"Apa? Asrama? Aku gak mau tinggal di asrama, Mah. Aku juga gak mau pindah sekolah. Kenapa, sih, Mamah dan Papah nyuruh aku buat pindah sekolah?"
Seorang gadis belia berusia tujuh belas tahun, Alea Prasetyo, berdiri dengan dada bergemuruh. Dia baru saja tiba di rumah, seragam sekolah bahkan masih melekat di tubuhnya, tapi kedua orang tua gadis itu langsung saja membicarakan tentang perpindahan sekolah.
Siska, wanita paruh baya yang tak lain adalah mamahnya, menghela napas berat. Memperhatikan gadis itu dari tempatnya duduk. Tatapan matanya menyiratkan ketegasan, tanpa berkedip menghujam manik Alea.
Ia kira gadis itu akan luluh dan menurut, nyatanya manik coklat Alea justru balik menusuk tatapannya. Tak ada gentar ketakutan, sama tegas seperti apa yang dia layangkan.
"Kamu gak bisa nolak, Le. Mamah dan Papah sudah memutuskannya, kamu akan pindah ke sekolah asrama. Gak ada penolakan!" tegas wanita itu sembari memainkan jari telunjuknya di depan wajah.
Dia bahkan tak beranjak sama sekali, tetap duduk elegan di sebuah sofa kulit besar. Kedua kaki menumpuk, dagu yang selalu terangkat tak pernah sekalipun menunduk. Pantang baginya menundukkan wajah di depan siapapun.
"Aku tetap gak mau, Mah!" tolak Alea lagi.
Gadis dengan rambut sebahu itu membanting langkah hendak pergi. Mata tajam Siska mengikuti ke mana kaki jenjang sang anak pergi. Tangga demi tangga ia lewati dengan cepat dan langkah yang dihentakkan.
"Kamu gak bisa menolak, Le! Besok Papah dan Mamah akan mengantar kamu ke sekolah yang baru. Baru saja Papah dari sekolah kamu dan mengurus surat pindah. Jadi, kemasi barang-barang kamu karena pagi-pagi sekali kita akan berangkat." Sebuah suara berat terdengar membahana di ruang tamu rumah itu.
Langkah Alea terhenti, dihentaknya kaki yang masih menggantung di udara sebelum berbalik badan menghadap kedua orang tua yang bergeming di tempatnya. Mata gadis itu berputar secara bergantian menatap dua orang dewasa di bawah sana.
Rahangnya mengeras, rasa panas ia rasakan di seluruh pembuluh darah hingga membuat matanya ikut memanas. Ingin menangis, tapi dia menahannya. Yang ia lakukan hanyalah mengeratkan pegangan pada tali tas yang disampirkannya di punggung.
"Kalian egois. Kenapa aku gak boleh nentuin keinginan aku sendiri? Kenapa aku harus selalu nurut sama kalian? Kenapa aku gak bisa kaya Nola yang bebas nentuin pilihan? Kenapa?" jeritnya tak kalah membahana.
Ia bernapas dengan cepat, serasa ada ribuan sembilu menghujam jantungnya. Menusuk-nusuk segumpal daging dalam dada, membuatnya sesak. Air mata yang tumpah segara dihapusnya dengan tegas.
Namun, kedua orang tua di bawah sana tetap pada keputusan mereka, wanita itu bahkan tak merubah ekspresinya, tetap datar dan tanpa senyum. Juga laki-laki yang bergelar Ayah, sekalipun tak pernah bersikap lembut padanya. Pandang keduanya berkilat-kilat tajam, ada kebencian dalam pancaran manik mereka yang ditujukan untuk Alea.
"Kemasi barangmu malam ini juga!" perintah terakhir dari ayahnya membuat Alea tak berkutik.
Bibir gadis itu berkedut-kedut hendak menangis, wajahnya meringis sedih. Jari jemarinya dikepalkan dengan erat hingga kuku-kukunya yang panjang menusuk daging tangan. Ia berbalik tanpa berucap, berlari cepat menapaki anak tangga, memasuki kamarnya.
