NovelToon NovelToon

Teror Mahar Mewah

Bab 01. Perjodohan.

Aku sebut saja Vivana, umur 21 tahun, anak dari tuan tanah yang berada di Desa Bunga. Kehidupan sehari-hariku hanya di rumah, bertemu temanku dan diam-diam bertemu dengan kekasih pujaanku yaitu pria cukup sholeha anak penjual pecel keliling yang berada di kampung ku.

Sampai suatu hari Ayah pergi ke kota Bandung untuk melihat-lihat tanah yang bagus buat dijadikan perkebunan teh. Sepulang Ayah dari kota Bandung, Ayah membawa seorang pria terlihat tampan, mapan dan berwibawa, tutur kata juga sopan. Pria tersebut adalah seorang pengusaha jual beli properti di kota Bandung dan kota besar lainnya.

Perjodohan pun terjadi, alasannya hanya satu. Pria itu telah memberikan perkebunan cukup bagus dan luas untuk dijadikan perkebunan teh buat Ayah. Tanpa pikir panjang Ayah pun menerima syarat tersebut, menjodohkan dan menikahkan aku dengan pria yang baru saja Ayah dan aku kenal. Aku pun terpaksa menikah dengan pria tersebut hanya demi Ayah, aku rela melepaskan cinta pertamaku dan seluruh kebahagiaanku.

Mahar Mewah saat pernikahan pun datang, kehidupan yang terlihat mewah dan nyaman terlihat sempurna di mata khalayak umum yang hadir pada saat pernikahan ku. Ya, itu menurut mereka tapi tidak dengan ku.

Teror pun di mulai dari kehidupan baru ku, setelah menikah dengan pria yang tak aku kenal dan pindah ke rumah baru.

Dari sinilah kisahku di mulai.

.

.

.

🍃🍃Kepulangan Ayah. 🍃🍃

.

.

“Silahkan di minum teh nya.” Ucapku, tangan kanan meletakkan satu-persatu gelas berisi teh dan kopi di atas meja ruang tamu.

Pria tersebut mengulas senyum tipis, diam-diam mencuri pandang padaku saat aku menyajikan minuman di atas meja.

‘Wah! Cantik juga anak dari pria tua kaya raya ini. Gadis desa yang terlihat cantik dan masih polos. Apa gadis ini yang akan diberikan oleh pria tua kaya raya ini kepadaku.’ Batin pria tersebut.

Setelah meletakkan teh buat Ayah dan pria tersebut, aku mundur beberapa langkah, berdiri di samping sofa yang Ayah duduki.

“Vivana.” Panggil Ayah menatap diriku. Ayah mengulurkan tangan kanannya ke arah pria yang duduk lurus dengan Ayah. “Perkenalkan dia adalah tuan Barra. Pemuda ini adalah orang baik, sempat beberapa kali menolong Ayah saat kesusahan mencari tanah perkebunan di Bandung.”

Aku menganggukkan kepala, wajah tetap menunduk. “Saya Vivana.” Sahutku memperkenalkan diri dengan sopan.

Pria tersebut yaitu Barra mengelus pelan dagu licin. Kedua mata menatap diriku dari atas sampai bawah. “Saya tuan Barra. Panggil saja Barra.”

“Kamu kenapa hanya berdiri di sini.” Sambung Ayah, bola mata membulat sempurna menatap diriku, tangan kanan mengarah ke sofa kosong di sisi kiri Barra. “Duduk di sebelah tuan Barra, temani tuan Barra untuk mengobrol biar kalian terlihat akrab sebelum pertunangan.”

Mendengar kata pertunangan aku segera menaikkan pandanganku, kedua mata coklat menatap Ayah terlihat serius menatap diriku. “Pe-pertunangan.” Ucapku gugup.

“Iya. Aku dan Ayah kamu atau Pak Bruno, sudah melakukan janji saat berada di kota Bandung. Jika aku mampu mencari tanah bagus dan strategis untuk lahan perkebunan yang akan di kelola menjadi perkebunan teh baru buat Pak Bruno. Aku akan menikah dengan putri nya yang cantik. Kamu tenang saja, meski kita sudah bertunangan dan menikah, aku tidak akan meminta hakku menjadi seorang suami kecuali kamu sudah bersedia dan kita sama-sama mau.” Sambung Barra menyela ucapan ku dan Ayah.

