🍃1 minggu sudah berlalu. 🍃
Teratak sudah di pasang di halaman rumah, beberapa tamu undangan sudah hadir, begitu juga dengan tuan kadi yang siap menikahkan aku dan Barra. Aku masih di dalam kamar, menunggu Barra yang belum juga hadir.
Aku duduk di depan cermin rias, kedua mata polos menatap pantulan diriku sudah berhias memakai selendang putih, dan kebaya putih. Kedua mataku tak bisa lagi menangis untuk meratapi nasib, aku terus menatap diriku sendiri yang sebentar lagi akan menjadi istri dari tuan Barra. Pria yang tidak aku kenal, berjumpa hanya sebentar, perjumpaan itu pun terjadi karena Barra ingin melihat diriku secara langsung sebelum resmi menikah denganku.
Harapan ku sudah pupus dan cintaku juga sudah kandas dengan Mas Valdi, selama 1 minggu aku di kurung di rumah, aku pikir Mas Valdi akan menghentikan pernikahan ini. Ternyata tidak. Mas Valdi malah sibuk mengurus pecel buat makanan tambahan di pernikahanku. Ayah sengaja memesan pecel buatan ibu Yhanti yaitu ibu dari Mas Valdi karena pecel jualan Mas Valdi terkenal enak di kampung ini. Ibu Yhanti dan Mas Valdi tidak bisa menolak permintaan Ayah, karena Ayah telah mengancam mereka untuk tidak berjualan keliling lagi jika tidak mau menerima tawaran Ayah.
Tok! Tok.
Suara ketukan pintu memecah lamunanku.
“Masuk.” Sahutku datar. Kedua mata sendu tetap menatap pantulan diriku di depan cermin rias.
Pintu kamar terbuka, masuk 2 orang wanita memakai baju kebaya hijau lumut. 2 wanita tersebut berdiri di sisi kananku, kepala tertunduk, kedua tangan di letak di depan perut.
“Nona muda. Tuan Barra sudah datang beserta rombongan yang mengantar mahar sesuai janjinya kepada tuan Bruno.” Ucap salah satu wanita tersebut.
“Kalau begitu bawa aku turun.” Sahutku datar, aku segera berdiri, selendang putih panjang menyeret lantai di jinjing oleh 2 wanita tersebut, mengikuti diriku yang sudah jalan terlebih dahulu di depan.
Kedua mata sendu terus menatap langkah kakiku, aku melangkah dengan perlahan karena memakai rok batik yang cukup sempit membuat aku tidak bebas berjalan.Setiap langkah kaki, aku terus mengingat ucapan Ayah tadi malam, perkataan yang tak bisa aku hilangkan dari pikiranku.
‘Tidak ada pria lain yang lebih kaya dari Barra. Barra juga sebenarnya sudah membelikan Ayah 10.000 hektar perkebunan cukup bagus buat Ayah. Hanya Barra pria baik yang mampu membelikan semua keinginan Ayah. Jadi Ayah harap, kamu jangan membantah Ayah. Barra tidak meminta imbalan uang, dia hanya ingin menikah dengan kamu, hanya itu syarat permintaan Barra. Jadi kamu jangan membantah, turuti semua permintaan Barra agar hidup kamu bahagia seperti Ayah.’
Bisikan halus namun sangat menyakitkan.
Aku terus melangkah dan melangkah keluar dari rumah, acara akad dan resepsi di laksanakan di lataran halaman rumahku yang cukup luas. Kedua kaki ku hentikan di depan pintu rumah menuju meja akad, kedua mataku menatap seorang pria berbaju batik di depan meja hidangan khusus pecel. Pria yang terus terlihat tenang dalam situasi apa pun, pria itu adalah pria yang pernah aku cintai dan aku sayangi, yaitu Mas Valdi.
Mas Valdi tersenyum lebar menatap diriku, jejeran gigi putih ia tampakkan kepadaku, senyum manis yang terlihat ikhlas. Aku tidak bisa membalas senyuman Mas Valdi karena hatiku masih sangat terluka, aku hanya bisa melihat Mas Valdi dari kejauhan.