Suara dentaman pintu keras menyentak kedua orang tua yang masih berada di tempat itu. Pandang mereka bertemu, keduanya tak acuh dan hanya menggelengkan kepala.
******
Pagi datang terlalu cepat, Alea duduk termangu di tepi ranjang. Menatap sebuah koper berukuran sedang yang berisi sebagian pakaian miliknya. Jiwa dan raganya belum siap untuk meninggalkan rumah, sekolah, juga teman-teman, tapi mau bagaimana lagi? Keputusan mutlak ada di tangan dua orang tua itu.
Untuk pertama kalinya, hati Alea menolak kedatangan sang mentari pagi. Ia membiarkan rambutnya begitu saja, mata sembab dan merah juga sedikit membengkak, terdapat lingkaran hitam yang mengelilinginya. Alea yang selalu tampil elegan dan menarik, kini terlihat seperti mayat hidup yang tak memiliki tujuan hidup.
"Alea!"
Lengkingan suara Siska bagai lolongan serigala di tengah malam yang sunyi. Menggelegar, membahana memecah hening. Gadis itu bangkit, menyeret langkah keluar dari kamar. Koper ditangannya ia biarkan bergesekan dengan lantai. Bunyi bising yang tak ingin didengar Siska membuat kepalanya mengepulkan asap.
Mulut wanita itu terkunci rapat, hanya sorot matanya saja yang terlihat mengobarkan api amarah. Beruntung dia tidak meledak, berbalik saat Alea mulai mendekat. Tungkai indahnya berlenggok elegan meninggalkan rumah.
Alea membisu, meliriknya saja tidak. Terbesit tanya dalam hati, apakah dia anak kandung mereka? Ataukah bukan? Perlakuan yang mereka tunjukkan sangat berbanding terbalik dengan Nola. Remaja yang masih duduk di bangku SMP yang tak lain adalah adik Alea.
Siska merangkul bahu Nola dengan menampilkan garis bibir yang sempurna. Nyaris tanpa cacat. Rasa iri seketika memenuhi hatinya, teringin menerima senyum sempurna, hangat dan penuh cinta itu. Sebuah keinginan sederhana, tapi tak pernah ia dapatkan.
"Alea!"
Teguran dari Prasetyo membuat Alea membuyarkan lamunan. Kaki jenjangnya mulai melangkah dengan malas. Masuk ke dalam mobil setelah menaruh koper di bagasi. Sepanjang perjalanan, wajahnya tak berpaling dari hamparan bangunan tinggi menjulang. Juga deretan pepohonan yang menyejukkan jalan.
Ada banyak pedagang yang berkeliaran di sekitar komplek perumahannya. Alea menjatuhkan kepala pada jendela pintu, mata sayu itu tak berkedip menatap kota kelahiran yang akan dia tinggalkan. Untuk sekadar berpamitan saja, ia tak diberi izin.
Selamat tinggal Jakarta. Entah ke mana mereka akan membawaku.
Hatinya bergumam sedih, rasa sakit menusuk-nusuk jantung menimbulkan sebak yang tiada tara. Telinganya seolah tertutup, tak mendengar celoteh ketiga orang yang bersamanya. Ia menutup mata, mencoba untuk tertidur. Hampir semalaman kelopak mata itu tak terpejam.
*****
"Kak, bangun! Kita udah sampai."
Nola mengguncang lembut bahu Alea. Gadis itu membuka mata, menutup mulut yang terbuka lebar. Buram matanya melihat sebuah bangunan tinggi dengan banyak pintu menghiasi. Dinding suram dan berlumut seolah-olah tak pernah dibersihkan, membangunkan rasa ngeri dalam hati Alea.
"Ayo, turun! Kita udah sampai," ajak Nola lagi melihat Alea yang termangu di dalam mobil.
Rasa tak percaya membuatnya berpikir keras, daripada disebut asrama sekolah, bangunan itu terlihat seperti rumah susun yang tak berpenghuni. Alea mengedarkan pandangan, jauh di seberang bangunan asrama itu terdapat bangunan lagi yang lebih mirip dengan kelas-kelas di sekolah.