Aku menggenggam erat nampan kecil berada di depan perutku. Lagi-lagi Ayah bertindak tanpa seizin ku, tanpa pikir panjang Ayah menjodohkan diriku kepada pria yang baru saja di kenalnya, hanya gara-gara sebidang perkebunan. Rasanya aku pingin lari dari rumah ini tapi aku sadar. Aku sadar jika aku sudah tak memiliki orang tua lagi kecuali Ayah. Ibu sudah meninggal dunia saat melahirkan aku, tinggallah Ayah yang mengasuh diriku dari bayi sampai aku besar, hal itu pula yang tidak bisa membuat aku membantah dan masih terus mengikuti kemauan Ayah.

“Apa kamu suka dengan keputusan Ayah, Vivana?” Tanya Ayah, bibir tersenyum lebar, kedua mata menatapku yang masih berdiri di sisi kanannya.

“Terserah Ayah saja, jika itu yang terbaik buat ku.” Sahutku pelan, wajah tertunduk sedih, jari telunjuk tangan kanan mengarah ke lantai 2. “Vivana ke dalam dulu, yah.” Ucapku berpamitan kepada Ayah.

Aku bergegas meninggalkan Ayah dan Barra di ruang tamu, langkah besar ku pacu menuju kamar ku. Rasanya aku ingin menangis, tapi aku harus menahan tangisan itu di depan Ayah dan Barra.

Sakit, sungguh sakit rasanya hatiku setelah mendengar percakapan Ayah dan Barra.

Air mataku seketika jatuh begitu saja dari kedua mataku, tangan kanan terus menyeka kasar air mata yang terus membasahi kedua pipiku. Segera ku buka pintu kamar, ku langkahkan kaki kanan masuk ke dalam kamar. Ku tutup pintu kamar, menyandarkan tubuh di daun pintu kamar, wajah mendongak ke langit-langit kamar, tangan kanan memegang erat baju terusan bagian dada yang aku kenakan.

“Kenapa Ayah selalu berbuat seperti ini padaku. Apakah aku tidak berhak bahagia.” Lirihku.

Belum kering air mata ini, kedua telingaku mendengar pintuku di ketuk kuat dari luar.

Tok! Tok.

“Vivana.”

Terdengar suara Ayah memanggil diriku dari depan pintu kamarku.

Segera ku hapus jejak air mata yang membasahi bulu mata lentik, dan kedua pipiku. Aku berdiri tegak, ku hirup udara bebas di dalam ruangan sebanyak mungkin untuk menenangkan diriku. Setalah merasa lega dan tenang, aku berbalik badan, tangan kanan memegang gagang pintu kamar dan membukanya.

“Ia, Ayah.” Sahutku dengan suara serak, kedua mata sembab menatap wajah Ayah.

“Bukannya menemani tuan Barra di bawah. Kamu malah enak-enakan bersembunyi di dalam kamar.” Ucap Ayah dengan suara meninggi. Ayah menarik tangan kananku. “Ayo turun. Aku malu jika punya anak gadis tak bisa berguna buat ku.”

Aku segera menahan tangan Ayah, menundukkan pandanganku. Terkadang aku berpikir, apakah aku ini anak dari Ayah dan mendiang Ibu atau aku adalah anak dari orang lain yang di ambil secara paksa oleh Ayah. Setelah aku sering melihat sikap dan perbuatan Ayah selalu menghalalkan segala cara apa pun, agar semua keinginan tercapai aku mulai ragu jika aku ini adalah anaknya atau bukan.

“Perbuatan apa, supaya membuat aku terlihat berguna di mata Ayah?” Tanyaku sopan. Aku sengaja bertanya seperti itu karena aku merasa sedikit kecewa dengan perbuatan Ayah.

“Mulai berani kamu membantah dan bertanya seperti itu kepada Ayah. Jika kamu seperti ini maka anak penjual pecel keliling itu akan menanggung akibatnya.” Ucap Ayah mengancam diriku melibatkan kekasih yang paling aku cintai dan aku sayangi.