Ayah mendekati diriku, menarik tangan kanan, bibir berbisik pelan. “Vivana. Ayo cepat.”
Aku langsung memalingkan wajah, kedua kaki melangkah mengikuti Ayah menuju meja akad. Aku melihat Barra tersenyum manis menatap kedatanganku, tapi aku tidak membalasnya karena aku sangat benci Barra. Ayah menekan kedua bahuku, membuatku segera duduk di sisi kanan Barra.
Tanpa mengulur waktu yang terus berjalan, tuan kadi langsung mengulur tangan kanannya,lurus tepat di hadapan Barra. Tatapan serius menatap Ayah dan Barra.
“Apakah sudah siap?” Tanya tuan kadi terdengar kuat dan tegas.
“Siap.” Sahut semua tamu yang hadir.
Barra mengulurkan tangan kanannya, menggenggam erat tangan kanan tuan kadi. Janji suci pun terucap, semua orang bersorak ‘SAH’ saat Barra selesai ijab Kabul. Aku menarik nafas panjang, menghirup bebas udara sejuk di desa ini dan menetralkan pikiran dan hatiku yang terasa tidak karuan setelah dinyatakan telah resmi menjadi istri tuan Barra.
Mas Valdi sedari tadi terlihat tegar di depan meja hidangan kini sudah beranjak pergi, ia pergi mendekati pohon mangga yang cukup rindang di halaman rumahku. Mas Valdi duduk, ia memegang dahi yang sedikit tegang.
“Ya, Allah. Kenapa aku merasa tidak senang melihat Vivana telah resmi menikah dan menjadi nona bersama pria yang cukup kaya dan mapan. Aku sudah berusaha ikhlas untuk melepaskan dirinya, tapi kenapa hatiku berkata lain saat ini.”
Saat Mas Valdi mengeluh sendirian di bawah pohon mangga, terlihat tangan kanan mungil mengulur panjang memegang bahu kanan Mas Valdi, kuku jari di hiasi cat kuku berwarna biru muda.
“Valdi.”
Mas Valdi langsung menoleh kebelakang, lamunan dan pikirannya langsung pecah saat melihat wanita berkepang dua berdiri di belakangnya.
Wanita tersebut mengepal tangan kanannya, melayangkan kepalan tinju tepat di puncak kepala Mas Valdi.
Tak.
“Bodoh.” Ucap wanita tersebut sambil menghembus kepalan tinju nya.
“Auw.” Keluh Mas Valdi menggosok puncak kepala. Mas Valdi langsung berdiri menghadap wanita tersebut. “Apaan sih kamu!”
“Bodoh.” Ucap wanita tersebut sekali lagi mendekatkan wajahnya.
“Kenapa kamu bilang aku bodoh?”
“Ia. Jelas-jelas Vivana di paksa menikah dengan pria tak dicintainya.” Cetus wanita tersebut, jari telunjuk tangan menunjuk Mas Valdi dari atas sampai bawah. “Eh! Kamu malah senyam-senyum dan malah duduk santai di sini.”
“Habisnya aku harus berbuat apa!” Sahut Mas Valdi terdengar putus asa, kedua tangan mengarah ke garasi mobil. “Kamu lihat saja jika pria itu mampu memenuhi semua kebutuhan yang di minta tuan Takur, mobil mewah sudah terlihat jelas sebagai mahar pernikahan buat Vivana. Bukan itu saja, emas sebanyak 20 kg, serta rumah di desa Anggrek. Rumah terkenal mewah bekas peninggalan janda kembang telah meninggal dunia 2 tahun yang lalu karena kecelakaan tunggal.”
“Jika rumah itu bekas peninggalan seorang manusia yang sudah meninggal, bukannya rumah itu terlihat seram. Kasihan Vivana jika harus tinggal di sana?” Sahut wanita tersebut terlihat panik.