Banyak pohon tinggi tumbuh di sekitar lingkungan itu. Beberapa mungkin sudah berumur puluhan tahun. Tempat yang nyaman sebenarnya, tapi entah kenapa membuat bulu kuduk Alea meremang. Terlebih saat mereka melintasi sebuah pohon beringin dengan akar-akarnya yang menjuntai, Alea tanpa sadar mengusap tengkuk.
Langkahnya terhenti saat sesuatu mengusik mata. Alea memutar kepala memeriksa. Ia merasa seseorang sedang mengawasi dibalik pohon besar itu. Memanggil namanya dengan lembut, memintanya untuk datang.
"Alea!"
"Alea!"
Suara panggilan bernada tinggi dari seorang laki-laki menyentak lamunan Alea.
"Eh?"
Alea mengedarkan pandangan, kerutan di dahinya menandakan garis bingung begitu melihat dirinya yang sedang berhadapan dengan pohon beringin tua. Raut wajah penuh tanya, dalam hati menuntut jawaban, sejak kapan dia berdiri di sana? Apakah dia berjalan tanpa sadar?
"Alea, cepatlah!"
Kali ini suara Siska yang memanggil. Nada suara wanita itu keras lagi tegas, urat-urat kekesalan bermunculan di pelipis juga lehernya. Amat menonjol sehingga siapa yang berada di dekatnya akan dapat melihat itu dengan jelas.
Alea masih mengatup rapat mulut sejak kedua kakinya menginjak halaman asrama itu. Tak satupun kata terlontar dari bibirnya yang pucat. Tubuhnya bergerak tanpa kendali, berjalan linglung mengikuti kedua orang tua memasuki sebuah ruangan.
Lagi-lagi, bulu-bulu halus dalam tubuh Alea meremang. Pemandangan di dalam ruangan itu begitu mengerikan. Banyak patung kepala hewan terpasang di dinding sebagai hiasan, juga barang-barang kuno nan klasik turut menempel di sekelilingnya.
"Sebentar, saya akan panggilkan Ibu dulu. Silahkan duduk!" pamit seorang wanita yang memandu mereka sembari menunjuk sebuah kursi yang berbuat dari kayu jati.
Kursi berukiran bunga-bunga dengan bantalan tipis pada bagian yang biasa diduduki itu, menggoda mereka untuk segera mendudukinya. Prasetyo, Siska, dan Nola serentak duduk sambil mengedarkan pandangan melihat-lihat seisi ruang tamu.
Hanya Alea yang masih berdiri di sana, wajahnya datar tanpa ekspresi. Menatap satu demi satu patung hewan yang diawetkan. Tiba-tiba saja mata hewan-hewan itu terbuka dan melotot ke arahnya. Alea juga melihat sebuah seringai dari mulut hewan-hewan itu.
Deg!
Jantungnya berdetak tak karuan, membuatnya sedikit sesak seolah-olah tercekik. Napasnya memburu berat, kembang-kempis hidung Alea mencari udara. Tubuh gadis itu kaku, membeku dan tak dapat digerakkan. Kedua matanya melotot lebar, menatap patung-patung hewan di tembok.
"Alea!"
Prasetyo menghampirinya, mengguncang tubuh kaku Alea cukup kuat. Namun, gadis itu masih membeku, tangannya yang bergetar terangkat menunjuk kepala kerbau yang bertanduk panjang. Matanya kosong saat bersitatap dengan sang Ayah. Tak lama, tubuh Alea ambruk tak sadarkan diri.
"Alea!"
Prasetyo sigap membawa tubuh lunglai itu dan membaringkannya di kursi panjang.
"Kakak! Pah, Kakak kenapa? Aku lihat tadi Kakak kaya yang ketakutan," tanya Nola. Mungkin hanya gadis itu saja yang terlihat cemas, sedangkan Papah dan Mamah mereka kembali bersikap biasa seolah-olah tak terjadi apapun.