“Mas Valdi tidak ada hubungannya dengan ini Ayah. Jangan sakiti dirinya, aku akan menuruti semua keinginan Ayah, asal Ayah tidak libatkan Mas Valdi dalam perbuatanku dan keluarga kita.” Sahutku gemetar. Ucapan Ayah membuatku sangat takut, takut jika Ayah berbuat nekad kepada Mas Valdi, pria baik anak dari penjual pecel keliling.

“Kalau gitu nurut kata Ayah.” Tegas Ayahku, tangan kanan menarik tanganku, membawaku turun dari kamar menuju ruang tamu.

.

.

.

🍃🍃Di ruang tamu. 🍃🍃

Aku dan Ayah menuruni anak tangga yang langsung bertemu dengan ruang tamu, bibir Ayah tersenyum manis menatap Barra yang tersenyum manis menatap kedatangan kami.

“Apakah tuan Barra ingin berkeliling sejenak di kampung ini? jika tuan ingin berkeliling, Vivana akan menemani tuan untuk melihat indahnya desa serta kebun milik saya yang sudah puluhan tahun saya rawat dan saya tanam di sini.” Ucap Ayah terdengar cukup senang saat membanggakan dirinya dan hasil perkebunan teh yang kini sedang lagi naik daun dan banyak peminta baru meminta Ayah untuk mengekspornya hingga ke Negara tetangga.

Barra langsung berdiri, kedua mata liar terus menatap diriku dari atas sampai bawah.

“Dengan senang hati saya akan menuruti permintaan Pak Bruno. Saya juga sudah lama tidak melihat yang hijau-hijau dan yang segar-segar. Saya selalu melihat kilauan dan megahnya barang dari mewah berbagai Negara, terkadang hal itu membuat aku bosan.” Sahut Barra, kedua mata masih terus menatap diriku sampai aku dan Ayah turun.

Kini aku berdiri di belakang Ayah dengan wajah tertunduk.

Ayah segera menarik tanganku, membawa diriku keluar dari belakang tubuh kekarnya. “Apa kamu sudah mendengar permintaan dari tuan Barra, Vivana?” Tanya Ayah menatap diriku dari samping, tangan kanan menggenggam erat lengan kiri.

Genggaman tangan Ayah membuat lengan kiriku sakit, bibir meringis kesakitan, segera ku anggukkan kepala dengan wajah tertunduk. “Ia-iya, Ayah.”

...Bersambung......

Bab 02. Aku hanya ingin bahagia.

Sesuai permintaan Ayah, aku menemani Barra berkeliling desa naik mobil Fortune miliknya. Aku membuang wajah ke luar jendela. Saat mobil terus melaju aku melihat Mas Valdi berjualan, hatiku terus bergejolak ingin segera bertemu dengan Mas Valdi. Akhirnya aku memutuskan membuka mulut, dan berkata.

“Berhenti.” Pintaku kepada Barra. Aku meminta mobil segera dihentikan. Aku tak ingin Mas Valdi terluka mendengar ceritaku dari orang lain, akhirnya aku memutuskan untuk memberi tahu Mas Valdi dari mulutku sendiri jika diriku dipaksa menikah dengan pria yang baru saja aku kenal.

“Kenapa kamu menyuruh aku berhenti.” Sahut Barra menghentikan mobilnya, matanya menatapku serius.

Aku membuka sealbelt. Aku segera turun tanpa memberi jawaban atas pertanyaan Barra. Aku terus berjalan menuju Mas Valdi yang masih berdiri di samping gerobak sepeda jualan miliknya. “Mas Valdi.” Panggilku.

Dari kejauhan dua pasang mata menatapku tajam, bibir bergumam. “Siapa pria itu dan kenapa Vivana berjalan dengan terburu-buru.”

Aku berdiri di samping gerobak Mas Valdi, sesekali aku membantu Mas Valdi memberikan bungkusan berisikan pecel kepada pembeli.

“Eh! Neng Vivana. Kenapa tiba-tiba datang membantu Mas Valdi berjualan?” Tanya salah satu pembeli.

“Ia. Dengar-dengan Tuan Bruno sudah pulang dari Bandung?”

