Teror Mahar Mewah
Aku sebut saja Vivana, umur 21 tahun, anak dari tuan tanah yang berada di Desa Bunga. Kehidupan sehari-hariku hanya di rumah, bertemu temanku dan diam-diam bertemu dengan kekasih pujaanku yaitu pria cukup sholeha anak penjual pecel keliling yang berada di kampung ku.
Sampai suatu hari Ayah pergi ke kota Bandung untuk melihat-lihat tanah yang bagus buat dijadikan perkebunan teh. Sepulang Ayah dari kota Bandung, Ayah membawa seorang pria terlihat tampan, mapan dan berwibawa, tutur kata juga sopan. Pria tersebut adalah seorang pengusaha jual beli properti di kota Bandung dan kota besar lainnya.
Perjodohan pun terjadi, alasannya hanya satu. Pria itu telah memberikan perkebunan cukup bagus dan luas untuk dijadikan perkebunan teh buat Ayah. Tanpa pikir panjang Ayah pun menerima syarat tersebut, menjodohkan dan menikahkan aku dengan pria yang baru saja Ayah dan aku kenal. Aku pun terpaksa menikah dengan pria tersebut hanya demi Ayah, aku rela melepaskan cinta pertamaku dan seluruh kebahagiaanku.
Mahar Mewah saat pernikahan pun datang, kehidupan yang terlihat mewah dan nyaman terlihat sempurna di mata khalayak umum yang hadir pada saat pernikahan ku. Ya, itu menurut mereka tapi tidak dengan ku.
Teror pun di mulai dari kehidupan baru ku, setelah menikah dengan pria yang tak aku kenal dan pindah ke rumah baru.
Dari sinilah kisahku di mulai.
.
.
.
🍃🍃Kepulangan Ayah. 🍃🍃
.
.
“Silahkan di minum teh nya.” Ucapku, tangan kanan meletakkan satu-persatu gelas berisi teh dan kopi di atas meja ruang tamu.
Pria tersebut mengulas senyum tipis, diam-diam mencuri pandang padaku saat aku menyajikan minuman di atas meja.
‘Wah! Cantik juga anak dari pria tua kaya raya ini. Gadis desa yang terlihat cantik dan masih polos. Apa gadis ini yang akan diberikan oleh pria tua kaya raya ini kepadaku.’ Batin pria tersebut.
Setelah meletakkan teh buat Ayah dan pria tersebut, aku mundur beberapa langkah, berdiri di samping sofa yang Ayah duduki.
“Vivana.” Panggil Ayah menatap diriku. Ayah mengulurkan tangan kanannya ke arah pria yang duduk lurus dengan Ayah. “Perkenalkan dia adalah tuan Barra. Pemuda ini adalah orang baik, sempat beberapa kali menolong Ayah saat kesusahan mencari tanah perkebunan di Bandung.”
Aku menganggukkan kepala, wajah tetap menunduk. “Saya Vivana.” Sahutku memperkenalkan diri dengan sopan.
Pria tersebut yaitu Barra mengelus pelan dagu licin. Kedua mata menatap diriku dari atas sampai bawah. “Saya tuan Barra. Panggil saja Barra.”
“Kamu kenapa hanya berdiri di sini.” Sambung Ayah, bola mata membulat sempurna menatap diriku, tangan kanan mengarah ke sofa kosong di sisi kiri Barra. “Duduk di sebelah tuan Barra, temani tuan Barra untuk mengobrol biar kalian terlihat akrab sebelum pertunangan.”
Mendengar kata pertunangan aku segera menaikkan pandanganku, kedua mata coklat menatap Ayah terlihat serius menatap diriku. “Pe-pertunangan.” Ucapku gugup.
“Iya. Aku dan Ayah kamu atau Pak Bruno, sudah melakukan janji saat berada di kota Bandung. Jika aku mampu mencari tanah bagus dan strategis untuk lahan perkebunan yang akan di kelola menjadi perkebunan teh baru buat Pak Bruno. Aku akan menikah dengan putri nya yang cantik. Kamu tenang saja, meski kita sudah bertunangan dan menikah, aku tidak akan meminta hakku menjadi seorang suami kecuali kamu sudah bersedia dan kita sama-sama mau.” Sambung Barra menyela ucapan ku dan Ayah.
Aku menggenggam erat nampan kecil berada di depan perutku. Lagi-lagi Ayah bertindak tanpa seizin ku, tanpa pikir panjang Ayah menjodohkan diriku kepada pria yang baru saja di kenalnya, hanya gara-gara sebidang perkebunan. Rasanya aku pingin lari dari rumah ini tapi aku sadar. Aku sadar jika aku sudah tak memiliki orang tua lagi kecuali Ayah. Ibu sudah meninggal dunia saat melahirkan aku, tinggallah Ayah yang mengasuh diriku dari bayi sampai aku besar, hal itu pula yang tidak bisa membuat aku membantah dan masih terus mengikuti kemauan Ayah.
“Apa kamu suka dengan keputusan Ayah, Vivana?” Tanya Ayah, bibir tersenyum lebar, kedua mata menatapku yang masih berdiri di sisi kanannya.
“Terserah Ayah saja, jika itu yang terbaik buat ku.” Sahutku pelan, wajah tertunduk sedih, jari telunjuk tangan kanan mengarah ke lantai 2. “Vivana ke dalam dulu, yah.” Ucapku berpamitan kepada Ayah.