"Kakak kamu cuma kecapean, tadi pagi dia gak sarapan. Mungkin juga semalaman dia gak tidur," sahut Siska tak acuh. Mereka membiarkan Alea begitu saja.
Tak lama wanita paruh baya yang memandu mereka muncul dengan membawa nampan berisi gelas-gelas enamel yang antik bermotif batik khas zaman dulu.
"Silahkan, Pak, Bu. Diminum!"
Senyum di wajah wanita itu raib saat melihat Alea yang terbaring tak sadarkan diri.
"Eh, itu si Neng-nya kenapa?" tanyanya terkejut. Ia mendekat dan memeriksa keadaan Alea. Layaknya seorang dokter ahli, wanita paruh baya itu memeriksa denyut nadi juga membuka kelopak mata Alea.
Kepalanya menoleh, tegang dan serius saat melihat Prasetyo juga Siska. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berbalik dan kembali masuk ke arah di mana tadi dia muncul.
"Dia aneh sekali, wajahnya seram. Apa Papah dan Mamah lihat? Tempat ini juga seram, apa gak apa-apa Kakak ditinggal di sini?" Nola menatap kedua orang tuanya.
Ada kekhawatiran dalam pancaran mata kecil itu. Cemas karena harus membiarkan sang Kakak tinggal di tempat asing juga tak nyaman itu sendirian. Siska mengusap rambutnya lembut, bibirnya menampakkan senyum hangat, tapi juga tegas. Menolak pemikiran sang anak bungsu yang mengkhawatirkan Alea.
"Sayang, ini semua demi kebaikan Kakak kamu. Supaya dia mandiri, bisa ngurus diri sendiri, dan gak bergantung terus sama orang tua. Udah, ya. Kamu jangan terlalu mencemaskan Kakak. Dia akan baik-baik saja di sini," ucapnya lembut.
Nola mengangguk pasrah. Berselang, seorang wanita berusia lanjut muncul dari pintu di depan mereka. Wanita yang elegan dengan pakaian khas Sunda melekat di tubuhnya. Atasan kebaya dipadu kain sarung motif batik yang membalut kakinya. Tubuhnya sintal dan berisi meskipun usianya telah memasuki setengah abad lebih.
Ia melenggang pelan, setiap ketukan langkah seolah diperhitungkan. Bibir yang dipoles gincu merah bata itu membentuk senyum sempurna, rambut disanggul dengan tusuk konde antik berbentuk bunga. Prasetyo dan Siska sontak berdiri menyambut kedatangannya.
"Selamat datang Bapak, Ibu, di asrama Melati Putih. Silahkan duduk!" Ia menjulurkan tangan, Siska dan Prasetyo bergantian menyambut.
Mereka berdua mengepalkan tangan setelah merasai betapa lembut kulit wanita berusia lanjut itu. Kelembutannya melekat di kulit tangan mereka, sehalus sutera yang membuat mereka ingin berlama-lama menyentuh kulit tersebut.
Dahi wanita itu berkerut, tapi garis lengkung di bibir masih tercetak sempurna. Langkah kembali mengetuk lantai yang terbuat dari marmer mengkilap mendekati Alea yang tertidur. Disapunya dahi gadis itu, kedua matanya terpejam.
Senyum di bibirnya hilang, sama persis seperti wanita yang tadi. Kepalanya pelan menoleh, menatap dua orang tua yang tertegun melihatnya. Mata itu bahkan lebih tajam dari wanita tadi, maniknya yang hitam menusuk jantung mereka. Secara tiba-tiba, dada mereka bergemuruh hebat. Ada sesuatu yang aneh mengalir membuat sekujur tubuh mereka bergejolak panas.
Mata Alea terbuka, keadaannya sudah jauh lebih baik. Ia bahkan tersenyum pada wanita misterius itu. Wanita itu beranjak, kembali ke tempat duduk berbincang dengan santai.