“Kalau Tuan Bruno tahu Neng Vivana bergaul dan membantu Valdi, bisa-bisa tuan Bruno marah lagi dengan Valdi.”

“Kasihan Valdi ku yang tampan kalau kena amuk tuan Bruno.”

Komentar ibu-ibu membela Mas Valdi. Semua orang tahu jika Mas Valdi sering di sakiti Ayah hanya karena ketahuan jalan dengan ku. Para ibu-ibu berkomentar seperti itu karena tidak suka melihat Mas Valdi sering di marahi Ayah. Alasannya Mas Valdi adalah pria baik, sholeh, berbakti kepada orang tua dan sering membantu para warga yang membutuhkan pertolongannya.

Mas Valdi merasa risih mendengar ocehan ibu-ibu, mas Valdi menghentikan kedua tangan sedari tadi terus membungkus pecel. Tatapan tajam mas Valdi tersirat di kedua bola mata saat memandang satu-persatu ibu-ibu.

“Ibu-ibu. Vivana tidak ada hubungannya dengan perbuatan tuan takur, Vivana ini gadis yang baik dan tidak patut ibu-ibu bilang seperti itu. Ayo! Berhenti mengatakan hal buruk kepada Vivana .” Tegas Mas Valdi.

“Hem. Valdi selalu saja membela Neng Vivana.”

“Ia, kesel atuh.”

“Ayo kita pergi.”

“Malas akh! kalau beli pecel ada Neng Vivana.”

Sahut ibu-ibu terlihat dan terdengar kesal karena Mas Valdi membela diriku, ibu-ibu bubar dengan tatapan sinis menatapku tajam.

“Mas. Maafkan perbuatan Ayah yang sering kasar kepada Mas.” Ucapku penuh penyesalan, kepala tertunduk malu. Aku merasa malu mendengar keluhan ibu-ibu setelah semua perbuatan buruk Ayah kepada Mas Valdi.

Mas Valdi meraih tangan kanan ku letakkan di depan perut. Mas Valdi menatapku tenang, bibir tersenyum manis. “Kamu tidak perlu meminta maaf kepada Mas. Oh, ya! Kenapa kamu bisa ke sini? Pasti ada hal penting yang ingin kamu bicarakan kepada Mas.” Ucap Mas Valdi seperti mengerti maksud kedatanganku.

Aku segera menarik tangan kanan Mas Valdi, kedua tangan memegang erat tangan Mas Valdi, kedua mata cemas menatap wajah Mas Valdi yang terlihat tenang. “Mas. Bawa aku kabur bersama kamu, aku ingin hidup berdua bersama kamu. Aku tidak ingin hidup bersama dengan pria baru yang tak aku cintai.” Ucapku terburu-buru.

“Tenang dulu. Kamu harus berbicara dengan tenang agar Mas mengerti maksud ucapan kamu.” Sahut Mas Valdi mengelus bahu kananku.

Segera ku hirup udara dengan cepat, tatapan menjadi liar, seolah ingin menahan air mata yang hendak tumpah. Setelah merasa lega aku menatap Mas Valdi yang tetap terlihat tenang, sekali lagi aku menarik nafas panjang, ku hembus secara perlahan hingga bibir yang terasa keluh mulai menjawab pertanyaan Mas Valdi.

“Aku minta maaf, Mas. Ayah menjodohkan aku dengan pria kota. Ayah juga sudah menerima lamaran pria tersebut, tapi aku tidak ingin menikah dengan dirinya. Aku….aku sangat mencintai kamu Mas.” Kepala menggeleng, kedua mata mulai di penuhi air mata, kedua tangan menarik-narik tangan Mas Valdi. “Bawa aku kabur dari rumah! a-atau Mas rusak pernikahanku ketika sedang berlangsung nantinya. Aku mohon Mas.”

Bukannya marah setelah mendengar ucapan ku, Mas Valdi malah meletakkan telapak tangan kanannya di puncak kepalaku, bibir tersenyum manis, jari jempol kanan menghapus jejak air mata yang perlahan membasahi kedua pipiku. “Aku tidak ingin seperti itu, jika tuan Takur sudah memilihkan kamu seorang pria buat menikah dengan kamu, maka aku yakin pria itu pilihan yang terbaik buat kamu. Maaf Vivana, aku tidak bisa menuruti keinginan kamu dan aku juga belum mampu melamar kamu sesuai mahar yang pernah di sebutkan oleh tuan Takur.”