Aku bergegas meninggalkan Ayah dan Barra di ruang tamu, langkah besar ku pacu menuju kamar ku. Rasanya aku ingin menangis, tapi aku harus menahan tangisan itu di depan Ayah dan Barra.
Sakit, sungguh sakit rasanya hatiku setelah mendengar percakapan Ayah dan Barra.
Air mataku seketika jatuh begitu saja dari kedua mataku, tangan kanan terus menyeka kasar air mata yang terus membasahi kedua pipiku. Segera ku buka pintu kamar, ku langkahkan kaki kanan masuk ke dalam kamar. Ku tutup pintu kamar, menyandarkan tubuh di daun pintu kamar, wajah mendongak ke langit-langit kamar, tangan kanan memegang erat baju terusan bagian dada yang aku kenakan.
“Kenapa Ayah selalu berbuat seperti ini padaku. Apakah aku tidak berhak bahagia.” Lirihku.
Belum kering air mata ini, kedua telingaku mendengar pintuku di ketuk kuat dari luar.
Tok! Tok.
“Vivana.”
Terdengar suara Ayah memanggil diriku dari depan pintu kamarku.
Segera ku hapus jejak air mata yang membasahi bulu mata lentik, dan kedua pipiku. Aku berdiri tegak, ku hirup udara bebas di dalam ruangan sebanyak mungkin untuk menenangkan diriku. Setalah merasa lega dan tenang, aku berbalik badan, tangan kanan memegang gagang pintu kamar dan membukanya.
“Ia, Ayah.” Sahutku dengan suara serak, kedua mata sembab menatap wajah Ayah.
“Bukannya menemani tuan Barra di bawah. Kamu malah enak-enakan bersembunyi di dalam kamar.” Ucap Ayah dengan suara meninggi. Ayah menarik tangan kananku. “Ayo turun. Aku malu jika punya anak gadis tak bisa berguna buat ku.”
Aku segera menahan tangan Ayah, menundukkan pandanganku. Terkadang aku berpikir, apakah aku ini anak dari Ayah dan mendiang Ibu atau aku adalah anak dari orang lain yang di ambil secara paksa oleh Ayah. Setelah aku sering melihat sikap dan perbuatan Ayah selalu menghalalkan segala cara apa pun, agar semua keinginan tercapai aku mulai ragu jika aku ini adalah anaknya atau bukan.
“Perbuatan apa, supaya membuat aku terlihat berguna di mata Ayah?” Tanyaku sopan. Aku sengaja bertanya seperti itu karena aku merasa sedikit kecewa dengan perbuatan Ayah.
“Mulai berani kamu membantah dan bertanya seperti itu kepada Ayah. Jika kamu seperti ini maka anak penjual pecel keliling itu akan menanggung akibatnya.” Ucap Ayah mengancam diriku melibatkan kekasih yang paling aku cintai dan aku sayangi.
“Mas Valdi tidak ada hubungannya dengan ini Ayah. Jangan sakiti dirinya, aku akan menuruti semua keinginan Ayah, asal Ayah tidak libatkan Mas Valdi dalam perbuatanku dan keluarga kita.” Sahutku gemetar. Ucapan Ayah membuatku sangat takut, takut jika Ayah berbuat nekad kepada Mas Valdi, pria baik anak dari penjual pecel keliling.
“Kalau gitu nurut kata Ayah.” Tegas Ayahku, tangan kanan menarik tanganku, membawaku turun dari kamar menuju ruang tamu.
.
.
.
🍃🍃Di ruang tamu. 🍃🍃
Aku dan Ayah menuruni anak tangga yang langsung bertemu dengan ruang tamu, bibir Ayah tersenyum manis menatap Barra yang tersenyum manis menatap kedatangan kami.
“Apakah tuan Barra ingin berkeliling sejenak di kampung ini? jika tuan ingin berkeliling, Vivana akan menemani tuan untuk melihat indahnya desa serta kebun milik saya yang sudah puluhan tahun saya rawat dan saya tanam di sini.” Ucap Ayah terdengar cukup senang saat membanggakan dirinya dan hasil perkebunan teh yang kini sedang lagi naik daun dan banyak peminta baru meminta Ayah untuk mengekspornya hingga ke Negara tetangga.
Barra langsung berdiri, kedua mata liar terus menatap diriku dari atas sampai bawah.
“Dengan senang hati saya akan menuruti permintaan Pak Bruno. Saya juga sudah lama tidak melihat yang hijau-hijau dan yang segar-segar. Saya selalu melihat kilauan dan megahnya barang dari mewah berbagai Negara, terkadang hal itu membuat aku bosan.” Sahut Barra, kedua mata masih terus menatap diriku sampai aku dan Ayah turun.
Kini aku berdiri di belakang Ayah dengan wajah tertunduk.
Ayah segera menarik tanganku, membawa diriku keluar dari belakang tubuh kekarnya. “Apa kamu sudah mendengar permintaan dari tuan Barra, Vivana?” Tanya Ayah menatap diriku dari samping, tangan kanan menggenggam erat lengan kiri.
Genggaman tangan Ayah membuat lengan kiriku sakit, bibir meringis kesakitan, segera ku anggukkan kepala dengan wajah tertunduk. “Ia-iya, Ayah.”
...Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Nengnong Ipin
lanjut kak
2022-11-15
0
Nur hapidoh
bagus Kak alurnya
2022-09-25
2
Romy rhamdani
pembukaanya dah bagus bro, tingkatkan 2/3 bab perhari biar cepat dipromosin NT
2022-09-11
1