"Jiwa yang rapuh selalu mengundang mereka untuk datang. Kalian yakin akan menitipkan anak ini di sini? Saya lihat dia sangat rapuh dan membutuhkan kedua orang tuanya. Bagaimana, Pak, Bu?" Suara lembut itu mengalun bagai nyanyian rindu sang rembulan.
"Mmm ... kami sangat yakin, Bu. Kami ingin dia jadi anak yang mandiri, gak selalu bergantung sama kedua orang tua. Itu saja," ucap Prasetyo dengan yakin.
Wanita itu mengangguk, bahkan gerakan kepalanya saja teramat elegan. Tangannya gemulai mempersilahkan mereka meminum jamuan.
*****
Menjelang sore, Prasetyo dan keluarga berpamitan pada pemilik asrama. Bersama Alea, mereka mengantar kepergian keluarga Prasetyo itu.
Alea menatap hampa mobil yang membawa keluarganya, bergeming tanpa berbicara sepatah katapun.
"Nak Alea, mari Ibu antar ke kamar!" ucap sang pemilik asrama seraya berjalan lebih dulu.
Alea menghela napas, berjalan dengan kepala tertunduk. Awan mendung itu masih menyelimuti wajah cantiknya. Mereka menapaki tangga menuju lantai tiga. Di sanalah Alea akan tinggal bersama tiga orang asing yang lebih dulu menghuni kamar tersebut.
Wanita itu membuka pintu, mempersilahkan Alea untuk memasukinya.
"Terima kasih, Bu-"
"Ningsih, nama saya Ningsih. Panggil saja Bu Ningsih, yang lain juga begitu."
Alea mengangguk pelan, pandang mereka bertemu untuk beberapa saat. Wanita itu melangkah, menyentuh bahu kiri Alea dengan lembut.
"Jangan berkeliaran saat menjelang malam. Di saat senja memayungi bumi, tetaplah berada di kamar kamu. Juga, jangan mandi di waktu Maghrib. Pamali."
Dia tersenyum. Bentuk senyum yang aneh di mata Alea sehingga kerutan muncul di dahinya. Wanita itu berbalik hendak pergi. Wajah itu masih sempat menatap Alea di ambang pintu.
"Mmm ... kenapa, Bu? Ada apa?" tanya Alea tanpa sadar.
Bibir merah itu kembali tersenyum.
"Pamali."
Hanya itu yang dia katakan sebelum menutup pintu kamar Alea. Tinggallah dia sendiri di dalam ruangan yang dipenuhi banyak barang itu.
Brak!
Dia tersentak saat jendela kamar tiba-tiba terbanting. Seseorang melintas di depan kamarnya, Alea membelalak dan berlari ke jendela. Seorang gadis cantik menoleh, wajahnya dingin dan kaku. Matanya kosong seolah-olah tak ada kehidupan. Dia kembali berjalan.
"Tunggu!"
"Tunggu!"
Brak!
Alea membuka pintu lebar-lebar, semilir angin berhembus lembut menyapa kulitnya. Tubuh itu tertegun di ambang pintu, menatap hampa pada kekosongan di depan mata. Keadaan asrama tak lagi sama, semua berubah dalam pandang matanya.
Alea melangkah pelan keluar dari kamar, menatap sekitar kebingungan. Kedua bibirnya terbelah, membentuk sedikit celah. Tak ada bangunan di depan matanya, hanya pohon-pohon tinggi menjulang seolah berlomba menggapai langit.
Ia berputar memastikan lingkungan asrama yang baru saja ia pijak. Melangkah pelan, melewati satu demi satu pohon berlumut itu. Kabut-kabut tipis menghalangi pandangan, angin berhembus semakin kencang, serasa menusuk hingga ke tulang sumsum.
"Di mana aku? Bukannya aku di asrama?"
Alea mendekap tubuhnya sendiri, sweater tipis yang ia kenakan tak mampu menghalau dinginnya udara. Keadaan langit tiba-tiba menggelap, padahal sebelum kakinya melangkah keluar langit masih nampak cerah.