“Mahar. Maksudnya?” Tanyaku bingung.

“Sebelum tuan takur pergi ke Bandung, aku sempat berpapasan dengan tuan takur. Tuan Takur menghampiri diriku, ia hanya berpesan jika ingin menikah dengan kamu, aku harus menyiapkan mobil mewah, rumah, serta perhiasan sebanyak 10 kg.” Ucap Mas Valdi mengingat pesan terakhir Ayah sebelum pergi, di mana aku tidak mengetahui hal itu. Mas Valdi memegang puncak kepalaku, bibir tersenyum manis. “Maaf, aku hanya bisa berkata maaf beribu kali buat kamu Vivana. Aku merelakan kamu hidup bahagia dengan pilihan tuan Takur.”

Bak guntur di siang hari, tubuhku seketika menjadi patung, tangan yang tadi memegang erat tangan Mas Valdi kini perlahan lepas, bibir hanya bisa diam membisu, air mata seketika kering, aliran darah seketika terhenti, rasanya sakit dan kecewa mendengar ucapan Mas Valdi merelakan diriku bersanding dengan orang lain tanpa berusaha merebut diriku kembali di sisinya.

Tangan kananku tiba-tiba di pegang dan di tarik oleh tangan yang lebih besar dariku. Pria yang memegang diriku adalah Barra. “Vivana. Mari kita pulang.”

Barra menarik tangan kananku, membawa diriku yang masih mematung pergi dari hadapan Mas Valdi. Kedua kaki terus melangkah mengikuti Barra mendekati mobil. Kedua mata tak bisa aku kedipkan, aku terus memandang Mas Valdi dari dalam mobil. Aku terus melihat Mas Valdi yang kini sudah berlalu pergi bersama gerobak sepeda jualan miliknya.

Barra melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tak menghiraukan gundukan batu, serta jalan desa berlubang. Kedua mata Barra terlihat suram menatap jalan, dahinya mengerut .

Aku hanya bisa terdiam, tertunduk, menatap telapak tangan yang tadi sempat memegang tangan kekasih yang aku cintai. Kekasih yang merelakan diriku di miliki pria lain. Air mataku kini tertumpah dengan mudanya di kedua telapak tangan kananku. Bibirku mulai bergerak, suara tangis kini lolos dengan mudahnya dari bibir mungil milikku.

“Hiks. Hiks. Hiks. Sakit.”

Ciittt!!

Barra langsung menghentikan mobilnya dengan cepat ia memutar arah duduknya, memeluk tubuhku. Tangisanku pun pecah di dalam pelukan Barra. Tangan kanan mengelus punggung mungil yang terus gemetar.

“Ibu. Kenapa kamu tidak membawa ku pergi bersama kamu, kenapa hanya aku saja yang harus hidup dan di perjuangkan di dunia ini. Ibu! Aku sudah tidak sanggup lagi hidup di dunia ini jika Mas Valdi saja sudah menolak untuk memperjuangkan diriku dan membuang rasa cintaku. Ibu! Aku juga ingin merasakan kebahagian dan cinta dari orang yang aku cintai.” Keluhku di dalam pelukan Barra.

Barra mengelus pelan punggungku, dahi mengerut hingga menimbulkan goresan halus, alis menjadi satu. Seperti tidak terima dengan keluhan ku, Barra menjawab keluhan ku. “Aku bukan pria jahat Vivana. Percayalah samaku kalau aku bisa membuat hidup kamu bahagia, tidak seperti pria penjual pecel yang tidak ingin memperjuangkan cinta mu. Berikan aku kesempatan untuk membuktikan jika ucapan aku ini benar.”

.

.

.

🍃 Di sisi lain. 🍃

Mas Valdi terus mendayung gerobak sepeda miliknya dengan cepat, kedua tangan memegang erat stang sepeda miliknya, kedua mata di penuhi cairan bening, bibir bergetar dan berkata.

