lebih kuat dari mereka, Lea! Jangan lemah, lawan! Mereka cuma makhluk-makhluk hina yang tak sempurna seperti kita, Lea! Dengar, Lea! LAWAN!"
"Argh!"
Jeritan panjang menjadi akhir dari penderitaan Alea saat itu. Gumpalan asap putih keluar dari mulutnya yang terbuka, terus melayang dan hilang. Tubuh Alea diam, tangan terkulai lemas. Jatuh terbanting di lantai dalam keadaan tak sadarkan diri.
"Lea!"
Mereka berhambur mendekati Alea, membantu gadis itu untuk duduk dan mengangkat tubuhnya ke atas ranjang. Rasa takut masih mereka rasakan bahkan hawa dingin yang sama terasa menyelimuti ruangan kamar tersebut.
"Lea!" Firda menepuk-nepuk lembut pipi Alea. Ia mengambil segelas air dan mengusapkannya di wajah gadis itu.
Alea mengernyit, kelopak matanya terbuka dengan pelan. Ia beranjak duduk sembari memegangi kepalanya yang berdenyut.
"Ada apa? Kenapa kamarnya jadi berantakan begini?" desisnya lirih sesaat setelah pandanganya mengedar ke penjuru kamar.
"Kamu gak apa-apa?" Mereka memilih diam dan tidak mengatakan apapun soal dia yang kembali kerasukan.
Wajah Alea mengernyit, belum sehari berada di asrama tersebut, sudah dua kali mengalami kerasukan yang membuat tubuhnya terasa remuk redam.
"Badanku sakit semua. Rasanya ngilu dan lemas," katanya lemah.
Mata itu sayu dan sedikit sembab, tak tega melihat kondisi Alea yang semakin memucat. Firda mengusap bahunya lembut, jantungnya sendiri masih berdebar-debar tak karuan, tapi sebisa mungkin ia menahan agar tidak membuat Alea panik.
"Mungkin kamu kecapean setelah perjalanan jauh tadi. Kamu pasti belum makan, ya. Nanti biar aku yang ambilin. Kamu di sini aja sama Lina," ucap Firda sambil melirik Lina.
Gadis itu terpaksa mengangguk meski hatinya diliputi rasa takut karena harus menemani Alea di kamar.
Brak!
Pintu terbuka sedikit kuat, sontak mereka menoleh dan membelalak karena terkejut.
****
Hallo, terimakasih banyak bagi yang sudah mengikuti kisah Alea. Semoga terhibur, ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Namgildaero
langsung berimajinasi..gooddd banget
2022-06-17
2
Wati Simangunsong
Kk aish aku blm mngerti awal ceritamu nie
2022-06-17
2
Siti Nurasiah
sedih
2022-06-16
1