"Hallo! Ada orang di sini?"
Suaranya menggema, terpantul kesunyian hutan. Sepi, senyap tanpa suara. Irama suara binatang malam yang ramai terdengar tidak biasa. Seekor burung yang terbang menghentak jantungnya, Alea mendongak menatap tiga ekor gagak hitam yang hinggap di salah satu dahan pohon.
"Hallo!"
Suaranya semakin parau terdengar, matanya memanas ingin menangis. Dia sendirian, hanya sendirian. Sepanjang mata memandang hanya pepohonan yang dilihatnya. Daun-daun bergoyang, sebagian ada yang gugur seperti hujan.
Bunyi gemerasak yang berasal dari belakang tubuh, membuatnya semakin waspada.
"Siapa di sana?"
Tanya yang ia gemakan seolah percuma karena hanya angin yang menyahutnya. Tak ada apapun di sana, selain rumput ilalang yang bergoyang ditiup sang bayu.
"Mamah! Papah! Aku takut," lirih Alea semakin erat mendekap tubuhnya sendiri. Ia menggigit bibir kuat-kuat, meringis takut ingin menangis.
Langkahnya terus berlanjut dengan pelan, berkali-kali ia menginjak ranting pohon juga dedaunan kering yang berserak di atas tanah. Keadaan semakin mencekam saat lolongan serigala terdengar di kejauhan.
Alea mengedarkan pandangan, keringat bercampur air mata membanjiri wajahnya. Merembes membasahi punggung. Hawa dingin ia rasakan menusuk tulang. Alea memacu kedua kakinya berlari, mencoba mencari jalan keluar. Seolah percuma, tak ada apapun yang dapat dia temukan. Semua terlihat sama. Alea menangis sambil terus berlari.
Sekelebat bayangan melintas di depannya, langkah Alea terhenti. Berdiri waspada meski tubuh gemetar ketakutan. Seseorang muncul dari balik semak, melirik dengan senyum dingin ke arahnya. Wajah yang ia lihat di depan kamar, wajah kaku dan dingin tanpa ekspresi. Dia berbalik dan pergi menjauh.
"Hei, tunggu!"
Alea melambai, berteriak sekeras apapun tetap saja tak didengar sosoknya. Gadis itu memakai seragam asrama, jika tak salah menebak dia mungkin saja salah satu murid di asrama. Alea berlari sekencang mungkin, tapi tetap saja tak mampu mengejar sosok yang berjalan pelan di hadapannya.
"Hei, tunggu aku! Tolong bantu aku cari jalan keluar. Berhenti, bantu aku keluar dari tempat ini!"
Alea kembali berteriak sembari terus memacu kedua kaki mengejar sosok asing itu. Napasnya tersengal hampir tak tersisa, menimbulkan sesak di dada. Tenaganya mulai terkuras habis, kakinya lelah berlari.
Alea membungkuk, bertopang tangan pada kedua lutut. Menghirup udara dengan rakus untuk mengisi paru-parunya yang kerontang. Peluh menetes menjatuhi rumput yang ia pijak. Alea mendongak memastikan sosok itu masih ada. Dia masih berjalan pelan semakin menjauh.
Kemudian berbalik membuat Alea menegakkan tubuh takut-takut. Mata kosong di depannya menatap dingin dan tajam, semakin memacu detak jantung Alea yang sudah tak karuan.
Dia melambaikan tangan, memanggil Alea untuk mendekat. Di belakang sosok itu pohon beringin tua berdiri kokoh tak tergoyahkan. Dahannya yang bercabang seperti dua buah tangan yang membentang.
"Alea!"
Sebuah panggilan mengetuk telinga, Alea mendongak mencari sosok yang memanggilnya.
"Siapa di sana? Bu Ningsih?"
Dia berteriak, berharap itu benar-benar ibu kepala asrama.
"Alea! Kamu bisa dengar saya?"
Suara bu Ningsih kembali terdengar, menggema di telinganya.
"Bu! Ibu di mana? Tolong aku, Bu!"