"Maaf kan aku Vivana. Aku hanya bisa mengumpulkan uang 2 JT rupiah dalam 1 minggu. Aku yakin kamu pasti sangat kecewa dan terluka padaku. Aku pun juga begitu Vivana, kenapa takdir tidak mempersatukan kita dengan cara yang indah. Mungkin ini semua karena kita memang seharusnya tidak untuk dipersatukan. Aku mengikhlaskan kamu, Vivana. Hiduplah bahagia dengan pilihan Ayah kamu."

Saat gerobak sepeda melaju dengan cepat ada seorang wanita menghadang jalan Mas Valdi, membuat Mas Valdi ke bingungan.

"Woy! Minggir."

Bab 03. Pernikahan dan isu Mahar.

🍃1 minggu sudah berlalu. 🍃

Teratak sudah di pasang di halaman rumah, beberapa tamu undangan sudah hadir, begitu juga dengan tuan kadi yang siap menikahkan aku dan Barra. Aku masih di dalam kamar, menunggu Barra yang belum juga hadir.

Aku duduk di depan cermin rias, kedua mata polos menatap pantulan diriku sudah berhias memakai selendang putih, dan kebaya putih. Kedua mataku tak bisa lagi menangis untuk meratapi nasib, aku terus menatap diriku sendiri yang sebentar lagi akan menjadi istri dari tuan Barra. Pria yang tidak aku kenal, berjumpa hanya sebentar, perjumpaan itu pun terjadi karena Barra ingin melihat diriku secara langsung sebelum resmi menikah denganku.

Harapan ku sudah pupus dan cintaku juga sudah kandas dengan Mas Valdi, selama 1 minggu aku di kurung di rumah, aku pikir Mas Valdi akan menghentikan pernikahan ini. Ternyata tidak. Mas Valdi malah sibuk mengurus pecel buat makanan tambahan di pernikahanku. Ayah sengaja memesan pecel buatan ibu Yhanti yaitu ibu dari Mas Valdi karena pecel jualan Mas Valdi terkenal enak di kampung ini. Ibu Yhanti dan Mas Valdi tidak bisa menolak permintaan Ayah, karena Ayah telah mengancam mereka untuk tidak berjualan keliling lagi jika tidak mau menerima tawaran Ayah.

Tok! Tok.

Suara ketukan pintu memecah lamunanku.

“Masuk.” Sahutku datar. Kedua mata sendu tetap menatap pantulan diriku di depan cermin rias.

Pintu kamar terbuka, masuk 2 orang wanita memakai baju kebaya hijau lumut. 2 wanita tersebut berdiri di sisi kananku, kepala tertunduk, kedua tangan di letak di depan perut.

“Nona muda. Tuan Barra sudah datang beserta rombongan yang mengantar mahar sesuai janjinya kepada tuan Bruno.” Ucap salah satu wanita tersebut.

“Kalau begitu bawa aku turun.” Sahutku datar, aku segera berdiri, selendang putih panjang menyeret lantai di jinjing oleh 2 wanita tersebut, mengikuti diriku yang sudah jalan terlebih dahulu di depan.

Kedua mata sendu terus menatap langkah kakiku, aku melangkah dengan perlahan karena memakai rok batik yang cukup sempit membuat aku tidak bebas berjalan.Setiap langkah kaki, aku terus mengingat ucapan Ayah tadi malam, perkataan yang tak bisa aku hilangkan dari pikiranku.

‘Tidak ada pria lain yang lebih kaya dari Barra. Barra juga sebenarnya sudah membelikan Ayah 10.000 hektar perkebunan cukup bagus buat Ayah. Hanya Barra pria baik yang mampu membelikan semua keinginan Ayah. Jadi Ayah harap, kamu jangan membantah Ayah. Barra tidak meminta imbalan uang, dia hanya ingin menikah dengan kamu, hanya itu syarat permintaan Barra. Jadi kamu jangan membantah, turuti semua permintaan Barra agar hidup kamu bahagia seperti Ayah.’

Bisikan halus namun sangat menyakitkan.