“Fanny. Kamu jangan terlihat bodoh, meski orangnya sudah meninggal dunia tapi tuan Barra sudah membelinya secara kontan dan buktinya juga sudah ada.” Sambung seorang pria terdengar gemas, tangan kanan menjewer telinga kiri Fanny.
“Auw!” Keluh Fanny berusaha melepas tangan pria tersebut.
“Kalian ini seperti anak kecil saja.” Ucap Mas Valdi, kedua kaki melangkah pergi meninggalkan perdebatan Fanny dan pria tersebut.
“Kamu yang seperti anak kecil Valdi.” Teriak Fanny dan pria tersebut secara serentak.
“Bodoh.” Sahut Mas Valdi mengabaikan mereka.
3 jam sudah berlalu, melihat aku duduk sendiri di salah satu bangku tamu. Fanny beranjak pergi dari meja hidangan tempat Mas Valdi melayani para tamu undangan. Fanny diam-diam duduk di sisi kanan ku saat melihat Barra sedang sibuk berbincang ria dengan para kolektor yang datang.
“Vivana.” Panggil Fanny sedikit berbisik di telinga kanan ku.
“Iya.” Sahutku menatap Fanny.
Fanny menatap waspada Barra yang masih sibuk dengan para kolektor. Setelah merasa cukup aman dia mulai berbicara. “Apa kamu tidak tahu jika rumah pemberian Barra itu bekas peninggalan janda kembang kaya raya yang sudah meninggal dunia 2 tahun yang lalu?.”
“Tahu.” Sahutku mengangguk.
“Jadi kenapa kamu masih mau menerima rumah itu! apa kamu tidak takut tinggal di sana?” Tanya Fanny sekali lagi.
“Wanita itu kan sudah di kebumikan dengan layak, dan dia juga meninggal karena korban kecelakaan tunggal karena terlalu banyak memakai obat terlarang. Jadi apa yang harus aku takutkan.”
“Iya juga sih.” Sahut Fanny mengangguk, kedua alis mengerut, Fanny menatap diriku sangat dekat. “Apa kamu yakin ingin tinggal di sana?” Tanya Fanny sekali lagi.
“Fanny-Fanny. Kamu ini memang lucu, sudah pasti aku mau tinggal di sana. Karena sekarang Barra sudah menjadi suamiku, dan aku juga sudah tak berhak tinggal di rumah ini.” Ucapku sedikit berbohong. Alasan aku menerima semua pemberian Barra karena aku tak ingin di kekang dan melihat wajah Ayah lagi. Aku ingin hidup bebas dan mencari kebahagiaanku sendiri di luar sana.
“Tapi Vivana….”
“Kamu masih terus mengganggu dan mengusik pernikahan Vivana. Kamu memang nakal Fanny.” Sambung pria muda yang tadi menjewer telinga Fanny. Pria tersebut merangkul tubuh Fanny dari belakang, mencubit kedua pipi tembem Fanny.
Aku tertawa renyah, kepala menggeleng pelan melihat tingkah lucu teman masa kecil yang tak pernah berubah. “Baskara dan Fanny benar-benar lucu.”
“Vivana. Jika malam pertama terasa sakit, lebih bagus tidak usah di lanjutkan. Lagian jika melakukannya dengan seseorang yang tidak kita cintai katanya tidak akan enak dan tidak berasa.” Ucap pria yang berada di belakang Fanny pelan, pria tersebut adalah Baskara pacar Fanny.
“Eh. Ucapan apa itu?” Sahutku bingung karena sebelumnya aku tidak memikirkan tentang adegan dewasa.
“Berisik. Dasar mulut tidak berbobot, tahu dari mana kamu ucapan seperti itu. Apa kamu sudah pernah melakukannya dengan wanita lain selain aku.” Sambung Fanny menarik rambut bagian depan Baskara. Pergulatan pun mulai terjadi di hadapanku.
...Bersambung........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
Hai kak mampir yuk ke novelku kritik dan sarannya di terima ya terima k😊asih
2022-07-24
0
Elisabeth Ratna Susanti
langsung favorit ❤️
2022-07-16
0
Dendry Den
Bacot.
2022-07-12
0