Alea menangis, pandangannya terus beredar mencari sosok wanita sepuh itu. Alea bingung, kalut, dan putus asa.
"Alea!"
Kali ini suara lembut dari wanita yang dilihatnya memanggil, Alea menghadapkan pandangan ke depan. Sosok itu kembali melambaikan tangan memanggil dirinya. Seolah terhipnotis kaki Alea kembali melangkah.
"Jangan pergi ke sana, Lea! Kembali dan temukan cahaya yang akan membawa kamu keluar dari tempat itu!"
Suara tegas Bu Ningsih menyadarkan Alea. Sontak ia mundur, sosok cantik di depannya berubah menjadi menyeramkan. Sosok nenek tua dengan wajah penuh luka, darah yang merembes dari lehernya menebarkan bau amis sekaligus bau busuk bangkai. Perutnya bergejolak, seolah dibolak-balik, rasa mual yang hebat membuat wajah Alea memucat.
"Kemari, Nak! Ikut sama Nenek!" panggilnya sambil terus melambai-lambaikan tangan.
Seringai menyeramkan muncul dari bibirnya yang keriput menampakkan deretan giginya yang hitam dan berlendir. Lendir hitam dan beraroma busuk itu terus berjatuhan dari mulutnya yang terbuka.
Tanpa sadar Alea berjalan mundur menjauhi sosoknya. Dengan cepat dia membalik badan dan berlari.
"Ikuti cahaya putih itu, Lea!"
Suara bu Ningsih terus memenuhi telinganya. Alea berlari menuju satu titik cahaya di kejauhan. Tidak semudah yang dia bayangkan, gangguan-gangguan mulai bermunculan. Makhluk-makhluk seram berdatangan dari kanan dan kiri jalan.
Tertawa, menangis, meraung, memanggil-manggil nama Alea untuk bergabung bersama mereka. Alea menggelengkan kepalannya, air mata bercucuran bersamaan dengan peluh yang tak henti mengucur deras.
Oleh karena gangguan yang terus menerus Alea tak memperhatikan jalan. Ia tersandung, jatuh tersungkur di atas tanah merah. Makhluk-makhluk itu bergerak mendekatinya, menjulurkan tangan untuk menggapai tubuh Alea.
Gadis itu berbalik, raut ketakutan jelas tergambar di wajahnya yang basah. Ia beringsut mundur, menjauhi mereka.
"Jangan ... jangan! Pergi! Aku gak mau ikut kalian! Aku gak mau!" teriak Alea dengan kuat.
Akan tetapi, makhluk-makhluk itu terus mendekat untuk membawanya pergi bersama mereka. Alea berdiri dan kembali berlari, dia tidak bisa menyerah dan memang tidak boleh menyerah.
Suara-suara banyak orang semakin menjejali rungunya. Entah di mana dia sekarang, yang ia tahu harus segera tiba di titik cahaya itu. Semakin banyak makhluk berdatangan, mulai yang berupa sesosok jasad berbungkus kain putih, seorang wanita bergaun putih yang terbang melayang dengan liur di sudut bibirnya. Ada juga sekelompok anak kecil dengan tubuhnya yang hangus terbakar.
Alea tak menghiraukan mereka terus berlari menjauh. Dia ingin segera pergi dari tempat terkutuk itu.
Sementara di depan asrama, Bu Ningsih bersama para guru juga murid di asrama mengelilingi tubuh Alea yang tak henti menggeliat dan meraung. Jemarinya mencakar lantai asrama hingga kuku panjang itu patah dan berdarah.
Yang lebih menyeramkan, mata Alea yang melotot lebar seperti mau keluar, gigi-giginya saling beradu dengan kuat. Suara raungan menyeramkan keluar dari bibirnya.
"Alea! Sadar!"
Salah seorang murid yang sedikit mengerti agama mencoba membacakan doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur'an untuk membakar makhluk yang mengekang jiwa Alea. Tubuh gadis itu mengejang, dan ambruk tak sadarkan diri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!