Aku terus melangkah dan melangkah keluar dari rumah, acara akad dan resepsi di laksanakan di lataran halaman rumahku yang cukup luas. Kedua kaki ku hentikan di depan pintu rumah menuju meja akad, kedua mataku menatap seorang pria berbaju batik di depan meja hidangan khusus pecel. Pria yang terus terlihat tenang dalam situasi apa pun, pria itu adalah pria yang pernah aku cintai dan aku sayangi, yaitu Mas Valdi.

Mas Valdi tersenyum lebar menatap diriku, jejeran gigi putih ia tampakkan kepadaku, senyum manis yang terlihat ikhlas. Aku tidak bisa membalas senyuman Mas Valdi karena hatiku masih sangat terluka, aku hanya bisa melihat Mas Valdi dari kejauhan.

Ayah mendekati diriku, menarik tangan kanan, bibir berbisik pelan. “Vivana. Ayo cepat.”

Aku langsung memalingkan wajah, kedua kaki melangkah mengikuti Ayah menuju meja akad. Aku melihat Barra tersenyum manis menatap kedatanganku, tapi aku tidak membalasnya karena aku sangat benci Barra. Ayah menekan kedua bahuku, membuatku segera duduk di sisi kanan Barra.

Tanpa mengulur waktu yang terus berjalan, tuan kadi langsung mengulur tangan kanannya,lurus tepat di hadapan Barra. Tatapan serius menatap Ayah dan Barra.

“Apakah sudah siap?” Tanya tuan kadi terdengar kuat dan tegas.

“Siap.” Sahut semua tamu yang hadir.

Barra mengulurkan tangan kanannya, menggenggam erat tangan kanan tuan kadi. Janji suci pun terucap, semua orang bersorak ‘SAH’ saat Barra selesai ijab Kabul. Aku menarik nafas panjang, menghirup bebas udara sejuk di desa ini dan menetralkan pikiran dan hatiku yang terasa tidak karuan setelah dinyatakan telah resmi menjadi istri tuan Barra.

Mas Valdi sedari tadi terlihat tegar di depan meja hidangan kini sudah beranjak pergi, ia pergi mendekati pohon mangga yang cukup rindang di halaman rumahku. Mas Valdi duduk, ia memegang dahi yang sedikit tegang.

“Ya, Allah. Kenapa aku merasa tidak senang melihat Vivana telah resmi menikah dan menjadi nona bersama pria yang cukup kaya dan mapan. Aku sudah berusaha ikhlas untuk melepaskan dirinya, tapi kenapa hatiku berkata lain saat ini.”

Saat Mas Valdi mengeluh sendirian di bawah pohon mangga, terlihat tangan kanan mungil mengulur panjang memegang bahu kanan Mas Valdi, kuku jari di hiasi cat kuku berwarna biru muda.

“Valdi.”

Mas Valdi langsung menoleh kebelakang, lamunan dan pikirannya langsung pecah saat melihat wanita berkepang dua berdiri di belakangnya.

Wanita tersebut mengepal tangan kanannya, melayangkan kepalan tinju tepat di puncak kepala Mas Valdi.

Tak.

“Bodoh.” Ucap wanita tersebut sambil menghembus kepalan tinju nya.

“Auw.” Keluh Mas Valdi menggosok puncak kepala. Mas Valdi langsung berdiri menghadap wanita tersebut. “Apaan sih kamu!”

“Bodoh.” Ucap wanita tersebut sekali lagi mendekatkan wajahnya.

“Kenapa kamu bilang aku bodoh?”

“Ia. Jelas-jelas Vivana di paksa menikah dengan pria tak dicintainya.” Cetus wanita tersebut, jari telunjuk tangan menunjuk Mas Valdi dari atas sampai bawah. “Eh! Kamu malah senyam-senyum dan malah duduk santai di sini.”

“Habisnya aku harus berbuat apa!” Sahut Mas Valdi terdengar putus asa, kedua tangan mengarah ke garasi mobil. “Kamu lihat saja jika pria itu mampu memenuhi semua kebutuhan yang di minta tuan Takur, mobil mewah sudah terlihat jelas sebagai mahar pernikahan buat Vivana. Bukan itu saja, emas sebanyak 20 kg, serta rumah di desa Anggrek. Rumah terkenal mewah bekas peninggalan janda kembang telah meninggal dunia 2 tahun yang lalu karena kecelakaan tunggal.”

“Jika rumah itu bekas peninggalan seorang manusia yang sudah meninggal, bukannya rumah itu terlihat seram. Kasihan Vivana jika harus tinggal di sana?” Sahut wanita tersebut terlihat panik.

“Fanny. Kamu jangan terlihat bodoh, meski orangnya sudah meninggal dunia tapi tuan Barra sudah membelinya secara kontan dan buktinya juga sudah ada.” Sambung seorang pria terdengar gemas, tangan kanan menjewer telinga kiri Fanny.

“Auw!” Keluh Fanny berusaha melepas tangan pria tersebut.

“Kalian ini seperti anak kecil saja.” Ucap Mas Valdi, kedua kaki melangkah pergi meninggalkan perdebatan Fanny dan pria tersebut.

“Kamu yang seperti anak kecil Valdi.” Teriak Fanny dan pria tersebut secara serentak.

“Bodoh.” Sahut Mas Valdi mengabaikan mereka.

3 jam sudah berlalu, melihat aku duduk sendiri di salah satu bangku tamu. Fanny beranjak pergi dari meja hidangan tempat Mas Valdi melayani para tamu undangan. Fanny diam-diam duduk di sisi kanan ku saat melihat Barra sedang sibuk berbincang ria dengan para kolektor yang datang.

“Vivana.” Panggil Fanny sedikit berbisik di telinga kanan ku.

“Iya.” Sahutku menatap Fanny.

Fanny menatap waspada Barra yang masih sibuk dengan para kolektor. Setelah merasa cukup aman dia mulai berbicara. “Apa kamu tidak tahu jika rumah pemberian Barra itu bekas peninggalan janda kembang kaya raya yang sudah meninggal dunia 2 tahun yang lalu?.”

“Tahu.” Sahutku mengangguk.

“Jadi kenapa kamu masih mau menerima rumah itu! apa kamu tidak takut tinggal di sana?” Tanya Fanny sekali lagi.

“Wanita itu kan sudah di kebumikan dengan layak, dan dia juga meninggal karena korban kecelakaan tunggal karena terlalu banyak memakai obat terlarang. Jadi apa yang harus aku takutkan.”

“Iya juga sih.” Sahut Fanny mengangguk, kedua alis mengerut, Fanny menatap diriku sangat dekat. “Apa kamu yakin ingin tinggal di sana?” Tanya Fanny sekali lagi.

“Fanny-Fanny. Kamu ini memang lucu, sudah pasti aku mau tinggal di sana. Karena sekarang Barra sudah menjadi suamiku, dan aku juga sudah tak berhak tinggal di rumah ini.” Ucapku sedikit berbohong. Alasan aku menerima semua pemberian Barra karena aku tak ingin di kekang dan melihat wajah Ayah lagi. Aku ingin hidup bebas dan mencari kebahagiaanku sendiri di luar sana.

“Tapi Vivana….”

“Kamu masih terus mengganggu dan mengusik pernikahan Vivana. Kamu memang nakal Fanny.” Sambung pria muda yang tadi menjewer telinga Fanny. Pria tersebut merangkul tubuh Fanny dari belakang, mencubit kedua pipi tembem Fanny.

Aku tertawa renyah, kepala menggeleng pelan melihat tingkah lucu teman masa kecil yang tak pernah berubah. “Baskara dan Fanny benar-benar lucu.”

“Vivana. Jika malam pertama terasa sakit, lebih bagus tidak usah di lanjutkan. Lagian jika melakukannya dengan seseorang yang tidak kita cintai katanya tidak akan enak dan tidak berasa.” Ucap pria yang berada di belakang Fanny pelan, pria tersebut adalah Baskara pacar Fanny.

“Eh. Ucapan apa itu?” Sahutku bingung karena sebelumnya aku tidak memikirkan tentang adegan dewasa.

“Berisik. Dasar mulut tidak berbobot, tahu dari mana kamu ucapan seperti itu. Apa kamu sudah pernah melakukannya dengan wanita lain selain aku.” Sambung Fanny menarik rambut bagian depan Baskara. Pergulatan pun mulai terjadi di hadapanku.

...Bersambung........

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!